Rabu, 01 Januari 2014

Lord of the Ring 1 : The Fellowship Of The Ring 3

Buku 2 Bab 06

LOTHLORIEN
"Aduh! Aku khawatir kita tak bisa lebih lama di sini," kata Aragorn. Ia memandang ke arah pegunungan dan mengangkat pedangnya. "Selamat tinggal, Gandalf!" serunya. "Bukankah sudah kukatakan padamu: kalau masuk gerbang Moria, waspadalah? Sayang sekali, ternyata kata-kataku benar! Harapan apa yang kami miliki tanpa dirimu?"
Ia menoleh kepada yang lainnya. "Kita harus bisa melanjutkan tanpa harapan," katanya. "Mungkin kita bisa membalas suatu saat nanti. Bersiap-siaplah, dan jangan lagi menangis! Ayo! Perjalanan masih panjang, dan banyak yang masih harus dilakukan."
Mereka bangkit dan melihat sekeliling. Ke arah utara, lembah itu menanjak naik ke sebuah celah gelap di antara dua lengan gunung, yang di atasnya tiga puncak putih bersinar: Celebdil, Fanuidhol, Caradhras, Pegunungan Moria. Di puncak celah, aliran air deras mengalir seperti renda putih, melewati tangga tak berujung yang terdiri atas air terjun pendek-pendek; kabut busa menggantung di udara, di kaki pegunungan.
"Di sanalah Tangga Dimrill," kata Aragorn, menunjuk air terjun. "Kita seharusnya turun melalui jalan yang mendaki di samping air terjun, seandainya nasib lebih ramah pada kita."
"Atau Caradhras tidak begitu kejam," kata Gimli. "Di sana dia berdiri, tersenyum di bawah matahari!" ia mengepalkan tinjunya ke arah puncak gunung bersalju terjauh, lalu membalikkan badan.
Di timur, lengan pegunungan yang terjulur tiba-tiba berakhir, dan daratan-daratan jauh di luarnya bisa terlihat, luas dan samar-samar. Ke arah selatan, Pegunungan Berkabut berdiri tak terhingga, sejauh mata memandang. Kurang satu mil dari sana, dan sedikit di bawah mereka—karena mereka masih berdiri tinggi di bagian barat lembah—tampak sebuah danau. Bentuknya panjang lonjong, seperti kepala tombak yang menghunjam ke dalam lembah, tapi ujung selatannya ada di luar bayang-bayang, di bawah langit yang penuh sinar matahari. Namun airnya gelap: biru tua seperti langit senja yang jernih, dilihat dari ruangan yang diterangi lampu. Permukaannya tenang dan mulus. Di sekitarnya terdapat padang rumput, menurun di semua sisinya, ke batas airnya yang terbuka dan tak terputus-putus.
"Itulah Mirrormere, Kheled-zaram yang dalam!" kata Gimli sedih. "Aku ingat dia mengatakan, 'Semoga kau gembira melihatnya! Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sana.' Sekarang perjalananku masih panjang sebelum aku bisa gembira lagi. Akulah yang harus pergi terburu-buru, dan dia yang tinggal di sini."
Sekarang mereka melewati jalan dari Gerbang. Jalannya kasar dan hancur, mengabur menjadi rute berkelok-kelok di antara semak heather dan whin yang tumbuh di tengah bebatuan yang pecah. Tapi masih terlihat bahwa dulu pernah ada jalan besar berubin, naik ke atas dari dataran rendah kerajaan Kurcaci. Di beberapa tempat ada bangunan-bangunan batu yang sudah menjadi puing di sisi jalan, dan gundukan hijau dengan pohon birch ramping tumbuh di atasnya, atau pohon cemara yang mengeluh ditiup angin. Tikungan ke timur membawa mereka langsung ke pinggir Mirrormere, dan di sana, tak jauh dari tepi jalan, berdiri sebuah tiang tunggal yang bagian atasnya retak.
"Itu Batu Durin!" seru Gimli. "Aku mesti keluar sebentar dari jalan, untuk mengamati keajaiban lembah ini!"
"Kalau begitu, cepatlah!" kata Aragorn, sambil menoleh ke Gerbang. "Matahari terbenam lebih cepat. Para Orc mungkin tidak akan keluar saat senja, tapi kita harus sudah jauh dari sini sebelum malam tiba. Bulan hampir habis, dan akan gelap sekali malam ini."
"Ikut aku, Frodo!" teriak Gimli, melompat keluar dari jalan. "Aku tak ingin kau pergi tanpa melihat Kheled-zaram." ia berlari menuruni lereng hijau yang panjang. Frodo menyusul perlahan, tertarik pada air biru tenang itu, meski ia merasa sakit dan letih; Sam berjalan di belakang.
Di samping batu berdiri itu Gimli berhenti, dan menengadah. Batu itu retak-retak dan lapuk karena cuaca, dan lambang-lambang kabur pada sisinya tak bisa terbaca. "Tiang ini menandai tempat Durin untuk pertama kalinya menatap ke dalam Mirrormere," kata orang kerdil itu. "Coba sekarang kita juga melihatnya satu kali, sebelum pergi!”
Mereka membungkuk di atas air gelap itu. Mula-mula mereka tak bisa melihat apa pun. Lalu perlahan mereka melihat bentuk-bentuk pegunungan yang mengurung mereka tercermin dalam kebiruan air yang sangat dalam, puncak-puncaknya bagai bulu api putih di atas mereka; di luarnya ada langit terbuka. Di sana bintang-bintang gemerlap bak permata yang terbenam di dalam air, meski matahari bertengger di langit di atas. Sosok mereka sendiri yang membungkuk tak terlihat di dalamnya.
"Oh, Kheled-zaram yang indah dan ajaib!" kata Gimli. "Di sanalah tergeletak Mahkota Durin, sampai dia bangun kembali. Selamat tinggal!" ia membungkuk, lalu pergi, dan bergegas melintasi padang rumput ke jalan lagi.
"Apa yang kaulihat?" tanya Pippin pada Sam, tapi Sam asyik merenung, sehingga tidak menjawab.
Jalanan itu kini membelok ke selatan, dan menurun dengan cepat, keluar dari antara lengan-lengan lembah. Sedikit di bawah danau, mereka sampai ke sebuah sumur air yang dalam, sebening kristal; airnya jatuh dari bibir batu, mengalir kemilau dan bergeluguk menuruni saluran batu yang curam.
"Ini mata air dari mana Silverlode berasal," kata Gimli. "Jangan diminum! Dinginnya seperti es."
"Tak lama lagi dia menjadi sungai deras, dan mengumpulkan air dari banyak sungai gunung yang lain," kata Aragorn. "Jalan kita membentang di sisinya sejauh beberapa mil. Aku akan menuntun kalian melalui jalan yang dipilih Gandalf, dan pertama-tama kuharap kita menemukan hutan tempat Silverlode bermuara ke dalam Sungai Besar di luar sana." Mereka melihat ke arah yang ditunjuknya, dan di depan sana tampak sungai itu mengalir turun ke palung lembah, mengalir terus dan menghilang di daratan-daratan yang lebih rendah, sampai lenyap dalam kabut keemasan.
"Di sana letaknya hutan Lothlorien!" kata Legolas. "Itu tempat tinggal bangsaku yang paling indah. Tak ada pohon seperti pohon-pohon di negeri itu. Karena di musim gugur daun-daunnya tidak jatuh, tapi berubah menjadi berwarna emas. Baru ketika musim semi datang dan tunas-tunas hijau mekar, mereka berguguran, lalu dahan-dahan penuh dengan bunga-bunga kuning; lantai hutan berwarna emas, atapnya pun emas, dan tiang-tiangnya dari perak, karena kulit batang pohon-pohon itu licin dan kelabu. Begitulah nyanyian kami tentang Mirkwood. Hatiku akan bahagia kalau berada di bawah atap hutan itu, dan musim semi sedang berlangsung!"
"Hatiku akan senang bahkan di musim dingin," kata Aragorn. Tapi jaraknya masih jauh. Mari kita bergegas ke sana!"
Untuk beberapa lama, Frodo dan Sam berhasil menyamakan langkah dengan yang lain; tapi Aragorn memimpin mereka dengan kecepatan tinggi, dan sesudah beberapa lama, mereka tertinggal di belakang. Mereka tidak makan apa pun sejak pagi. Luka Sam terbakar seperti api, dan kepalanya terasa ringan. Meski matahari bersinar, angin terasa dingin setelah kegelapan yang hangat di Moria. Frodo merasa setiap langkah semakin menyakitkan, dan ia terengah-engah.
Akhirnya Legolas menoleh, dan ketika melihat mereka sudah jauh tertinggal, ia memberitahu Aragorn. Yang lain berhenti, dan Aragorn berlari kembali, memanggil Boromir untuk ikut dengannya.
"Maaf, Frodo!" teriaknya dengan cemas. "Begitu banyak yang terjadi hari ini, dan kita sangat perlu bergegas-gegas, sampai aku lupa kau terluka; Sam juga. Seharusnya kau bilang. Kami seharusnya berusaha meringankan penderitaanmu, tapi kami tidak berbuat apa-apa, meski semua Orc dari Moria mengejar kita. Ayo! Sedikit lagi ada tempat untuk beristirahat sejenak. Di sana aku akan berusaha menolongmu sebisaku. Ayo, Boromir! Kita akan menggendong mereka."
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah sungai lain yang mengalir dari Barat, dan bergabung dengan airnya yang bergelembung ke Silverlode yang mengalir deras. Bersama-sama mereka terjun dari bebatuan berwarna kehijauan, dan terjun berbuih-buih ke dalam sebuah lembah. Di sekitarnya berdiri pohon-pohon cemara, pendek dan bungkuk, sisinya curam dan penuh dengan harts-tongue serta semak-semak whortle-berry. Di dasarnya ada tanah datar di mana sungai mengalir berisik melewati batu-batu mengilap. Di sini mereka beristirahat. Sekarang sudah hampir jam tiga, dan mereka baru beberapa mil berjalan dari Gerbang. Matahari sudah mulai menuju ke barat.
Sementara Gimli dan kedua- hobbit yang lebih muda menyalakan api dari kayu semak dan cemara, dan mengambil air. Aragorn merawat Sam dan Frodo. Luka Sam tidak dalam, tapi tampak buruk, dan wajah Aragorn kelihatan muram ketika memeriksanya. Setelah sesaat, ia menengadah dengan lega.
"Selamat, Sam!" katanya. "Banyak yang menderita lebih parah daripada ini, setelah membunuh Orc mereka yang pertama. Luka ini tidak beracun, seperti umumnya luka bekas pisau Orc. Akan sembuh dengan baik setelah aku merawatnya. Basuhlah kalau Gimli sudah mempunyai air panas."
Aragorn membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa daun layu. "Daun-daun ini kering, dan sebagian dayanya sudah hilang," katanya. "Tapi aku masih punya sedikit daun athelas yang kukumpulkan dekat Weathertop. Hancurkan satu dalam air, basuh lukamu sampai bersih, dan aku akan membalutnya. Sekarang giliranmu, Frodo!"
"Aku baik-baik saja," kata Frodo, enggan membiarkan pakaiannya disentuh. "Yang kubutuhkan hanyalah sedikit makanan dan istirahat."
"Tidak!" kata Aragorn. "Kita harus melihat akibat lukamu itu. Aku masih kagum bahwa kau bisa bertahan hidup." Dengan lembut ia melepaskan jaket lama Frodo dan kemejanya yang usang, dan terkesiap kaget. Lalu ia tertawa. Rompi perak itu berkilauan di depan matanya, seperti cahaya di atas laut yang berombak. Dengan hati-hati ia melepaskannya dan mengangkatnya, permatanya gemerlapan bagai bintang-bintang, dan bunyi cincin-cincin logamnya yang bergoyang terdengar seperti denting hujan di kolam.
"Lihat, kawan-kawanku!" serunya. "Ini kulit hobbit yang indah, pantas untuk membungkus pangeran Peri! Seandainya ada yang tahu bahwa hobbit-hobbit mempunyai kulit seperti ini, semua pemburu Dunia Tengah akan berdatangan ke Shire."
"Dan semua panah pemburu di seluruh dunia akan sia-sia," kata Gimli, menatap rompi logam itu dengan kagum. "Ini rompi mithril. Mithril! Aku belum pernah melihat atau mendengar tentang rompi sebagus ini. Inikah rompi yang diceritakan Gandalf? Kalau begitu, dia menilainya terlalu rendah. Tapi pemberian ini pantas sekali!"
"Aku sering bertanya-tanya, apa yang kaulakukan bersama Bilbo, berdua saja di kamarnya," kata Merry. "Semoga hobbit tua itu diberkahi! Aku semakin menyayanginya. Kuharap kita mendapat kesempatan untuk menceritakan ini padanya!"
Di sisi dan dada kanan Frodo ada memar gelap menghitam. Di bawah rompi logam itu ada kemeja kulit lembut, tapi pada satu titik cincin-cincin rompi itu terdorong masuk ke dalam daging. Sisi kiri Frodo juga memar di bagian ia terlempar ke dinding. Sementara yang lain menyiapkan makanan, Aragorn membasuh memar-memar itu dengan air rendaman athelas. Baunya yang tajam memenuhi lembah, dan semua yang membungkuk di atas air beruap itu merasa segar dan kuat kembali. Segera Frodo merasa sakitnya hilang, dan napasnya ringan, meski selama beberapa hari ia masih merasa kaku dan sakit bila disentuh. Aragorn mengikat beberapa bantalan kain lembut pada sisi tubuhnya.
"Rompi ini luar biasa ringan," katanya. "Pakailah lagi, kalau kau tahan. Hatiku gembira mengetahui kau mempunyai rompi itu. Jangan lepaskan, meski kau sedang tidur, kecuali nasib membawamu ke tempat aman untuk beberapa saat; dan hal itu akan jarang terjadi, sementara tugasmu belum selesai."
Sesudah makan, mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Mereka memadamkan api dan semua jejaknya. Lalu mereka mendaki keluar dari lembah, dan masuk ke jalan lagi. Mereka belum pergi jauh ketika matahari terbenam di balik pegunungan di barat, dan bayangan-bayangan gelap merangkak menutupi sisi-sisi gunung. Senja menyelubungi kaki mereka, dan kabut naik di lembah. Jauh di timur, cahaya senja menerangi dengan pucat bentangan ladang dan hutan yang samar-samar tampak di kejauhan. Sam dan Frodo, yang sekarang sudah merasa jauh lebih ringan dan segar, mampu berjalan dengan kecepatan cukup tinggi, dan hanya dengan satu perhentian singkat, Aragorn memimpin mereka berjalan lagi selama hampir tiga jam.
Sudah gelap. Malam sudah larut. Banyak bintang terang, tapi bulan yang membesar dengan cepat tidak akan terlihat sampai sesudah larut malam. Gimli dan Frodo berjalan di belakang, perlahan dan tanpa berbicara, mendengarkan bunyi di jalan di belakang. Akhirnya Gimli memecah kesunyian.
,"Tak ada bunyi kecuali angin," katanya. "Tak ada goblin di dekat kita; kalau aku salah, berarti telingaku terbuat dari kayu. Mudah-mudahan saja para Orc sudah puas dengan hanya mengusir kita dari Moria. Mungkin hanya itu tujuan mereka, dan mereka tidak ada urusan lain dengan kita-dengan Cincin. Meski Orc sering mengejar musuh sampai bermil-mil di padang, kalau ingin balas dendam atas tewasnya kapten mereka."
Frodo tidak menjawab. Ia memandang Sting, mata pedangnya tampak redup. Meski begitu, ia mendengar sesuatu, atau merasa mendengar sesuatu. Setelah kegelapan mengelilingi mereka, dan jalan di belakang menjadi remang-remang, ia mendengar lagi bunyi langkah kaki cepat. Bahkan sekarang pun ia mendengamya. Ia menoleh dengan cepat. Ada dua titik kecil cahaya di belakang, atau untuk sekilas ia merasa melihatnya, tapi kedua titik itu segera menepi dan lenyap.
"Ada apa?" tanya Gimli.
"Aku tidak tahu," jawab Frodo. "Rasanya aku mendengar langkah kaki, dan aku mengira melihat cahaya-seperti mata. Aku sering menyangka begitu, sejak pertama kali kita masuk ke Moria."
Gimli berhenti dan membungkuk ke tanah. "Aku tidak mendengar apa pun kecuali percakapan malam tumbuh-tumbuhan dan bebatuan," katanya. "Ayo! Cepatlah! Yang lain sudah tidak tampak lagi."
Angin malam bertiup dingin dari lembah, menyambut mereka. Di depan mereka, sebuah bayangan besar berdiri, dan mereka mendengar desiran dedaunan tak henti-henti, seperti pohon poplar tertiup angin.
"Lothlorien!" seru Legolas. "Lothlorien! Kita sudah sampai ke atap Hutan Emas. Sayang sekali sedang musim dingin!"
Di malam hari, pepohonan itu menjulang tinggi di depan mereka, melengkung di atas jalan dan sungai yang tiba-tiba mengalir di bawah dahan-dahan yang menyebar. Di bawah sinar bintang yang redup, batang-batangnya tampak kelabu, dan daun-daunnya yang bergetar bernada emas kosong.
"Lothlorien!" kata Aragorn. "Aku senang mendengar angin di pepohonan lagi! Kita baru sekitar lima mil lebih sedikit dari Gerbang, tapi kita tak bisa berjalan terus. Mudah-mudahan kebajikan para Peri akan membuat kita terhindar dari bahaya yang datang dari belakang malam ini."
"Kalau Peri masih tinggal di sini, di dunia yang semakin gelap," kata Gimli.
"Sudah lama sejak bangsaku sendiri melancong kembali ke negeri tempat kami mengembara berabad-abad yang lalu," kata Legolas, "tapi kami dengar Lothlorien tidak kosong, karena ada kekuatan rahasia di sini, yang menahan kejahatan memasuki negeri ini. Namun begitu, penduduknya jarang terlihat, dan mungkin sekarang mereka tinggal jauh di dalam hutan, dan jauh dari perbatasan utara."
"Memang mereka tinggal jauh di dalam hutan," kata Aragorn, dan ia menarik napas panjang, seolah hatinya tergetar oleh suatu kenangan. "Kita harus menjaga diri sendiri malam ini. Kita akan maju sedikit lagi, sampai pohon-pohon mengurung kita, lalu kita akan melangkah keluar dari jalan dan mencari tempat untuk beristirahat."
Ia melangkah maju; tapi Boromir berdiri ragu dan tidak mengikutinya. "Apakah tidak ada jalan lain?" katanya.
"Jalan lain mana yang lebih bagus yang kauinginkan?" tanya Aragorn.
"Jalan biasa, meski lewat di bawah pagar pedang," kata Boromir. "Rombongan ini sudah dituntun melewati jalan-jalan yang aneh, dan sejauh ini selalu bernasib buruk. Melawan kehendakku, kita melalui kegelapan Moria, yang terbukti membawa malapetaka. Dan sekarang kita harus masuk ke Hutan Emas, katamu. Tapi kami di Gondor sudah mendengar tentang negeri berbahaya ini, dan katanya hanya sedikit yang bisa keluar setelah masuk; dan dari yang sedikit itu, tidak ada yang lolos tanpa cedera."
"Jangan bilang tanpa cedera; kalau kau bilang tanpa berubah, mungkin ada benarnya," kata Aragorn. "Tapi pengetahuan di Gondor sudah memudar, Boromir, kalau sekarang di kota tempat para bijak pernah tinggal mereka bicara buruk tentang Lothlorien. Kau. boleh saja percaya itu, tapi tak ada jalan lain untuk kita-kecuali kau mau kembali ke gerbang Moria, atau menapaki pegunungan tanpa jalan, atau berenang menyeberangi Sungai Besar sendirian."
"Kalau begitu, jalanlah terus!" kata Boromir. "Tapi jalan ini penuh bahaya."
"Berbahaya memang," kata Aragorn, "indah dan berbahaya; tapi hanya kejahatan yang perlu takut kepadanya, atau mereka yang membawa kejahatan. Ikuti aku!"
Setelah berjalan satu mil lebih sedikit, masuk ke hutan, mereka sampai di sebuah sungai lain yang mengalir cepat dari lereng-lereng berpohon yang mendaki ke barat, ke arah pegunungan. Mereka mendengarnya bercipratan terjun dari bebatuan, di keremangan di sebelah kanan mereka. Airnya yang gelap mengalir deras melintasi jalan di depan, dan bergabung dengan Silverlode, dengan pusaran redup di antara akar-akar pepohonan.
"Ini Nimrodel!" kata Legolas. "Tentang sungai ini, kaum Peri Silvan dulu menciptakan banyak sekali lagu, dan kami di Utara masih menyanyikannya, mengingat pelangi di atas air terjunnya, dan bunga-bunga emas yang mengambang di atas buih airnya. Semuanya gelap sekarang, dan Jembatan Nimrodel sudah patah. Aku akan membasuh kakiku, karena katanya air ini menyembuhkan mereka yang letih." ia maju dan menuruni tebing yang dalam, masuk ke sungai.
"Ikuti aku!" teriaknya. "Airnya tidak dalam. Mari kita berjalan ke seberang! Di tebing sana kita bisa beristirahat, dan bunyi air terjun akan membawa tidur dan menjadi pelipur lara bagi kita."
Satu demi satu mereka turun mengikuti Legolas. Untuk sejenak Frodo berdiri dekat pinggir sungai, membiarkan airnya mengaliri kakinya yang letih. Airnya dingin, tapi bersih. Ketika ia berjalan terus dan airnya mencapai lutut, ia merasa noda-noda perjalanan dan keletihan terhapus dari tubuhnya.
Ketika seluruh Rombongan sudah menyeberang, mereka duduk beristirahat dan makan sedikit; Legolas menceritakan dongeng-dongeng tentang Lothlorien yang masih disimpan bangsa Peri Mirkwood dalam hati mereka, tentang cahaya matahari dan bintang di atas padang-padang dekat Sungai Besar, sebelum dunia menjadi kelabu.
Akhirnya sepi sekali, dan mereka mendengar musik air terjun jatuh dengan lembut di keremangan. Frodo merasa bisa mendengar suara bernyanyi, berbaur dengan bunyi air.
"Kaudengar suara Nimrodel?" tanya Legolas. "Aku akan menyanyikan lagu gadis Nimrodel; namanya sama dengan nama sungai tempat ia dulu tinggal di tepiannya. Dalam bahasa hutan kami, nyanyian ini indah sekali; tapi beginilah bunyinya dalam Bahasa Westron, seperti sekarang dinyanyikan di Rivendell." Dengan suara lembut yang hampir tak terdengar di antara desiran daun-daun, di atas mereka, ia memulai:
Dahulu kala ada gadis Peri,
Bintang terang di siang hari:
Jubahnya putih, tepiannya emas murni,
Sepatunya kelabu perak, indah sekali.
Di dahinya bersinar bintang,
Rambutnya berkilau bercahaya
Seperti matahari yang gemilang
Di Lorien yang damai sentausa.
Rambutnya panjang, sosoknya putih halus,
Cantik nian ia, dan bebas merdeka;
Gerakannya ringan, bak angin yang berembus
Di antara daun-daun pohon cemara.
Di samping Nimrodel, air terjun sejuk,
Suaranya jatuh di permukaan danau
Yang berair jernih dan lembut berdeguk,
Bak perak bercahaya kemilau.
Di mana ia kini tak ada yang tahu pasti,
Di bawah sinar mentari atau di keteduhan;
Sebab lama berselang Nimrodel pergi
Dan mengembara di pegunungan.
Di pelabuhan kelabu berlabuh kapal Peri
Di bawah lambung gunung
Menantinya lama sekali
Di samping samudra yang menggerung.
Angin malam di negeri-negeri Utara kini
Membubung naik dan berseru keras,
Mendorong kapal dari pantai Peri
Mengarungi pasang naik nan deras.
Fajar datang, negeri itu tak lagi tampak,
Pegunungannya terbenam tak kelihatan
Di seberang ombak dahsyat yang menggelegak
Melemparkan buih-buih semburan membutakan.
Amroth melihat pantai yang kian menjauh
Sekarang rendah di bawah gelombang,
Ia mengutuki kapal yang mengangkat sauh
Membawanya pergi dari Nim.rodel tersayang
Dahulu ia seorang Raja Peri,
Menguasai pepohonan dan lembah,
Ketika pepohonan berwarna emas di musim semi
Di Lothlorien nan indah.
Ke laut mereka melihatnya melompat,
Seperti panah lepas dari busurnya,
Menyelam jauh ke air gelap pekat,
Bagaikan burung laut menyambar mangsa.
Angin mengibarkan rambutnya,
Buih laut kemilau di sekitarnya;
Dari jauh mereka melihatnya
Kuat dan tampan, berenang bagai angsa.
Tapi dari Barat tak ada kabar,
Dan di Pantai Sana
Bangsa Peri tak pernah lagi mendengar
Berita tentang Amroth yang entah di mana.
Suara Legolas terputus-putus dan nyanyiannya berhenti. "Aku tak bisa menyanyi lagi," katanya. "Ini hanya sebagian, karena aku sudah lupa banyak. Lagunya panjang dan sedih, karena menceritakan bagaimana duka menyelimuti Lothlorien, Lorien yang mekar, ketika para Kurcaci membangunkan kejahatan di pegunungan."
"Tapi bukan Kurcaci yang menciptakan kejahatan itu," kata Gimli.
"Aku tidak mengatakan begitu; pokoknya kejahatan itu datang," jawab Legolas sedih. "Lalu banyak Peri dari keluarga Nimrodel meninggalkan tempat tinggal mereka dan pergi, dan dia hilang jauh di Selatan, di celah Pegunungan Putih; dia tidak datang ke kapal di mana Amroth, kekasihnya, menunggu. Tapi di musim semi, kala angin berembus di dedaunan, gema suaranya masih bisa terdengar dekat air terjun yang memakai namanya. Dan bila angin ada di Selatan, suara Amroth datang naik dari laut; karena Nimrodel bermuara ke dalam Silverlode, yang oleh bangsa Peri disebut Celebrant, dan Celebrant masuk ke Anduin, Sungai Besar, dan Anduin mengalir ke Teluk Belfalas, dari mana bangsa Peri berlayar. Tapi baik Nimrodel maupun Amroth tak pernah kembali.
"Konon Nimrodel membangun rumah di dahan pohon yang tumbuh dekat air terjun; karena sudah kebiasaan para Peri dari Lorien untuk tinggal di dalam pohon, dan mungkin sampai sekarang pun masih demikian. Maka itu mereka disebut kaum Galadhrim, penduduk pohon. Jauh di dalam hutan mereka, pohon-pohonnya besar sekali. Penduduk hutan tidak menggali tanah seperti orang kerdil, juga tidak membuat bangunan-bangunan kuat dari batu sebelum Bayangan itu datang."
"Dan bahkan di masa kini, tinggal di pepohonan mungkin dianggap lebih aman daripada duduk di tanah," kata Gimli. Ia memandang ke seberang sungai, ke jalan yang membentang kembali ke Lembah Dimrill, lalu ke dahan-dahan gelap di atas.
"Kata-katamu mengandung saran yang bagus, Gimli," kata Aragorn. "Kita tak bisa membangun rumah, tapi malam ini kita akan meniru cara bangsa Galadhrim, mencari keselamatan di puncak pohon, kalau bisa. Kita sudah duduk terlalu lama di tepi jalan."
Mereka kini keluar dari jalan, dan masuk ke kegelapan hutan yang lebih dalam, ke arah barat sepanjang sisi sungai pegunungan, menjauh dari Silverlode. Tidak jauh dari air terjun Nimrodel, mereka menemukan segerombolan pohon, beberapa di antaranya melengkung di atas sungai. Batang mereka yang kelabu besar sekali, tapi ketinggian mereka tak bisa diduga.
"Aku akan memanjat," kata Legolas. "Aku kenal betul pepohonan, baik akar-akarnya maupun dahannya, meski pohon-pohon ini agak asing bagiku, kecuali sebagai sebuah nama dalam lagu. Mellyrn namanya, dan mereka mempunyai bunga kuning, tapi aku belum pernah memanjat salah satunya. Aku sekarang akan memeriksa bentuk dan arah tumbuhnya."
"Pohon apa pun mereka," kata Pippin, "bagus sekali kalau bisa menawarkan istirahat di malam hari, kecuali untuk burung. Aku tak bisa tidur di atas dahan!"
"Kalau begitu, galilah lubang di tanah," kata Legolas, "kalau itu lebih cocok untukmu. Tapi kau harus menggali cepat dan dalam, kalau ingin bersembunyi dari para Orc." ia melompat ringan dari tanah dan menangkap sebuah dahan yang tumbuh dari batang jauh tinggi di atas kepalanya. Tapi ketika ia bergelantungan di sana sejenak, sebuah suara tiba-tiba berbicara dari bayangan pohon di atasnya.
"Daro!" katanya dengan suara memerintah, dan Legolas melompat turun kembali dengan kaget dan takut. Ia berdiri bersandar pada batang pohon.
"Berdiri diam!" ia berbisik pada yang lain. "Jangan bergerak atau berbicara!"
Ada bunyi tertawa lembut di atas kepala mereka, lalu suara lain berbicara dalam bahasa Peri yang jelas. Frodo hanya mengerti sedikit dari apa yang diucapkan, karena bahasa bangsa Silvan di sebelah timur pegunungan, yang mereka gunakan di antara mereka sendiri, tidak sama dengan bahasa Peri di Barat. Legolas menengadah dan menjawab dalam bahasa yang sama.
"Siapa mereka, dan apa yang mereka katakan?" tanya Merry. "Mereka Peri," kata Sam. "Tak bisakah kau mendengar suara mereka?"
"Ya, mereka Peri," kata Legolas, "dan mereka bilang kau bernapas begitu keras, sampai mereka bisa menembakmu dalam gelap." Cepat-cepat Sam menutupi mulutnya dengan tangan. "Tapi mereka bilang kau tak perlu, takut. Mereka sudah tahu kehadiran kita sejak tadi. Mereka mendengar suaraku di seberang Nimrodel, dan tahu aku salah satu keluarga mereka dari Utara, karena itulah mereka tidak merintangi penyeberangan kita; setelah itu mereka mendengar nyanyianku. Sekarang mereka minta aku naik bersama Frodo; karena rupanya mereka sudah mendapat kabar tentang dia dan perjalanan kita. Yang lain diminta menunggu sebentar dan berjaga-jaga di kaki pohon, sampai mereka memutuskan apa yang akan dilakukan."
Dari balik bayangan, sebuah tangga-diturunkan; terbuat dari tambang kelabu keperakan dan bersinar dalam gelap, dan meski kelihatan ramping, ternyata cukup kuat untuk menahan berat banyak orang. Legolas memanjat ringan ke atas, dan Frodo menyusul perlahan; di belakangnya Sam ikut sambil mencoba tidak bernapas terlalu keras. Dahan-dahan pohon mallorn itu tumbuh hampir lurus keluar dari batangnya, lalu melenting ke atas; tapi di dekat puncak, batang utama terbelah menjadi mahkota berdahan banyak, dan di antaranya mereka menemukan sebuah panggung kayu, atau flet seperti mereka menyebutnya di masa itu: bangsa Peri menyebutnya talan. Panggung itu bisa dicapai melalui lubang bundar tempat tangga diturunkan.
