10. Tabula Rasa - Ratih Kumala
Saya selalu tertarik pada karya-karya pemenag Lomba Menulis Roman Dewan
Kesenian Jakarta yang dilakukan dua tahun sekali. Soalnya naskah
pemenang selalu menawarkan hal yang segar dan berbeda. Tabula Rasa
adalah pemenang ketiga ajang ini pada 2003. Diciptakan oleh pengarang
muda, Ratih Kumala, yang menceritakan kisah cinta dengan setting yang
meloncat-loncat dalam hal waktu maupun peristiwa. Konsep alur yang
sempat ngetren pasca novel Saman, Ayu Utami ini, membingungkan pembaca
awam. Tapi bisa sangat mungkin ini akan menjadi hal yang mengasyikan.
Misalnya, kisah dimulai di Yogyakarta pada 2001, kemudian beralih mundur
di Moskwa tahun 1990. Begitu seterusnya sehingga kita diseret-seret mau
tidak mau oleh idealisme pengarang. Bukankah loncat-loncatan ini
mengasyikan juga di dunia nyata? Begitulah karya ini menjadi salah satu
contoh betapa karya sastra bisa sangat mengasyikan sebagai refleksi dari
kehidupan.
Sementara meski diksi dalam novel ini terbilang 'biasa-biasa saja',
namun unsur kelugasan sekaligus puitisme yang 'keras' membuat saya jatuh
cinta pada novel dengan judul artistik ini. Cuplikan kata-kata yang
saya ingat adalah. Aku dilahirkan sebagai batu yang kosong. Aku
tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari
jalannya hidup.
9. Mereka Bilang, Saya Monyet! -
Djenar Maesa Ayu
Pertama kali membeli buku ini saat saya sekolah, dan waoouw! Apa yang
saya pikirkan saat baca-baca sekilas satu buku tak berplastik di
Gramedia itu adalah, "ini cerita bokep, ye?". Karena penasaran, saya pun
membelinya dengan harga yang saat itu lumayan berat untuk kantung anak
SMA. Dan di rumah, saya pun membaca sambil ejakulasi dini. Yeah,
kumpulan cerpen ini begitu sarkastik, keras, jor-joran, tidak munafik,
dan barangkali apa-apaan. Tapi kemudian, saya menganggapnya sebagai
sesuatu yang keren.
Lebih banyak Djenar bernarasi dalam tokoh anak perempuan yang mengalami
pemerkosaan, trauma, lengkap dengan pemilihan kata urban yang diungkap
tiada malu. Yah, ngapain harus malu. Bukankah begitu dialog kebanyakan
kaum urban di Jakarta? Yang jelas, cerpen yang lumayan menohok dalam
antologi ini adalah cerpen Namanya ... Menceritakan tentang seorang anak
perempuan yang diberi nama Memek oleh orangtuanya. Tentu saja cerpen
ini sempat menjadi polemik di ranah sastra media massa. Saya pun sempat
membuat heboh kelas, lantaran membahas cerpen ini.
Ah, kenapa tidak membawa permemekan di ranah akademik? Karya Djenar
adalah karya yang jujur dan merupakan replika kehidupan di kota-kota
besar yang keras. Meskipun kemudian, karya-karyanya menurut saya
mengalami penurunan dan menceritakan hal yang sama. Tapi karya dia
membawa pengaruh pada sebagian gaya penulisan saya.
8. Ular Keempat - Gus TF Sakai
Nuansa relijius tercium kental dalam novel yang menjadi juara harapan di
Lomba Menulis Roman DKJ tahun 2003 ini. Dengan konsep memoar dan klasik
(baca: konvensional), membaca novel ini menyeret saya pada nuansa novel
karya sastra lama. Dan bacaan tipikal seperti ini menurut saya lebih
jujur dan humanis ketimbang karya-karya sastra yang dilabeli sastra
islami seperti karya Asma Nadia, Habbirahman El Shirazy, dan semacamnya.
Contohnya, Ular Keempat, adalah kisah perjalanan ibadah haji yang
dipenuhi pertanyaan-pertanyaan 'nakal' dan 'tak boleh'.
Seperti: Betulkah orang-orang kampungku beribadah bukan karena Allah,
melainkan karena ibadah itu telah diwariskan turun-temurun? dan betul
pulakah apa yang dikatakannya, bahwa aku pergi haji ke Makkah tak lebih
hanya karena kebanggaan?