Ketika akhirnya Frodo naik ke flet, ia melihat Legolas duduk bersama tiga Peri lain. Mereka berpakaian kelabu gelap, dan tidak tampak di antara batang-batang pohon, kecuali bila mereka tiba-tiba bergerak. Mereka bangkit berdiri, salah satunya membuka selubung sebuah lampu kecil yang mengeluarkan sinar tipis keperakan. Ia mengangkatnya, menatap wajah Frodo, dan Sam. Lalu ia menutup lampunya lagi, dan mengucapkan kata-kata sambutan dalam bahasa Peri. Frodo membalasnya dengan terputus-putus.
"Selamat datang!" kata Peri itu lagi dalam Bahasa Umum, berbicara perlahan. "Kami jarang menggunakan bahasa lain selain bahasa kami sendiri; karena sekarang kami tinggal di jantung hutan, dan enggan melakukan hubungan dengan bangsa lain. Bahkan keluarga kami sendiri di Utara sudah terpisah dari kami. Tapi masih ada di antara kami yang pergi ke luar untuk mencari berita dan mengawasi musuh, dan mereka bisa berbicara bahasa negeri-negeri lain. Aku salah satunya. Namaku Haldir. Saudara-saudaraku, Rumil dan Orophin, hanya sedikit bicara bahasamu.
"Tapi kami sudah mendengar selentingan tentang kedatanganmu, karena utusan-utusan Elrond mampir ke Lorien dalam perjalanan pulang mereka naik Tangga Dimrill. Kami sudah lama tidak mendengar tentang... hobbit, atau halfling, sudah bertahun-tahun, dan tidak tahu bahwa masih ada dari mereka yang tinggal di Dunia Tengah. Kau tidak tampak jahat! Dan karena kau datang bersama seorang Peri dari keluarga kami, kami mau bersikap ramah kepadamu, sesuai permintaan Elrond; meski bukan kebiasaan kami untuk memasukkan orang asing ke negeri kami. Tapi kau hams tinggal di sini malam ini. Berapa orang jumlah rombonganmu?"
"Delapan," kata Legolas. "Aku sendiri, empat hobbit, dan dua manusia, salah satunya Aragorn, seorang sahabat Peri dari bangsa Westernesse."
"Nama Aragorn, putra Arathorn, sudah dikenal di Lorien," kata Haldir, "dan dia disukai Lady. Kalau begitu, semua beres. Tapi kau baru menyebutkan tujuh."
"Yang kedelapan seorang Kurcaci," kata Legolas.
"Kurcaci!" kata Haldir. "Itu tidak bagus. Kami tidak berurusan dengan Kurcaci sejak Hari-Hari Kegelapan. Mereka tidak diizinkan masuk ke negeri kami. Aku tak bisa membiarkannya masuk."
"Tapi dia dari Gunung Sunyi, salah satu anak buah Win yang tepercaya, dan bersahabat dengan Elrond," kata Frodo. "Elrond sendiri memilihnya untuk menjadi salah satu anggota rombongan, dan dia sudah bersikap berani dan setia."
Para Peri berembuk bersama dengan suara perlahan, dan menanyai Legolas dalam bahasa mereka sendiri. "Baiklah," kata Haldir akhirnya. "Begini saja... meski kami tak suka, kalau Aragorn dan Legolas mau menjaganya, dan bertanggung jawab untuknya, dia boleh masuk; tapi dia harus berjalan dengan mata ditutup melalui Lothlorien.
"Sekarang kita jangan berdebat lebih lama lagi. Orang-orangmu jangan tetap di tanah. Kami sudah mengawasi sungai-sungai, sejak kami melihat sepasukan besar Orc berjalan ke utara, menuju Moria, sepanjang sisi pegunungan, beberapa hari yang lalu. Serigala-serigala melolong di perbatasan hutan. Kalau kau memang datang dari Moria, bahaya pasti tidak jauh di belakang. Besok pagi-pagi kalian harus melanjutkan perjalanan.
"Keempat hobbit harus naik ke sini dan tinggal bersama kami-kami tidak takut pada mereka! Ada talan lain di pohon sebelah. Di sanalah yang lainnya harus bermalam. Kau, Legolas, harus bertanggung jawab atas mereka pada kami. Panggillah kami, kalau ada yang tidak beres! Dan awasi orang kerdil itu!"
Legolas segera turun dari tangga untuk membawa pesan Haldir; tak lama kemudian, Merry dan Pippin memanjat naik ke flet tinggi itu. Mereka kehabisan napas dan kelihatan agak takut.
"Nah!" kata Merry sambil terengah-engah. "Kami sudah membawa ke atas selimutmu, juga selimut kami sendiri. Strider sudah menyembunyikan sisa bawaan kami di dalam timbunan daun."
"Sebenarnya kalian tidak membutuhkan beban kalian," kata Haldir. "Memang dingin di puncak pohon, pada musim dingin, meski angin malam ini ada di Selatan; tapi kami punya makanan dan minuman untuk kalian, yang akan menghilangkan dinginnya malam, dan kami punya kulit dan jubah lebih."
Para hobbit menerima makan malam kedua (yang jauh lebih enak) dengan senang hati. Lalu mereka membungkus diri dengan hangat, bukan hanya dengan mantel bulu kaum Peri, tapi juga dengan selimut mereka sendiri, dan mencoba tidur. Tapi, meski mereka letih sekali, hanya Sam yang bisa tertidur dengan mudah. Hobbit tidak menyukai ketinggian, dan tak pernah tidur di atas, meski mereka punya rumah bertingkat. Flet itu sama sekali tidak memenuhi harapan mereka sebagai suatu kamar tidur. Flet itu tidak berdinding, bahkan berpagar pun tidak; hanya pada satu sisi ada tirai anyaman ringan, yang bisa digeser dan ditempatkan di posisi berbeda, sesuai arah angin.
Pippin berbicara terus untuk beberapa lama. "Mudah-mudahan aku tidak menggelinding ke bawah, kalau aku tertidur di atas sini," katanya.
"Sekali aku tertidur," kata Sam, "aku akan tetap tidur, meski aku terguling atau tidak. Dan semakin sedikit berbicara, semakin cepat aku akan tertidur, kalau kau mengerti maksudku."
Frodo berbaring terjaga untuk beberapa saat, memandang bintang-bintang yang bersinar melalui atap pucat dedaunan yang bergetar. Sam sudah mendengkur di sampingnya, jauh sebelum ia sendiri memejamkan mata. Ia bisa melihat samar-samar sosok kelabu dua Peri yang duduk tanpa bergerak, dengan lengan melingkari lutut, berbicara berbisik. Yang satu lagi sedang turun untuk giliran jaga di salah satu dahan yang lebih rendah. Akhirnya, terlena oleh angin di dahan-dahan atas, dan gumaman manis air terjun Nimrodel di bawah, Frodo tertidur dengan nyanyian Legolas masih mengiang dalam benaknya.
Larut malam ia terbangun. Hobbit-hobbit yang lain masih tidur. Para Peri sudah pergi. Bulan sabit bersinar redup di antara dedaunan. Angin tak berembus. Agak di kejauhan, Frodo mendengar bunyi tawa parau dan langkah banyak kaki di tanah. Ada deringan logam. Bunyi-bunyi itu lambat laun menghilang, dan tampaknya pergi ke arah selatan, atau ke dalam hutan.
Sebuah kepala mendadak muncul di lubang lantai flet. Frodo bangkit duduk dengan cemas, dan melihat ternyata itu salah seorang Peri yang berkerudung kelabu. Ia memandang ke arah hobbit-hobbit.
"Ada apa?" kata Frodo.
"Yrch!" kata Peri itu dengan bisikan mendesis, dan meletakkan tangga tambang yang sudah digulung ke atas flet.
"Orc!" kata Frodo. "Apa yang mereka lakukan?" Tapi Peri itu sudah pergi.
Tak ada bunyi lagi. dedaunan pun diam, air terjun juga seolah meredam suaranya. Frodo duduk menggigil dalam balutan selimutnya. Ia bersyukur mereka tidak tertangkap di tanah; tapi ia merasa pepohonan juga hanya memberikan sedikit perlindungan, kecuali persembunyian. Konon penciuman Orc sangat tajam, seperti anjing pemburu, dan mereka juga bisa memanjat. Frodo menghunus Sting: pedang itu menyala berkilau seperti api biru, lalu perlahan meredup lagi dan kelihatan pudar. Meski sinar pedangnya memudar, perasaan bahwa ada bahaya di dekatnya tidak meninggalkan Frodo, tapi justru semakin kuat. Ia bangkit berdiri dan merangkak ke lubang, lalu mengintip ke bawah. Ia hampir yakin bisa mendengar gerakan diam-diam di kaki pohon, jauh di bawah.
Bukan Peri, karena gerakan mereka sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Lalu ia mendengar bunyi lamat-lamat, seperti mendengus, dan sesuatu tampaknya sedang menggaruk-garuk kulit batang pohon. Frodo menatap ke bawah, ke dalam kegelapan, sambil menahan napas.
Sesuatu itu sekarang memanjat perlahan, dan napasnya keluar seperti desis pelan melalui gigi yang terkatup. Lalu sambil naik, dekat ke batang, Frodo melihat dua mata pucat. Mata itu berhenti dan menatap ke atas tanpa berkedip. Mendadak mereka membalik, dan sebuah sosok gelap menyelinap melewati batang pohon, lalu lenyap.
Tak lama kemudian, Haldir memanjat cepat menaiki dahan-dahan. "Ada sesuatu di pohon ini, yang belum pernah kulihat," katanya. "Bukan Orc. Dia lari begitu aku menyentuh batang pohon. Kelihatannya dia hati-hati, dan punya keahlian menyangkut pohon, kalau tidak mungkin aku mengira dia salah satu dari kalian hobbit.
"Aku tidak berteriak, karena tak berani membuat suara gaduh: kita tak bisa mengambil risiko pertempuran. Pasukan kuat Orc lewat sini tadi. Mereka menyeberangi Nimrodel—terkutuklah kaki mereka yang kotor di dalam airnya yang jernih!—dan terus pergi lewat jalan lama di samping sungai. Tampaknya mereka sedang mengikuti jejak, dan mereka memeriksa sebentar-tempat kalian tadi berhenti. Kami bertiga tak bisa melawan seratus, maka kami berjalan ke sana dan berbicara dengan suara dibuat-buat, untuk mengalihkan mereka ke dalam hutan.
"Orophin sekarang buru-buru kembali ke rumah kami untuk memperingatkan rakyat kami. Tidak ada Orc yang bakal pernah kembali dari Lorien. Dan akan banyak Peri bersembunyi di perbatasan utara, sebelum malam berikutnya. Tapi kalian harus mengambil jalan selatan begitu hari terang.”
Sinar pagi merekah pucat dari Timur. Cahayanya yang semakin kuat tersaring melalui dedaunan kuning pohon mallorn. Bagi para hobbit, matahari itu seperti matahari pagi musim panas yang sejuk. Langit biru muda mengintip dari antara dahan-dahan yang bergerak. Memandang melalui bukaan di sisi selatan flet, Frodo melihat seluruh lembah Silverlode terhampar bagai lautan emas yang mengalun lembut oleh tiupan angin.
Masih pagi sekali, dan dingin, ketika Rombongan itu berangkat lagi, sekarang dipandu oleh Haldir dan saudaranya, Rumil. "Selamat tinggal, Nimrodel cantik!" seru Legolas. Frodo menoleh dan menangkap sekilas buih putih di antara batang-batang pohon kelabu. "Selamat tinggal," katanya. Tampaknya ia takkan pernah lagi mendengar air terjun yang begitu indah, senantiasa membaurkan nada-nadanya yang tak terhitung ke dalam musik yang selalu berubah-ubah tak terhingga.
Mereka kembali ke jalan yang masih menjulur sepanjang sisi barat Silverlode, dan hingga jarak tertentu, mereka menyusurinya ke selatan. Ada jejak kaki Orc di tanah. Tapi tak lama kemudian Haldir keluar dari jalan dan masuk ke pepohonan, berhenti di tebing sungai, di tempat teduh.
"Ada satu anak buahku di seberang sungai," katanya, "meski mungkin kalian tidak melihatnya." ia memanggil dengan siulan rendah seperti burung, dan dari gerombolan pohon muda keluarlah seorang Peri, berpakaian kelabu, tapi kerudungnya terbuka; rambutnya mengilap seperti emas di bawah sinar matahari pagi. Dengan terampil Haldir melemparkan segulungan tambang kelabu melintasi sungai, Peri itu menangkapnya dan mengikatnya ke sebatang pohon di tebing.
"Di sini Celebrant sudah menjadi sungai deras, seperti kalian lihat," kata Haldir, "dia mengalir deras dan dalam, dan sangat dingin. Kami tidak menginjaknya begitu jauh ke utara, kecuali terpaksa. Tapi di masa waspada ini kami tidak membuat jembatan. Begini cara kami menyeberang! Ikuti aku!" ia mengikat ujung tambangnya dengan erat pada sebatang pohon lain, lalu berlari ringan di atasnya, melintasi sungai dan kembali lagi, seolah menapaki jalan biasa.
"Aku bisa berjalan di atas tali itu," kata Legolas, "tapi yang lain tidak punya keterampilan ini. Apa mereka harus berenang?"
"Tidak!" kata Haldir. "Kami masih punya dua tambang lagi. Kami akan mengikatnya di atas yang satu, satu setinggi bahu, dan satu separuh tinggi bahu, dan dengan memegang itu, tamu-tamu asing ini bisa menyeberang dengan hati-hati."
Ketika jembatan ramping ini sudah dibuat, Rombongan itu menyeberanginya, beberapa dengan hati-hati dan lambat, yang lain lebih mudah. Dari antara para hobbit, ternyata Pippin yang paling bagus, karena langkahnya mantap, dan ia berjalan cepat, hanya berpegangan dengan satu tangan; tapi ia tetap memandang ke tebing di depan, dan tidak melihat ke bawah. Sam berjalan menyeret-nyeret kaki, sambil berpegangan erat, dan melihat ke dalam air yang berputar-putar di bawah, bak jurang di pegunungan.
Ia bernapas lega ketika sudah sampai dengan selamat di seberang. "Hidup dan belajar! seperti kata ayahku selalu. Meski yang dimaksudnya adalah berkebun, bukan bertengger seperti burung, juga bukan mencoba berjalan seperti labah-labah. Bahkan pamanku Andy tak pernah melakukan akrobat seperti ini!"
Ketika akhirnya seluruh Rombongan berkumpul di tebing timur Silverlode, para Peri membuka ikatan tambang mereka dan menggulung dua di antaranya. Rumil, yang tetap di tebing sana, menarik kembali tambang terakhir, menggantungkannya di bahunya, dan sambil melambaikan tangannya ia pergi, kembali ke Nimrodel untuk berjaga.
"Nah, teman-teman," kata Haldir, "kalian sudah masuk Naith di Lorien, atau Gore, menurut kalian, karena daratan ini seperti kepala tombak di antara lengan Silverlode dan Sungai Besar Anduin. Kami tidak mengizinkan orang-orang asing memata-matai rahasia Naith. Sedikit saja yang diperbolehkan menginjakkan kaki di sana.
"Seperti sudah disepakati, di sini aku akan menutup mata Gimli si Kurcaci. Yang lainnya boleh berjalan bebas untuk sementara, sampai kita tiba lebih dekat ke tempat tinggal kami, di Egladil, di Angle di antara air."
Ini sama sekali tidak disukai Gimli. "Kesepakatan itu dibuat tanpa persetujuanku," katanya. "Aku tidak mau berjalan dengan mata ditutup, seperti peminta-minta atau tahanan. Dan aku bukan mata-mata. Bangsaku belum pernah berurusan dengan anak buah Musuh. Kami juga tak pernah menyakiti bangsa Peri. Aku tidak lebih mungkin mengkhianati kalian daripada Legolas, atau siapa pun dari kawan-kawanku."
"Aku tidak meragukanmu," kata Haldir. "Tapi ini hukum kami. Aku bukan penguasa hukum, dan tak bisa mengesampingkannya. Aku sudah berbuat banyak dengan membiarkan kalian menyeberangi Celebrant."
Gimli keras kepala. Ia berdiri dengan kedua kaki terpentang, tangannya memegang pangkal kapaknya. "Aku akan berjalan bebas," katanya, "atau aku akan kembali dan mencari negeriku sendiri, di mana aku dikenal jujur, meski aku tewas sendirian di belantara."
"Kau tidak bisa kembali," kata Haldir keras. "Kau sudah berjalan sejauh ini, dan kau harus dibawa ke hadapan Lord dan Lady. Mereka akan menilaimu, menahanmu, atau memberimu izin, terserah mereka. Kau tak bisa menyeberangi sungai lagi, dan di belakangmu sekarang ada penjaga-penjaga rahasia yang tak bisa kaulewati. Kau akan dibunuh sebelum sempat melihat mereka."
Gimli menarik kapak dari ikat pinggangnya. Haldir dan kawannya meregangkan busur mereka. "Terkutuklah Kurcaci dan sifat kepala batu mereka!" kata Legolas.
"Sudah!" kata Aragorn. "Kalau aku masih memimpin Rombongan ini, kau harus melakukan apa yang kuminta. Sulit bagi orang kerdil ini untuk ditutup matanya sendirian. Kami semua akan berjalan dengan mata ditutup, juga Legolas. Itu jalan terbaik, meski akan membuat perjalanan lambat dan menemukan."
Gimli mendadak tertawa. "Kita akan terlihat seperti rombongan orang tolol! Apakah Haldir akan menuntun kita dengan tali, seperti beberapa orang buta dengan hanya seekor anjing? Tapi aku akan puas kalau Legolas saja yang bersama-sama denganku ditutup matanya."
"Aku Peri dan saudara di sini," kata Legolas, yang sekarang jadi marah juga.
"Sekarang mari kita berseru, 'Terkutuklah sifat keras kepala kaum Peri!"' kata Aragorn. "Biarlah seluruh anggota Rombongan mendapat perlakuan sama rata. Ayo, tutup mata kami, Haldir!"
"Aku akan menuntut ganti rugi penuh kalau aku tersandung atau jari kakiku lecet, kalau kau tidak menuntun kami dengan baik," kata Gimli ketika mereka mengikat penutup matanya.
"Kau tidak perlu menuntut," kata Haldir. "Aku akan menuntunmu dengan baik, dan jalanan di sini mulus dan lurus."
"Konyol sekali semua ini!" kata Legolas. "Kita semua bersatu melawan Musuh yang sama, tapi aku dipaksa berjalan dengan mata ditutup, sementara matahari bersinar cerah di hutan, di bawah dedaunan emas! "
"Memang bodoh," kata Haldir. "Tapi justru di sinilah tampak jelas kekuatan sang Penguasa Kegelapan, yang mencerai-beraikan mereka-mereka yang masih menentangnya. Namun sekarang ini begitu sedikit kepercayaan dan keyakinan yang bisa kami temukan di dunia di luar Lothlorien, kecuali mungkin di Rivendell, itu sebabnya kami tak berani menaruh kepercayaan yang sekiranya bisa membahayakan negeri kami. Kami sekarang hidup di sebuah pulau, di tengah banyak bahaya, dan tangan kami lebih sering memegang busur daripada harpa.
"Sungai-sungai sudah lama membela kami, tapi sekarang mereka bukan penjaga yang aman lagi; karena Bayangan itu sudah merangkak ke utara, mengelilingi kami. Beberapa berniat untuk pergi, tapi itu pun tampaknya sudah terlambat. Pegunungan di sebelah barat sudah menjadi jahat; di sebelah timur, daratannya sudah rusak dan penuh makhluk-makhluk Sauron; dan kabarnya kami sekarang tak bisa lewat dengan aman di selatan, melalui Rohan, dan muara-muara Sungai Besar diawasi Musuh. Meski kami bisa sampai ke pantai Lautan, kami takkan bisa menemukan perlindungan lagi di sana. Katanya di sana masih ada pelabuhan-pelabuhan Peri Bangsawan, tapi letaknya jauh di utara dan barat, di luar negeri hobbit. Tapi di mana tempat itu berada, meski Lord dan Lady mungkin tahu, aku sendiri tidak tahu."
"Kau setidaknya harus mengira-ngira, sejak melihat kami," kata Merry. "Ada pelabuhan-pelabuhan Peri di sebelah barat negeriku, Shire, tempat para hobbit tinggal."
"Betapa bahagianya bangsa hobbit, bisa tinggal dekat pantai!" kata Haldir. "Sudah lama sekali sejak bangsaku melihatnya, meski begitu kami masih mengingatnya dalam lagu-lagu kami. Ceritakan tentang pelabuhan-pelabuhan ini sementara kita berjalan."
"Aku tak bisa. Aku belum pernah melihatnya. Aku belum pernah keluar dari negeriku. Dan seandainya aku tahu dunia luar seperti apa, kurasa aku tidak bakal mau meninggalkan Shire."
"Tidak juga untuk melihat Lothlorien yang indah?" kata Haldir. "Dunia memang penuh bahaya, dan di dalamnya banyak tempat gelap; tapi masih banyak hal indah, dan meski di semua negeri sekarang cinta tercampur dengan duka, mungkin dia justru tumbuh semakin hebat.
"Beberapa di antara kami bernyanyi bahwa Bayangan itu akan mundur, dan kedamaian akan datang lagi. Namun begitu, aku tak percaya bahwa dunia di sekitar kita akan kembali seperti semula, atau sinar matahari akan seperti dulu lagi. Untuk bangsa Peri, mungkin yang terbaik adalah mengadakan gencatan senjata, agar mereka bisa lewat tanpa rintangan ke Lautan, dan meninggalkan Dunia Tengah untuk selamanya. Sayang sekali Lothlorien yang kucintai! Sungguh menyedihkan, hidup di negeri yang tak ada pohon mallorn tumbuh. Tapi entah ada pohon mallorn atau tidak di seberang Lautan, belum ada yang melaporkannya."
Sambil berbicara, Rombongan itu berbaris perlahan menelusuri jalan di hutan, dipimpin Haldir, sementara Peri satunya berjalan di belakang. Mereka merasa tanah di bawah kaki mereka mulus dan lembut, dan setelah beberapa saat, mereka berjalan lebih bebas, tanpa takut sakit atau jatuh. Karena penglihatannya dihambat, Frodo merasa pendengaran dan indra-indranya yang lain jadi lebih tajam. Ia bisa mencium aroma pohon-pohon dan rumput yang diinjaknya. Ia bisa mendengar banyak nada berbeda dalam desiran daun di atas kepala, sungai yang bergumam di sebelah kanannya, dan suara-suara kecil jernih burung-burung di angkasa. Ia merasa matahari menyinari wajah dan tangannya ketika mereka melewati padang terbuka.
Begitu ia menginjakkan kaki di tebing Silverlode, sebuah perasaan aneh, timbul dalam dirinya, dan perasaan itu semakin kuat ketika ia berjalan masuk ke Naith: ia serasa melangkahi jembatan waktu, masuk ke suatu sudut Zaman Peri, dan kini memasuki dunia yang sudah tidak ada. Di Rivendell ada kenangan tentang' hal-hal kuno; di Lorien hal-hal kuno masih hidup di dunia yang sadar. Kejahatan sudah terlihat dan terdengar di Rivendell, dan duka sudah dikenal; bangsa Peri takut dan tidak mempercayai dunia luar: serigala melolong di perbatasan hutan: tapi di daratan Lorien tak ada bayangan.
Sepanjang hari itu mereka berjalan terus, sampai merasakan sore sejuk datang, dan mendengar angin malam berbisik di antara dedaunan. Lalu mereka beristirahat dan tidur tanpa rasa takut di tanah; karena sang pemandu tidak mengizinkan mereka membuka tutup mata, dan mereka tak bisa memanjat. Di pagi hari mereka berangkat lagi, berjalan tanpa terburu-buru. Tengah hari mereka berhenti, dan Frodo menyadari mereka sudah keluar dari bawah Matahari. Mendadak ia bisa mendengar banyak suara di sekitar mereka.
Sepasukan Peri sudah berjalan diam-diam, mendekati mereka: pasukan itu sedang bergegas ke perbatasan utara, untuk berjaga terhadap serangan dari Mona; dan mereka membawa berita, beberapa di antaranya dilaporkan Haldir. Rombongan Orc perampok sudah dihadang, dan hampir semuanya dihancurkan; sisanya lari ke barat, ke arah pegunungan, dan sedang dikejar. Suatu makhluk aneh juga terlihat, berlari dengan punggung bungkuk dan tangan dekat ke tanah, seperti hewan tapi tidak berbentuk hewan. Ia' lolos, dan mereka tidak menembaknya, karena tidak tahu ia baik atau jahat. Makhluk itu menghilang lewat Silverlode, ke arah selatan.
"Juga," kata Haldir, "mereka membawa pesan dari Lord dan Lady bangsa Galadhrim. Kalian semua boleh berjalan bebas, termasuk Gimli si Kurcaci. Kelihatannya Lady tahu siapa dan apa setiap anggota Rombongan-mu. Mungkin berita-berita baru sudah datang dari Rivendell."
Ia melepaskan tutup mata Gimli dulu. "Maafkan aku!" katanya sambil membungkuk rendah. "Lihatlah kami sekarang dengan mata yang ramah! Lihatlah dan berbahagialah, karena kau orang kerdil pertama yang menyaksikan pohon-pohon Naith di Lorien sejak masa Durin!"
Ketika tutup matanya dibuka, Frodo mengangkat wajah dan terperangah. Mereka berdiri di sebuah tempat terbuka. Di sebelah kiri berdiri gundukan besar, tertutup rumput sehijau Musim-Semi di Zaman Peri. Di atasnya tumbuh dua lingkaran pepohonan, seperti mahkota ganda: lingkaran luar mempunyai kulit batang seputih salju, tidak berdaun namun indah dalam ketelanjangan mereka; lingkaran dalam terdiri atas pohon-pohon mallorn yang sangat tinggi, masih dihiasi warna emas pucat. Tinggi di antara dahan-dahan sebatang pohon yang menjulang tinggi di tengah, sebuah flet putih berkilauan. Di kaki pohon, dan di sekitar seluruh sisi bukit hijau itu, rumput-rumputnya bertatahkan bunga-bunga kecil keemasan berbentuk bintang. Di antaranya, mengangguk-angguk pada batang-batang ramping, ada bunga-bunga lain, putih dan hijau muda: berkilauan seperti kabut, di tengah warna rumput yang hijau segar. Di atas semua itu membentang langit biru, matahari siang menyinari bukit dan menjatuhkan bayang-bayang hijau panjang di bawah pepohonan.
"Lihatlah! Kau sudah sampai di Cerin Amroth," kata Haldir. "Karena di sinilah terletak jantung wilayah kuno ini, seperti di zaman dahulu kala, dan di sinilah bukit Amroth, di mana pada masa yang lebih bahagia berdiri rumalrnya. Di sini selalu berkembang bunga-bunga musim dingin di antara rumput yang tak pernah pudar: elanor kuning dan niphredil pucat. Di sini kita akan tinggal sebentar, dan masuk ke kota Galadhrim sore nanti."
Yang lainnya merebahkan din ke atas rumput wangi, tapi Frodo masih berdiri keheranan. Ia serasa melangkah masuk melalui sebuah jendela tinggi yang membuka ke dunia yang sudah hilang. Seberkas cahaya menyinarinya, yang dalam bahasanya tak bisa diungkapkan. Ia melihat semuanya berwujud indah, dengan bentuk-bentuk yang begitu jelas, seolah pertama kali dirancang dan digambar saat matanya dibuka, namun juga sarat oleh usia, seakan sudah ada sejak dahulu kala. Ia tidak melihat warna, kecuali yang dikenalnya—emas, putih, biru, dan hijau—namun warna-warna itu segar dan tajam, seolah baru pertama kali itu ia melihatnya, dan memberi mereka nama-nama baru dan indah. Di musim dingin di sini, tak ada yang bisa berduka mendambakan musim semi atau musim panas. Tak ada penyakit, noda, atau cacat pada semua yang tumbuh di bumi. Negeri Lorien bersih tak bernoda.
Ia membalikkan badan dan melihat Sam sekarang berdiri di sampingnya, melihat sekeliling dengan ekspresi heran, dan menggosok-gosok mata seolah tak yakin ia sedang sadar. "Sekarang ini masih siang dan matahari terang benderang," katanya. "Kupikir Peri hanya ada saat bulan dan bintang bersinar: tapi yang kulihat ini lebih bersifat Peri daripada apa pun yang pernah kudengar. Aku merasa seolah berada di dalam nyanyian, kalau kau paham maksudku."
Haldir memandang mereka, dan kelihatannya ia benar-benar memahami pikiran maupun perkataan Sam. Ia tersenyum. "Kau merasakan kekuatan Lady Galadhrim," katanya. "Maukah kalian naik bersamaku ke Cerin Amroth?"
Mereka mengikutinya ketika ia melangkah ringan mendaki lereng berumput. Meski ia berjalan dan bernapas, dan di sekitarnya daun-daun dan bunga-bunga hidup digetarkan oleh angin sejuk yang juga mengipasi wajahnya, Frodo merasa berada di suatu negeri tanpa waktu, yang tidak memudar, berubah, atau terlupakan. Setelah meninggalkan negeri itu dan kembali ke dunia luar pun, Frodo si pengembara dari Shire masih tetap terkenang saat-saat ia berjalan di sana, di rumput di antara elanor dan niphredil, di Lothlorien yang indah.
Mereka masuk ke lingkaran pohon-pohon putih. Pada saat itu Angin Selatan berembus ke atas Cerin Amroth, dan mengeluh di antara dahan-dahannya. Frodo berdiri diam, dan mendengar samudra besar memukul-mukul pantai yang sudah lama hilang tersapu, serta burung-burung laut yang berteriak, yang rasnya sudah lama hilang dari muka bumi.
Haldir sudah maju dan sekarang memanjat ke flet yang tinggi. Saat bersiap-siap menyusulnya, Frodo menyentuhkan tangan ke pohon di samping tangga, dan ia tersentak. Belum pernah ia merasakan dengan begitu tajam, rasa dan permukaan kulit pohon serta kehidupan yang tersimpan di dalamnya. Ia merasa bahagia menyentuh kayu itu, bukan sebagai penjaga hutan maupun sebagai tukang kayu; melainkan kebahagiaan karena pohon hidup itu sendiri.
Ketika akhirnya ia naik ke panggung tinggi itu, Haldir memegang tangannya dan membalikkan badan Frodo ke arah Selatan. "Lihat ke sini dulu!" katanya.
Frodo memandang. Agak jauh di sana, ia melihat bukit yang entah penuh pepohonan tinggi besar, atau kota dengan menara-menara hijau. Dari sanalah rupanya asal kekuatan dan cahaya yang mengendalikan seluruh negeri itu. Frodo mendadak ingin sekali terbang seperti burung untuk beristirahat di kota itu. Lalu ia memandang ke arah timur, dan melihat seluruh negeri Lorien terhampar sampai ke Anduin,
Sungai Besar yang berkilau pucat. Ia mengangkat matanya ke seberang sungai, dan semua cahaya padam, dan ia kembali lagi ke dunia yang dikenalnya. Di luar sungai, daratan tampak datar dan kosong, tak berbentuk dan kabur, dan naik lagi di kejauhan, seperti dinding gelap dan seram. Matahari yang bersinar di atas Lothlorien tak berdaya untuk menyinari kegelapan di ketinggian yang jauh itu.
"Di sana terhampar luas Mirkwood Selatan," kata Haldir. "Tertutup hutan cemara gelap, di mana pohon-pohon saling bersaing dan dahan-dahan mereka membusuk dan layu. Di tengahnya, di atas dataran tinggi berbatu, berdiri Dol Guldur, di mana Musuh tersembunyi itu dulu tinggal. Kami khawatir sekarang dia sudah didiami lagi, dan dengan kekuatan berlipat ganda tujuh kali. Awan hitam sering menggantung di atasnya belakangan ini. Di tempat tinggi ini kau bisa melihat kedua kekuatan yang saling berlawanan; dan mereka tetap bersaing dalam pikiran, tapi meski cahaya ini melihat jantung kegelapan, rahasianya sendiri belum terungkap. Belum." Haldir membalikkan badannya dan cepat-cepat turun. Mereka mengikutinya.
Di kaki bukit, Frodo menemukan Aragorn berdiri diam dan tenang, seperti sebatang pohon; di tangannya ada bunga elanor kecil keemasan, dan matanya bersinar-sinar. Ia terbenam dalam ingatan indah: dan ketika Frodo memandangnya, ia tahu Aragorn tengah membayangkan keadaan di tempat ini, lama berselang. Sebab perjalanan tahun yang muram kini terhapus dari wajah Aragorn; dan ia seolah berpakaian putih, seorang pangeran muda yang jangkung dan tampan; dan ia berbicara dengan bahasa Peri pada seseorang yang tak bisa dilihat Frodo. Arwen vanimelda, namarie! katanya, lalu ia menghela napas. Setelah terjaga dari lamunannya, ia menatap Frodo dan tersenyum.
"Di sinilah jantung kerajaan Peri di bumi," katanya, "dan di sinilah hatiku berada; kecuali ada cahaya di luar jalan-jalan gelap yang masih harus kita tapaki, kau dan aku. Ikutlah aku!" Dan sambil memegang tangan Frodo, ia meninggalkan bukit Cerin Amroth. Ia tak pernah kembali ke sana dalam keadaan hidup.
Buku 2 Bab 07

CERMIN GALADRIEL
Matahari terbenam di balik pegunungan, dan bayangan-bayangan di hutan semakin gelap, ketika mereka berjalan lagi. Sekarang mereka masuk ke gerombolan pohon, di mana senja sudah mulai terasa. Malam menghampiri di bawah pepohonan, sementara mereka berjalan, dan para Peri membuka selubung lampu mereka.
Tiba-tiba mereka sampai di sebuah tempat terbuka lagi, di bawah langit malam pucat bertaburkan beberapa bintang yang muncul awal. Di depan mereka ada tempat luas tanpa pohon, berbentuk lingkaran besar dan membelok ke luar di kedua sisinya. Di luarnya ada jurang dalam yang hilang dalam kegelapan, tapi rumput di tebingnya tampak hijau, seolah masih bersinar mengenang matahari yang sudah pergi. Di sisi seberang berdiri menjulang sebuah dinding hijau, mengurung bukit hijau yang dipenuhi pohon mallorn yang lebih tinggi daripada yang telah mereka lihat di negeri itu. Tingginya tak bisa ditebak, tapi dalam cahaya senja itu, mereka tampak seperti menara-menara yang hidup. Di dalam dahan-dahannya yang bercabang-cabang, dan di tengah dedaunannya yang selalu bergerak, menyala lampu-lampu yang tak terhitung jumlahnya—hijau, emas, dan perak. Haldir berbicara pada mereka.
"Selamat datang ke Caras Galadhon!" katanya. "Inilah kota tempat tinggal Lord Celeborn dan Lady Galadriel dari Lorien. Tapi kita tak bisa masuk dari sini, karena gerbang-gerbangnya tidak menghadap ke utara. Kita harus berjalan memutar ke selatan, dan jalan itu tidak pendek, karena kota ini besar."
Ada jalan berlapis bate putih terbentang di tebing luar jurang. Mereka menyusuri jalan ini, ke arah barat, sementara kota itu mendaki terus seperti awan hijau di sebelah kiri mereka; ketika malam semakin larut, lebih banyak cahaya muncul, hingga seluruh bukit seperti menyala penuh bintang-bintang. Akhirnya mereka sampai ke sebuah jembatan putih, dan setelah menyeberanginya, mereka tiba di gerbang-gerbang kota. Gerbang-gerbang itu menghadap ke barat daya, terletak di antara ujung-ujung dinding yang mengelilinginya, yang di sini saling menutupi. Pintu-pintunya tinggi dan kuat, diterangi banyak lampu gantung.
Haldir mengetuk dan berbicara, dan gerbang itu membuka tanpa suara; tapi Frodo tak bisa melihat penjaganya. Mereka masuk ke dalam, dan gerbang itu tertutup lagi di belakang mereka. Mereka berada di sebuah jalan di antara ujung-ujung dinding; dengan cepat mereka melewatinya, dan masuk ke Kota Pohon. Tak ada orang tampak, juga tidak terdengar bunyi langkah kaki di jalan; tapi ada banyak suara di sekitar mereka, dan di udara di atas. Jauh di atas bukit, mereka bisa mendengar nyanyian mengalun dari atas, seperti hujan lembut di atas dedaunan.
Mereka melewati banyak jalan dan mendaki banyak tangga, sampai akhirnya tiba di tempat tinggi. Di depan mereka, di tengah halaman luas, sebuah air mancur berkilauan. Air mancur itu diterangi lampu-lampu perak yang menggantung pada dahan-dahan pepohonan, airnya jatuh ke dalam mangkuk perak, dan dari situ mengalir menjadi aliran putih. Di sisi selatan halaman berdiri pohon paling besar; batangnya yang besar dan mulus bersinar seperti sutra kelabu, dan ia menjulang begitu tinggi, hingga dahan-dahannya yang pertama, jauh di atas, membuka tangan-tangan besar mereka di bawah awan daun yang gelap. Di sebelahnya berdiri sebuah tangga lebar putih, dan di kakinya duduk tiga Peri. Mereka melompat berdiri ketika para pengembara itu mendekat. Frodo melihat bahwa mereka tinggi sekali dan berpakaian logam kelabu, dari pundak mereka menggantung jubah putih panjang.
"Di sini tinggal Celeborn dan Galadriel," kata Haldir. "Mereka mengharapkan kalian naik dan berbicara dengan mereka."
Salah satu penjaga Peri meniupkan nada nyaring pada terompet kecilnya, dan dijawab tiga kali dari jauh di atas. "Aku akan menghadap lebih dulu," kata Haldir. "Biar Frodo berikutnya, dan Legolas bersamanya. Yang lain boleh menyusul sekehendak mereka. Panjatannya panjang sekali untuk mereka yang tidak terbiasa pada tangga semacam ini, tapi kalian boleh istirahat selama naik."
Ketika Frodo memanjat perlahan, banyak sekali flet yang dilewatinya: beberapa di satu sisi, beberapa di sisi lain, dan beberapa mengurung batang pohon, sehingga tangga itu melewati tengahnya. Di suatu ketinggian, jauh di atas tanah, ia sampai ke sebuah talan yang luas, seperti geladak kapal besar. Di atasnya berdiri sebuah rumah, begitu besar, sampai hampir bisa dipakai sebagai aula untuk Manusia di bumi. Ia masuk di belakang Haldir, dan menyadari ia berada di sebuah ruang berbentuk lonjong; di tengah ruangan tumbuh sebatang pohon mallorn besar, namun batangnya semakin ke atas semakin mengecil, sampai ke mahkotanya, tapi masih membentuk tiang dengan lingkaran sangat besar.
Ruangan itu berisi cahaya lembut; dinding-dindingnya hijau dan perak, dan atapnya dari emas. Banyak Peri duduk di sana. Di atas dua kursi, di bawah batang pohon dan beratap dahan hidup, duduk berdampingan Celeborn dan Galadriel. Mereka berdiri untuk menyambut tamu mereka, sesuai adat-istiadat kaum Peri, bahkan mereka yang termasuk raja-raja hebat. Mereka sangat jangkung, dan sang Lady juga tak kalah jangkung daripada sang Lord; mereka tampak khidmat dan indah. Pakaian mereka serbaputih; rambut Lady Galadriel berwarna emas pekat, dan rambut Lord Celeborn keperakan dan panjang, serta bersinar; tapi tak ada tanda-tanda ketuaan pada diri mereka, kecuali dalam mata mereka; karena mata mereka tajam bagai lembing di bawah sinar bintang, namun sangat dalam, seperti sumur ingatan yang dalam.
Haldir membimbing Frodo ke hadapan mereka, dan Lord Celeborn menyambutnya dengan bahasanya sendiri. Lady Galadriel tidak mengatakan apa-apa, tapi menatap wajahnya lama sekali.
"Duduklah di sampingku, Frodo dari Shire!" kata Celeborn. "Kalau semua sudah datang, kita akan bercakap-cakap."
Setiap anggota rombongan disambut dengan sopan, nama masing-masing disebutkan ketika mereka masuk. "Selamat datang, Aragorn putra Arathorn!" katanya. "Sudah delapan dan tiga puluh tahun sejak kau datang ke negeri ini; dan tahun-tahun itu membebanimu dengan berat. Tapi akhirnya sudah dekat, entah baik ataupun buruk. Simpanlah dulu bebanmu sejenak di sini!"
"Selamat datang, putra Thranduil! Terlalu jarang keluargaku dari Utara berkunjung kemari."
"Selamat datang, Gimli putra Gloin! Memang sudah lama kami tak melihat salah satu dari bangsa Durin di Caras Galadhon. Tapi hari ini kami membatalkan hukum kami yang sudah lama. Mudah-mudahan menjadi pertanda bahwa meski dunia sekarang lebih gelap; tapi masa yang lebih baik sudah mendekat, dan persahabatan di antara bangsa kita akan diperbaharui." Gimli membungkuk dalam sekali.
Ketika semua tamu sudah duduk di depan kursinya, Lord Celeborn menatap mereka lagi. "Di sini ada delapan," katanya. "Sembilan yang berangkat: begitulah menurut pesan yang disampaikan. Tapi mungkin ada perubahan saran yang belum kami dengar. Elrond jauh sekali, dan kegelapan membubung di antara kami, dan sepanjang tahun ini bayang-bayang yang muncul semakin panjang."
"Tidak, tidak ada perubahan rencana," kata Lady Galadriel, berbicara untuk pertama kali. Suaranya jernih dan berirama, tapi lebih dalam daripada biasanya suara wanita. "Gandalf si Kelabu berangkat bersama Rombongan, tapi dia tidak berhasil melewati perbatasan negeri ini. Sekarang ceritakan pada kami, di mana dia; karena aku sangat ingin berbicara lagi dengannya. Tapi aku tak bisa melihatnya dari jauh, kecuali dia masuk ke dalam lingkungan Lothlorien: kabut kelabu menyelimutinya, dan langkah kaki serta pikirannya tersembunyi bagiku."
"Sayang sekali!" kata Aragorn. "Gandalf si Kelabu jatuh ke dalam gelap. Dia tetap di Moria, dan tidak berhasil lolos."
Mendengar itu, semua Peri di aula berteriak keras, penuh kesedihan dan kekagetan. "Ini berita buruk," kata Celeborn, "berita paling buruk yang pernah dibicarakan di sini, selama tahun-tahun panjang yang penuh kesedihan." ia berbicara pada Haldir. "Mengapa tentang ini belum ada yang diceritakan padaku?" tanyanya dalam bahasa Peri.
"Kami belum berbicara dengan Haldir tentang perbuatan atau tujuan kami," kata Legolas. "Pada mulanya kami letih, dan bahaya terlalu dekat di belakang; setelah itu kami hampir melupakan kesedihan kami sebentar, saat kami berjalan dengan bahagia di jalan-jalan indah Lorien."
"Namun kesedihan kami besar sekali, dan kehilangan kami tak bisa dipulihkan," kata Frodo. "Gandalf adalah pemandu kami, dan dia menuntun kami melalui Moria; ketika pelarian kami tampak tak ada harapan lagi, dia menyelamatkan kami, dan jatuh."
"Ceritakan sekarang pada kami seluruh kisahnya!" kata Celeborn.
Maka Aragorn menceritakan semua yang terjadi di jalan di Caradhras, dan di hari-hari berikutnya; ia juga berbicara tentang Balm dan bukunya, pertempuran di Ruang Mazarbul, api, jembatan sempit, dan kedatangan makhluk pembawa Teror. "Tampaknya makhluk jahat dari Dunia Lama, yang belum pernah kulihat," kata Aragorn. "Bentuknya seperti bayangan, sekaligus nyala api, kuat dan mengerikan."
"Itu Balrog dari Morgoth," kata Legolas, "yang paling mematikan dari antara semua kutukan Peri, kecuali bagi yang Satu itu, yang berada di Menara Kegelapan."
"Memang di jembatan aku melihat sesuatu yang menghantui mimpi kita yang paling gelap. Aku melihat Kutukan Durin," kata Gimli dengan suara rendah, kengerian terpancar dari matanya.
"Aduh!" kata Celeborn. "Sudah lama kami khawatir ada kejahatan yang tertidur di bawah Caradhras. Tapi seandainya aku tahu bahwa kaum Kurcaci sudah membangunkan lagi kejahatan di Moria, aku akan melarang kalian melewati perbatasan utara, kau dan semua yang pergi bersamamu. Dan bila mungkin, akan ada yang bilang bahwa Gandalf akhirnya jatuh dari kebijakan ke kebodohan, pergi sia-sia masuk ke dalam jaring Moria."
"Gegabah sekali kalau ada yang berkata begitu," kata Galadriel muram. "Karena perbuatan Gandalf sepanjang hidupnya tak pernah sia-sia. Mereka yang mengikutinya tidak tahu pikirannya, dan tak bisa melaporkan keseluruhan rencananya. Tapi apa pun yang dilakukan sang pemandu, pengikut-pengikutnya tidak bersalah. Jangan menyesal telah menyambut Kurcaci ini. Seandainya bangsa kami dikucilkan jauh dan lama dari Lothlorien, siapa di antara bangsa Galadhrim—termasuk Celeborn yang Bijak sekalipun—yang bisa menahan diri untuk lewat di dekatnya tanpa keinginan melihat rumah mereka yang lama, meski rumah itu sudah menjadi tempat tinggal para naga?
"Gelap sekali air Kheled-zaram, sangat dingin mata air Kibil-nala, dan sangat indahlah aula-aula bertiang banyak di Khazad-dum pada Zaman Peri, sebelum kejatuhan raja-raja besar di bawah bebatuan." ia menatap Gimli yang duduk dengan cemberut dan sedih. Dan Galadriel tersenyum. Men-dengar nama-nama tersebut diucapkan dalam bahasanya sendiri yang kuno, Gimli menengadah dan bertemu pandang dengan Galadriel; ia serasa melihat ke dalam hati musuh, namun yang dijumpainya adalah kasih sayang dan pengertian. Wajah Gimli diliputi keheranan, lalu ia membalas senyuman itu.
Ia bangkit berdiri dengan canggung dan membungkuk secara adat Kurcaci, sambil berkata, "Tetapi negeri Lorien yang hidup jauh lebih indah, dan kecantikan Lady Galadriel melebihi kecantikan semua permata yang ada di bawah tanah!"
Hening sejenak. Akhirnya Celeborn berbicara lagi. "Aku tidak tahu bahwa keadaanmu begitu mengerikan," katanya. "Semoga Gimli melupakan kata-kataku yang keras: aku mengungkapkan kesusahan hatiku. Aku akan berusaha membantu kalian sebisaku, masing-masing sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, tapi terutama untuk si kecil yang membawa beban itu."
"Tugas kalian sudah kami ketahui," kata Galadriel, sambil menatap Frodo. "Tapi kita tak akan membicarakannya di sini dengan lebih terbuka. Mungkin kedatangan kalian ke negeri ini untuk mencari pertolongan tidaklah sia-sia. Tampaknya ini memang direncanakan oleh Gandalf. Karena Lord Galadhrim dianggap yang paling bijak di antara bangsa Peri di Dunia Tengah, dan pemberi hadiah di luar kemampuan raja-raja. Dia sudah tinggal di Barat sejak masa fajar, dan aku tinggal bersamanya sudah tak terhitung lamanya; karena sebelum kejatuhan Nargothrond atau Gondolin aku telah melewati pegunungan, dan selama berabad-abad kami bersama-sama melawan kekalahan yang panjang.
"Akulah yang pertama kali mengumpulkan Dewan Penasihat Putih. Kalau rencanaku tidak gagal, dewan itu akan dipimpin oleh Gandalf si Kelabu, dan mungkin situasinya akan berbeda. Tapi sekarang pun masih ada harapan. Aku tidak akan memberikan nasihat, menyuruh lakukan ini, lakukan itu. Karena dengan tidak berbuat atau merencanakan, juga dengan tidak memilih antara jalan ini atau itu, aku bisa berguna; cukuplah dengan tahu apa yang sudah terjadi dan sedang terjadi, dan sebagian tentang apa yang bakal terjadi. Tapi kukatakan ini pada kalian: Pencarian kalian ada di ujung pisau. Melenceng sedikit, kalian akan jatuh, dan menyebabkan kehancuran semuanya. Namun masih ada harapan bila seluruh Rombongan bersungguh-sungguh."
Dan dengan kata itu ia menahan mereka dengan matanya, dalam keheningan ia memandang mereka satu per satu. Hanya Legolas dan Aragorn yang bisa menahan tatapannya untuk waktu lama. Sam cepat memerah wajahnya dan menundukkan kepala.
Akhirnya Lady Galadriel melepaskan mereka dari pandangan matanya, dan ia tersenyum. "Janganlah kalian bersusah hati," katanya. "Malam ini kalian akan tidur dalam kedamaian." Lalu mereka mengeluh dan tiba-tiba merasa letih, seperti sudah ditanyai lama dan dalam, meski tak ada kata-kata yang diucapkan secara terbuka.
"Pergilah!" kata Celeborn. "Kalian letih karena sedih dan kerja keras. Meski Pencarian kalian tidak berhubungan erat dengan kami, kalian hams mendapat perlindungan di Kota ini, sampai kalian sembuh dan segar. Sekarang kalian akan beristirahat, dan kita tidak akan membicarakan perjalanan kalian selaniutnya, untuk sementara."
Malam itu Rombongan tidur di tanah, dan para hobbit sangat senang. Para Peri membentangkan sebuah paviliun untuk mereka di antara pepohonan dekat air mancur, dan di dalamnya diletakkan ranjang-ranjang empuk; setelah mengucapkan kata-kata damai dengan suara-suara Peri yang indah, mereka meninggalkan Rombongan. Untuk beberapa saat para pengembara itu membicarakan malam sebelumnya di puncak pohon, dan tentang perjalanan mereka hari itu, juga tentang Lord Celeborn dan Lady Galadriel; karena mereka tak sampai hati mengingat lebih jauh ke belakang.
"Kenapa wajahmu memerah, Sam?" kata Pippin. "Kau cepat sekali menunduk. Siapa pun akan mengira kau merasa bersalah. Kuharap kau tidak punya rencana jahat selain, barangkali, rencana untuk mencuri salah satu selimutku."
"Aku tidak pernah terpikir untuk mencuri selimutmu," jawab Sam, tidak bergairah untuk berkelakar. "Kalau kau mau tahu, aku merasa seperti tidak memakai busana, dan aku tak suka itu. Seolah-olah Lady itu memandang ke dalam diriku, dan bertanya apa yang akan kulakukan kalau dia memberiku kesempatan terbang pulang ke Shire, ke sebuah lubang nyaman dengan... kebunku sendiri."
"Aneh," kata Merry. "Hampir sama dengan apa yang kurasakan juga; hanya... hanya... yah, kurasa aku tidak mau bilang apa-apa lagi," ia mengakhiri kata-katanya dengan tertegun.
Semuanya, rupanya, mengalami hal yang sama: masing-masing merasa dihadapkan pada pilihan antara bayangan penuh ketakutan yang terbentang di depan, dan sesuatu yang sangat didambakan. Sesuatu itu terpeta jelas sekali dalam pikiran, dan untuk mendapatkannya mudah saja: mereka tinggal keluar dari jalan, dan membiarkan orang lain yang melakukan Pencarian serta perang melawan Sauron.
"Dan kelihatannya bagiku," kata Gimli, "pilihanku akan tetap rahasia, dan hanya aku sendiri yang tahu."
"Bagiku rasanya sangat aneh," kata Boromir. "Mungkin itu hanya ujian, dan dia membaca pikiran kita demi tujuannya sendiri yang baik; tapi aku hampir-hampir menganggap dia sedang menggoda kita, menawarkan sesuatu yang seolah-olah ada dalam kekuasaannya, untuk memberikannya pada kita. Tapi aku tak mau mendengarkannya. Manusia Minas Tirith selalu memegang teguh perkataan mereka." Namun Boromir tidak mengatakan, apa yang ia kira ditawarkan Galadriel kepadanya.
Frodo juga tak mau bicara, meski Boromir mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan. "Dia sangat lama memandangmu, Pembawa Cincin," katanya.
"Ya," kata Frodo, "tapi apa pun yang timbul dalam pikiranku akan kusimpan dalam hati."
"Terserah!" kata Boromir. "Aku tidak begitu yakin akan wanita Peri itu dan maksud-maksudnya."
"Jangan bicara buruk tentang Lady Galadriel!" kata Aragorn keras. "Kau tidak tahu apa yang kaukatakan. Di dalam dirinya dan di negeri ini tidak ada kejahatan, kecuali dibawa ke sini oleh manusia. Maka orang itu sendiri perlu waspada! Tapi malam ini, untuk pertama kali sejak meninggalkan Rivendell, aku akan tidur tanpa rasa takut. Semoga tidurku lelap, dan untuk sementara kesedihanku terlupakan! Aku merasa letih jiwa-raga." ia membaringkan diri di ranjang, dan segera tertidur lama sekali.
Yang lain melakukan hal yang sama, dan tak ada suara atau mimpi mengganggu tidur mereka. Ketika bangun, mereka menemukan cahaya pagi sudah menerangi halaman di depan paviliun, air mancur memancar dan memercik berkilauan disinari matahari.
Mereka tinggal beberapa hari di Lothlorien, sejauh mereka bisa memperhatikan atau ingat. Selama mereka tinggal di sana, matahari bersinar terang, hujan lembut kadang-kadang turun, dan berlalu dengan meninggalkan hawa bersih dan segar. Udara sejuk dan lembut, seolah sedang awal musim semi, walau mereka merasakan keheningan musim dingin yang dalam dan khusyuk di sekitar mereka. Tampaknya kegiatan mereka hanyalah makan, minum, istirahat, dan berjalan-jalan di antara pepohonan; namun rasanya itu sudah cukup.
Mereka belum bertemu Lord Celeborn dan Lady Galadriel lagi, dan mereka jarang berbicara dengan bangsa Peri, karena hanya sedikit dari mereka yang kenal atau mau menggunakan bahasa Westron. Haldir sudah pamit pada mereka dan kembali ke pagar-pagar Utara, di mana kini dilakukan penjagaan ketat, sejak berita tentang Moria yang dibawa Rombongan. Legolas sering berada di antara kaum Galadhrim, dan setelah malam pertama ia tidak tidur bersama anggota rombongan yang lain, meski ia kembali untuk makan dan minum bersama mereka. Sering kali ia membawa Gimli bersamanya ketika berkeliaran di negeri itu, dan yang lain heran dengan perubahan ini.
Sekarang, saat anggota-anggota rombongan duduk atau berjalan bersama, mereka suka membicarakan Gandalf. Segala sesuatu yang telah dikenal dan dilihat masing-masing orang tentang Gandalf kini teringat jelas. Saat mereka mulai sembuh dari kepenatan dan kesakitan fisik, kesedihan atas kehilangan mereka justru semakin tajam. Sering mereka mendengar suara-suara Peri bernyanyi di dekat mereka, dan mereka tahu para Peri itu membuat lagu-lagu yang menangisi kejatuhan Gandalf, karena mereka menangkap namanya di antara kata-kata manis yang mereka kenal.
Mithrandir, Mithrandir para Peri bernyanyi, Oh, Pengembara Kelabu! Sebab dengan nama itulah mereka suka memanggilnya. Namun bila Legolas sedang bersama Rombongan, ia tak mau menerjemahkan lagu-lagu itu untuk mereka, dengan alasan bahwa ia tidak ahli dalam hal itu, dan bahwa baginya duka itu masih terlalu tajam, masih menimbulkan tangisan, dan belum bisa diutarakan dalam nyanyian.
Frodo yang pertama kali menuangkan sedikit rasa dukanya ke dalam kata-kata terputus-putus. Ia jarang tergerak untuk membuat lagu atau sajak, bahkan di Rivendell ia hanya mendengarkan dan tidak bernyanyi sendiri, meski ingatannya penuh dengan karangan orang lain yang sudah dibuat sebelum itu. Tapi kini, ketika ia duduk di samping air mancur di Lorien dan mendengar suara-suara Peri di sekitarnya, pikirannya mewujudkan diri ke dalam lagu yang baginya terasa indah; namun ketika ia mencoba mengulangnya di depan Sam, hanya potongan-potongan lagu itu yang tersisa, pudar seperti segenggam daun-daun layu.
Di senja kelabu ia muncul mendatangi
langkah kakinya terdengar di Bukit sana;
sebelum fajar ia pergi lagi
dalam perjalanan panjang tanpa berita.
Dari Belantara hingga pantai Barat,
dari tanah kosong utara hingga ke bukit selatan,
lewat sarang naga dan pintu yang tersembunyi rapat
dan hutan-hutan gelap tempat ia berjalan.
Dengan Kurcaci dan Hobbit, Peri dan Manusia,
dengan makhluk fana dan makhluk abadi,
dengan burung di dahan dan hewan di sarangnya,
ia berbicara dalam bahasa rahasia mereka sendiri.
Pedangnya mematikan, tangannya menyembuhkan,
punggungnya bungkuk menanggung beban;
suara terompet, kayu yang berkeriapan,
pengembara letih yang lama berjalan.
Orang bijak di kursinya yang mulia,
cepat marah, cepat pula tertawa;
Orang tua dengan topi usang dan lama;
bersandar pada tongkat berduri miliknya.
Berdiri sendirian di atas jembatan
api dan Bayangan dua-duanya ditaklukkan;
tonngkatnya patah di atas bebatuan,
di Khazad-dum tewas, akhir kebijakan
"Wah, kau akan mengalahkan Mr. Bilbo nanti!" kata Sam.
"Tidak, kurasa tidak," kata Frodo. "Tapi ini yang terbaik yang bisa kukarang."
"Well, Mr. Frodo, kalau kau mencoba lagi, kuharap kau menyebutkan sedikit tentang kembang apinya," kata Sam. "Kira-kira seperti ini:
Roket paling indah yang pernah ada:
memancar bagai bintang biru dan merah muda,
atau hujan emas setelah petir membahana
berjatuhan deras bagai hujan bunga.
Meski masih jauh sekali dari kenyataan."
"Tidak, biar kau saja yang mengarangnya, Sam. Atau Bilbo. Tapi... well, aku tak bisa membicarakannya lagi. Aku tidak tega memikirkan harus menyampaikan berita itu kepadanya."
Suatu sore, Frodo dan Sam sedang berjalan-jalan bersama di udara sejuk. Keduanya gelisah lagi. Mendadak Frodo merasa bayang-bayang perpisahan membebaninya: entah bagaimana, ia tahu saatnya sudah dekat ia harus meninggalkan Lothlorien.
"Bagaimana pendapatmu sekarang tentang bangsa Peri, Sam?" tanyanya. "Aku pernah menanyakan hal yang sama-rasanya sudah lama sekali; tapi kau sudah lebih banyak bertemu mereka sejak itu."
"Memang!" kata Sam. "Dan kupikir ada Peri dan 'Peri'. Mereka semua cukup bersifat Peri, tapi mereka tidak sama. Bangsa ini bukan pengembara atau tidak berumah, dan lebih mirip dengan bangsa kita: mereka seolah menyatu dengan tempat ini, bahkan melebihi kaum hobbit di Shire. Apakah mereka yang membangun negeri ini, atau negeri ini yang membangun mereka, sulit dikatakan, kalau kau paham maksudku. Di sini luar biasa tenang. Tak ada sesuatu yang terjadi, dan tak ada yang menginginkan sesuatu terjadi. Kalau ada sihir di dalamnya, maka sihirnya dalam sekali, sampai aku tak bisa memegangnya, ibaratnya begitu."
"Kita bisa melihat dan merasakannya di mana-mana," kata Frodo.
"Well," kata Sam, "kita tak bisa melihat ada orang yang melakukan sihir di sini. Tidak berupa kembang api yang biasa dipertunjukkan Gandalf. Aku heran kita tidak melihat Lord dan Lady selama beberapa hari ini. Kubayangkan sang Lady bisa melakukan hal-hal hebat, kalau dia mau. Aku sangat ingin melihat sihir Peri, Mr. Frodo!"
"Aku tidak. Aku puas. Dan aku tidak kehilangan kembang api Gandalf, tapi aku kehilangan alisnya yang tebal, wataknya yang pemarah, dan suaranya."
"Kau benar," kata Sam. "Dan jangan kira aku sedang mencari-cari kesalahan. Aku sering ingin melihat sedikit sihir, seperti diceritakan dalam dongeng-dongeng kuno, tapi aku belum pernah mendengar tentang negeri yang lebih indah daripada ini. Seperti berada di rumah, sekaligus sedang berlibur, kalau kau paham maksudku. Aku tak ingin pergi. Sekaligus, aku mulai merasa bahwa kalau kita harus meneruskan perjalanan, maka sebaiknya segera kita lakukan.
"Pekerjaan yang belum dim-ulai adalah yang butuh waktu paling lama untuk diselesaikan, begitulah kata ayahku yang sudah tua. Dan kupikir bangsa ini tak bisa membantu kita lebih banyak, dengan atau tanpa sihir. Kalau kita sudah meninggalkan negeri ini, kita akan semakin merasa kehilangan Gandalf, kukira."
"Aku khawatir itu benar sekali, Sam," kata Frodo. "Namun aku sangat berharap sebelum pergi kita masih akan melihat Lady Peri itu."
Tepat saat ia berbicara, mereka melihat, Lady Galadriel berjalan mendekat, seolah sebagai jawaban atas ucapan mereka tadi. Jangkung dan putih, dan cantik jelita, ia berjalan di bawah pepohonan. Ia tidak berbicara, tapi memanggil mereka dengan isyarat tangan.