Ujung perjalanan dan pergulatan batin tokoh, membawanya pada sebuah
kesadaran bahwa setan yang paling berbahaya di dunia ini adalah ular
keempat, yang merupakan metafora dari 'setan yang meracuni keimanan'.
Novel ini menjadi istimewa lantaran memasang setting fakta sejarah
perjalanan haji tahun 1970. Dan penulis berhasil membuat alur ke sana ke
mari sehingga pembaca melegalkannya.
7. Supernova: Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh -
Dewi Lestari
Setahu saya, buku ini adalah buku dengan catatan kaki terbanyak untuk
ukuran sebuah novel. Supernova: Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh,
adalah novel sarat teknologi dan kekinian ketika problematika tokohnya
dijelaskan dalam konsep dunia maya. Yang menjadi menarik dan membuat
novel ini menjadi keren adalah, bahwa ternyata kita hanya
'dibodoh-bodohi' oleh jalinan cerita fiksi dari sepasang gay, yang
mungkin pula fana (baca: diciptakan penulis 'asli').
Yah, novel ini membuat saya bertanya tentang identitas diri. Saya ingat
dengan satu kalimat yang ada dalam buku ini: Matilah pada apa yang kau
ketahui. Bahwa sesuatu yang kita pikir benar dan sudah amat diyakini,
bisa sangat jadi membuat keberadaan kita menjadi omong kosong.
Eksistensi diri dan eksistensi sekitar, disindir Dee dalam
tokoh-tokohnya seperti Diva, sosok yang menyamar sebagai Supernova di
dunia maya;
Percintaan yang salah antara Ferre dan Rana, untuk kemudian Ruben dan
Dhimas, sepasang gay yang bertekad membuat karya untuk merayakan
hubungan cinta mereka yang kesepuluh tahun.
Novel ini dibuat trilogi. Dan dua novel selanjutnya dibuat detil dan
tidak lagi dinamis. Untuk itulah kenapa saya lebih suka novelnya yang
pertama dan menilainya sebagai satu novel utuh tanpa embel-embel
kelanjutan.
6. Hubbu - Mashuri
'Sekonsep' dengan Ular Keempat, namun Hubbu adalah novel kekinian dengan
latar belakang pesantren. Hubbu menjadi novel humanisme tanpa
kecenderungan menceramahi atau plot klise. Ketika tokoh didetilkan
memunyai karakteristik manusia yang bisa tergoda, nakal, dan di satu
sisi begitu kuat menjaga keimanannya. Boleh dibilang Hubbu adalah novel
yang saya rekomendasikan untuk pecinta novel sekelas Ayat-Ayat Cinta.
Meski barangkali sebagian dari mereka kurang menyukainya karena
penggambaran yang 'detil', paling tidak Hubbu menjadi gambaran paling
kongkrit salah satu sosok manusia/lelaki dalam ruang lingkup budaya
keislaman.
Hubbu, (cinta dari bahasa Arab), merupakan novel pemenang pertama
sayembara novel (lomba menulis roman) DKJ 2006. Menceritakan tentang
perjalanan Jarot, mulai dari masa kecilnya di tanah kelahiran yang
mewarisi sebuah pesantren yang didirikan keluarganya, pergulatan pribadi
menuju masa dewasa, dan bagian terakhir yang merupakan bayangan masa
depan, atau lompatan waktu pada tahun 2040. Ketika Jarot dihadapkan pada
kenyataan manusiawi yang biasa kita alami: fase kematian keluarga
terdekat.
Hubbu menjadi salah satu novel yang paling saya ingat dan membuat saya
terharu. Jangan lupakan nuansa maskulinitas dan kesan 'tidak munafik'
dalam novel ini. Meski demikian, untuk pemenang sayembara novel pada
tahun itu, lumayan banyak kritik minor pada karya Hubbu. Juri seakan
memilih novel yang notabene ditulis lelaki ini untuk kembali membuat
sastra ke 'tempatnya' (ke tangan penulis lelaki). Ini terjadi setelah
pemenang diraih dua kali berturut-turut oleh penulis bergender
perempuan. Tapi, asumsi ini goyah lantaran juri menilai karya tanpa
embel-embel unsur ekstrinsik (identitas penulis). Jadi sudah pasti
mengandung obyektifitas murni tanpa menilai gender.
5. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta -
Seno Gumira Ajidarma
Buku ini dibaca ketika saya SMP. Merupakan karya dari penulis produktif
yang karyanya selalu berkualitas: Seno Gumira Ajidarma. Dalam antologi
cerpennya yang kesekian ini, saya mendadak menjadi dewasa dari usia
sebenarnya manakal menyeknyamai kisah cinta orang dewasa dari
bermacam-macam tokoh dan seting.
Sebutlah ceren 'Sebuah Pertanyaan untuk Cinta' dengan latar sederhana
ketika seorang perempuan menelepon pacarnya di telepon umum hanya untuk
meminta kesungguhan sang pacar. Cerpen ini dibuka dinamis ala cerpen
kebanyakan yang tentu klise: Pada sebuah telepon umum, seorang wanita
berbicara dengan gelisah. "Katakan sekali lagi, kamu cinta padaku."
Cerpen emosional ini membuat saya merinding. Belum lagi dengan
ketigabelas cerpen yang lain. Dan jangan lupakan cerpen 'Empat Adegan
Ranjang' yang HOT dan mampu membikin saya orgasme saat membacanya (waktu
itu). Selain itu, kisah cinta tentu tidak hanya hubungan antar dua
orang tapi juga dengan hal abstrak, alam atau kemistisan. Simak kumpulan
cerpen yang mungkin masih dicetak ini.
4. Ruang Belakang - Nenden Lilis Aisyah
Antologi cerpen ini saya pilih bukan karena penulisnya adalah dosen saya semasa kuliah, melainkan karena
karyanya memang orisinil dan berciri khas. Ibu Nenden Lilis Aisyah
adalah satu-satunya dosen yang saya favoritkan di kampus saya. Awal
pertama mengenal, saya tidak tahu dia adalah seorang penulis. Yang saya
tahu, beliau adalah dosen sebagaimana halnya yang lain.Makanya, saya
antusias dan kelihatan 'menunjukkan diri' di hadapannya untuk belajar.
Dan, beliau selalu merespons mahasiswanya yang memang terlihat antusias.
Alhasil, cerpen pertama saya dimuat di harian Pikiran Rakyat tepat
ketika saya baru masuk tingkat dua.
Bu Nenden sudah beberapa kali menerbitkan buku dan projek album
musikalisasi puisinya, Negeri Sihir. Namun, saya selalu terkesan dan
membaca ulang cerpen-cerpennya dalam Ruang Belakang. Cerpennya yang
menjadi judul buku itu juga menjadi salah satu cerpen terbaik Kompas
pada 2003 (luruskan kalau saya salah).
Yang jelas, buku ini saya rekomendasikan khusus untuk pembaca blog ini
yang masih berstatus pelajar. Sebab, gaya bercerita dalam buku ini mirip
ketika seorang ibu membacakan cerita pada anaknya. Cerpen rekomendasi
dari saya adalah 'Hati' yang bertema surealis dan menyentuh. Jangan lupa
cerpen-cerpen seperti 'Dadu' dan 'Wabah', yang memaparkan keabsurdan
dalam realitas. Nikmatilah ketiga belas cerpen yang menghibur sekaligus
memuaskan batin ini.
3. Bumi manusia - Pramoedya Ananta Toer
Seseorang, tolong jangan memfilmkan novel mahakarya ini kalau nantinya
akan menjadi karya mengecewakan. Sebab perlu dana besar-besaran untuk
membuat film super epic ini -dan tentu dukungan pemerintah *ngarep. Yang
jelas, novel yang sudah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa di
dunia ini sempat akan difilmkan Hollywood, sayang Pram (alm) menolak dan
lebih memilih sineas Indonesia seperti Garin untuk membuatnya. Sayang
(lagi), Garin merasa tidak sanggup membuat projek ini dan membuat Mira
Lesmana dan Riri Riza mengambil projek ini. Yah, semoga di tangan
mereka, film adaptasi novel itu akan terasa mahal dan bagus.
Bumi Manusia adalah buku pertama dari tetralogi yaitu Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Pertama kali membaca buku
ini saat saya SD di perpustakaan sekolah. Membacanya membikin saya
frustasi dan berniat makan tembok lantaran konten yang berat. Namun,
karena novel ini pulalah saya jatuh cinta dengan kesusastraan Tanah Air.