Sambil berjalan keluar, ia menuntun mereka ke lereng selatan bukit Caras Galadhon, dan setelah melewati pagar hijau yang tinggi, mereka masuk ke sebuah kebun tertutup. Tak ada pohon tumbuh di sana, dan kebun itu hanya beratapkan langit. Bintang malam sudah muncul dan bersinar putih di atas hutan sebelah barat. Menuruni tangga panjang, Lady Galadriel masuk ke sebuah lembah hijau yang dalam, di mana sebuah sungai perak mengalir menggeluguk, bersumber dari air mancur di atas bukit. Di dasamya, di atas sebuah alas rendah yang diukir seperti pohon bercabang, terletak sebuah mangkuk perak, lebar dan dangkal, dan di sampingnya terdapat botol air dari perak.
Dengan air dari sungai, Galadriel mengisi mangkuk sampai penuh, dan bernapas ke atasnya. Ketika airnya sudah tenang lagi, ia berbicara. “Inilah Cermin Galadriel,” katanya “Aku membawa kalian kemari agar kalian bisa melihat ke dalamnya, kalau mau."
Udara hening sekali, dan lembah itu gelap. Wanita Peri ini begitu jangkung dan pucat. "Apa yang akan kita cari, dan apa yang akan kita lihat?" tanya Frodo, kagum sekali.
"Banyak hal yang bisa kuperintahkan pada Cermin untuk diungkapkan," jawab Galadriel, "dan pada beberapa orang aku bisa memperlihatkan apa yang ingin mereka lihat. Tapi Cermin ini juga akan menunjukkan hal-hal yang tidak diminta, dan itu biasanya lebih aneh dan lebih bermanfaat daripada hal-hal yang ingin kita lihat. Apa yang akan kalian lihat, kalau Cermin ini dibiarkan bekerja bebas, aku tidak tahu. Karena dia menunjukkan peristiwa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Tapi yang mana yang dilihatnya, bahkan kaum bijak tidak selalu tahu. Apakah kau ingin melihat?"
Frodo tidak menjawab.
"Dan kau?" kata Galadriel kepada Sam. "Karena inilah yang disebut sihir oleh bangsamu, kukira; meski aku tak mengerti maksud mereka; sebab mereka juga menggunakan kata yang sama untuk tipu muslihat Musuh. Tapi ini, kalau kau suka, adalah sihir Galadriel. Bukankah kau mengatakan ingin melihat sihir bangsa Peri?"
"Memang," kata Sam, gemetar sedikit, antara ketakutan dan ingin tahu. "Aku mau mengintip sedikit, Lady, kalau boleh."
"Dan aku juga ingin melihat sekilas keadaan di rumah," katanya pada Frodo sambil lalu. "Rasanya sudah lama sekali aku pergi. Tapi di sana mungkin aku hanya akan melihat bintang-bintang, atau sesuatu yang tidak kumengerti."
"Mungkin juga," kata Galadriel dengan tawa lembut. "Mari, kau akan memandang dan melihat apa yang boleh kaulihat. Jangan sentuh airnya!"
Sam naik ke atas kaki alas dan mencondongkan badannya ke mangkuk. Airnya tampak keras dan gelap. Bintang-bintang tercermin di dalamnya.
"Hanya ada bintang-bintang, seperti sudah kuduga," kata Sam. Lalu ia terkesiap, karena bintang-bintang itu padam. Seolah sehelai selubung gelap sudah disingkap, Cermin itu menjadi kelabu, kemudian jernih. Ada matahari bersinar, dahan-dahan pohon melambai dan bergerak-gerak ditiup angin. Tapi sebelum Sam bisa memikirkan apa yang dilihatnya, cahayanya meredup; sekarang ia menyangka melihat Frodo dengan wajah pucat tertidur lelap di bawah batu karang besar yang gelap. Lalu ia seolah melihat dirinya sendiri, berjalan melewati selasar panjang yang gelap, mendaki sebuah tangga yang berputar tak henti-henti. Mendadak ia tahu bahwa ia sedang mencari-cari sesuatu, tapi entah apa. Seperti mimpi, pemandangannya beralih dan kembali, dan ia melihat pepohonan lagi. Tapi kali ini mereka tidak begitu rapat, dan ia bisa melihat apa yang sedang terjadi: mereka tidak melambai-lambai kena tiupan angin, melainkan berjatuhan ke tanah.
"Hai!" teriak Sam dengan marah. "Itu Ted Sandyman, menebangi pohon, padahal tidak seharusnya dia lakukan itu. Pohon-pohon itu tak boleh ditebang: itu jalan di luar Mill yang memayungi jalan ke Bywater. Kalau saja aku bisa melabrak Ted, akan kutonjok dia!"
Tapi sekarang Sam melihat bahwa Old Mill sudah lenyap, dan sebuah bangunan bata merah besar sedang dibangun di sana. Ada cerobong asap merah tinggi di dekatnya. Asap hitam tampak menyelubungi permukaan Cermin.
"Ada sihir jahat sedang bekerja di Shire," kata Sam. "Elrond tahu apa yang perlu dilakukan, ketika dia ingin mengirim kembali Mr. Merry." Mendadak Sam menjerit dan melompat mundur. "Aku tak bisa tetap di sini," katanya ribut. "Aku harus pulang. Mereka menggali Bagshot Row, dan ayahku yang malang berjalan turun dari Bukit dengan barang-barangnya di dalam gerobak. Aku harus pulang!"
"Kau tidak bisa pulang sendirian," kata Galadriel. "Kau tidak mau pulang tanpa majikanmu, sebelum kau melihat ke dalam Cermin, padahal kau tahu banyak peristiwa jahat mungkin terjadi di Shire. Ingatlah bahwa Cermin ini menunjukkan banyak hal, tapi tidak semua akan terjadi. Beberapa tidak pernah terjadi, bila mereka yang melihatnya tidak keluar dari jalan mereka untuk mencegah terjadinya. Cermin ini berbahaya sebagai panduan mengambil tindakan."
Sam duduk di tanah dan memegangi kepalanya dengan dua tangan. "Kalau saja aku tidak pernah datang ke sini, dan aku tidak mau lagi melihat sihir," katanya, lalu ia terdiam. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan suara tercekat, seolah melawan air mata. "Tidak, aku akan pulang melalui jalan panjang bersama Mr. Frodo, atau tidak sama sekali," katanya. "Tapi aku berharap suatu hari nanti aku akan pulang. Kalau apa yang kulihat memang benar, seseorang akan menerima balasannya!"
"Apakah kau sekarang ingin melihat, Frodo?" kata Lady Galadriel. "Kau tidak ingin melihat sihir Peri, dan sudah merasa cukup puas."
"Apakah kau menyarankan aku untuk melihat?" tanya Frodo.
"Tidak," kata Galadriel. "Aku tidak memberi nasihat untuk melakukan atau tidak melakukan. Aku bukan penasihat. Kau mungkin bisa belajar sesuatu dari Cermin ini, dan entah yang kaulihat itu baik atau buruk, pengetahuan itu mungkin menguntungkan, mungkin juga tidak. Melihat bisa baik, bisa juga berbahaya. Tapi, Frodo, kurasa kau punya cukup keberanian dan kebijakan untuk mencobanya, kalau tidak aku tidak akan membawamu kemari. Lakukan apa yang kauinginkan!"
"Aku akan melihat," kata Frodo, lalu ia naik ke atas alas dan membungkuk di atas air yang gelap. Cermin itu langsung jernih, dan ia melihat daratan saat senja. Pegunungan menjulang gelap di kejauhan, berlatar belakang langit pucat. Sebuah jalan panjang kelabu menjulur ke belakang, sampai menghilang dari pandangan. Dari jauh sebuah sosok berjalan perlahan melewati jalan itu, kabur dan kecil mula-mula, tapi semakin membesar dan jelas saat mendekat. Tiba-tiba Frodo menyadari bahwa sosok itu mengingatkannya pada Gandalf. Ia hampir memanggil nama penyihir itu, tapi kemudian ia sadar bahwa sosok itu bukan berpakaian kelabu, melainkan putih-warna putih yang bersinar redup di senja hari; dan di tangannya ada tongkat putih. Kepalanya menunduk, sehingga Frodo tak bisa melihat wajahnya. Tak lama kemudian, sosok itu membelok di tikungan jalan dan keluar dari pandangan Cermin. Frodo mulai ragu: apakah yang dilihatnya itu Gandalf pada salah satu perjalanannya di masa lalu, ataukah itu Saruman?
Pemandangan sekarang berganti. Singkat dan kecil, tapi jelas sekali ia menangkap sekilas Bilbo berjalan gelisah di kamarnya. Mejanya penuh kertas berserakan; hujan menerpa jendela-jendela.
Lalu berhenti sebentar, dan setelah itu banyak adegan cepat yang diketahui Frodo sebagai bagian dari sejarah besar yang melibatkan dirinya. Kabut tersingkap, dan ia melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya, tapi ia langsung tahu: Lautan. Hari menjadi gelap. Lautan itu mengamuk dalam badai dahsyat. Lalu di depan Matahari yang terbenam merah-darah ke dalam reruntuhan awan, ia melihat siluet hitam sebuah kapal tinggi dengan layar robek, datang dari Barat. Lalu sebuah sungai lebar mengalir melalui kota yang berpenduduk banyak. Kemudian sebuah benteng putih dengan tujuh menara. Kemudian sebuah kapal lagi dengan layar hitam, tapi kini sudah pagi lagi, air berombak berkilauan kena cahaya, dan sebuah bendera berlambang pohon putih bersinar di bawah matahari. Muncul asap, Seperti dari api dan pertempuran, dan sekali lagi matahari terbenam dengan warna merah manyala yang mengabur ke dalam kabut kelabu; dan ke dalam kabut, sebuah kapal kecil berlayar, berkelip-kelip dengan cahaya. Lalu ia menghilang, dan Frodo mengeluh, bersiap-siap mundur.
Mendadak Cermin itu menjadi gelap seluruhnya, seakan sebuah lubang telah membuka di dalam dunia penglihatan, dan Frodo menatap ke dalam kekosongan. Di dalam jurang hitam itu muncul sebuah Mata yang membesar perlahan, memenuhi hampir seluruh Cermin. Begitu mengerikan, sampai-sampai Frodo berdiri terpaku, tak mampu berteriak atau mengalihkan tatapan. Mata itu berpinggiran nyala api, tapi bolanya sendiri berlapis kaca, kuning seperti mata kucing, waspada dan tajam, dan celah hitam pupilnya membuka ke sebuah sumur, jendela ke ketiadaan.
Lalu Mata itu mulai menjelajah, mencari-cari ke sana kemari; dan Frodo tahu pasti, dengan perasaan ngeri, bahwa di antara banyak hal yang dicari Mata itu, dirinya adalah salah satunya. Tapi ia juga tahu Mata itu tak bisa melihatnya belum, sampai ia memang menghendakinya. Cincin yang menggantung di rantainya, melingkari lehernya, menjadi berat, lebih berat daripada batu besar, dan kepala Frodo tertarik ke bawah. Cermin itu seolah menjadi panas, dan untaian nap panas naik dari air. Frodo tergelincir ke depan.
"Jangan sentuh airnya!" kata Lady Galadriel lembut. Pemandangan itu mengabur, dan Frodo mendapati dirinya sedang melihat bintang-bintang sejuk berkelip di dalam mangkuk perak. Ia mundur sambil gemetaran dan memandang Galadriel.
"Aku tahu apa yang terakhir kaulihat," kata Galadriel. "Sebab pemandangan itu juga ada dalam benakku. Jangan takut! Tapi jangan kira bahwa hanya dengan bernyanyi di tengah-tengah pepohonan, atau dengan panah-panah ramping kaum Peri, negeri Lothlorien dirawat dan dipertahankan terhadap Musuh. Kukatakan padamu Frodo, bahwa sementara aku berbicara padamu, aku melihat sang Penguasa Kegelapan dan aku tahu jalan pikirannya, atau seluruh pikirannya yang berhubungan dengan bangsa Peri. Dia selalu mencari-cari untuk melihatku dan pikiranku. Tapi pintu masih tetap tertutup!"
Lady Galadriel mengangkat tangannya yang putih, dan mengulurkannya ke arah Timur dengan gerakan menolak dan membantah.
Earendil, Bintang Malam yang paling dicintai bangsa Peri, bersinar terang di atas. Begitu terang, sampai sosok wanita Peri itu menimbulkan bayangan samar-samar di tanah. Cahaya bintang menyinari sebentuk cincin di jarinya; cincin itu gemerlap seperti emas yang dipoles berlapiskan cahaya perak, dan sebutir permata putih di dalamnya berkelip, seolah Bintang Malam sudah turun untuk beristirahat di tangan Galadriel Frodo memandang cincin itu dengan kagum, karena tiba-tiba ia merasa memahaminya.
"Ya," kata Galadriel, bisa menebak pikiran Frodo. "Ini tak boleh dibicarakan, dan Elrond tak bisa mengungkapkannya. Tapi hal ini tak bisa disembunyikan terhadap Pembawa Cincin, dan orang yang sudah melihat Mata itu. Memang di sinilah salah satu dari Tiga Cincin itu berada, di negeri Lorien, pada jari Galadriel. Ini Nenya, Cincin Keteguhan Hati, dan akulah penguasanya.
"Musuh curiga, tapi dia tidak tahu-belum. Tidakkah kau mengerti sekarang, bahwa kedatanganmu kemari seperti langkah Kiamat bagi kami? Karena kalau kau gagal, maka kita semua akan terungkap di depan Musuh. Tapi kalau kau berhasil, kekuatan kami akan berkurang, Lothlorien akan memudar, dan gelombang pasang Waktu akan menyapunya. Kami harus pergi ke Barat, atau menyusut menjadi bangsa dusun di lembah dan gua, lambat laun melupakan dan dilupakan."
Frodo menundukkan kepalanya. "Dan apa yang kauharapkan?" katanya akhirnya.
"Bahwa apa yang harus terjadi, terjadilah," kata Lady Galadriel. "Kecintaan bangsa Peri kepada negeri dan pekerjaan mereka lebih dalam daripada kedalaman Lautan, dan penyesalan mereka tidak akan berakhir dan tak bisa sepenuhnya diredakan. Namun mereka lebih rela membuang semuanya daripada menyerah kepada Sauron: karena mereka sudah tahu, seperti apa dia. Kau tidak bertanggung jawab terhadap nasib Lothlorien, hanya terhadap pelaksanaan tugasmu sendiri. Meski begitu, aku berharap, seandainya ada manfaatnya, bahwa Cincin Utama tak pernah dibuat, atau hilang selamanya."
"Kau bijak dan berani, Lady Galadriel," kata Frodo. "Aku akan memberikan Cincin Utama ini padamu, kalau kau memintanya. Tugas ini terlalu besar untukku."
Galadriel tiba-tiba tertawa nyaring. "Lady Galadriel boleh bijak," katanya, "namun kini dia bertemu tandingannya dalam hal basa-basi. Dengan lembut kau membalas dendam karena ujian yang kuberikan pada hatimu pada pertemuan kita yang pertama. Kau mulai memandang dengan mata tajam. Aku tidak mengingkari bahwa hatiku sangat mendambakan untuk meminta apa yang kautawarkan. Selama bertahun-tahun aku merenungi apa yang akan kulakukan, seandainya Cincin Utama jatuh ke tanganku, dan lihatlah! Dia dibawa ke dalam jangkauanku. Kejahatan yang diciptakan dahulu kala, bekerja dengan banyak cara, entah Sauron berjaya atau jatuh. Bukankah akan menjadi perbuatan mulia untuk menghargai Cincin itu, kalau aku mengambilnya dengan paksa atau dengan menakut-nakuti tamuku?
"Kini kesempatan itu datang juga. Kau mau memberikan Cincin itu dengan sukarela padaku! Di tempat sang Penguasa Kegelapan, kau akan mendudukkan seorang Ratu. Dan wujudku tidak akan gelap
tetapi cantik dan mengerikan, seperti Pagi dan Malam! Indah seperti Samudra dan Matahari dan Salju di atas Ginning! Mengerikan seperti Badai dan Petir! Lebih kuat daripada landasan-landasan bumi. Semua akan mencintaiku dan merasa putus asa!"
Lady Galadriel mengangkat tangannya, dan dari cincin yang dikenakannya keluar cahaya besar yang hanya menerangi dirinya, sementara semua yang lain menjadi gelap. Ia berdiri di depan Frodo, dan sekarang tampak tinggi tak terhingga, cantik tak tertahankan, mengerikan dan patut dipuja. Lain ia menurunkan tangannya, cahaya itu memudar, dan mendadak ia tertawa lag*, dan lihat! Ia sudah menyusut: kembali menjadi seorang wanita Peri, berpakaian putih sederhana, dengan suara lembut dan sedih.
"Aku lulus ujian," katanya. "Aku akan menyusut dan pergi ke Barat, tapi aku tetap Galadriel."
Lama sekali mereka berdiri diam. Akhirnya Galadriel berbicara lagi. "Mari kita kembali!" katanya. "Besok pagi kau barns berangkat, karena sekarang kita sudah memilih, dan gelombang nasib sudah mengalir."
"Aku ingin minta satu hal sebelum kami per-'," kata Frodo, "suatu hal yang sering ingin kutanyakan pada Gandalf di Rivendell. Aku diizinkan memakai Cincin Utama: kenapa 'aku tak bisa melihat semua yang lain dan tahu pikiran mereka yang mengenakannya?"
"Kau belum mencoba," kata Galadriel. "Baru tiga kali kau memakai Cincin pada jarimu, sejak kau tahu benda apa yang kauwarisi itu. Jangan coba! Itu akan menghancurkanmu. Tidakkah Gandalf menceritakan padamu bahwa cincin-cincin itu memberikan kekuatan sesuai ukuran setiap pemiliknya? Sebelum kau bisa menggunakan kekuatan itu, kau barns menjadi jauh lebih kuat, dan melatih hasratmu untuk menguasai orang lain. Meski begitu, sebagai Pembawa Cincin dan sebagai orang yang sudah memakainya di jarinya, dan melihat apa yang tersembunyi, penglihatanmu sudah semakin tajam. Kau sudah melihat pikiranku jauh lebih jelas daripada banyak orang bijak. Kau melihat Mata dia yang memegang Tujuh Cincin dan Sembilan Cincin. Dan bukankah kau melihat dan mengenali cincin di jariku? Apakah kau melihat cincinku?" ia bertanya pada Sam.
"Tidak, Lady," jawab Sam. "Sejujurnya, aku heran apa yang kalian bicarakan. Aku melihat bintang melalui jarimu. Tapi maafkan aku, kupikir majikanku benar. Kuharap kau mau mengambil Cincin ini. Kau akan membuat semuanya jadi benar. Kau akan menghentikan mereka menggali rumah ayahku dan membuat dia terkatung-katung. Kau akan membuat orang-orang tertentu membayar kejahatan mereka."
"Memang," kata Lady Galadriel. "Begitulah pada mulanya. Tapi tidak akan berhenti sampai di situ, sayang sekali! Kita tidak akan membicarakannya lagi. Ayo kita pergi!"
Buku 2 Bab 08

SELAMAT TINGGAL LORIEN
Malam itu Rombongan dipanggil lagi ke istana Celeborn. Di sana Lord Celeborn dan Lady Galadriel menyambut mereka dengan kata-kata indah. Akhirnya Celeborn membicarakan keberangkatan mereka.
Katanya, "Sekaranglah saatnya mereka yang mau melanjutkan Pencarian harus menguatkan hati untuk meninggalkan negeri ini. Mereka yang tak ingin melanjutkan, boleh tetap tinggal di sini, untuk sementara. Tapi entah mereka pergi atau tinggal, tak ada kepastian akan kedamaian. Karena sekarang kita sudah mendekati kiamat. Mereka yang mau, boleh menunggu di sini, hingga jalan dunia terbuka lagi, atau sampai kami mengumpulkan mereka untuk kebutuhan terakhir Lorien. Setelah itu mereka boleh kembali ke negeri mereka sendiri, atau pergi ke rumah peristirahatan lama untuk mereka yang jatuh dalam pertempuran."
Hening sekali. "Mereka semua bertekad terus maju," kata Galadriel yang menatap ke dalam mata mereka.
"Bagiku," kata Boromir, "jalan pulang ke rumahku ada di depan, dan bukan kembali."
"Itu benar," kata Celeborn, "tapi apakah seluruh Rombongan ini akan pergi bersamamu ke Minas Tirith?"
"Kami belum menentukan arah jalan kami, kata Aragorn. "Di luar Lothlorien, aku tidak tahu rencana Gandal£ Bahkan menurutku dia belum punya tujuan jelas."
"Mungkin tidak," kata Celeborn, "tapi kalau kau meninggalkan negeri ini, kau tidak bisa lagi melupakan Sungai Besar. Seperti beberapa di antara kalian sudah tahu, sungai itu tak bisa diseberangi pelancong yang membawa muatan di antara Lorien dan Gondor, kecuali dengan perahu. Dan bukankah jembatan-jembatan Osgiliath sudah putus dan semua pelabuhan sekarang dikuasai Musuh?
"Di sisi mana kalian akan berjalan? Jalan ke Minas Tirith terletak di sisi ini, di barat; tapi jalan lurus Pencarian terletak di sebelah timur Sungai, di pantai yang lebih gelap. Pantai mana yang akan kalian ambil?"
"Kalau saranku diperhatikan, maka kami akan mengambil pantai barat, dan jalan ke Minas Tirith," jawab Boromir. "Tapi aku bukan pemimpin Rombongan." Yang lain tidak berbicara, Aragorn kelihatan ragu dan resah.
"Kulihat kau belum tahu harus melakukan apa," kata Celeborn. "Bukan bagianku untuk memilihkan bagimu; tapi aku akan mencoba membantumu sebisaku. Ada beberapa di antara kalian yang bisa menangani perahu: Legolas, yang bangsanya mengenal Sungai Forest yang deras; Boromir dari Gondor; dan Aragorn si pengembara."
"Dan satu hobbit!" teriak Merry. "Tidak semua dari kami memandang perahu seperti kuda liar. Keluargaku tinggal di tepi Brandywine."
"Bagus sekali," kata Celeborn. "Kalau begitu, aku akan melengkapi Rombongan-mu dengan perahu-perahu. Perahunya harus kecil dan ringan, sebab kalau kau pergi jauh melewati air, akan ada tempat-tempat di mana kau terpaksa menggotongnya. Kau akan sampai ke Air Terjun Sarn Gebir, dan mungkin akhirnya sampai ke air terjun besar Rauros, di mana Sungai mengguruh terjun dari Nen Hithoel; dan ada bahaya-bahaya lain. Perahu akan membuat perjalanan kalian tidak terlalu melelahkan, untuk sementara waktu. Tapi perahu itu tidak akan memberi kalian pertolongan: pada akhirnya kalian harus meninggalkannya dan keluar dari Sungai, membelok ke barat-atau timur."
Aragorn mengucapkan terima kasih banyak pada Celeborn. Pemberian perahu sangat menghibur hatinya, karena mereka jadi tak perlu menentukan arah untuk beberapa hari mendatang. Yang lain juga tampak lebih berpengharapan. Apa pun bahaya yang ada di depan, rasanya lebih baik mengambang melalui sungai lebar Anduin untuk menghadapinya, daripada berjalan susah payah dengan punggung, membungkuk. Hanya Sam yang agak ragu: setidaknya ia masih beranggapan perahu sama buruknya dengan kuda liar, atau lebih buruk lagi, dan tidak semua bahaya yang sudah dilaluinya membuatnya berpandangan lebih baik tentang perahu.
"Semuanya akan disiapkan untukmu, dan menunggu kalian di pelabuhan sebelum tengah hari besok," kata Celeborn. "Aku akan mengirim anak buahku pada kalian untuk membantu mempersiapkan perjalanan. Sekarang kami doakan kalian semua malam yang indah dan tidur nyenyak."
"Selamat tidur kawan-kawanku!" kata Galadriel. "Tidurlah dengan damai! Jangan risaukan perjalanan kalian. Mungkin jalan yang masing-masing akan kalian lewati sudah terhampar di depan kalian, meski kalian tidak melihatnya. Selamat malam!"
Rombongan itu berpamitan dan kembali ke paviliun mereka. Legolas pergi bersama mereka, karena inilah malam terakhir mereka di Lothlorien, dan meski sudah mendengar kata-kata Galadriel tadi, mereka tetap ingin membicarakan perjalanan mereka bersama-sama.
Untuk waktu lama mereka berdebat tentang apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara terbaik mencoba memenuhi tujuan mereka dengan Cincin: tapi mereka tidak berhasil mencapai keputusan. Jelas sekali beberapa di antara mereka ingin pergi ke Minas Tirith dulu, untuk mengelak dari teror Musuh untuk sementara waktu. Mereka sebenarnya bersedia mengikuti seorang pemimpin menyeberangi Sungai dan masuk ke kegelapan Mordor; tapi Frodo tidak berbicara, dan Aragorn masih bercabang pikirannya.
Rencana Aragorn, ketika Gandalf masih bersama mereka, adalah pergi dengan Boromir, dan dengan pedangnya membantu menyelamatkan Gondor. Karena ia percaya pesan-pesan dalam mimpinya memang suatu panggilan, dan bahwa saatnya sudah tiba bag' pewaris Elendil untuk maju bertanding dengan Sauron, merebut kekuasaan. Tapi di Moria beban Gandalf beralih ke pundaknya; dan ia tahu ia tak bisa meninggalkan Cincin sekarang, kalau Frodo akhirnya menolak pergi dengan Boromir. Meski begitu, pertolongan apa yang bisa ia berikan pada Frodo, kecuali berjalan dengan membabi buta mendampinginya masuk ke kegelapan?
"Aku akan pergi ke Minas Tirith, sendirian kalau terpaksa, karena itu tugasku," kata Boromir. Setelah itu ia diam sejenak, duduk menatap Frodo, seolah mencoba membaca pikiran hobbit itu. Akhirnya ia berbicara lagi perlahan, seolah berdebat dengan dirinya sendiri. "Kalau kau hanya ingin menghancurkan Cincin," katanya, "maka perang dan senjata tidak banyak gunanya; dan Orang-Orang Minas Tirith tak bisa membantu. Tapi kalau kau ingin menghancurkan kekuatan bersenjata Penguasa Kegelapan, maka bodoh sekali kalau kau masuk ke wilayahnya tanpa kekerasan; dan bodoh sekali untuk membuangnya." ia berhenti mendadak, seolah menyadari ia tengah mengucapkan pikirannya keras-keras. "Maksudku, bodoh sekali untuk membuang kehidupan dengan sia-sia," katanya. "Ini adalah pilihan antara mempertahankan tempat yang kuat dan berjalan terang-terangan masuk ke tangan kematian. Setidaknya, begitulah pendapatku."
Frodo menangkap sesuatu yang baru dan aneh dalam tatapan Boromir, dan ia memandang pria itu dengan tajam. Jelas pikiran Boromir berbeda dengan kata-katanya yang terakhir. Bodoh sekali untuk membuangnya? Membuang apa? Cincin Kekuasaan? ia pernah mengatakan hal semacam ini di Dewan, tapi kemudian ucapannya dikoreksi oleh Elrond. Frodo memandang Aragorn, tapi tampaknya Aragorn sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tidak menunjukkan tanda bahwa ia mendengar kata-kata Boromir. Dengan demikian, debat mereka berakhir. Merry dan Pippin sudah tertidur, dan Sam mengangguk-angguk. Malam semakin larut.
Di pagi hari, saat mereka mulai mengemasi barang-barang mereka yang sedikit, beberapa Peri yang bisa berbicara bahasa mereka datang membawakan banyak hadiah, berupa makanan dan pakaian untuk perjalanan. Makanannya kebanyakan berupa kue yang sangat tipis, bagian dalamnya berwarna krem. Gimli mengambil salah satu kue dan memandangnya dengan ragu.
"Cram," katanya berbisik, lain ia mematahkan ujung yang garing dan mengunyahnya. Ekspresi wajahnya cepat berubah, dan ia memakan seluruh sisa kue itu dengan senang.
"Cukup, cukup!" seru para Peri sambil tertawa. "Kau sudah makan cukup untuk sehari perjalanan panjang."
"Kukira ini hanya semacam cram, seperti yang dibuat orang-orang Dale untuk perjalanan di belantara," kata Gimli.
"Memang begitu," jawab mereka. "Tapi kami menyebutnya lembas atau waybread, roil perjalanan, dan ini lebih menguatkan daripada makanan mana pun yang dibuat Manusia, dan lebih lezat daripada cram."
"Memang begitu," kata Gimli. "Wah, bahkan lebih enak daripada kue madu kaum Beorning, dan itu merupakan pujian besar, karena kaum Beorning adalah tukang roti terbaik yang kukenal; tapi di masa kini mereka tidak bersedia membagi-bagikan kue mereka kepada pelancong. Kalian tuan rumah yang sangat baik hati!"
"Tapi kami sarankan kalian menghemat makanan itu," kata mereka. Makanlah sedikit saja setiap kali, dan hanya kalau dibutuhkan. Karena kue-kue ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan kalian bila makanan lain tidak ada. Kue-kue ini akan tetap manis selama beberapa hari, kalau dibiarkan utuh dan tetap dalam bungkusan mereka, seperti sekarang ini. Satu kue cukup untuk membuat seorang pelancong bertahan selama satu hari kerja keras, meski dia salah satu Manusia jangkung dari Minas Tirith."
Kemudian para Peri membuka dan memberikan pada setiap anggota Rombongan pakaian yang mereka bawa. Untuk setiap orang sudah disediakan kerudung dan jubah, sesuai ukuran masing-masing, dari bahan semacam sutra yang ringan tapi hangat, hasil tenunan kaum Galadhrim. Sulit disebut warnanya: kelabu bernada senja di bawah pepohonan, dan kalau digerakkan, atau diletakkan di bawah cahaya lain, tampak hijau seperti daun yang remang-remang, atau cokelat seperti padang kosong di malam hari, perak-senja seperti air di bawah sinar bintang. Setiap jubah diikat di leher, den-an bros seperti daun hijau berurat perak.
"Apakah ini jubah sihir?" tanya Pippin, memandangnya dengan kagum.
"Aku tidak tahu maksudmu," jawab pemimpin kelompok Peri. "Ini pakaian indah, dan tenunannya bagus, karena dibuat di negeri ini. Memang ini jubah kaum Peri, kalau itu maksudmu. Daun dan dahan, air dan batu: mereka memiliki warna dan keindahan semua itu, di bawah senja Lorien yang kami cintai; karena kami memasukkan pikiran tentang semua yang kami cintai ke dalam segala sesuatu yang kami buat. Tapi ini pakaian, bukan senjata, dan tidak bisa menangkis batang tombak atau mata pisau. Tapi mereka akan sangat berguna: ringan dipakai, dan cukup hangat atau sejuk, sesuai kebutuhan. Dan kau akan menyadari bahwa pakaian ini akan sangat membantumu menyembunyikan diri dari pandangan mata yang tidak ramah, baik kau berjalan di antara bebatuan atau pepohonan. Kalian benar-benar sangat disayangi Lady! Karena dia sendiri dan gadis-gadis pelayannya yang menenun bahan ini; dan belum pernah kami memakaikan pakaian bangsa kami sendiri pada orang asing."
Setelah makan pagi, Rombongan itu pamit kepada halaman dekat air mancur. Hati mereka terasa berat; karena tempat itu indah sekali, dan sudah terasa seperti rumah sendiri, meski mereka tak bisa menghitung siang dan malam yang sudah mereka lewatkan di sana. Saat mereka berdiri sejenak memandang air putih di bawah sinar matahari, Haldir datang mendekati, melintasi rumput hijau lapangan itu. Frodo menyambutnya dengan gembira.
"Aku sudah kembali dari Pagar-Pagar Utara," kata Peri itu, "dan aku sekarang dikirim untuk menjadi pemandu kalian lagi. Lembah Dimrill penuh nap dan awan asap, dan pegunungannya resah. Ada bunyi berisik dari dalam bumi. Seandainya ada di antara kalian yang berniat pulang ke utara, ke rumah kalian, kalian takkan mungkin melewati jalan itu. Tapi marilah! Jalan kalian sekarang ke selatan."
Ketika mereka melewati Caras Galadhon, jalan-jalan yang hijau tampak kosong; tapi di pepohonan di atas banyak suara bergumam dan bernyanyi. Mereka sendiri berjalan diam. Akhirnya Haldir menuntun mereka menuruni lereng-lereng selatan bukit, dan mereka kembali mendekati gerbang besar yang digantungi lampu-lampu, dan ke jembatan putih; dan begitulah, mereka keluar dan pergi dari kota bangsa Peri. Lalu mereka keluar dari jalan berubin dan men-ambil rute yang masuk ke gerombolan pohon mallorn yang rapat, dan berjalan terus, melewati wilayah hutan berbayang-bayang keperakan, terus-menerus turun, ke selatan dan ke timur, menuju tebing Sungai.
Mereka sudah berjalan sekitar sepuluh mil, dan tengah hari telah menjelang ketika mereka tiba di sebuah tembok hijau yang tinggi. Melalui sebuah bukaan, tiba-tiba mereka sudah keluar dari antara pepohonan. Di depan mereka terhampar halaman panjang rumput yang bersinar-sinar, bertatahkan elanor emas yang berkilauan di bawah cahaya matahari. Halaman itu menjulur sampai ke suatu lidah sempit di antara pinggiran yang cerah: di sebelah kanan dan barat, Silverlode mengalir kemilau; di sebelah kiri dan timur, Sungai Besar mengalunkan airnya yang luas, dalam, dan gelap. Di pantai seberang, hutan masih membentang ke selatan, sejauh mata memandang, tapi semua tebing kosong dan gersang. Tak ada mallorn yang merentangkan dahan-dahan bermuatan emas di luar Negeri Lorien.
Di tebing Silverlode, agak jauh dari tempat pertemuan sungai, ada dermaga dari batu dan kayu putih. Banyak perahu dan tongkang berlabuh di sana. Beberapa dicat dengan warna cerah, dan gemerlap dengan perak, emas, dan hijau, tapi kebanyakan hanya kelabu atau putih. Tiga perahu kelabu kecil sudah disiapkan bagi para pelancong, dan ke dalamnya para Peri menaikkan bawaan mereka. Mereka juga menambahkan gulungan tambang, tiga gulling untuk setiap perahu. Tampak ramping, tapi kuat, terasa seperti sutra, berwarna kelabu seperti jubah-jubah Peri.
"Apa ini?" tanya Sam, memegang satu yang tergeletak di rumput.
"Itu tambang!" jawab para Peri dari atas perahu. "Jangan pernah berjalan jauh tanpa membawa tambang! Dan harus yang kuat dan ringan. Tambang ini kuat dan ringan. Akan membantu dalam banyak kebutuhan."
"Kau tak perlu mengatakan itu padaku!" kata Sam. "Aku datang tanpa membawa tambang satu pun, dan aku cemas selama iii. Tapi aku bertanya-tanya, tambang ini dibuat dari bahan apa, karena aku tahu sedikit tentang pembuatan tambang; sudah kebiasaan dalam keluargaku, bisa dikatakan begitu.”
"Tambang ini terbuat dari hithlain," kata Peri itu, "tapi sekarang tak ada waktu untuk mengajarimu seni pembuatannya. Seandainya kami tahu keterampilan ini kausukai, kami bisa banyak mengajarimu. Sayang sekali! Kecuali suatu saat kau kembali ke sini, kau harus puas dengan pemberian kami ini. Mudah-mudahan berguna bagimu!"
"Ayo!" kata Haldir. "Semua sudah siap. Masuklah ke perahu! Tapi hati-hatilah pada mulanya!"
"Perhatikan kata-katanya!" kata Peri-Peri yang lain. "Perahu-perahu ini ringan dan andal, tidak seperti perahu bangsa lain. Tidak akan karam, meski bermuatan penuh; tapi mereka akan melawan bila diperlakukan kasar. Sebaiknya kalian membiasakan diri naik-turun dari perahu, selagi ada tempat berlabuh di sini, sebelum kalian berangkat mengikuti aliran sungai."
Rombongan diatur sebagai berikut: Aragorn, Frodo; dan Sam dalam satu perahu; Boromir, Merry, dan Pippin di perahu lain; perahu ketiga diisi Legolas dan Gimli, yang sudah menjadi sahabat kental sekarang. Di perahu terakhir inilah sebagian besar barang dan bungkusan dimasukkan. Perahu-perahu digerakkan dan dikemudikan dengan dayung pendek berbilah lebar berbentuk daun. Ketika semua sudah siap, Aragorn memimpin mereka sebagai percobaan melalui Silverlode. Alirannya deras, dan mereka maju perlahan. Sam duduk di haluan, memegang pinggiran perahu, dan memandang sedih ke arah pantai. Matahari yang berkilauan di permukaan air menyilaukan matanya. Saat mereka melewati padang hijau Tongue, pepohonan melengkung ke bawah, sampai menyentuh tepian sungai. Di sana-sini daun-daun keemasan berputar mengambang di atas aliran sungai yang beriak. Udara sangat cerah dan tenang, dan hening sekali, kecuali nyanyian bernada tinggi dari burung-burung lark di kejauhan.
Mereka mengikuti tikungan tajam di sungai, dan di sana, berlayar gagah di depan, menuju ke arah mereka, tampak seekor angsa besar. Air beriak-riak di kedua sisi dadanya yang putih, di bawah lehernya yang melengkung. Paruhnya mengilat seperti emas yang dipoles, dan matanya bersinar bagai permata hitam yang dipasang di tengah permata kuning; sayapnya yang besar dan putih setengah terangkat. Musik mengalun melintasi sungai ketika ia mendekat, dan mendadak mereka menyadari bahwa itu sebuah kapal, dibangun dan diukir dengan keterampilan Peri hingga menyerupai seekor angsa. Dua Peri berpakaian putih mengemudikannya dengan kayuh hitam. Di tengah kapal duduk Celeborn, dan di belakangnya berdiri Galadriel, jangkung dan putih; di rambutnya ada rangkaian bunga emas, di tangannya ia memegang harpa, dan ia bernyanyi. Sedih dan manis bunyi suaranya, di udara yang jernih dan sejuk:
Tentang dedaunan aku bernyanyi, daun-daun emas, daun-daun emas yang tumbuh di sana
Tentang angin aku bernyanyi, angin yang datang dan membuat terlena.
Di bawah Matahari, di bawah rembulan, berbuih-buih Lautan luas,
Dan di pantai Ilmarin tumbuh sebatang Pohon emas.
Di bawah bintang-bintang Ever-eve ia bersinar,
Di samping tembok Elven Tirion, di Eldamar
Daun-daun emasnva lama tumbuh di sana,
Namun di seberang Samudra, Peri-Peri menitikkan air mata.
Oh Lorien! Musim dingin t'lah tiba, Hari yang gersang dan tak berdaun;
Daun-daun berguguran ke dalam air, namun Sungai terus bergerak mengalun.
Oh Lorien! Terlalu lama pantaimu kutinggalkan,
Dan bunga elanor emas, mahkotanya mulai memudar perlahan,
Ingin kubernyanyi tentang kapal, tapi kapal apa 'kan datang padaku,
Kapal apa mau membawaku, menyeberangi Samudra seluas itu?
Aragorn menghentikan perahunya ketika Kapal Angsa itu sampai di sampingnya. Lady Galadriel mengakhiri nyanyiannya dan menyalami mereka. "Kami datang untuk mengucapkan selamat jalan," katanya, . "dan mengantar kalian dengan berkat dari negeri ini."
"Meski kalian sudah menjadi tamu kami," kata Celeborn, "kalian belum makan bersama kami, maka 'dari itu kami mengundang kalian ke pesta perpisahan, di sini... di antara air mengalir yang akan membawa kalian jauh dari Lorien."
Angsa itu bergerak perlahan menuju dermaga. Mereka memutar perahu dan mengikutinya. Di sana, di ujung Egladil, di hamparan rumput hijau, pesta perpisahan berlangsung; tapi Frodo hanya sedikit makan dan minum; ia lebih banyak memperhatikan kecantikan Lady Galadriel dan suaranya. Galadriel tidak lagi tampak berbahaya atau mengerikan, sosoknya pun tidak tampak menyimpan kekuatan tersembunyi. Di mata Frodo, ia kelihatan nyata sekaligus tidak nyata, bagaikan pemandangan yang hidup dari sesuatu yang telah ditinggalkan jauh di belakang, oleh aliran sungai Waktu; sosok Peri yang seperti itulah yang sesekali masih terlihat oleh manusia di belakang hari.
Setelah mereka makan dan minum, sambil duduk di rumput, Celeborn berbicara lagi tentang perjalanan mereka, dan sambil mengangkat tangannya ia menunjuk ke selatan, ke hutan-hutan di luar Tongue.
"Kalau kalian melalui air," katanya, "kalian tidak akan menemukan pepohonan lagi. Kalian akan sampai ke sebuah negeri gersang. Di sana Sungai mengalir di lembah berbatu di tengah dataran tinggi gersang, dan setelah bermil-mil dia sampai ke pulau tinggi Tindrock, yang kami sebut Tol Brandir. Di sana dia menjulurkan lengannya ke tebing curam pulau itu, lalu jatuh dengan berisik dan penuh asap melewati air terjun Rauros, turun ke Nindalf, yang dalam bahasa kalian disebut Wetwang. Itu adalah wilayah luas tanah berair, di mana aliran sungai jadi berbelit-belit dan banyak terbagi. Di sana Entwash mengalir masuk dari banyak muara di Hutan Fangorn di barat. Sekitar sungai itu, di sisi sebelah sini Sungai, terletak Rohan. Di sisi yang lebih jauh terdapat bukit-bukit gersang Emyn Muil. Angin bertiup dari Timur di sana, karena bukit-bukit itu memandang ke luar, melewati Rawa-Rawa Mati dan negeri-negeri Noman, sampai Cirith Gorgor dan gerbang-gerbang hitam Mordor.
"Boromir, dan siapa pun yang akan pergi bersamanya mencari Minas Tirith, sebaiknya meninggalkan Sungai Besar di atas Rauros dan menyeberangi Entwash sebelum sampai ke rawa-rawa. Tapi jangan terlalu jauh mengarungi sungai itu, juga jangan mengambil risiko tersesat di Hutan Fangorn. Itu negeri aneh, dan sekarang hanya sedikit dikenal. Tapi Boromir dan Aragorn pasti tidak membutuhkan peringatan ini."
"Memang kami sudah mendengar tentang Fangorn di Minas Tirith," kata Boromir. "Tapi dari apa yang pernah kudengar, tampaknya kebanyakan berupa dongeng nenek-nenek, seperti yang kita ceritakan pada anak-anak kita. Semua yang letaknya di sebelah Utara Rohan sekarang begitu jauh dari kami, sehingga khayalan bisa bergerak bebas. Sejak dulu Fangorn berada di perbatasan dunia kita; tapi sudah lama sekali berlalu, sejak ada di antara kami yang mengunjunginya, untuk membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran legenda-legenda yang sudah turun-temurun dari zaman dulu.
"Aku sendiri sesekali ke Rohan, tapi aku belum pernah melewatinya ke arah utara. Ketika aku dikirim sebagai utusan, aku melewati Celah di kaki Pegunungan Putih, melintasi Isen dan Greyflood, masuk ke Northerland. Perjalanan panjang dan melelahkan. Empat ratus league jaraknya, dan makan waktu berbulan-bulan; karena aku kehilangan kudaku di Tharbad, di tempat dangkal Greyflood. Setelah perjalanan itu, dan jalan yang kulalui bersama Rombongan ini, aku tidak ragu bahwa aku bisa menemukan jalan melalui Rohan, dan Fangorn juga, kalau terpaksa."
"Kalau begitu, aku tak perlu mengatakan apa-apa lagi." kata Celeborn. "Tapi jangan meremehkan pengetahuan yang sudah turun-temurun; karena sering kali nenek-nenek tua mengingat hal-hal yang dulu memang perlu diketahui orang-orang bijak."
Kini Galadriel bangkit dari rumput. Sambil mengambil cangkir dari salah seorang dayang-dayangnya, ia mengisinya dengan anggur madu putih dan memberikannya pada Celeborn.
"Kini saatnya minum anggur perpisahan," kata Galadriel. "Minumlah, Lord Galadhrim! Dan janganlah hatimu sedih, meski malam harus mengikuti siang, dan senja sudah menjelang."
Lalu ia membawa cangkir itu kepada masing-masing anggota Rombongan, dan memohon mereka meminumnya, serta mengucapkan selamat jalan pada mereka. Tapi, setelah mereka minum, ia menyuruh mereka duduk lagi di rumput. Kursi-kursi dibawa untuk Galadriel dan Celeborn. Dayang-dayangnya berdiri diam di sekitarnya, dan sejenak ia menatap tamu-tamunya. Akhirnya ia berbicara lagi.
"Kita sudah minum dari cangkir perpisahan," katanya, "dan kegelapan jatuh di antara kita. Tapi, sebelum kalian pergi, aku membawa banyak hadiah di kapalku, untuk diberikan pada kalian oleh Lord dan Lady Galadhrim, sebagai kenang-kenangan kepada Lorien." Lalu ia memanggil mereka bergantian.
"Ini hadiah dari Celeborn dan Galadriel kepada pemimpin Rombongan," katanya kepada Aragorn; lalu ia memberikan sebuah sarung pedang yang dibuat sesuai ukuran pedangnya. Sarung itu berhiaskan gambar bunga-bunga dan daun-daun terbuat dari perak dan emas, di atasnya, dalam lambang Peri yang dibentuk oleh batu-batu permata, tertulis nama Anduril dan garis keturunan pedang itu.
"Pedanyang dihunus dari sarung ini tidak akan ternoda atau patah, bahkan bila kalah," katanya. "Tapi adakah hal lain yang kauinginkan dariku pada perpisahan ini? Karena kegelapan akan mengalir di antara kita, dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi, kecuali jauh di sana, di suatu jalan yang tak ada jalur kembali."
Aragorn menjawab, "Lady, kau tahu semua hasratku, dan sudah lama kau menyimpan harta satu-satunya yang kucari. Namun bukan hakmu untuk memberikannya padaku, meski kau mau; hanya melalui kegelapan aku bisa mencapainya."
"Namun mungkin ini akan meringankan hatimu," kata Galadriel, "karena benda ini diberikan padaku untuk dirawat dan disimpan untuk diberikan kepadamu, seandainya kau melalui negeri ini." Lalu dari pangkuannya ia mengambil sebuah batu besar berwarna hijau bening, dipasang pada sebuah bros perak yang ditempa dalam bentuk elang dengan sayap terkembang; ketika ia mengangkatnya, perhiasan itu bersinar seperti cahaya matahari melalui dedaunan musim semi. "Batu ini dulu kuberikan kepada Celebrian, putriku, dan dia memberikannya kepada putrinya; sekarang dia datang kepadamu sebagai tanda harapan. Saat ini terimalah nama yang sudah diramalkan bagimu, Elessar, batu Peri dari rumah Elendil!"
Aragorn mengambil batu itu dan memasang bros di dadanya, dan mereka yang melihatnya terkagum-kagum: karena sebelumnya mereka tidak memperhatikan betapa jangkung dan gagah sosok Aragorn, seperti seorang raja. Mereka juga melihat seolah-olah perjalanan tahun yang keras lepas dari pundaknya. "Untuk hadiah-hadiah yang kauberikan padaku, aku mengucapkan terima kasih," kata Aragorn. "Oh, Lady Lorien, dari siapa turun Celebrian dan Arwen Evenstar. Bagaimana lagi bisa kunaikkan puji-pujian?"
Galadriel menundukkan kepalanya, kemudian beralih kepada Boromir, dan kepadanya ia memberikan ikat pinggang emas; kepada Merry dan Pippin ia memberikan ikat pinggang kecil dari perak, masing-masing dengan gesper yang ditempa menyerupai bunga emas. Kepada Legolas ia memberikan busur sama den-an yang digunakan bangsa Galadhrim, lebih panjang dan kokoh daripada panah Mirkwood, dan diikat dengan seutas rambut Peri. Bersama itu diberikannya juga setabung anak panah.
"Untukmu, tukang kebun kecil dan pecinta pohon," kata Galadriel pada Sam, "aku hanya punya hadiah kecil." ia meletakkan ke tangan Sam sebuah kotak kecil dari kayu kelabu polos, tidak berhias, kecuali satu lambang perak di tutupnya. "Ini huruf G untuk Galadriel," katanya, "tapi juga bisa berarti 'kebun' dalam bahasamu. Di dalam kotak ini ada tanah dari kebun buah-buahanku, dan berkat yang masih bisa dilimpahkan Galadriel ada di dalamnya. Tanah ini tidak akan membuatmu bertahan di jalan, atau membelamu terhadap bahaya; tapi kalau kau menyimpannya dan kelak kau kembali pulang, mungkin dia baru menunjukkan manfaatnya. Meski lingkungan sekitarmu gersang dan kosong, kebunmu akan menjadi satu dari sedikit kebun paling indah di Dunia Tengah, kalau kau menaburkan tanah itu di sana. Lalu kau akan ingat pada Galadriel, dan kau akan melihat sekilas pemandangan di Lorien dari jauh, yang hanya kausaksikan di saat musim din,-In. Sebab musim semi dan musim panas kami sudah lewat, dan takkan terlihat lagi di dunia, kecuali dalam ingatan."
Wajah Sam memerah sampai ke telinganya, dan ia menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar, ketika ia memegang erat kotak itu dan membungkuk sebagus mungkin.
"Dan hadiah apa yang akan diminta seorang Kurcaci dari ban-sa Peri?" tanya Galadriel kepada Gimli.
"Tidak ada, Lady," jawab Gimli. "Sudah cukup bagiku telah melihat Lady bangsa Galadhrim, dan mendengarkan kata-katanya yang lembut."
"Dengar itu, hat para Peri!" seru Galadriel kepada semua di sekitarnya. "Jangan ada lagi yang mengatakan bahwa Kurcaci adalah bangsa yang rakus dan tidak tahu berterima kasih! Tapi Gimli, putra Min, pasti ada sesuatu yang kauinginkan, yang bisa kuberikan. Sebutkan, kumohon! Kau tidak boleh menjadi satu-satunya tamu tanpa hadiah."
"Tidak ada, Lady Galadriel," kata Gimli, membungkuk rendah dan berbicara terbata-bata. "Tidak ada, kecuali kalau boleh kecuali diizinkan untuk meminta... maksudku untuk menyebut... satu helai rambutmu yang keindahannya melebihi emas di bumi, seperti bintang melebihi permata-permata dari tambang. Aku tidak layak meminta hadiah seperti itu. Tapi kau memerintahkan aku untuk menyebutkan hasratku."
Para Peri tersentak dan bergumam kaget, dan Celeborn menatap Kurcaci itu dengan heran, tapi Galadriel tersenyum. "Konon keterampilan bangsa Kurcaci ada pada tangan mereka, bukan pada lidah," katanya, "tapi itu tidak berlaku bagi Gimli. Karena belum pernah ada yang mengajukan permintaan yang begitu berani, namun begitu sopan. Dan bagaimana aku bisa menolak, karena aku yang memerintahkannya berbicara? Tapi katakan padaku, apa yang akan kaulakukan dengan hadiah seperti itu?"
"Menyimpannya dengan hati-hati, Lady," jawab Gimli, "sebagai kenangan terhadap kata-katamu pada pertemuan kita yang pertama. Dan kalau aku suatu saat nanti kembali ke tukang pandai besi di rumah, maka rambut itu akan diawetkan dalam kristal yang tak bisa hancur, untuk menjadi pusaka rumahku, dan sebagai ikrar iktikad baik antara wilayah Gunung dan Hutan, sampai akhir zaman." Lalu Galadriel membuka salah satu jalinan rambutnya yang panjang, memotong tiga helai rambut emas, dan meletakkannya di tangan Gimli. "Kukatakan padamu, bersama dengan pemberian ini," katanya. "Aku tidak meramal, karena semua ramalan sekarang sia-sia: di satu pihak ada kegelapan, dan di pihak lain hanya harapan. Tapi kalau harapan akhirnya menang, maka kukatakan padamu, Gimli putra Gloin, bahwa tanganmu akan dialiri emas, namun emas itu tidak akan menguasai hatimu.
"Dan kau, Pembawa Cincin," kata Galadriel, berbicara pada Frodo. "Aku mendatangimu terakhir, meski tempatmu bukan yang terakhir dalam pikiranku. Untukmu aku sudah menyiapkan ini." ia mengangkat sebuah tabung kecil dari kristal: berkilauan ketika ia menggerakkannya, dan sinar-sinar putih keluar dari tangannya. "Dalam tabung ini," katanya, "ada cahaya bintang Earendil, dimasukkan ke dalam air dari air mancurku. Dia akan bersinar lebih terang pada malam hari. Semoga ini menjadi cahaya bagimu di tempat-tempat gelap, ketika semua cahaya lain padam. Ingatlah Galadriel dan Cermin-nya!"
Frodo menerima tabung itu, dan untuk beberapa saat, ketika tabung itu bersinar di antara mereka, ia sekali lagi melihat Galadriel berdiri seperti ratu, agung dan cantik, namun tak lagi mengerikan. Ia membungkuk, dan tak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan.
Setelah itu Galadriel bangkit berdiri, dan Celeborn menuntunnya kembali ke dermaga. Tengah hari yang kuning menggantung di atas daratan hijau Tongue, dan air berkilau keperakan. Semuanya akhirnya siap. Rombongan itu menempati tempat masing-masing, seperti tadi. Sambil meneriakkan salam perpisahan, para Peri dari Lorien mendorong mereka keluar ke air yang mengalir, dengan tongkat panjang kelabu, dan air yang beriak perlahan-lahan membawa mereka pergi. Para pengembara itu duduk diam, tak bergerak ataupun berbicara. Di tebing hijau dekat ujung Tongue, Lady Galadriel berdiri sendirian dan diam. Saat melewatinya mereka menoleh, dan mata mereka memperhatikannya perlahan mengambang menjauh dari mereka. Sebab seperti itulah tampaknya bagi mereka: Lorien menyelinap mundur, seperti kapal cemerlang dengan pohon-pohon sihir sebagai tiang, berlayar ke pantai-pantai terlupakan, sementara mereka duduk tak berdaya di perbatasan dunia yang kelabu tanpa dedaunan.
Sementara mereka memandang, Silverlode mengalir keluar ke aliran Sungai Besar, perahu-perahu mereka membelok dan mulai melaju ke selatan. Tak lama kemudian, sosok putih Lady Galadriel menjadi kecil dan jauh. Ia bercahaya seperti jendela kaca di atas bukit, jauh di bawah matahari yang sedang terbenam, atau seperti danau di kejauhan,
yang terlihat dari gunung: sebuah kristal yang jatuh ke pangkuan bumi. Frodo merasa melihat Galadriel mengangkat tangannya sebagai perpisahan terakhir, dan jauh tapi tajam, suaranya yang jernih terdengar, bernyanyi menunggang angin. Tapi kini ia bernyanyi dalam bahasa Peri kuno dari seberang Laut, dan Frodo tak mengerti kata-katanya: musiknya indah, namun tidak menghiburnya.
Tapi kata-kata Peri itu akan selalu terpatri dalam ingatan Frodo, dan jauh setelahnya ia menerjemahkannya, sebisa mungkin: bahasanya seperti bahasa Peri dalam lagu, dan menceritakan hal-hal yang hanya sedikit diketahui di Dunia Tengah.
Ai! laurie lantar lassi surinen,
yeni unotime ve ramar aldaron!
Yeni ve linte yuldar avanier
mi oromardi lisse-miruvoreva
Andune pella, Vardo tellumar
nu luini yassen tintilar I eleni
omaryo airetari-lirinen.
Si man I yulma enquantuva?
An si Tintalle Varda Oisolosseo
ve fanyar maryat Elentari ortane
ar ilye tier undulave lumbule;
ar sindanoriello caita mornie
I falmalinnar imbe met, ar hisie
untupa Calaciryo miri oiale.
Si vanwa na, Romello vanwa, Valimar!
Namarie! Nai hiruvalye Valimar.
Nai elye hiruva. Namarie!
"Ah! Bagaikan emas, daun-daun berjatuhan dalam tiupan angin, tahun-tahun panjang seperti sayap pepohonan! Tahun-tahun panjang sudah berlalu, seperti tegukan cepat anggur manis di aula-aula megah di luar Barat, di bawah kubah-kubah Varda di mana bintang-bintang bergetar dalam nyanyiannya, suci dan agung. Siapa sekarang akan mengisi kembali cangkir untukku? Karena kini si Pembuat Api, Varda, Ratu Bintang, dari Gunung Everwhite, mengangkat tangannya seperti awan, dan semua jalan terbenam dalam kegelapan; dan di luar negeri kelabu itu kegelapan menutupi ombak berbuih di antara kita, dan kabut menyelubungi permata Calacirya untuk selamanya. Kini Valimar hilang, hilang dari Timur! Selamat tinggal! Mungkin kau akan menemukan Valimar. Mungkin kau akan menemukannya. Selamat tinggal!" Varda adalah nama Lady yang oleh bangsa Peri di negeri terasing ini disebut Elbereth.
Mendadak aliran Sungai membelok, tebingnya naik di kedua sisi, dan cahaya Lorien pun tersembunyi. Ke negeri elok itu Frodo tak pernah lagi kembali.
Para pengembara itu sekarang menghadapi perjalanan mereka; matahari ada di depan, dan mata mereka silau, karena semuanya tergenang air mata. Gimli menangis terang-terangan.
"Aku telah melihat pemandangan terindah, untuk terakhir kali," katanya kepada Legolas, sahabatnya. "Mulai sekarang takkan ada yang indah bagiku, kecuali hadiahnya." ia meletakkan tangannya di dada.
"Katakan padaku, Legolas, kenapa aku ikut dalam Pencarian ini? Aku sama sekali tidak tahu, di mana bahayanya yang utama! Elrond berkata benar, bahwa kita takkan bisa meramalkan apa yang bakal kita temui di jalan. Siksaan dalam gelap adalah bahaya yang kutakuti, namun itu tidak menahanku untuk ikut. Tapi aku tidak akan ikut seandainya aku tahu bahaya kebahagiaan dan cahaya. Sekarang aku menderita luka paling parah dalam perpisahan ini, kalaupun malam ini juga aku langsung dihadapkan pada sang Penguasa Kegelapan. Aduh, malangnya Gimli putra Gloin!"
"Tidak!" kata Legolas. "Malang kita semua! Dan semua yang mengembara di dunia, di hari-hari masa sisa ini. Karena begitulah keadaannya: menemukan dan kehilangan, seperti yang dialami mereka yang perahunya melaju di air. Tapi menurutku kau termasuk diberkati, Gimli putra Gloin: sebab kehilanganmu kauderita atas kemauan sendiri, padahal kau bisa saja memilih yang lain. Tapi kau tidak meninggalkan kawan-kawanmu, dan setidaknya imbalan yang akan kauterima adalah bahwa ingatan kepada Lothlorien akan selalu jelas tak bernoda di dalam hatimu, tak akan mengabur atau membusuk."
"Mungkin," kata Gimli, "dan terima kasih atas kata-katamu. Kata-kata yang tulus, tapi semua penghiburan seperti itu dingin rasanya. Kenangan bukanlah apa yang kuinginkan. Kenangan hanya seperti cermin, meski sejernih Kheled-zaram. Begitulah menurut kata hati Gimli si Kurcaci. Bangsa Peri mungkin punya pandangan lain. Memang kudengar bahwa bagi mereka, ingatan lebih seperti dunia alam sadar daripada seperti mimpi. Namun tidak demikian halnya bagi Kurcaci.
"Tapi sudahlah, jangan kita bicarakan lagi hal itu. Perhatikan perahu! Dia terlalu rendah masuk ke air, dengan semua muatan ini, dan Sungai Besar deras alirannya. Aku tak ingin membenamkan kesedihanku di dalam air dingin." ia mengangkat sebuah dayung, dan mengemudi ke arah tebing barat, mengikuti perahu Aragorn di depan, yang sudah bergerak keluar dari aliran tengah.
Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan panjang mengarungi sungai deras, terus menuju selatan. Pohon-pohon gundul menjulang di sepanjang tebing di kedua sisi, dan mereka tak bisa melihat sama sekali daratan di belakangnya. Angin berhenti dan Sungai terus mengalir tanpa suara. Tak ada cericip burung memecah kesunyian. Matahari jadi berkabut ketika hari semakin sore, sampai ia bersinar di langit pucat seperti mutiara putih tinggi. Lalu ia memudar ke Barat, dan senja datang dengan cepat, disusul malam kelabu tak berbintang. Sampai larut malam mereka mengapung jauh, mengemudikan perahu di bawah bayangan hutan yang menggantung di atas. Pohon-pohon besar lewat bagai hantu-hantu, menjorokkan akar-akar mereka yang terpelintir dan haus ke dalam air dari balik kabut. Dingin dan suram. Frodo duduk mendengarkan pukulan dan geluguk lemah Sungai yang resah di antara akar-akar pepohonan dan kayu apung dekat pantai, sampai kepalanya mengangguk-angguk dan ia tertidur gelisah.
Buku 2 Bab 09

SUNGAI BESAR
Frodo dibangunkan Sam. Ia menemukan dirinya terbaring, diselimuti dengan baik, di bawah pohon-pohon tinggi berkulit kelabu di sebuah pojok tenang, di hutan tebing barat Sungai Besar Anduin. Ia sudah tidur sepanjang malam, dan cahaya kelabu pagi tampak redup di antara dahan-dahan gundul. Gimli sedang sibuk dengan api kecil di dekatnya.