Dan kemudian beranjak dewasa, ternyata novel ini diapresiasi semua
kalangan terutama akademisi di disiplin ilmu sastra.
Bumi Manusia sendiri menceritakan tokoh, Minke, seorang primudi yang
bersekolah di sekolah anak-anak keturunan Eropa. Dia menjadi seorang
yang pandai sampai tulisannya dimuat di surat kabar dan mendapat pujian
orang Eropa. Karena pribumi, dia kerap mendapatkan tindakan rasis dan
intimidasi di lingkungannya.
Kemudian kita juga diajak mengenal tokoh Nyai Ontosoroh, perempuan yang menjadi korban dalam budaya patriarki pada masa itu.
Karena saat itu, karya seni bisa dinilai sebagai ideologi yang dianggap
menyesatkan masyarakat, novel ini pernah dilarang edar. Sampai akhirnya
sukses dan dicetak ulang berkali-kali sampai sekarang. Akhirnya, novel
ini saya rekomendasikan untuk pembaca baru yang ingin menikmati kisah
dengan alur konvensional dengan latar Indonesia di masa kolonial.
2. Dadaisme - Dewi Sartika
Kalau saya ditanya, novel apakah yang wajib dijadikan film? Dadaisme-lah
novelnya. Judul yang aneh memang. Penulisnya sengaja memakai aliran
seni lukis untuk menunjukkan isi dari konten novelnya yang sangat
modern, dinamis, layaknya film pendek atau potongan fragmen yang bisa
berdiri sendiri.
Novel ini menjadi pemenang sayembara novel DKJ tahun 2003. Dan tebak,
penulisnya adalah senior saya! Yap, saya pernah bertemu dengannya dan
sekadar memintanya email. Dia pun memberikannya dengan senang hati.
Meski tidak mengadakan hubungan pertemanan lebih dekat karena saat itu
dia sibuk mengerjakan skripsi, namun saya salut dengan karyanya ini. Dia
juga mengaku tulisannya terinspirasi Ayu Utami. Tidak heran konsepnya
mirip dengan Saman, meski Dadaisme jauh lebih teratur, rapi, dan
'dimengerti'.
Saya menyukai novel ini karena nuansa suram sangat terasa begitu pekat.
Nikmati Dadaisme seperti halnya kalian melihat lukisan abstrak. Selalu
ada sesuatu dalam seni. Dan ini mengasyikan.
1. Saman - Ayu Utami
Oh, yeah. Akhirnya kita orgasme bareng-bareng, kawan. Tapi kalian tentu
sudah menduga buku apa yang berada di posisi ini. Saman, merupakan
pemenang sayembara novel DKJ tahun 1998.Silakan simak tulisan saya soal
penulisnya di sini. Yang
jelas Saman menjadi pionir novel-novel dengan konsep modern dan
membahas hal yang selama ini dianggap tabu: seksualitas. Meski
kemunculan novel ini menjadi polemik di ranah susastra dan media cetak,
namun Saman memang maha karya yang berisi kritikan terhadap orde baru,
adat istiadat, dan tentunya posisi perempuan dalam budaya kita.
Saman menjadi istimewa karena saat itu novel dengan kata ganti 'saya'
terbilang jarang. Belum lagi dengan bahasa lugas dan sedemikian frontal.
Bagusnya di sisi lain, Saman memunyai kata-kata yang sangat berkilau
alias puitis, sampai saya terkagum-kagum atas deskripsi tersebut. Nuansa
pemberontakan pun tercium kuat di sini. 'Kemarahan' penulis berhasil
diluapkan dalam kritik melalui karya sastra demi sebuah perubahan ke
arah yang lebih baik. Sayang, novel ini kemudian dianggap sebagai pionir
karya-karya bertema 'selangkangan'. (Silakan baca artikel Karya Dakwah Versus Karya Humanis. Ah,
apapun. Yang jelas pantaslah Saman mendapatkan apresiasi terbaik bagi
pecinta karya sastra bahkan orang Indonesia yang melek seni.
Dari:
http://wanasedaju.blogspot.com/2011/12/sepuluh-karya-sastra-indonesia-terbaik.html
keren gan blognya, mampir2 ke blog sastra karya ane sendiri malhusin.blogspot.com
BalasHapus