Mereka berangkat lagi sebelum pagi merebak. Bukan karena kebanyakan anggota Rombongan ingin terburu-buru pergi ke selatan: mereka puas bahwa keputusan yang harus mereka ambit, paling lambat saat mereka sampai ke Rauros dan Pulau Tindrock, masih beberapa hari di depan; dan mereka membiarkan Sungai itu membawa mereka dengan kecepatannya sendiri, tanpa ingin mempercepat perjalanan menuju bahaya yang ada di depan, arah mana pun yang mereka pilih pada akhirnya. Aragorn membiarkan mereka mengapung mengikuti aliran sungai sekehendak mereka, menghemat tenaga menghadapi keletihan yang akan datang. Tapi ia menuntut setidaknya mereka berangkat awal setup pagi, dan berjalan sampai larut sore; karena dalam hati ia merasa waktu sudah mendesak, dan ia khawatir sang Penguasa Kegelapan tidak berdiam diri ketika mereka berlama-lama di Lorien.
Meski demikian, mereka tidak melihat tanda-tanda ada musuh pada hari itu, atau keesokannya. Jam-jam menjemukan yang kelabu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Ketika hari ketiga perjalanan mereka berlanjut, daratan lambat laun berubah: pohon-pohon semakin jarang, kemudian sama sekali hilang. Di tebing timur sebelah kiri, mereka melihat lereng-lereng panjang tak berbentuk, mendaki ke atas, menuju langit; cokelat dan layu tampaknya, seolah bekas diterjang api, tidak menyisakan sehelai pun kehijauan: suatu tanah kosong yang tidak ramah, tanpa satu pun pohon patah atau bebatuan kokoh untuk mengisi kekosongannya. Mereka telah tiba di Negeri-Negeri Cokelat yang terbentang luas dan kosong, antara Mirkwood Selatan dari bukit-bukit Emyn Mull. Entah wabah atau perang atau kejahatan apa dari Musuh yang telah menghancurkan wilayah itu, bahkan Aragorn pun tidak tahu.
Di sisi barat sebelah kiri, tanahnya juga tak berpohon, namun datar. Di banyak tempat, ada kehijauan dengan padang-padang rumput luas. Di sisi Sungai ini mereka melewati hutan-hutan alang-alang tinggi, begitu tinggi hingga menutupi seluruh pemandangan ke barat, ketika perahu-perahu kecil itu berdesir melewati tepi sungai yang bergetar. Bulu-bulu alang-alang yang layu membengkok dan bergoyang dalam udara dingin, mendesis perlahan dan sedih. Di sana-sini, melalui bukaan, Frodo bisa melihat sekilas padang-padang terhampar, jauh di belakangnya berdiri bukit-bukit di bawah matahari terbenam, dan jauh di batas penglihatan ada sebuah garis gelap, di mana berdiri berbaris punggung-punggung selatan Pegunungan Berkabut.
Tak ada tanda-tanda makhluk hidup yang bergerak, kecuali burung. Banyak sekali burung: unggas-unggas kecil bersiul dan berbunyi nyaring di tengah alang-alang, tapi jarang tampak. Sekali-dua kali para pengembara itu mendengar kepakan dan desiran sayap angsa. Ketika menengadah, mereka melihat sekawanan besar angsa terbang di angkasa.
"Angsa!" kata Sam. "Dan sangat besar pula!"
"Ya," kata Aragorn, "dan mereka angsa hitam."
"Betapa luas dan kosong, dan menyedihkan negeri ini!" kata Frodo. "Aku selalu membayangkan bahwa kalau kita berjalan ke selatan, suasana akan semakin hangat dan gembira, sampai musim dingin tertinggal di belakang untuk selamanya."
"Tapi kita belum berjalan jauh ke selatan," jawab Aragorn. "Sekarang masih musim dingin, dan kita jauh dari laut. Di sini dunia akan dingin, sampai musim semi merekah tiba-tiba, dan mungkin masih akan turun salju lagi. Jauh di Teluk Belfalas, ke mana Anduin mengalir, cuacanya hangat dan gembira-mungkin-atau bisa begitu kalau tidak ada Musuh. Tapi sekarang ini kita berada lebih dari enam puluh league, kukira, di sebelah selatan Wilayah Selatan Shire-mu, ratusan mil yang panjang di sana. Sekarang kau memandang ke arah barat-daya, melintasi padang utara Riddermark, Rohan, negeri para Penguasa Kuda. Tak lama lagi kita sampai ke muara Limlight yang mengalir dari Fangorn untuk bergabung dengan Sungai Besar. Itu batas utara Rohan; dan sejak dulu semua yang terletak antara Limlight
dan Pegunungan Putih menjadi milik bangsa Rohirrim. Negeri yang kaya dan nyaman, dan rumputnya tak tertandingi; tapi di masa kelam ini tak ada orang yang tinggal dekat Sungai atau sering naik kuda sampai ke pantainya. Anduin lebar sekali, tapi para Orc bisa menembakkan panah mereka jauh menyeberangi sungai; dan belakangan ini, katanya, mereka sudah berani menyeberangi` sungai, merampok ternak dan kuda Rohan."
Sam memandang dari tebing ke tebing dengan perasaan tidak enak. Sebelumnya, pepohonan kelihatan bermusuhan, seolah mereka mempunyai mata rahasia dan menyimpan bahaya tersembunyi; sekarang ia berharap pohon-pohon itu masih di sana. Ia merasa Rombongan mereka terlalu telanjang, mengapung dalam perahu-perahu terbuka di tengah negeri tanpa perlindungan, di sungai yang merupakan garis depan perang.
Pada satu-dua hari berikutnya, ketika mereka meneruskan perjalanan, terus mengarah ke selatan, perasaan tidak aman menghinggapi seluruh Rombongan. Sehari penuh mereka berdayung memacu perahu. Tebing-tebing lewat dengan cepat. Segera Sungai itu melebar dan jadi semakin dangkal; pantai-pantai panjang berbatu ada di sisi timur, dan ada beting-beting batu di dalam air, sehingga mereka harus mengemudi dengan hati-hati. Negeri-Negeri Cokelat menjelma menjadi perbukitan terbuka yang gersang, dari atasnya angin dingin dari Timur berembus. Di sisi lain, padang-padang menjelma menjadi bukit-bukit rendah, dengan rumput layu di tengah daratan yang penuh genangan air dan gerombolan rumput tebal. Frodo menggigil memikirkan halaman dan air mancur, hujan lembut dan jernih di Lothlorien. Hanya sedikit pembicaraan, dan tidak ada tawa di dalam perahu-perahu mereka. Setiap anggota Rombongan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hati Legolas sedang berlari di bawah sinar bintang di malam musim panas, di suatu lembah utara di antara pepohonan beech; Gimli sedang memegang emas dalam pikirannya, mempertimbangkan pantaskah emas itu ditempa ke dalam wadah yang akan dipergunakan untuk menyimpan pemberian Lady Galadriel. Merry dan Pippin di perahu tengah merasa tidak nyaman, karena Boromir menggerutu sendirian, kadang-kadang menggigit kuku, seolah tengah diliputi keresahan atau keraguan, kadang-kadang mengangkat dayung dan memacu perahu sampai dekat ke perahu Aragorn. Pippin, yang duduk di haluan menghadap ke belakang, menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, ketika ia menatap tajam ke Frodo. Sam sudah lama memutuskan bahwa, meski perahu mungkin tidak berbahaya seperti yang diyakininya selama ini, toh perahu itu jauh lebih tidak nyaman daripada yang dibayangkannya. Ia terkekang dan sengsara, tanpa kegiatan lain selain menatap dataran musim dingin merangkak lewat dan air kelabu di kedua sisinya. Bahkan ketika dayung harus digunakan, mereka tidak mempercayai Sam untuk mengayuh.
Ketika senja turun di hari keempat, Sam memandang ke belakang dari atas, kepala Frodo dan Aragorn dan perahu-perahu yang mengikuti; ia mengantuk dan sangat mendambakan tidur serta merasakan tanah di bawah jari kakinya. Mendadak sesuatu menarik perhatiannya: mula-mula ia memandangnya tanpa gairah, lain ia duduk tegak dan menyeka matanya; tapi ketika ia memandang lagi, "sesuatu" aku sudah tak terlihat.
Malam itu mereka bermalam di sebuah pulau kecil, dekat ke tebing barat. Sam berbaring diselubungi selimut di samping Frodo. "Aku mimpi aneh satu-dua jam sebelum kita berhenti, Mr. Frodo," katanya. "Atau mungkin itu bukan mimpi. Tapi pokoknya lucu."
"Well, apa itu?" kata Frodo, tahu bahwa Sam tidak akan diam sebelum menceritakannya, apa pun itu. "Aku tidak melihat atau memikirkan apa pun yang bisa membuatku tersenyum sejak kita meninggalkan Lothlorien."
"Bukan lucu semacam itu, Mr. Frodo. Ganjil. Aneh sekali, kalau aku bukan mimpi. Dan sebaiknya kau mendengarnya. Seperti ini: aku melihat batang kayu bermata!"
"Batang kayu memang benar," kata Frodo. "Banyak batang kayu di Sungai. Tapi tanpa mata!"
"Tidak bisa," kata Sam. "Justru mata aku yang membuat aku duduk tegak, bisa dikatakan begitu. Aku melihat sesuatu yang kukira batang kayu mengambang dalam cahaya remang-remang di belakang perahu Gimli; tapi aku tidak begitu memperhatikan. Kemudian tampaknya batang kayu itu menyusul kita perlahan-lahan. Dan itu aneh, karena kita semua mengambang bersama di atas aliran air. Persis saat itu aku melihat matanya: dua titik pucat, agak bersinar, pada benjolan di ujung terdekat batang itu. Lagi pula, ternyata itu bukan batang kayu, karena dia mempunyai kaki pengayuh, hampir seperti angsa, hanya kelihatan lebih besar, dan keluar-masuk ke dalam air.
"Saat itulah aku duduk tegak dan menyeka mataku, dengan maksud akan berteriak, kalau dia masih ada di sana setelah aku menghapus kantuk dari mataku. Sebab, benda apa pun itu, sekarang dia mulai mendekat dengan cepat dan sudah dekat sekali di belakang Gimli. Tapi apakah dua lampu itu melihat aku bergerak dan memandang, ataukah aku yang sadar kembali, aku tidak tahu. Ketika aku menengok lagi, dia sudah tidak di sana. Meski begitu, aku merasa melihat sekilas, dengan ekor mataku, begitu istilahnya, sesuatu yang gelap meluncur cepat ke bawah bayangan tebing. Tapi aku tak bisa melihat mata itu lagi.
"Aku berkata pada diriku sendiri, 'Mimpi lagi, Sam Gamgee.' Dan aku tidak berbicara lagi saat itu. Tapi sejak itu aku berpikir terus, dan sekarang aku tidak begitu yakin. Bagaimana menurutmu, Mr. Frodo?"
"Menurutku yang kaulihat itu tidak lebih dari sebatang kayu, juga senja dan kantuk dalam matamu, Sam," kata Frodo, "kalau Hit pertama kalinya mata aku terlihat. Tapi ini bukan pertama kalinya. Aku melihatnya di utara, sebelum kita sampai di Lorien. Dan aku melihat makhluk aneh yang mempunyai mata memanjat pohon malam itu. Haldir juga melihatnya. Dan ingatkah kau laporan para Peri yang mengejar gerombolan Orc?"
"Ah," kata Sam, "aku ingat; dan aku ingat lebih banyak lagi. Aku tidak suka pikiranku; tapi setelah memikirkan satu dan lain hal, termasuk cerita-cerita Mr. Bilbo dan lain-lain, rasanya aku bisa memberi nama pada makhluk itu, menebak-nebaknya. Sebuah nama yang jahat. Gollum, mungkin?"
"Ya, aku yang kukhawatirkan selama beberapa waktu belakangan ini," kata Frodo. "Sejak malam di atas flet. Kuduga dia bersembunyi di Moria, dan menangkap jejak kita di sana; tapi kuharap masa-masa kita di Lorien akan membuat dia kehilangan jejak lagi. Makhluk malang aku pasti bersembunyi di hutan dekat Silverlode, memperhatikan kita berangkat!"
"Kira-kira begitu," kata Sam. "Dan sebaiknya kita sedikit lebih waspada, atau kita akan merasakan jari-jari menjijikkan aku di leher kita suatu hari nanti, kalau kita bisa bangun untuk merasakan sesuatu. Dan itulah tujuan pembicaraanku. Tak perlu mengganggu Strider atau yang lain malam ini. Aku akan berjaga. Aku bisa tidur besok, karena aku cuma menjadi muatan di perahu ini, bisa dibilang begitu."
"Aku bisa bilang begitu," kata Frodo, "kau adalah 'muatan bermata'. Kau boleh berjaga, kalau kau berjanji akan membangunkan aku menjelang pagi, kalau tidak ada yang terjadi sebelumnya."
Di pagi buta Frodo terjaga dari tidur yang dalam dan gelap, dan menyadari bahwa Sam membangunkannya. "Sayang sekali harus membangunkanmu," bisik Sam, "tapi kau sudah berpesan begitu. Tidak ada yang bisa diceritakan, atau tidak banyak. Rasanya aku mendengar suara cemplungan dan mendengus-dengus, beberapa waktu lain; tapi banyak bunyi aneh seperti itu terdengar di dekat sungai pada malam hari."
Sam berbaring, dan Frodo bangkit duduk, meringkuk dalam selimutnya, melawan rasa kantuknya. Bermenit-menit atau berjam-jam lewat dengan lamban, dan tidak ada yang terjadi. Frodo baru saja menyerah pada godaan untuk berbaring lagi ketika suatu sosok gelap, hampir tidak kelihatan, mengambang dekat ke salah satu perahu yang berlabuh. Tangan panjang keputih-putihan terlihat samar-samar ketika sosok itu keluar dari air dan memegang bibir perahu; dua mata seperti lampu yang bersinar dingin memandang ke dalam perahu, kemudian mata itu naik dan memandang Frodo di atas pulau. Jaraknya tidak lebih dari dua meter atau lebih, dan Frodo mendengar bunyi desis perlahan napas yang ditarik. Frodo berdiri, menghunus Sting dari sarungnya, dan menghadap ke kedua mata itu. Langsung sinar mata itu padam. Terdengar bunyi desis lagi dan cemplungan, dan sosok kayu gelap itu meluncur cepat dalam air, menghilang di malam gelap. Aragorn bergerak dalam tidurnya, membalikkan tubuh, dan bangkit duduk.
"Ada apa?" bisiknya, melompat berdiri dan mendekati Frodo. "Aku merasakan sesuatu dalam tidurku. Kenapa kau menghunus pedangmu?"
"Gollum," jawab Frodo. "Atau setidaknya dia, kuduga."
"Ah!" kata Aragorn. "Kalau begitu, kau juga tahu tentang perampok kecil kita, bukan? Dia terus berjalan di belakang kita di Moria, sampai ke Nimrodel. Sejak kita naik perahu, dia berbaring di atas batang kayu dan mengayuh dengan tangan dan kakinya. Aku mencoba menangkapnya sekali-dua kali di malam hari, tapi dia lebih lihai daripada rubah, dan sama licinnya seperti ikan. Aku berharap perjalanan lewat sungai akan mengalahkannya, tapi dia makhluk air yang terlalu cerdik.
"Besok kita terpaksa mencoba meluncur lebih cepat. Sekarang kau berbaring saja, dan aku akan berjaga sepanjang sisa malam ini. Aku berharap bisa menangkap makhluk malang itu. Kita bisa memanfaatkan dia. Tapi kalau tidak bisa, kita harus mencoba melepaskan diri darinya. Dia berbahaya sekali. Selain dia sendiri bisa membunuh di malam hari, dia bisa membuat musuh yang sedang berkeliaran jadi tahu jejak kita."
Malam itu berlalu tanpa Gollum menunjukkan bayangannya lagi. Setelah itu Rombongan tersebut terus waspada, tapi mereka tidak melihat Gollum lagi sepanjang perjalanan itu. Kalau ia masih mengikuti mereka, maka ia sangat hati-hati dan cerdik. Atas permintaan Aragorn, sekarang mereka mendayung cukup lama, dan tebing-tebing lewat dengan cepat. Tapi mereka hanya sedikit melihat daratan, karena kebanyakan mereka berjalan di malam dan senja hari, beristirahat di pa-1 hari, dan bersembunyi sebisa mungkin, sesuai keadaan daratan. Dengan cara ini, waktu berlalu tanpa kejadian apa pun sampai hari ketujuh.
Cuaca masih mendung dan kelabu, an-in bertiup dari Timur, tapi ketika senja menjelma menjadi malam, langit di barat mulai jernih, dan kolam-kolam cahaya redup, berwarna kuning dan hijau pucat, tersingkap di bawah kerumunan awan kelabu. Di sana kulit putih Bulan baru terlihat bersinar di danau-danau nun jauh. Sam memandangnya dan mengerutkan ails.
Keesokan harinya, daratan di kedua sisi sungai mulai berubah cepat. Tebing-tebing mulai mendaki dan jadi berbatu-batu. Tak lama kemudian, mereka melewati daratan berbukit batu karang, di kedua pantai ada lereng-lereng curam yang terkubur di bawah semak-semak berduri dan semak buah sloe, kusut dengan bramble dan tanaman merambat. Di belakangnya berdiri batu-batu karang rendah yang hancur, dan cerobong-cerobong batu kelabu yang termakan cuaca dan gelap karena dipenuhi tanaman ivy; di belakangnya lagi menjulang punggung-punggung bukit bermahkotakan cemara yang menggeliat-geliat tertiup angin. Mereka sudah mendekati daratan berbukit kelabu. Emyn Muil, perluasan Belantara sebelah selatan.
Banyak burung di sekitar batu karang dan cerobong batu, dan sepanjang hari kawanan burung berputar-putar jauh tinggi di angkasa, hitam berlatar belakang langit pucat. Ketika mereka berbaring di perkemahan hari itu, Aragorn memperhatikan burung-burung itu dengan ragu, bertanya dalam hati, apakah Gollum sudah berbuat kenakalan, dan kabar tentang perjalanan mereka sekarang sedang bergerak di belantara. Ketika matahari sedang terbenam, dan Rombongan mereka bersiap-siap berangkat lagi, ia melihat sebuah bercak, gelap di depan cahaya yang memudar: seekor burung besar tinggi dan jauh sekali, kadang berputar-putar, kadang terbang terus perlahan ke selatan.
"Apa itu, Legolas?" tanya Aragorn, menunjuk ke langit utara. "Apakah itu seekor dang, seperti yang kuduga?"
"Ya," kata Legolas. "Itu elang, elang pemburu. Pertanda apa itu kira-kira? Dia jauh dari pegunungan."
"Kita tidak akan berangkat sampai gelap sama sekali," kata Aragorn.
Malam kedelapan perjalanan mereka. Sunyi dan tidak berangin; angin timur yang kelabu sudah berlalu. Bulan sabit tipis sudah muncul lebih awal saat matahari terbenam, tapi langit di atas jernih, dan meski jauh di selatan ada kerumunan awan yang masih bersinar redup, di Barat bintang-bintang bercahaya terang.
"Ayo!" kata Aragorn. "Kita akan memberanikan diri lagi melakukan perjalanan malam hari. Kita sampai ke wilayah Sungai yang tidak begitu kukenal, sebab aku belum pernah melakukan perjalanan melalui air di wilayah ini, antara sini dengan air terjun Sarn Gebir. Tapi bila perkiraanku benar, air terjun itu masih bermil-mil jaraknya dari sini. Tapi masih ada berbagai tempat berbahaya sebelum kita tiba di sana: batu-batu dan pulau berbatu di sungai. Kita harus waspada dan mencoba mendayung tidak terlalu cepat."
Sam di perahu pelopor ditugasi sebagai pengawas. Ia berbaring sambil mengintai ke dalam kegelapan. Malam kelam, tapi bintang-bintang di atas sangat terang, cahayanya tercermin di permukaan Sungai. Sudah dekat tengah malam, dan mereka sudah mengambang untuk beberapa saat, hampir tidak menggunakan dayung, ketika mendadak Sam berteriak. Hanya beberapa meter di depan, sosok-sosok gelap muncul di sungai, dan ia mendengar putaran air berpacu. Ada aliran deras yang membelok ke kiri, ke pantai timur yang salurannya mulus. Ketika mereka tersapu ke samping, para pengembara itu bisa melihat, dekat sekali sekarang, buih-buih pucat Sungai memukul batu-batu tajam yang menjorok jauh ke tengah, seperti pinggiran bergerigi. Perahu-perahu semuanya berkerumun.
"Hai, Aragorn!" teriak Boromir, ketika perahunya menabrak perahu pelopor. "Ini gila! Kita tak bisa menentang Air Terjun di malam hari! Tapi tidak ada perahu yang bisa bertahan di Sarn Gebir, baik siang maupun malam."
"Kembali, kembali!" teriak Aragorn. "Putar! Putar, kalau bisa!" ia mendorong dayungnya ke dalam air, berusaha menahan perahu dan memutarnya.
"Aku salah hitung," katanya pada Frodo. "Aku tidak tahu kita sudah berjalan sejauh ini: Anduin mengalir lebih kencang daripada perkiraanku. Sarn Gebir pasti sudah dekat sekali."
Dengan upaya keras, mereka mengendalikan perahu dan memutarnya perlahan; pada mulanya mereka hanya bisa melaju lambat sekali melawan arus, dan selama itu mereka terbawa semakin dekat ke tebing timur. Kini tebing itu menjulang gelap dan mengancam dalam kegelapan malam.
"Dayung bersama-sama, dayung!" teriak Boromir. "Dayung! Kalau tidak, kita akan terempas ke tebing." Bahkan saat Boromir masih bicara, Frodo sudah merasa lunas perahu menggesek bebatuan di bawah.
Tepat pada saat itu ada bunyi dentingan busur: beberapa panah berdesing lewat di atas mereka, dan beberapa jatuh di antara mereka. Satu menghantam Frodo di antara bahunya, dan ia bergerak maju sambil berteriak, melepaskan dayungnya, tapi panah itu jatuh terpental, ditahan oleh rompi logamnya yang tersembunyi. Satu yang lain menembus kerudung Aragorn: dan yang ketiga menancap pada pinggiran lambung perahu, dekat tangan Merry. Sam merasa bisa melihat sekilas sosok-sosok hitam berlarian ke sana kemari di atas tumpukan papan panjang yang terletak di bawah pantai timur. Tampaknya mereka dekat sekali.
"Yrch!" kata Legolas, memakai bahasanya sendiri.
"Orc!" teriak Gimli.
"Gara-gara Gollum, aku yakin," kata Sam pada Frodo. "Dan tempat yang manis pula untuk dipilih. Sungai ini seolah bertekad mengantar kita langsung ke tangan mereka!"
Mereka semua bersandar ke depan sambil mendayung dengan giat: bahkan Sam ikut mengayuh. Setiap saat mereka menunggu gigitan panah berbulu hitam. Banyak panah mendesing di atas kepala, atau menghunjam masuk ke air di dekat mereka; tapi tidak ada lagi yang kena sasaran. Malam gelap, tapi tidak terlalu gelap untuk mata-malam para Orc, dan di bawah cahaya bintang, mereka pasti menjadi sasaran empuk bagi musuh yang cerdik, kecuali kalau jubah-jubah kelabu dari Lorien dan kayu kelabu dari perahu-perahu buatan Peri bisa mengalahkan kejahatan para pemanah dari Mordor.
Kayuhan demi kayuhan mereka terus mendayung. Dalam kegelapan, sulit untuk yakin apakah mereka memang bergerak; tapi lambat laun putaran air semakin berkurang, dan bayangan tebing timur memudar kembali ke dalam kegelapan malam. Akhirnya, sejauh mereka bisa menduga, mereka sudah sampai ke tengah aliran sungai lagi dan perahu mereka sudah diputar balik cukup jauh di atas bebatuan yang menonjol. Lalu, sambil setengah berputar, mereka mendorong perahu-perahu mereka sekuat tenaga menuju pantai barat. Di bawah bayangan semak-semak yang condong di atas permukaan air, mereka berhenti dan menarik napas.
Legolas meletakkan dayungnya dan mengambil busur yang dibawanya dari Lorien. Lalu ia melompat ke darat dan mendaki beberapa langkah ke atas tebing. Sambil menarik busur dan memasang panah, ia membalikkan badan, mengintai kembali ke arah Sungai, ke dalam kegelapan. Di seberang sungai terdengar teriakan-teriakan nyaring, tapi tidak terlihat apa-apa.
Frodo memandang Legolas yang berdiri tinggi di atasnya, menatap ke dalam malam kelam, mencari sasaran untuk dipanah. Kepalanya gelap, bermahkotakan bintang-bintang putih tajam yang bersinar di kolam-kolam hitam langit di belakangnya. Tapi kini awan-awan besar naik dan meluncur dari Selatan, mengirimkan pengawal-pengawal gelap ke padang-padang berbintang. Rasa cemas mendadak menyerang Rombongan.
"Elbereth Gilthoniel!" keluh Legolas sambil menengadah. Ketika ia mengangkat kepala ke langit, sebuah bentuk gelap seperti awan tapi bukan awan, karena ia bergerak jauh lebih cepat-muncul dari kehitaman di Selatan, dan melaju cepat mendekati Rombongan, menutupi semua cahaya ketika semakin mendekat. Tak lama kemudian, ia tampak sebagai makhluk besar bersayap, lebih hitam daripada sumur di malam hari. Suara-suara garang naik menyambutnya dari seberang sungai. Rasa dingin tiba-tiba mengaliri Frodo dan mencengkeram jantungnya; rasa dingin mematikan, seperti ingatan pada luka lama di pundaknya. Ia berjongkok, seolah hendak bersembunyi.
Mendadak busur besar dari Lorien berdesing. Dengan nyaring sebatang anak panah lepas dari busur Legolas. Frodo mendongakkan kepala. Hampir tepat di atasnya, bentuk bersayap itu melayang. Ada bunyi teriakan parau ketika ia jatuh dari udara, menghilang ke dalam kegelapan pantai timur. Langit kembali bersih. Ada keributan banyak suara jauh sekali, menyumpah dan meraung dalam kegelapan, kemudian sepi. Baik panah maupun teriakan tak muncul lagi dari timur malam itu.
Sesudah beberapa saat, Aragorn memimpin perahu-perahu kembali ke arah hulu. Mereka mereka-reka jalan sepanjang pinggir sungai, sampai jarak tertentu, hingga mereka menemukan sebuah teluk kecil yang dangkal. Beberapa pohon rendah tumbuh dekat ke pinggir air, dan di belakangnya mendaki sebuah tebing berbatu yang curam. Di sini Rombongan memutuskan tinggal dan menunggu fajar: tak ada gunanya mencoba maju lebih jauh malam itu. Mereka tidak menyiapkan tempat berkemah dan tidak menyalakan api, tapi berbaring meringkuk di dalam perahu-perahu yang ditambatkan saling berdekatan.
"Terpujilah busur Galadriel, serta tangan dan mata Legolas!" kata Gimli sambil mengunyah kue lembas. "Itu tembakan hebat dalam gelap, kawanku!"
"Tapi siapa yang tahu apa yang dikenainya?"
"Aku tidak tahu," kata Gimli. "Tapi aku gembira bahwa bayangan itu tidak semakin dekat. Aku sama sekali tidak menyukainya. Terlalu mengingatkanku pada bayangan di Moria-bayangan Balrog," ia mengakhiri perkataannya sambil berbisik.
"Itu bukan Balrog," kata Frodo, masih menggigil karena kedinginan yang menimpanya. "Makhluk ini lebih dingin. Kukira dia adalah..." Lalu ia berhenti dan diam.
"Kaupikir dia apa?" tanya Boromir bergairah, mencondongkan tubuhnya keluar dari perahu, seolah mencoba menangkap sekilas wajah Frodo.
"Kukira... tidak, aku tidak akan mengatakannya," jawab Frodo. "Apa pun itu, kejatuhannya sudah membuat cemas musuh kita."
"Kelihatannya begitu," kata Aragorn. "Tapi di mana mereka, dan berapa banyak, dan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, kita tidak tahu. Malam ini kita semua pasti tak bisa tidur! Kegelapan menyembunyikan kita saat ini. Tapi apa yang akan ditunjukkan pagi hari, siapa yang tahu? Senjata-senjata harus dalam jangkauan!"
Sam duduk mengetuk-ngetuk pangkal pedangnya, seolah ia sedang menghitung dengan jarinya, dan melihat ke langit. "Ini aneh sekali," ia bergumam. "Bulan itu sama, entah dilihat di Shire maupun di Belantara, atau seharusnya begitu. Tapi mungkin dia sudah keluar dari jadwalnya, atau aku sama sekali salah hitung. Kau ingat, Mr. Frodo, Bulan sedan memudar ketika kita berbaring di atas flet di pohon: itu seminggu sebelum bulan purnama, kupikir. Dan kita sudah seminggu dalam perjalanan tadi malam, lalu muncul Bulan Baru setipis rautan kuku, seolah kita sama sekali tidak pernah tin-gal di negeri Peri.
"Well, aku bisa ingat tiga malam di sana dengan pasti, dan aku rasanya ingat beberapa hal lagi, tapi aku berani bersumpah itu tidak sampai satu bulan penuh. Seolah-olah waktu di dalam negeri itu tak bisa dihitung!"
"Dan mungkin memang begitulah keadaannya," kata Frodo. "Di negeri itu, kita berada di suatu masa yang di tempat lain sudah lama berlalu. Menurutku, baru sejak Silverlode membawa kita kembali ke Anduin kita kembali ke waktu yang mengalir melalui negeri makhluk hidup, sampai ke Laut Besar. Dan aku tidak ingat ada bulan di Caras Galadhon, baik bulan baru maupun lama. Hanya ada bintang-bintang di malam hari, dan matahari di siang hari."
Legolas bergerak di dalam perahunya. "Tidak, waktu tak pernah berlambat-lambat," katanya, "tapi perubahan dan pertumbuhan tidak selalu sama pada semua benda dan tempat. Untuk para Peri, dunia bergerak, dan dia bergerak sangat cepat sekaligus sangat lambat. Cepat, karena mereka sendiri hanya sedikit berubah, sementara semua yang lain berpacu lewat: sangat menyedihkan bagi mereka. Lambat, karena mereka tidak menghitung tahun-tahun yang berlalu, tidak untuk diri mereka sendiri. Musim-musim yang berlalu hanya sekadar riak-riak yang selalu diulang dalam aliran yang amat sangat panjang. Meski begitu, di bawah Matahari semua hal harus menemui akhirnya suatu saat nanti."
"Tapi 'akhir' itu berjalan lamban sekali di Lorien," kata Frodo. "Kekuasaan Lady Galadriel menahannya. Jam-jam bermuatan penuh, meski kelihatan pendek, di Caras Galadhon, di mana Galadriel memakai Cincin Peri."
"Seharusnya hal itu tidak diungkapkan di luar Lorien, juga tidak kepadaku," kata Aragorn. "Jangan bicarakan lagi! Tapi 'begitulah, Sam: di negeri itu kau kehilangan hitungan. Di sana waktu berlalu sangat cepat untuk kita, seperti untuk bangsa Peri. Bulan tua berlalu, bulan baru membesar dan memudar di dunia luar, sementara kita berlama-lama di sana. Dan tadi malam sebuah bulan baru datang lagi. Muslin dingin sudah hampir sirna. Waktu mengalir ke musim semi dengan hanya sedikit harapan."
Malam itu berlalu sepi sekali. Tidak ada lagi suara atau teriakan yang terdengar di seberang sungai. Para pengembara itu meringkuk dalam perahu masing-masing, merasakan perubahan cuaca. Udara menjadi panas dan hening sekali di bawah awan-awan besar yang lembap, yang datang mengalir—dari Selatan dan lautan yang jauh. Bunyi desiran Sungai di atas bebatuan air terjun tampaknya semakin keras dan dekat. Ranting-ranting pohon di atas mereka mulai menetes.
Ketika pagi merekah, dunia sekitar mereka menjadi lembut dan sedih. Perlahan-lahan fajar tumbuh menjadi cahaya pucat, membaur dan tidak berbayang-bayang. Kabut menggantung di alas Sungai, dan kabut putih menyapu pantai; tebing di seberang tidak tampak.
"Aku benci kabut," kata Sam, "tapi yang ini kelihatannya menguntungkan. Mungkin sekarang kita bisa lolos tanpa goblin-goblin terkutuk itu melihat kita."
"Mungkin begitu," kata Aragorn. "Tapi akan sulit menemukan jalan, kecuali kabut tersingkap nanti. Dan kita harus menemukan jalan, kalau mau melewati Sarn Gebir dan mencapai Emyn Mull."
"Aku tidak mengerti, kenapa kita harus melewati Air Terjun atau mengikuti Sungai lebih jauh lagi," kata Boromir. "Kalau Emyn Mull ada di depan kita, kita bisa meninggalkan perahu-perahu tiram ini, dan berjalan ke arah barat dan selatan, sampai tiba di Entwash dan masuk ke negeriku sendiri."
"Itu bisa, kalau kita menuju Minas Tirith," kata Aragorn, "tapi itu belum disepakati. Dan perjalanan ke arah sana bisa lebih berbahaya daripada kedengarannya. Lembah Entwash datar dan penuh tanah basah, dan kabut di sana merupakan bahaya mematikan bagi yang berjalan kaki dan membawa muatan. Aku tidak akan meninggalkan perahu kita sampai benar-benar perlu. Sungai Jill setidaknya suatu jalan yang jelas."
"Tapi Musuh menguasai tebing timur," protes Boromir. "Kalaupun kau bisa melewati Gerbang-Gerbang Argonath dan datang tanpa cedera ke Tindrock, apa yang akan kaulakukan kemudian? Melompat dari air terjun dan mendarat di rawa-rawa?"
"Tidak!" jawab Aragorn. "Lebih baik kita mengangkat perahu kita melalui jalan kuno ke kaki Rauros, dan di sana masuk ke air lagi. Tidakkah kau tahu, Boromir, atau kau memilih untuk melupakan Tan--a Utara, dan takhta tinggi di atas Amon Hen, yang dibangun di masa raja-raja agung? Setidaknya aku ingin berdiri di tempat tinggi itu lagi, sebelum menentukan arahku selanjutnya. Di sana, mungkin, kita akan melihat suatu pertanda yang bisa membimbing kita."
Boromir bertahan lama melawan pilihan itu; tapi ketika sudah jelas bahwa Frodo akan mengikuti Aragorn ke mana pun ia pergi, Borornir menyerah. "Bukan watak Orang Minas Tirith untuk meninggalkan kawan-kawannya ketika mereka membutuhkan dia," katanya, "dan kalian akan membutuhkan kekuatanku, agar bisa mencapai Tindrock. Ke pulau tinggi itu aku akan pergi, tapi tidak lebih jauh lagi. Di sana aku akan pulang ke rumahku, sendirian kalau pertolonganku tidak membuahkan imbalan didampingi kawan."
Hari semakin siang, dan kabut sudah agak tersingkap. Diputuskan bahwa Aragorn dan Legolas segera maju menelusuri pantai, sementara yang lain tetap tingQal di dekat perahu. Aragorn berharap akan menemukan jalan yang bisa dilalui sambil menggotong perahu dan muatan ke bagian sungai yang lebih tenang di luar Jeram.
"Perahu-perahu Peri mungkin tidak akan tenggelam," kata Aragorn, "tapi itu bukan berarti kita bisa melewati Sam Gebir hidup-hidup. Belum ada yang pernah melakukan itu. Tidak ada jalan yang dibangun Orang-Orang Gondor di wilayah ini, karena bahkan di masa kejayaan mereka, wilayah mereka tidak sampai mencapai Anduin di luar Emyn Mull; tapi ada jalan angkutan di suatu tempat di pantai barat, kalau aku bisa menemukannya. Mestinya belum hancur, karena perahu-perahu ringan dulu biasa pergi dari Belantara ke Osgiliath, dan masih begitu sampai beberapa tahun yang lalu, ketika Orc dari Mordor mulai berkembang biak."
"Jarang sekali dalam hidupku ada perahu yang keluar dari Utara, dan para Orc berkeliaran di pantai timur," kata Boromir. "Kalau kau maju terus, bahaya akan tumbuh bersama setiap mil, meski kau menemukan jalan."
"Bahaya ada di depan, di setiap jalan ke selatan," kata Aragorn. "Tunggulah kami satu hari. Kalau kami tidak kembali dalam waktu itu, kau akan tahu bahwa kami ditimpa malapetaka. Maka kau harus menunjuk pemimpin baru dan mengikutinya sebaik mungkin."
Dengan hati berat Frodo melihat Aragorn dan Legolas mendaki tebing terjal dan hilang dalam kabut; tapi ketakutannya terbukti tidak berdasar. Hanya dua atau tiga jam berlalu, dan baru tengah hari, ketika sosok-sosok kabur kedua penjelajah itu muncul kembali.
“Semua beres," kata Aragorn ketika menuruni tebing. "Ada jalan setapak, yang menuju sebuah dermaga yang masih bisa digunakan. Jaraknya tidak jauh: puncak Jeram hanya setengah mil di bawah kita, dan hanya satu mil lebih sedikit panjangnya. Tidak jauh dari sana, sungai menjadi mulus dan jernih lagi, meski deras alirannya. Pekerjaan terberat adalah membawa perahu-perahu dan barang bawaan kita ke jalan angkutan yang lama. Kami sudah menemukannya, tapi cukup jauh dari tepi sungai sini, dan membentang di bawah lambung dinding batu karang, sekitar dua ratus meter atau lebih dari pantai. Kami tidak menemukan„letak dermaga utara. Kalau masih ada, mungkin sudah kita lewati tadi malam. Kita bisa bersusah payah melawan arus, dan mungkin tidak melihatnya karena kabut. Aku khawatir kita harus meninggalkan Sungai sekarang, dan menuju jalan angkutan sedapat mungkin dari sini."
"Itu tidak akan mudah, meski seandainya kita semua Manusia," kata Boromir.
"Tapi kita akan mencoba apa adanya," kata Aragorn.
"Ya, kita akan mencobanya," kata Gimli. "Langkah kaki Manusia akan ketinggalan di jalan yang kasar, sementara Kurcaci bisa terus berjalan, meski bebannya dua kali berat badannya sendiri, Master Boromir!"
Memang pekerjaan itu ternyata sangat berat, tapi akhirnya selesai juga. Muatan dikeluarkan dari dalam perahu dan dibawa ke puncak tebing, di mana ada tempat datar. Lalu perahu-perahu ditarik keluar dari air dan diangkat ke atas. Perahu-perahu itu tidak seberat yang mereka sangka. Dari pohon apa yang tumbuh di negeri Peri mereka dibuat, bahkan Legolas pun tidak tahu; kayunya alot, tapi ringan sekali. Merry dan Pippin bisa menggotong perahu mereka dengan mudah berdua saja, sepanjang tanah datar. Meski begitu, butuh kekuatan dua Manusia untuk mengangkat dan menyeretnya melewati daratan yang sekarang dilewati Rombongan. Tanah itu menanjak menjauh dari Sungai, tanah kosong penuh bergelimpangan batu-batu kapur kelabu, dengan lubang-lubang tersembunyi yang diselubungi rumput-rumput tinggi dan semak; ada semak bramble dan lembah-lembah kecil terjal; di sana-sini ada kolam-kolam berlumpur yang menampung air dari teras-teras yang lebih jauh di pedalaman.
Satu demi satu Boromir dan Aragorn menggotong perahu-perahu, sementara yang lain bekerja keras dan melangkah susah payah di belakang mereka, dengan barang-barang bawaan masing-masing. Akhirnya semuanya selesai dipindahkan dan diletakkan di jalan. Tanpa banyak rintangan, kecuali dari ranting-ranting yang menggeletak dan bebatuan yang terjatuh, mereka bergerak maju bersama-sama. Kabut masih menggantung tebal di atas dinding batu karang yang remuk. Dan di sebelah kiri mereka kabut menyelimuti Sungai: mereka bisa mendengarnya mendesir dan berbuih melewati ujung-ujung dan geligi tajam Sam Gebir, tapi mereka tak bisa melihatnya. Dua kali mereka melakukan perjalanan itu, sebelum semua terbawa dengan aman ke dermaga selatan.
Di sana jalan membelok kembali ke tepi sungai, menjulur turun dengan lembut ke pinggir kolam kecil yang dangkal. Tampaknya seolah digali di tebing sungai, bukan dengan tangan, melainkan oleh air yang berputar-putar turun dari Sam Gebir, menghantam batu karang rendah yang menjorok sedikit ke tengah. Di luarnya pantai mendaki menjadi baru karang kelabu, dan tak ada jalan lagi untuk pejalan kaki.
Siang yang pendek sudah lewat, dan senja remang-remang berawan mulai mengepung. Mereka duduk di tepi air, mendengarkan desiran dan deruman kacau Jeram yang tersembunyi di dalam kabut; mereka letih dan mengantuk, hati mereka sama muramnya seperti hari yang sedang berlalu.
"Nah, di sinilah kita, dan di sini kita harus bermalam sekali lagi," kata Boromir. "Kita perlu tidur. Walau seandainya Aragorn berniat melewati Gerbang-Gerbang Argonath di malam hari, kita semua sudah terlalu lelah kecuali, pasti, Kurcaci kita yang kokoh."
Gimli tidak menjawab: ia sudah mengangguk-angguk mengantuk sambil duduk.
"Mari kita istirahat sebanyak mungkin sekarang," kata Aragorn. "Besok kita harus berjalan lagi saat hari terang. Kecuali cuaca berubah kembali lagi dan mengkhianati kita, kita punya kesempatan bagus untuk menyelinap pergi, tanpa terlihat oleh mata mana pun di pantai timur. Tapi malam ini dua orang sekaligus harus berjaga, setiap kali giliran bergantian: tiga jam istirahat dan satu jam jaga."
Tidak ada yang terjadi malam itu, selain gerimis singkat saw jam sebelum fajar. Kabut sudah mulai menipis. Mereka berjalan sedekat mungkin ke tepi barat, dan mereka bisa melihat bentuk-bentuk kabur batu-batu karang rendah yang menjulang semakin tinggi dinding-dinding gelap dengan kaki di dalam sungai yang mengalir kencang. Tengah hari awan-awan semakin rendah, dan hujan mulai turun deras.. Mereka menebarkan penutup kulit ke atas perahu-perahu, agar tidak kebanjiran dan bisa terus mengambang; hanya sedikit yang bisa terlihat di depan atau di sekitar mereka melalui tirai kelabu yang berjatuhan.
Ternyata hujan tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan langit di atas semakin terang, kemudian tiba-tiba awan-awan pecah, pinggirannya yang basah mengalir ke arah utara Sungai. Kabut sudah hilang. Di depan mereka terhampar sebuah jurang lebar, dengan tebing berbatu besar yang ditumbuhi beberapa pohon pada beting dan retakannya. Bentangan sungai semakin sempit-dan Sungai mengalir semakin kencang. Sekarang mereka meluncur cepat, tanpa harapan bisa berhenti atau memutar, apa pun yang akan mereka temui di depan. Di atas mereka, ada jalur langit biru pucat, di sekeliling mereka Sungai yang gelap penuh bayangan, dan di depan mereka berdiri bukit-bukit Emyn Muil yang hitam, menutupi matahari, dan tak terlihat satu pun bukaan.
Frodo, yang mengintai ke depan, melihat di kejauhan dua batu karang besar mendekat: seperti puncak besar atau tiang batu tampaknya. Tinggi dan curam, serta mengancam, berdiri di kedua sisi sungai.
Ada celah sempit di antaranya, dan Sungai menyapu perahu-perahu ke arah celah tersebut.
"Lihatlah Argonath, Pilar-Pilar Raja-Raja!" teriak Aragorn. "Kita akan segera melewatinya. Atur perahu-perahu berbaris, jaga jarak masing-masing sejauh mungkin! Tetap di tengah sungai!"
Ketika Frodo terbawa mendekati mereka, kedua pilar besar itu menjulang menyambutnya, seperti menara. Di matanya, mereka tampak seperti raksasa. Sosok-sosok besar kelabu yang diam, namun mengancam. Lalu ia melihat bahwa mereka memang dibentuk dan dihias: keterampilan dan kekuatan masa lain telah mengukir mereka, dan bentuk mereka masih seperti pada saat mereka dipahat, bertahan terhadap sinar matahari dan hujan selama perjalanan tahun-tahun yang terlupakan. Di atas landasan besar yang dibangun dalam air, berdiri dua raja dari batu: masih dengan mata kabur dan alis bercelah mereka mengerutkan kening ke arah Utara. Tangan kiri masing-masing terangkat, dengan telapak tangan menghadap keluar, dalam isyarat memperingatkan; di masing-masing tangan kanan ada kapak; di atas masing-masing kepala ada topi baja dan mahkota yang runtuh. Kekuatan hebat dan keagungan masih tercermin dalam sosok mereka, pengawas-pengawas bisu dari kerajaan yang sudah lama hilang. Rasa kagum bercampur takut meliputi Frodo, dan ia gemetar, memejamkan mata dan tidak berani menengadah ketika perahu semakin dekat. Bahkan Boromir pun menundukkan kepala ketika perahu-perahu melewati patung-patung itu, tampak lemah dan tak berarti, seperti dedaunan kecil di bawah bayangan pengawas-pengawas Numenor. Begitulah, mereka masuk ke dalam jurang gelap Gerbang.
Batu-batu karang yang mengerikan mendaki terjal sampai ketinggian yang tak bisa diduga di kedua sisi. Jauh di sana tampak langit redup. Air sungai hitam menderum dan bergema, dan angin berteriak berembus di atas mereka. Frodo yang berlutut mendengar Sam bergumam dan mengerang di depan, "Tempat macam apa ini! Tempat mengerikan! Biarkan aku keluar dari perahu ini, dan aku tidak akan pernah membasahi kakiku dalam genangan air lagi, apalagi sungai!"
"Jangan cemas!" kata sebuah suara asing di belakangnya. Frodo menoleh dan melihat Strider, tapi bukan Strider; karena si Penjaga Hutan yang tangguh dimakan cuaca sudah tak ada lagi. Sebagai gantinya, di buritan duduk Aragorn putra Arathorn, gagah dan tegak, mengemudikan perahu dengan kayuhan andal; kerudungnya tersingkap ke belakang, rambutnya yang gelap berkibar ditiup angin, dan matanya bersinar-sinar: sosok seorang raja yang kembali dari pengasingan kenegerinya sendiri.
"Jangan takut!" katanya. "Sudah lama aku berhasrat ingin melihat patung-patung Isildur dan Anarion, raja-rajaku dulu. Di bawah bayangan mereka, Elessar, putra batu-Peri dari Arathorn, dari Rumah Valandil putra Isildur, pewaris Elendil, tidak takut pada apa pun!"
Lalu sinar matanya meredup, dan ia berbicara pada dirinya sendiri, "Seandainya Gandalf ada di sini! Hatiku rindu pada Minas Anor dan tembok-tembok kotaku sendiri! Tapi ke mana sekarang aku akan pergi?"
Jurang itu panjang dan gelap, penuh dengan bunyi angin dan air yang mengalir deras serta batuan yang bergema. Jurang itu agak melengkung ke barat, sehingga pada mulanya semuanya gelap di depan; tapi, tak lama kemudian, Frodo melihat celah tinggi bercahaya di depannya, yang semakin besar. Dengan cepat ia mendekat, dan mendadak perahu-perahu meluncur melewatinya, keluar ke dalam cahaya lebar jernih.
Matahari, yang sudah jauh dari tengah hari, bersinar di langit yang berangin. Air yang tertahan menyebar ke dalam telaga panjang lonjong, Nen Hithoel yang pucat, dipagari bukit-bukit curam yang sisi-sisinya dipenuhi pepohonan, tapi kepala mereka gundul, bersinar dingin dalam cahaya matahari. Di ujung jauh sebelah selatan menjulang tiga puncak. Yang tengah berdiri lebih maju daripada yang lain, memisahkan dari mereka sebuah pulau di tengahnya, dan di sekelilingnya Sungai melontarkan lengan-lengannya yang pucat berkilauan. Jauh tapi keras, dibawa angin, terdengar bunyi menderum seperti bunyi guruh yang terdengar dari jauh.
"Lihatlah Tol Brandir!" kata Aragorn sambil menunjuk ke selatan, ke puncak yang tinggi. "Di sebelah kiri berdiri Amon Lhaw, dan di sebelah kanan adalah Amon Hen, Bukit-Bukit Pendengaran dan Penglihatan. Di masa raja-raja agung, di sana ada tempat-tempat duduk tinggi, dan di sana pengawas berjaga. Tapi konon" tak pernah ada kaki manusia yang menginjak Tol Brandir. Sebelum kegelapan malam tiba, kita akan sampai ke sana. Aku mendengar bunyi abadi Rauros memanggil."
Rombongan itu sekarang beristirahat sejenak, meluncur ke selatan, mengikuti arus yang mengalir di tengah telaga. Mereka makan sedikit, lalu mengambil dayung dan tergesa-gesa melanjutkan perjalanan. Sisi-sisi bukit di barat masuk ke dalam bayangan, Matahari menjadi bundar dan merah. Di sana-sini bintang redup mengintip. Ketiga puncak itu menjulang tinggi di depan mereka, gelap di senja hari. Rauros menderum keras. Malam sudah menyelubungi air yang mengalir ketika para pengembara itu akhirnya sampai ke bawah bayangan bukit-bukit.
Hari kesepuluh perjalanan mereka berakhir sudah. Belantara ada di belakang. Mereka tak bisa pergi lebih jauh tanpa memilih antara jalan timur dan jalan barat. Tahap terakhir Pencarian ada di depan.
Buku 2 Bab 10

PERPECAHAN
Aragorn menuntun mereka ke cabang kanan Sungai. Di sini, di sisi baratnya, di bawah bayangan Tol Brandir, padang rumput hijau menghampar sampai ke tepi sungai dari kaki Amon Hen. Di belakangnya muncul lereng-lereng pertama bukit yang mendaki lembut, ditumbuhi pepohonan, dan pepohonan berbaris terus ke arah barat, sepanjang pantai sungai yang melengkung. Mata air kecil mengucur ke bawah, membasahi rumput.
"Di sini kita akan istirahat malam ini," kata Aragorn. "Ini halaman Parth Galen: tempat indah di musim panas zaman dulu. Mudah-mudahan kejahatan belum sampai ke sini."
Mereka menaikkan perahu-perahu ke tebing hijau, dan di sampingnya mereka menyiapkan perkemahan. Mereka berjaga bergantian, tapi tidak melihat maupun mendengar tanda-tanda kehadiran musuh. Seandainya Gollum berhasil mengikuti mereka, ia tetap tidak tampak dan tidak terdengar. Meski begitu, ketika malam semakin larut, Aragorn menjadi resah, banyak bergerak dalam tidurnya, dan sering terbangun. Pagi-pagi buta ia bangun dan mendatangi Frodo yang sedang giliran berjaga.
"Kenapa kau bangun?" tanya Frodo. "Bukan giliranmu jaga."
"Aku tidak tahu," jawab Aragorn, "tapi sebuah bayangan dan ancaman berkembang dalam tidurku. Sebaiknya kau menghunus pedangmu."
"Mengapa?" tanya Frodo. "Apa ada musuh di dekat kita?"
"Coba kita lihat, apa yang ditunjukkan Sting," jawab Aragorn. Frodo menghunus pedang Peri-nya dari sarungnya. Dengan cemas ia melihat tepi-tepinya bersinar redup dalam gelap. "Orc!" katanya.
"Tidak begitu dekat, tapi cukup dekat, rupanya."
"Sudah kukhawatirkan," kata Aragorn. "Tapi mungkin mereka bukan di sisi Sungai sebelah sini. Cahaya Sting redup, dan mungkin juga hanya menunjukkan mata-mata Mordor yang berkeliaran di lereng Amon Lhaw. Aku belum pernah mendengar tentang Orc di atas Amon Hen. Tapi siapa tahu apa yang bisa terjadi di masa buruk seperti sekarang, setelah Minas Tirith tidak lagi mengamankan jalan melalui Anduin. Kita harus berjalan hati-hati sekarang."
Pagi hari datang seperti api dan asap. Di Timur, kerumunan hitam awan-awan rendah menggantung bagaikan asap kebakaran besar. Matahari yang terbit menerangi awan-awan dari bawah dengan lidah api merah suram; tapi tak lama kemudian matahari naik ke atas mereka, ke langit yang jernih. Puncak Tol Brandir berlapis emas. Frodo memandang ke timur dan menatap pulau tinggi itu. Sisi-sisinya muncul dengan curam dari dalam air yang mengalir. Jauh di atas batu karang tinggi terdapat lereng-lereng yang didaki pepohonan, kepala demi kepala tersusun ke atas; dan di atasnya lagi wajah-wajah bebatuan kelabu yang tak bisa ditundukkan, dimahkotai puncak menara dari batu. Banyak burung terbang berputar-putar di atasnya, tapi tak ada tanda-tanda makhluk hidup lain.
Ketika mereka sudah makan, Aragorn memanggil semuanya berkumpul. "Hari ini tiba juga akhirnya," katanya. "Hari untuk membuat pilihan yang sudah lama kita tunda. Apa yang akan terjadi dengan Rombongan kita yang sudah berjalan bersama sejauh ini? Apakah kita akan pergi ke barat bersama Boromir dan menyongsong perang di Gondor, atau pergi ke timur, menuju Ketakutan dan Bayangan; ataukah kita akan memutuskan persekutuan dan pergi sesuai pilihan masing-masing? Apa pun yang akan kita lakukan, harus secepatnya dilakukan. Kita tak bisa berhenti lama di sini. Musuh ada di pantai timur, kita tahu itu; tapi aku cemas bahwa Orc sudah berada di sisi sungai sebelah sini."
Keheningan lama berlangsung, tak ada yang berbicara atau bergerak.
"Well, Frodo," kata Aragorn akhirnya. "Kurasa beban berada di pundakmu. Kaulah Pembawa Cincin yang ditunjuk Dewan Penasihat. Hanya kau yang bisa memilih jalanmu sendiri. Dalam hal ini, aku tak bisa memberimu saran. Aku bukan Gandalf, dan meski aku mencoba memerankan bagiannya, aku tidak tahu rencana atau harapan apa yang dimilikinya saat ini, seandainya ada. Tampaknya kalaupun dia ada di sini, kemungkinan terbesar pilihan tetap tergantung padamu. Begitulah nasibmu."
Frodo tidak langsung menjawab. Kemudian ia berbicara dengan lambat, "Aku tahu sekarang dibutuhkan kecepatan, tapi aku masih belum bisa memilih. Beban ini berat sekali. Berilah aku satu jam lagi, dan aku akan berbicara. Biarkan aku sendirian!"
Aragorn memandangnya dengan perasaan iba. "Baiklah, Frodo putra Drogo," katanya. "Kau akan mendapat satu jam untuk sendirian. Kami akan tetap di sini untuk beberapa saat. Tapi jangan pergi jauh atau di luar jarak panggil."
Frodo duduk sebentar dengan kepala tertunduk. Sam yang memperhatikan majikannya dengan saksama, menggelengkan kepala dan menggerutu, "Sudah jelas seperti tongkat lembing, tapi tidak baik kalau Sam Gamgee angkat bicara sekarang ini."
Tak lama kemudian, Frodo bangkit berdiri dan berjalan menjauh; Sam melihat bahwa sementara yang lain menahan diri dan tidak memandangnya, mata Boromir mengikuti Frodo dengan tajam, sampai ia hilang dari pandangan, di pepohonan di kaki Amon Hen.
Frodo, yang mula-mula mengembara tanpa tujuan di hutan, menyadari kakinya mengantarnya menuju lereng bukit. Ia sampai ke sebuah jalan setapak, reruntuhan yang semakin menyusut dari sebuah jalan di zaman dulu. Di tempat-tempat terjal sudah dipahat tangga batu, tapi kini mereka sudah retak dan usang, dan terbelah oleh akar-akar pepohonan. Untuk beberapa saat Frodo mendaki, tak peduli ke arah mana ia berjalan, sampai ia tiba di sebuah tempat berumput. Pohon-pohon rowan tumbuh di sekitarnya, dan di tengahnya ada batu lebar dan datar. Halaman dataran tinggi kecil itu terbuka di sisi Timur, dan sekarang terisi matahari pagi. Frodo berhenti dan memandang ke atas Sungai, jauh di bawahnya, ke arah Tol Brandir dan burung-burung yang terbang berputar-putar di jurang udara besar, di antara dirinya dengan pulau yang tak pernah diinjak. Bunyi Rauros menderum hebat, berbaur dengan dentuman berdenyut keras.
Frodo duduk di atas batu itu, bertopang dagu dengan dua tangan, sambil menatap ke arah timur, tapi tatapannya nyaris kosong. Semua yang sudah terjadi sejak Bilbo meninggalkan Shire melintas dalam benaknya, dan ia mengingat kembali serta merenungi semua yang bisa diingatnya dari perkataan Gandalf. Waktu berlalu, dan ia masih belum bisa memilih.
Mendadak ia tersentak dari renungannya: ada perasaan aneh bahwa sesuatu tengah mengintai di belakangnya, bahwa ada mata yang tidak ramah menatapnya. Ia melompat berdiri dan membalikkan badan; tapi dengan heran ia melihat hanya ada Boromir yang tersenyum ramah.
"Aku mengkhawatirkan kau, Frodo," katanya, melangkah maju. "Kalau Aragorn benar dan Orc sudah dekat, maka tidak boleh ada di antara kita yang berjalan sendirian, terutama kau: banyak sekali yang tergantung padamu. Di mana banyak orang, pembicaraan menjadi debat tanpa akhir. Tapi dua bersama mungkin bisa menemukan kebijakan."
"Kau baik hati," jawab Frodo. "Tapi kurasa tidak ada pembicaraan yang bisa membantuku. Karena aku tahu apa yang harus kulakukan, tapi aku takut melakukannya, Boromir. Takut."
Boromir berdiri diam. Rauros menderum tak henti-henti. Angin berbisik di dahan-dahan pohon. Frodo menggigil.
Tiba-tiba Boromir mendekat dan duduk di sampingnya. "Apa kau yakin kau tidak menderita sia-sia?" katanya. "Aku ingin menolongmu. Kau butuh saran dalam pilihanmu yang sulit. Tidakkah kau mau menerima saranku?"
"Rasanya aku sudah tahu saran apa yang akan kauberikan padaku, Boromir," kata Frodo. "Dan saranmu akan kedengaran bijak, kalau saja hatiku tidak memperingatkan lain."
"Peringatan? Peringatan terhadap apa?" kata Boromir tajam.
"Terhadap penundaan. Terhadap jalan yang tampak lebih mudah. Terhadap penolakan beban yang diberikan padaku. Terhadap... well, kalau perlu diungkapkan, terhadap kepercayaan atas kekuatan dan kebenaran Manusia."
"Meski begitu, kekuatan itu sudah lama melindungimu jauh di sana, di negerimu yang kecil, meski kau tidak tahu."
"Aku tidak meragukan keberanian bangsamu. Tapi dunia sedang berubah. Tembok-tembok Minas Tirith mungkin kelihatan kokoh, tapi tidak cukup kokoh. Kalau mereka jatuh, lalu bagaimana?"
"Kita semua akan jatuh dalam pertempuran gagah berani. Tapi masih ada harapan bahwa mereka tidak akan gagal."
"Tidak ada harapan selama Cincin itu masih utuh," kata Frodo.
"Ah! Cincin!" kata Boromir, matanya berbinar. "Cincin! Bukankah suatu takdir aneh, bahwa kita harus menderita begitu banyak ketakutan dan keraguan, hanya demi benda kecil semacam itu? Benda sekecil itu! Dan aku hanya melihatnya sekilas di Rumah Elrond. Apakah aku bisa melihatnya lagi?"
Frodo menengadah. Hatinya tiba-tiba menjadi dingin. Ia menangkap sinar aneh dalam mata Boromir, meski wajahnya masih ramah dan bersahabat. "Sebaiknya dia tetap tersembunyi," jawab Frodo.
"Terserah. Aku tidak peduli," kata Boromir. "Tapi apakah aku tidak boleh hanya membicarakannya? Karena kau selalu hanya memikirkan kekuatannya di tangan Musuh: tentang kegunaannya yang jahat, bukan yang baik. Dunia sedang berubah, katamu. Minas Tirith akan jatuh, kalau Cincin itu tetap utuh. Tapi mengapa? Memang akan begitu kalau Cincin ada di tangan Musuh. Tapi bagaimana kalau Cincin itu ada di tangan kita?"
"Bukankah kau juga ikut Rapat Akbar?" jawab Frodo. "Kita tak bisa menggunakan Cincin itu, dan apa yang dilakukan dengannya berubah menjadi jahat."
Boromir bangkit berdiri dan mondar-mandir tak sabar. "Begitu terus kau bicara," serunya. "Gandalf, Elrond-semua orang ini sudah mengajarimu berkata begitu. Mungkin untuk diri mereka sendiri mereka benar. Peri-peri dan separuh Peri serta penyihir mungkin akan bernasib jelek. Tapi sering aku meragukan, apakah mereka memang bijak atau sebenarnya hanya tidak berani. Tapi biarlah masing-masing apa adanya. Manusia berhati sejati, mereka tidak akan curang. Kami dari Minas Tirith setia selama tahun-tahun panjang pencobaan. Kami tidak menginginkan kekuatan raja penyihir, kami hanya ingin kekuatan untuk membela diri sendiri, kekuatan untuk perkara yang adil. Dan lihatlah! Dalam keadaan membutuhkan, kesempatan memunculkan Cincin Kekuasaan. Itu suatu hadiah, kataku; hadiah kepada musuh-musuh Mordor. Gila kalau tidak memanfaatkannya, memanfaatkan kekuatan Musuh untuk melawannya. Yang berani, yang kejam, hanya mereka yang akan memperoleh kemenangan. Apa yang tidak bisa dilakukan pejuang di saat seperti ini, seorang pemimpin besar? Apa yang tidak bisa dilakukan Aragorn? Atau kalau dia menolak, mengapa bukan Boromir? Cincin itu akan memberiku kekuatan Perintah. Aku akan mengusir pasukan-pasukan Mordor, dan semua manusia akan datang berduyun-duyun ke panji-panjiku!"
Boromir melangkah mondar-mandir, berbicara semakin keras. Seolah ia hampir lupa pada Frodo, sementara pembicaraannya melantur tentang tembok dan senjata, dan pengerahan manusia; ia menjabarkan rencana-rencana untuk persekutuan besar serta kemenangan hebat yang akan terwujud; ia akan menjatuhkan Mordor, dan ia sendiri menjadi raja yang hebat, baik, dan bijak. Mendadak ia berhenti dan mengibaskan tangannya.
"Dan mereka menyuruh kita membuang Cincin itu!" serunya. "Aku tidak mengatakan menghancacrkannya. Itu mungkin baik, kalau akal sehat bisa menunjukkan manfaatnya melakukan hal itu. Tapi tidak. Rencana satu-satunya yang disarankan pada kita adalah membiarkanmu masuk membabi buta ke dalam Mordor, dan menawarkan Musuh semua kesempatan untuk mengambilnya kembali. Bodoh!"
"Pasti kau melihat itu, kawanku," kata Boromir, tiba-tiba berbicara pada Frodo lagi. "Katamu kau takut. Kalau memang begitu, orang yang paling berani perlu memaafkanmu. Tapi bukankah sebenarnya akal sehatmu yang melawan?" "Tidak, aku takut," kata Frodo. "Hanya takut. Tapi aku senang mendengarmu berbicara terus terang. Sekarang pikiranku sudah terang."
"Kalau begitu, kau akan datang ke Minas Tirith untuk beberapa waktu?" Boromir mendesak. "Kotaku sekarang tidak jauh lagi; dan dari sana jaraknya tinggal sedikit, daripada dari sini ke Mordor. Kita sudah lama berada di belantara, dan kau perlu berita tentang Musuh sebelum bergerak. Ikutlah bersamaku, Frodo," kata Boromir. "Kau perlu istirahat sebelum meneruskan perjalanan, kalau kau harus pergi." ia meletakkan tangannya ke atas pundak hobbit itu dengan sikap bersahabat; tapi Frodo merasa tangan itu gemetar dengan gairah yang ditahan. Ia mundur cepat, dan menatap dengan cemas Manusia tinggi itu, hampir dua kali tingginya dan berlipat ganda tandingannya dalam kekuatan.
"Mengapa kau begitu tidak ramah?" kata Boromir. "Aku manusia sejati, bukan maling atau pemburu. Aku membutuhkan Cincin-mu: kau tahu itu sekarang; tapi aku bersumpah aku tidak berhasrat menyimpannya. Setidaknya bisakah kau membiarkan aku mencoba rencanaku? Pinjamkan aku Cincin itu!"
"Tidak! Tidak!" teriak Frodo. "Dewan Penasihat menyuruhku menjadi pembawanya."
"Karena kebodohan kita sendiri Musuh akan mengalahkan kita," seru Boromir. "Itu membuatku marah! Bodoh! Bodoh dan keras kepala! Sengaja lari menyongsong kematian dan menghancurkan tujuan kita. Kalau ada makhluk hidup yang berhak atas Cincin itu, maka manusia Numenor-lah yang berhak, bukan hobbit. Cincin itu bukan milikmu, kecuali karena suatu kebetulan yang buruk. Mestinya bisa jadi milikku. Seharusnya jadi milikku. Berikan padaku!"
Frodo tidak menjawab, tapi bergerak menjauh sampai mereka dibatasi oleh sebuah batu datar besar. "Ayo, ayo, kawanku!" kata Boromir dengan suara lebih lembut. "Kenapa tidak kaulepaskan saja? Kenapa tidak kaubebaskan dirimu dari keraguan dan ketakutan? Kau bisa menyalahkan aku, kalau mau. Kau bisa bilang aku terlalu kuat, dan bahwa aku mengambil Cincin itu dengan paksa. Karena aku memang terlalu kuat untukmu, hobbit," teriak Boromir; mendadak ia meloncati batu itu dan melompat ke arah Frodo. Wajahnya yang elok dan menyenangkan berubah menyeramkan; api berkobar di matanya.
Frodo mengelak ke samping, sekali lagi membuat batu berada di antara mereka. Hanya satu hal yang bisa dilakukannya: dengan gemetar ia mengeluarkan Cincin pada rantainya, dan dengan cepat mengalungkannya ke jarinya, tepat ketika Boromir melompat lagi ke arahnya. Boromir menarik napas kaget, memandang heran beberapa saat lamanya, kemudian berlari ke sana kemari, mencari di mana-mana di antara bebatuan dan pepohonan.
"Penipu jelek!" teriaknya. "Aku akan menangkapmu! Sekarang aku tahu pikiranmu. Kau akan membawa Cincin itu ke Sauron dan menjual kita semua. Kau hanya menunggu kesempatan untuk meninggalkan kami dalam kesulitan. Terkutuklah kau dan semua hobbit. Biar kalian mati dalam kegelapan!" Lalu ia tersandung sebuah batu, dan jatuh tertelungkup. Sejenak ia diam, seolah dihantam oleh kutukannya sendiri; lalu tiba-tiba ia menangis.
Ia bangkit dan menyapukan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Apa yang sudah kukatakan?" serunya. "Apa yang sudah kulakukan? Frodo, Frodo!" ia memanggil. "Kembalilah! Aku sempat lupa diri tadi, tapi itu sudah berlalu. Kembalilah!"
Tidak ada jawaban. Frodo bahkan tidak mendengar teriakan Boromir. Ia sudah jauh sekali, melompat membabi buta, mendaki jalan sampai ke puncak bukit. Teror dan kesedihan menggetarkan hatinya, dalam benaknya ia melihat wajah Boromir yang garang dan gila, dan matanya yang membara.
Tak lama kemudian, ia muncul sendirian di puncak Amon Hen, dan berhenti, terengah-engah. Seolah melalui kabut, ia melihat sebuah lingkaran datar yang luas, dilapisi ubin-ubin besar dan dikelilingi tembok rendah yang remuk; dan di tengah, dibangun di atas empat tiang berukir, ada takhta tinggi yang bisa dicapai melalui tangga. Ia naik dan duduk di kursi kuno itu, merasa seperti anak tersesat yang memanjat naik ke takhta raja pegunungan.
Mulanya ia hanya bisa melihat sedikit. Ia seolah berada di dunia kabut, di mana hanya ada bayang-bayang: Cincin itu masih dipakainya. Lalu di sana-sini kabut tersingkap, dan ia melihat banyak pemandangan: kecil dan jelas, seolah ada di bawah matanya, di atas sebuah meja, tap) sekaligus begitu jauh. Tak ada suara, hanya citra-citra hidup yang sangat terang. Dunia seolah menyusut dan terdiam. Ia duduk di Kursi Penglihatan, di Amon Hen, Bukit Mata Orang-Orang Numenor. Ke arah timur ia memandang, ke daratan luas yang belum dipetakan, padang-padang tak bernama, dan hutan-rimba yang belum dijelajahi. Ke Utara ia memandang, dan Sungai Besar menjulur seperti pita di bawahnya, Pegunungan Berkabut berdiri kecil dan keras, seperti gigi yang retak. Ke arah Barat ia menatap, dan melihat padang-padang rumput luas di Rohan; dan Orthanc, puncak menara Isengard, seperti paku hitam. Ke Selatan ia memandang, dan di bawah kakinya Sungai Besar melingkar seperti ombak tumbang dan meloncat ke atas air terjun Rauros, masuk ke dalam sumur berbuih; pelangi bercahaya bermain-main di atas uapnya. Dan ia melihat Ethir Anduin, delta besar Sungai, ribuan burung laut terbang berputar-putar seperti debu putih di bawah sinar matahari, dan di bawah mereka lautan hijau dan perak, beriak-riak tak putus-putus.
Tapi ke mana pun ia memandang, ia melihat tanda-tanda perang. Pegunungan Berkabut merangkak seperti gundukan semut: para Orc keluar dari ribuan lubang. Di bawah cabang-cabang pohon di Mirkwood ada perselisihan maut antara Peri dan Manusia dan hewan-hewan buruk. Negeri bangsa Beorning terbakar; awan menyelimuti Moria; asap naik di perbatasan Lorien.
Pasukan berkuda berderap di rumput Rohan; serigala-serigala keluar dari Isengard. Dari pelabuhan-pelabuhan Harad, kapal-kapal muncul di lautan; dan dari Timur, Manusia bergerak tak henti-hentinya: ahli pedang, ahli tombak, pemanah di atas kuda, kereta-kereta kepala suku, dan kereta penuh muatan. Seluruh kekuatan sang Penguasa Kegelapan sedang bergerak. Lalu memandang ke selatan lagi ia melihat Minas Tirith. Tampak sangat jauh dan indah: bertembok putih, banyak menaranya, gagah dan elok di atas kedudukannya di pegunungan; tembok-tembok bentengnya berkilauan dengan baja, dan menara-menara kecilnya tampak cerah dengan panji-panji. Sebersit harapan merekah di hatinya. Tapi berhadapan dengan Minas Tirith berdiri sebuah benteng lain, lebih besar dan lebih kuat. Tanpa ia sadari matanya tertarik ke arah timur. Melewati reruntuhan jembatan-jembatan Osgiliath, gerbang-gerbang Minas Morgul yang menyeringai, dan wilayah Pegunungan yang dihantui, matanya tertuju pada Gorgoroth, lembah teror di Negeri Mordor. Kegelapan menghampar di sana, di bawah Matahari. Gunung Maut terbakar, dan ban tajam naik. Akhirnya tatapannya terhenti: tembok demi tembok, atap-atap benteng hitam, kuat sekali, gunung besi, gerbang baja, menara kokoh, ia melihatnya: Barad-dur, Benteng Sauron. Semua harapannya sirna.
Tiba-tiba ia merasakan kehadiran sang Mata. Ada mata yang tidak tidur di Menara Kegelapan. Frodo tahu bahwa mata itu sudah menyadari tatapannya. Ada sorot garang dan bergairah di dalamnya. Mata itu melompat ke arahnya; hampir seperti jari, mencarinya. Segera mata itu akan menemukannya, tahu persis di mana dirinya. Mata itu menyentuh Amon Lhaw. Ia melirik Tol Brandir-Frodo melemparkan dirinya dari takhta itu, membungkuk, menutupi kepala dengan kerudungnya yang kelabu.
Ia mendengar suaranya sendiri berteriak, Takkan pernah! Takkan pernah! Atau sebenarnya, Aku 'kan datang, datang kepadamu? ia tidak tahu. Lalu seperti kilatan dari ujung lain kekuatan, timbul pikiran lain dalam benaknya: Lepaskan! Lepaskan! Bodoh, lepaskan! Lepaskan Cincin itu!
Kedua kekuatan itu bertempur dalam dirinya. Untuk sesaat, dalam keseimbangan sempurna antara kedua ujung yang tajam, Frodo menggeliat tersiksa. Mendadak ia menyadari dirinya sudah kembali sendirian. Frodo, tak ada Suara maupun Mata: ia bebas memilih, dan waktunya sangat singkat. Ia melepaskan Cincin dari jarinya. Ia berlutut di bawah sinar matahari terang di depan takhta tinggi. Sebuah bayangan gelap seolah lewat bagaikan lengan, di atasnya; gagal menyentuh Amon Hen dan menggapai ke barat, lalu menghilang. Lalu seluruh langit bersih dan biru, dan burung-burung bernyanyi di setiap pohon.
Frodo bangkit berdiri. Ia merasa sangat lelah, tapi kehendaknya kokoh dan hatinya lebih ringan. Ia berbicara keras-keras pada dirinya sendiri. "Sekarang aku akan melakukan apa yang harus kulakukan," katanya. "Setidaknya satu hal ini sudah jelas: kejahatan Cincin itu sudah bekerja, bahkan di dalam Rombongan kami sendiri, dan Cincin ini harus meninggalkan mereka sebelum menimbulkan kerusakan lebih banyak. Aku akan pergi sendirian. Beberapa orang tak bisa kupercayai, dan mereka yang bisa kupercayai terlalu kusayangi: Sam yang malang, Merry dan Pippin. Strider juga: hatinya merindukan Minas Tirith, dan dia akan dibutuhkan di sana, setelah Boromir jatuh ke dalam kejahatan. Aku akan pergi sendirian. Segera."
Ia melangkah cepat melewati jalan, dan kembali ke halaman tempat Boromir menemukannya. Lalu ia berhenti, mendengarkan. Ia merasa bisa mendengar teriakan dan panggilan dari hutan dekat pantai di bawah.
"Mereka sedang mencariku," katanya. "Aku ingin tahu, berapa lama aku sudah pergi? Berjam-jam, kukira." ia berdiri ragu. "Apa yang bisa kulakukan?" ia menggerutu. "Aku harus pergi sekarang, kalau tidak, aku takkan pernah pergi. Aku tidak akan mendapat kesempatan lagi. Aku tidak suka meninggalkan mereka, begitu saja, tanpa penjelasan. Tapi pasti mereka akan mengerti. Sam akan mengerti. Dan apa lagi yang bisa kulakukan?"
Perlahan-lahan ia mengeluarkan Cincin itu dan memakainya sekali lagi. Ia menghilang dan berjalan menuruni bukit, nyaris seperti desiran angin.
Yang lain tetap di tepi sungai untuk waktu sangat lama. Selama beberapa saat mereka tidak bersuara, sambil bergerak gelisah; tapi sekarang mereka duduk dalam lingkaran, dan berbicara. Sesekali mereka berusaha membicarakan hal lain, tentang perjalanan mereka yang lama dan sekian banyak petualangan; mereka bertanya pada Aragorn tentang wilayah Gondor dan sejarahnya yang kuno, serta sisa-sisa karya besarnya yang masih terlihat di negeri aneh di perbatasan Emyn Mull: raja-raja dari batu dan takhta Lhaw dan Hen, dan Tangga besar di samping air terjun Rauros. Tapi selalu saja pikiran dan percakapan mereka kembali ke Frodo dan Cincin itu. Apa yang akan dipilih Frodo? Mengapa ia ragu?
"Dia sedang mempertimbangkan jalan mana yang paling nekat, kukira," kata Aragorn. "Dan sebaiknya begitu. Sekarang makin mustahil bagi kita untuk pergi ke timur, karena jejak kita sudah tercium Gollum, dan kita perlu khawatir bahwa rahasia perjalanan kita sudah tersingkap. Tapi Minas Tirith masih jauh dari Api dan tugas menghancurkan Cincin itu.
"Kita bisa tinggal di sana untuk sementara, dan bertahan dengan berani; tapi Lord Denethor dan semua anak buahnya tak mungkin bisa melakukan apa yang menurut Elrond sekalipun berada di luar kekuasaannya: entah untuk merahasiakan Cincin itu, atau untuk menahan kekuatan lengkap Musuh saat dia datang untuk mengambilnya. Jalan mana yang akan dipilih salah satu di antara kita, kalau kita ada di tempat Frodo? Aku tidak tahu. Sekarang memang kita sangat kehilangan Gandalf."
"Kehilangan kita sangat menyedihkan," kata Legolas. "Namun begitu, kita harus mengambil keputusan tanpa pertolongannya. Mengapa kita tidak bisa mengambil keputusan, dan dengan demikian membantu Frodo? Kita panggil saja dia, lalu mengambil suara! Aku memilih Minas Tirith."
"Aku juga," kata Gimli. "Memang kita hanya diutus untuk membantu Pembawa Cincin di sepanjang perjalanan, tak perlu pergi lebih jauh daripada yang kita inginkan; dan tidak ada di antara kita yang berada di bawah sumpah atau perintah untuk mencari Gunung Maut. Dengan berat hati aku berpisah dari Lothlorien. Meski begitu, aku sudah berjalan sejauh ini, dan beginilah tekadku: sekarang, saat kita sampai pada pilihan terakhir, sudah jelas bagiku bahwa aku tak bisa meninggalkan Frodo. Aku ingin memilih Minas Tirith, tapi kalau dia tidak ke sana, maka aku akan mengikutinya."
"Aku juga akan mendampinginya," kata Legolas. "Kalau sekarang " berpisah, berarti tidak setia."
"Memang akan menjadi pengkhianatan, kalau kita semua meninggalkannya," kata Aragorn. "Tapi kalau dia pergi ke timur, tidak semua perlu pergi bersamanya. Menurutku itu tidak perlu. Sebab itu langkah nekat, entah yang berangkat delapan orang, tiga orang, dua orang, atau bahkan sendirian. Kalau kalian membolehkan aku memilih, maka aku akan menunjuk tiga pendamping: Sam, yang pasti tidak ta ;r han kalau tidak ikut; Gimli; dan aku sendiri. Boromir akan kembali ke kotanya sendiri, di mana ayahnya dan rakyatnya membutuhkannya, dan bersama dia yang lain harus pergi; atau setidaknya Meriadoc dan Peregrin, kalau Legolas tidak mau meninggalkan kami."
"Tidak bisa!" teriak Merry. "Kami tak bisa meninggalkan Frodo! Pippin dan aku berniat ikut dengannya, ke mana pun dia pergi, sampai sekarang. Tapi kami tidak menyadari apa artinya. Tampaknya be `" gitu berbeda ketika masih jauh di Shire atau di Rivendell. Gila dan kejam sekali kalau membiarkan Frodo pergi ke Mordor. Mengapa kita tak bisa menghentikannya?"
"Kita harus menghentikannya," kata Pippin. "Dan itu yang dia khawatirkan, aku yakin. Dia tahu kita tidak akan setuju dia pergi ke timur. Dan dia tidak mau meminta siapa pun untuk pergi dengannya. Kawanku yang malang. Bayangkan: pergi ke Mordor sendirian!" Pippin menggigil. "Tapi hobbit bodoh itu harus tahu bahwa dia tak perlu meminta. Dia harus tahu bahwa kalau kita tak bisa menghentikannya, kita tidak akan meninggalkannya."
"Maaf," kata Sam. "Kukira kalian tidak memahami majikanku sama sekali. Dia bukan ragu tentang jalan mana yang harus diambil. Tentu saja tidak! Apa manfaat ke Minas Tirith? Bagi dia, maksudku, maaf, Master Boromir," tambahnya, dan menoleh. Saat itulah mereka menyadari bahwa Boromir, yang pada mulanya duduk diam di luar lingkaran, sudah tidak di sana lagi.
"Nah, ke mana dia?" seru Sam, tampak cemas. "Dia agak aneh belakangan ini, menurutku. Tapi bagaimanapun dia tidak terlibat urusan ini. Dia mau pulang, seperti selalu dikatakannya; dan dia tak bisa disalahkan. Tapi Mr. Frodo tahu bahwa dia harus menemukan Celah Ajal, kalau -bisa. Tapi dia takut. Kini, setelah tiba saatnya, dia takut. Itu kesulitannya. Memang dia sudah belajar banyak, bisa dikatakan begitu kita semua juga-sejak kita meninggalkan rumah. Kalau tidak, dia pasti akan sangat takut, dan akan membuang begitu saja Cincin-nya ke dalam Sungai, lalu lari terbirit-birit. Tapi dia masih terlalu ketakutan untuk memulai. Dia juga tidak khawatir tentang kita, entah kita akan menemaninya atau tidak. Dia tahu kita berniat begitu. Itu hal lain yang menyusahkan hatinya. Kalau dia mengumpulkan keberanian untuk pergi, dia akan ingin pergi sendirian. Camkan kata-kataku! Kita akan mendapat masalah kalau dia kembali. Karena dia pasti akan mengumpulkan keberanian, sama pastinya dengan namanya, Baggins."
"Aku percaya kau berbicara lebih bijak daripada kami semua, Sam," kata Aragorn. "Dan apa yang harus kita lakukan, kalau kau terbukti benar?"
"Hentikan dia! Jangan biarkan dia pergi!" seru Pippin.
"Aku ragu," kata Aragorn. "Dia yang ditugaskan membawa Cincin itu, dan Beban untuk menyingkirkan benda itu ada di pundaknya. Kukira tidak sepantasnya kita mendorong dia ke arah mana pun. Kalaupun kita mencoba, belum tentu akan berhasil. Ada kekuatan-kekuatan lain yang sedang bekerja, dan jauh lebih kuat."
"Well, kuharap Frodo berhasil mengumpulkan keberanian, dan kembali kemari, biar semuanya beres," kata Pippin. "Menunggu begini sangat menyiksa! Pasti waktu satu jam itu sudah habis?"
"Ya," kata Aragorn. "Saw jam sudah lama lewat. Pagi sudah hampir berakhir. Kita harus memanggilnya."
Saat itu Boromir muncul. Ia keluar dari pepohonan dan melangkah ke arah mereka, tanpa berbicara. Wajahnya kelihatan muram dan sedih. Ia berhenti, seolah menghitung mereka yang hadir, lalu ia duduk menyendiri, matanya menatap ke bawah.
"Ke mana kau tadi, Boromir?" tanya Aragorn. "Apa kau melihat Frodo?"
Boromir ragu sejenak. "Ya dan tidak," ia menjawab lambat. "Ya, aku menemukannya di atas bukit, dan aku berbicara padanya. Aku mendesaknya agar pergi ke Minas Tirith dan jangan pergi ke timur. Aku marah-marah dan dia meninggalkan aku. Dia lenyap. Aku belum pernah melihat hat semacam itu, meski aku pernah mendengarnya dalam dongeng-dongeng. Pasti dia memakai Cincin-nya. Aku tak bisa menemukannya lagi. Kupikir dia kembali pada kalian."
"Hanya itu yang bisa kaukatakan?" kata Aragorn, menatap tajam dan tidak terlalu ramah kepada Boromir.
"Ya," jawab Boromir. "Untuk sementara, itu saja yang kukatakan."
"Ini gawat sekali!" seru Sam sambil melompat berdiri. "Aku tidak tahu apa yang sudah diperbuat Manusia ini. Mengapa Mr. Frodo memakai Cincin-nya? Sebenarnya dia tak perlu melakukan itu; dan kalau dia melakukannya, siapa tahu apa saja yang sudah terjadi!"
“Tapi dia tidak akan terus memakainya,” kata Merry. “Tidak kalau dia sudah lolos dan tamu yang tak diundang, seperti Bilbo dulu." "Tapi ke mana dia pergi? Di mana dia?" seru Pippin. "Dia sudah lama sekali pergi."
"Berapa lama sejak terakhir kau melihat Frodo, Boromir?" tanya Aragorn.
"Setengah jam, mungkin," jawab Boromir. "Atau mungkin juga satu jam. Aku berkeliaran beberapa lama sesudahnya. Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!" Boromir memegangi kepalanya dengan dua tangan, dan duduk seolah membungkuk karena sedih.
"Satu jam sejak dia lenyap!" teriak Sam. "Kita harus berusaha mencarinya sekarang juga. Ayo!"
"Tunggu sebentar!" teriak Aragorn. "Kita harus berpasangan dan menyusun strategi sini, tahan dulu! Tunggu!"
Sia-sia saja. Mereka tidak memperhatikan Aragorn. Sam sudah lari lebih dulu. Merry dan Pippin mengikutinya, dan menghilang ke barat, ke dalam pepohonan dekat pantai, sambil berteriak: Frodo! Frodo! dengan suara hobbit mereka yang jernih dan tinggi. Legolas dan Gimli juga berlari. Kepanikan atau kegilaan mendadak seolah menimpa Rombongan itu.
"Kita semua akan tercerai-berai dan tersesat," erang Aragorn. "Boromir! Aku tidak tahu peran apa yang kaumainkan dalam kekacauan ini, tapi sekarang bantulah! Susullah kedua hobbit muda itu, dan setidaknya jaga mereka, meski kau tak bisa menemukan Frodo. Kembalilah ke tempat ini kalau kau menemukannya, atau jejaknya. Aku akan segera kembali."
Aragorn melompat lari dan mengejar Sam. Persis di halaman kecil di antara pohon rowan, ia berhasil menyusul Sam yang sedang bersusah payah mendaki, sambil terengah-engah dan memanggil, Frodo!
"Ikut aku, Sam!" kata Aragorn. "Jangan sampai satu di antara kita sendirian. Ada kejahatan berkeliaran. Aku bisa merasakannya. Aku akan pergi ke puncak, ke Takhta Amon Hen, untuk melihat apa yang bisa dilihat. Ikuti aku dan buka matamu lebar-lebar!" Aragorn memacu jalannya.
Sam berupaya keras, tapi tak bisa menyamai langkah Strider sang Penjaga Hutan, dan segera tertinggal di belakang. Ia belum melangkah jauh, tapi Aragorn sudah tak terlihat lagi di depan. Sam berhenti dan terengah-engah. Mendadak ia menepukkan tangan ke kepalanya.
"Hai, Sam Gamgee!" katanya keras-keras. "Kakimu terlalu pendek, jadi gunakanlah otakmu! Coba lihat dulu! Boromir tidak berbohong, itu bukan caranya; tapi dia tidak menceritakan seluruh ceritanya. Ada sesuatu yang membuat Mr. Frodo sangat ketakutan. Dia mengerahkan keberaniannya untuk bertindak, dengan tiba-tiba. Dia mengambil keputusan akhirnya—untuk pergi. Ke mana? Ke Timur. Tanpa Sam? Ya, bahkan tanpa Sam-nya. Itu kejam, sangat kejam."
Sam mengusapkan tangan ke matanya, menyeka air mata. "Tenang, Gamgee!" katanya. "Pikir, kalau bisa! Dia tak bisa terbang melintasi sungai, dan dia juga tak bisa melompati air terjun. Dia tak punya peralatan. Maka dia harus kembali ke perahu-perahu. Kembali ke perahu! Kembali ke perahu, Sam, secepat kilat!"
Sam membalikkan tubuh dan berlari kembali ke jalan setapak. Ia jatuh dan lututnya terluka. Ia bangkit dan terus berlari. Ia sampai ke pinggir halaman rumput Parth Galen di pantai, di mana perahu-perahu sudah dinaikkan keluar dari air. Tak ada siapa pun di sana. Terdengar teriakan-teriakan di hutan di belakang, tapi ia tidak memedulikannya. Ia berdiri menatap sejenak, diam melongo. Sebuah perahu sedang meluncur sendiri, turun dari tebing. Dengan berteriak Sam berlari melintasi rumput. Perahu itu masuk ke dalam air.
"Datang, Mr. Frodo! Datang!" teriak Sam, dan ia melemparkan dirinya dari tebing, menyambar perahu yang sedang berangkat itu. Tangkapannya meleset sekitar satu meter. Sambil berteriak, ia tercemplung jatuh ke sungai dalam yang deras. Ia tenggelam sambil kemasukan air, dan Sungai itu menutup di atas kepalanya yang berambut keriting.
Teriakan sedih keluar dan perahu kosong itu. Sebuah dayung berputar dan perahu itu membalik. Tepat pada waktunya, Frodo menjambak rambut Sam saat ia muncul ke atas, bergelembung-gelembung dan meronta-ronta. Ketakutan memancar dari matanya yang bulat cokelat.
"Naiklah, Sam, anakku!" kata Frodo. "Sekarang pegang tanganku!"
"Selamatkan aku, Mr. Frodo!" Sam terengah-engah. "Aku tenggelam. Aku tak bisa melihat tanganmu."
"Ini dia. Jangan mencubit-cubit, anakku! Aku tidak akan melepaskanmu. Tendang-tendanglah air, jangan menggelepar, nanti perahunya goyang. Nah, peganglah lambung perahu, dan biarkan aku memakal dayung."
Dengan beberapa kayuhan, Frodo membawa kembali perahunya ke tebing, dan Sam bisa memanjat keluar, basah seperti tikus air. Frodo melepaskan Cincin dan naik ke darat lagi.
"Dari semua gangguan menjengkelkan, kaulah yang terburuk, Sam!" kata Frodo.
"Oh, Mr. Frodo, itu kejam!" kata Sam sambil menggigil, "Kejam sekali, mencoba pergi tanpa aku. Kalau aku tidak menebak dengan benar, di mana kau sekarang?"
"Aman dalam perjalanan."
"Aman!" kata Sam. "Sendirian tanpa aku untuk menolongmu? Aku tidak akan tahan, aku bisa mati."
"Kau akan mati kalau kau pergi denganku, Sam," kata Frodo, "dan aku tidak tahan itu."
"Tidak sepasti kalau ditinggal," kata Sam.
"Tapi aku akan pergi ke Mordor."
"Aku sudah tahu itu, Mr. Frodo. Tentu saja kau akan ke sana. Dan aku akan pergi bersamamu."
"Nah, Sam," kata Frodo, "jangan ganggu aku! Yang lain setiap saat akan kembali. Kalau mereka mencegatku di sini, aku terpaksa berdebat dan menjelaskan, dan aku tidak akan pernah sampai hati atau mendapat kesempatan untuk berangkat. Tapi aku harus segera pergi. Ini jalan satu-satunya."
"Tentu saja," jawab Sam. "Tapi tidak sendirian. Aku juga ikut, atau tidak ada di antara kita yang pergi. Aku akan melubangi semua perahu dulu."
Frodo benar-benar tertawa. Perasaan hangat dan bahagia mendadak menyentuh hatinya. "Tinggalkan satu!" katanya. "Kita akan membutuhkannya. Tapi kau tak bisa ikut seperti ini, tanpa peralatan, makanan, atau apa pun."
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil barang-barangku!" teriak Sam bersemangat. "Sudah siap semua. Aku sudah berpikir kita harus berangkat hari ini." ia berlari ke tempat perkemahan, mengambil ranselnya dari tumpukan yang disusun Frodo ketika ia mengosongkan perahu dari bawaan teman-temannya, meraih selembar selimut tambahan dan beberapa bungkusan makanan, lalu berlari kembali.
"Rusaklah seluruh rencanaku!" kata Frodo. "Sia-sia mencoba melarikan diri darimu. Tapi aku gembira, Sam. Aku tak bisa mengungkapkan betapa gembiranya aku. Ayo! Sudah jelas kita ditakdirkan harus pergi bersama. Kita akan pergi, dan mudah-mudahan yang lain menemukan Plan yang aman! Strider akan mengurus mereka. Kurasa kita tidak akan melihat mereka lagi."
"Mungkin kita masih akan bertemu mereka, Mr. Frodo. Mungkin masih." kata Sam.
Maka Frodo dan Sam mengawali tahap terakhir Pencarian bersama-sama. sama. Frodo mendayung menjauhi pantai, dan Sungai itu membawa mereka dengan cepat, melalui cabang barat melewati batu-batu karang Tol Brandir yang cemberut. Raungan air terjun besar semakin mendekat. Bahkan meski dibantu Sam, perlu kerja keras untuk menyeberangi arus di ujung selatan pulau, dan mengemudikan perahu ke timur, menuju pantai seberang.
Akhirnya mereka mendarat lagi di lereng selatan Amon Lhaw. Di sana mereka menemukan pantai sempit, dan mereka pun menarik perahu keluar, tinggi di atas air, dan menyembunyikannya sebaik mungkin di balik sebuah batu besar. Lain dengan membawa barang-barang mereka, keduanya berangkat, mencari jalan yang akan membawa mereka melintasi bukit-bukit kelabu Emyn Mull, dan turun ke Negeri Bayang-Bayang.
Tamat
Dari: http://mifza.blogspot.com/2012/05/lord-of-ring-fellowship-of-ring-3.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar