Senin, 06 Januari 2014

Sepuluh Karya Sastra Indonesia Terbaik

10. Tabula Rasa - Ratih Kumala
Saya selalu tertarik pada karya-karya pemenag Lomba Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta yang dilakukan dua tahun sekali. Soalnya naskah pemenang selalu menawarkan hal yang segar dan berbeda. Tabula Rasa adalah pemenang ketiga ajang ini pada 2003. Diciptakan oleh pengarang muda, Ratih Kumala, yang menceritakan kisah cinta dengan setting yang meloncat-loncat dalam hal waktu maupun peristiwa. Konsep  alur yang sempat ngetren pasca novel Saman, Ayu Utami ini, membingungkan pembaca awam. Tapi bisa sangat mungkin ini akan menjadi hal yang mengasyikan. 
Misalnya, kisah dimulai di Yogyakarta pada 2001, kemudian beralih mundur di Moskwa tahun 1990. Begitu seterusnya sehingga kita diseret-seret mau tidak mau oleh idealisme pengarang. Bukankah loncat-loncatan ini mengasyikan juga di dunia nyata? Begitulah karya ini menjadi salah satu contoh betapa karya sastra bisa sangat mengasyikan sebagai refleksi dari kehidupan. 
Sementara meski diksi dalam novel ini terbilang 'biasa-biasa saja', namun unsur kelugasan sekaligus puitisme yang 'keras' membuat saya jatuh cinta pada novel dengan judul artistik ini. Cuplikan kata-kata yang saya ingat adalah. Aku dilahirkan sebagai batu yang kosong. Aku tabula rasa, aku adalah dogma dari aliran empiris dan aku terbentuk dari jalannya hidup.
9. Mereka Bilang, Saya Monyet! - 
Djenar Maesa Ayu

Pertama kali membeli buku ini saat saya sekolah, dan waoouw! Apa yang saya pikirkan saat baca-baca sekilas satu buku tak berplastik di Gramedia itu adalah, "ini cerita bokep, ye?". Karena penasaran, saya pun membelinya dengan harga yang saat itu lumayan berat untuk kantung anak SMA. Dan di rumah, saya pun membaca sambil ejakulasi dini. Yeah, kumpulan cerpen ini begitu sarkastik, keras, jor-joran, tidak munafik, dan barangkali apa-apaan. Tapi kemudian, saya menganggapnya sebagai sesuatu yang keren.
Lebih banyak Djenar bernarasi dalam tokoh anak perempuan yang mengalami pemerkosaan, trauma, lengkap dengan pemilihan kata urban yang diungkap tiada malu. Yah, ngapain harus malu. Bukankah begitu dialog kebanyakan kaum urban di Jakarta? Yang jelas, cerpen yang lumayan menohok dalam antologi ini adalah cerpen Namanya ... Menceritakan tentang seorang anak perempuan yang diberi nama Memek oleh orangtuanya. Tentu saja cerpen ini sempat menjadi polemik di ranah sastra media massa. Saya pun sempat membuat heboh kelas, lantaran membahas cerpen ini.

Ah, kenapa tidak membawa permemekan di ranah akademik? Karya Djenar adalah karya yang jujur dan merupakan replika kehidupan di kota-kota besar yang keras. Meskipun kemudian, karya-karyanya menurut saya mengalami penurunan dan menceritakan hal yang sama. Tapi karya dia membawa pengaruh pada sebagian gaya penulisan saya.
8. Ular Keempat - Gus TF Sakai

Nuansa relijius tercium kental dalam novel yang menjadi juara harapan di Lomba Menulis Roman DKJ tahun 2003 ini. Dengan konsep memoar dan klasik (baca: konvensional), membaca novel ini menyeret saya pada nuansa novel karya sastra lama. Dan bacaan tipikal seperti ini menurut saya lebih jujur dan  humanis ketimbang karya-karya sastra yang dilabeli sastra islami seperti karya Asma Nadia, Habbirahman El Shirazy, dan semacamnya. Contohnya, Ular Keempat, adalah kisah perjalanan ibadah haji yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan 'nakal' dan 'tak boleh'. 
Seperti: Betulkah orang-orang kampungku beribadah bukan karena Allah, melainkan karena ibadah itu telah diwariskan turun-temurun? dan betul pulakah apa yang dikatakannya, bahwa aku pergi haji ke Makkah tak lebih hanya karena kebanggaan?
Ujung perjalanan dan pergulatan batin tokoh, membawanya pada sebuah kesadaran bahwa setan yang paling berbahaya di dunia ini adalah ular keempat, yang merupakan metafora dari 'setan yang meracuni keimanan'. 

Novel ini menjadi istimewa lantaran memasang setting fakta sejarah perjalanan haji tahun 1970. Dan penulis berhasil membuat alur ke sana ke mari sehingga pembaca melegalkannya.
7. Supernova: Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh - 
 Dewi Lestari

 

Setahu saya, buku ini adalah buku dengan catatan kaki terbanyak untuk ukuran sebuah novel. Supernova: Kesatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, adalah novel sarat teknologi dan kekinian ketika problematika tokohnya dijelaskan dalam konsep dunia maya. Yang menjadi menarik dan membuat novel ini menjadi keren adalah, bahwa ternyata kita hanya 'dibodoh-bodohi' oleh jalinan cerita fiksi dari sepasang gay, yang mungkin pula fana (baca: diciptakan penulis 'asli').
Yah, novel ini membuat saya bertanya tentang identitas diri. Saya ingat dengan satu kalimat yang ada dalam buku ini: Matilah pada apa yang kau ketahui. Bahwa sesuatu yang kita pikir benar dan sudah amat diyakini, bisa sangat jadi membuat keberadaan kita menjadi omong kosong. Eksistensi diri dan eksistensi sekitar, disindir Dee dalam tokoh-tokohnya seperti Diva, sosok yang menyamar sebagai Supernova di dunia maya;
Percintaan yang salah antara Ferre dan Rana, untuk kemudian Ruben dan Dhimas, sepasang gay yang bertekad membuat karya untuk merayakan  hubungan cinta mereka yang kesepuluh tahun.
Novel ini dibuat trilogi. Dan dua novel selanjutnya dibuat detil dan tidak lagi dinamis. Untuk itulah kenapa saya lebih suka novelnya yang pertama dan menilainya sebagai satu novel utuh tanpa embel-embel kelanjutan.

6. Hubbu - Mashuri

'Sekonsep' dengan Ular Keempat, namun Hubbu adalah novel kekinian dengan latar belakang pesantren. Hubbu menjadi novel humanisme tanpa kecenderungan menceramahi atau plot klise. Ketika tokoh didetilkan memunyai karakteristik manusia yang bisa tergoda, nakal, dan di satu sisi begitu kuat menjaga keimanannya. Boleh dibilang Hubbu adalah novel yang saya rekomendasikan untuk pecinta novel sekelas Ayat-Ayat Cinta. Meski barangkali sebagian dari mereka kurang menyukainya karena penggambaran yang 'detil', paling tidak Hubbu menjadi gambaran paling kongkrit salah satu sosok manusia/lelaki dalam ruang lingkup budaya keislaman.
Hubbu, (cinta dari bahasa Arab), merupakan novel pemenang pertama sayembara novel (lomba menulis roman) DKJ 2006. Menceritakan tentang perjalanan Jarot, mulai dari masa kecilnya di tanah kelahiran yang mewarisi sebuah pesantren yang didirikan keluarganya, pergulatan pribadi menuju masa dewasa, dan bagian terakhir yang merupakan bayangan masa depan, atau lompatan waktu pada tahun 2040. Ketika Jarot dihadapkan pada kenyataan manusiawi yang biasa kita alami: fase kematian keluarga terdekat.
Hubbu menjadi salah satu novel yang paling saya ingat dan membuat saya terharu. Jangan lupakan nuansa maskulinitas dan kesan 'tidak munafik' dalam novel ini. Meski demikian, untuk pemenang sayembara novel pada tahun itu, lumayan banyak kritik minor pada karya Hubbu. Juri seakan memilih novel yang notabene ditulis lelaki ini untuk kembali membuat sastra ke 'tempatnya' (ke tangan penulis lelaki). Ini terjadi setelah pemenang diraih dua kali berturut-turut oleh penulis bergender perempuan. Tapi, asumsi ini goyah lantaran juri menilai karya tanpa embel-embel unsur ekstrinsik (identitas penulis). Jadi sudah pasti mengandung obyektifitas murni tanpa menilai gender.
5. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta - 
Seno Gumira Ajidarma


Buku ini dibaca ketika saya SMP. Merupakan karya dari penulis produktif yang karyanya selalu berkualitas: Seno Gumira Ajidarma. Dalam antologi cerpennya yang kesekian ini, saya mendadak menjadi dewasa dari usia sebenarnya manakal menyeknyamai kisah cinta orang dewasa dari bermacam-macam tokoh dan seting.
Sebutlah ceren 'Sebuah Pertanyaan untuk Cinta' dengan latar sederhana ketika seorang perempuan menelepon pacarnya di telepon umum hanya untuk meminta kesungguhan sang pacar. Cerpen ini dibuka dinamis ala cerpen kebanyakan yang tentu klise: Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan gelisah. "Katakan sekali lagi, kamu cinta padaku."
Cerpen emosional ini membuat saya merinding. Belum lagi dengan ketigabelas cerpen yang lain. Dan jangan lupakan cerpen 'Empat Adegan Ranjang' yang HOT dan mampu membikin saya orgasme saat membacanya (waktu itu). Selain itu, kisah cinta tentu tidak hanya hubungan antar dua orang tapi juga dengan hal abstrak, alam atau kemistisan. Simak kumpulan cerpen yang mungkin masih dicetak ini.

4. Ruang Belakang - Nenden Lilis Aisyah

Antologi cerpen ini saya pilih bukan karena penulisnya adalah dosen saya semasa kuliah, melainkan karena
karyanya memang orisinil dan berciri khas. Ibu Nenden Lilis Aisyah adalah satu-satunya dosen yang saya favoritkan di kampus saya. Awal pertama mengenal, saya tidak tahu dia adalah seorang penulis. Yang saya tahu, beliau adalah dosen sebagaimana halnya yang lain.Makanya, saya antusias dan kelihatan 'menunjukkan diri' di hadapannya untuk belajar. Dan, beliau selalu merespons mahasiswanya yang memang terlihat antusias. Alhasil, cerpen pertama saya dimuat di harian Pikiran Rakyat tepat ketika saya baru masuk tingkat dua.
Bu Nenden sudah beberapa kali menerbitkan buku dan projek album musikalisasi puisinya, Negeri Sihir. Namun, saya selalu terkesan dan membaca ulang cerpen-cerpennya dalam Ruang Belakang. Cerpennya yang menjadi judul buku itu juga menjadi salah satu cerpen terbaik Kompas pada 2003 (luruskan kalau saya salah). 
Yang  jelas, buku ini saya rekomendasikan khusus untuk pembaca blog ini yang masih berstatus pelajar. Sebab, gaya bercerita dalam buku ini mirip ketika seorang ibu membacakan cerita pada anaknya. Cerpen rekomendasi dari saya adalah 'Hati' yang bertema surealis dan menyentuh. Jangan lupa cerpen-cerpen seperti 'Dadu' dan 'Wabah', yang memaparkan keabsurdan dalam realitas. Nikmatilah ketiga belas cerpen yang menghibur sekaligus memuaskan batin ini.
3. Bumi manusia - Pramoedya Ananta Toer
Seseorang, tolong jangan memfilmkan  novel mahakarya ini kalau nantinya akan menjadi karya mengecewakan. Sebab perlu dana besar-besaran untuk membuat film super epic ini -dan tentu dukungan pemerintah *ngarep. Yang jelas, novel yang sudah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa di dunia ini sempat akan difilmkan Hollywood, sayang Pram (alm) menolak dan lebih memilih sineas Indonesia seperti Garin untuk membuatnya. Sayang (lagi),  Garin merasa tidak sanggup membuat projek ini dan membuat Mira Lesmana dan Riri Riza mengambil projek ini. Yah, semoga di tangan mereka, film adaptasi novel itu akan terasa mahal dan bagus.
Bumi Manusia adalah buku pertama dari tetralogi yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Pertama kali membaca buku ini saat saya SD di perpustakaan sekolah. Membacanya membikin saya frustasi dan berniat makan tembok lantaran konten yang berat. Namun, karena novel ini pulalah saya jatuh cinta dengan kesusastraan Tanah Air. Dan kemudian beranjak dewasa, ternyata novel ini diapresiasi semua kalangan terutama akademisi di disiplin ilmu sastra.
Bumi Manusia sendiri menceritakan tokoh, Minke, seorang primudi yang bersekolah di sekolah anak-anak keturunan Eropa. Dia menjadi seorang yang pandai sampai tulisannya dimuat di surat kabar dan mendapat pujian orang Eropa. Karena pribumi, dia kerap mendapatkan tindakan rasis dan intimidasi di lingkungannya.
Kemudian kita juga diajak mengenal tokoh Nyai Ontosoroh, perempuan yang menjadi korban dalam budaya patriarki pada masa itu. 
Karena saat itu, karya seni bisa dinilai sebagai ideologi yang dianggap menyesatkan masyarakat, novel ini pernah dilarang edar. Sampai akhirnya sukses dan dicetak ulang berkali-kali sampai sekarang. Akhirnya, novel ini saya rekomendasikan untuk pembaca baru yang ingin menikmati kisah dengan alur konvensional dengan latar Indonesia di masa kolonial. 
2. Dadaisme - Dewi Sartika
Kalau saya ditanya, novel apakah yang wajib dijadikan film? Dadaisme-lah novelnya. Judul yang aneh memang. Penulisnya sengaja memakai aliran seni lukis untuk menunjukkan isi dari konten novelnya yang sangat modern, dinamis, layaknya film pendek atau potongan fragmen yang bisa berdiri sendiri.
Dadaisme mengangkat banyak isu seperti anak indigo, oedipus compleks,  perselingkuhan, patriarki, seksualitas, adat istiadat, homoseksual, dan gangguan kejiwaan. Tokoh-tokoh yang tergambar sebagian banyak dengan bab berkonsep sendiri-sendiri membuat pembaca bingung. Namun temukan kepuasan di dalamnya karena membaca novel ini sama dengan bermain puzzle. Ketidakkonsistenan kata ganti, sudut pandang, pengambilan latar, sengaja dibuat penulis untuk memberikan efek dinamis dan juga menjadi karya pembeda di antara karya lain.
Novel ini menjadi pemenang sayembara novel DKJ tahun 2003. Dan tebak, penulisnya adalah senior saya! Yap, saya pernah bertemu dengannya dan sekadar memintanya email. Dia pun memberikannya dengan senang hati. Meski tidak mengadakan hubungan pertemanan lebih dekat karena saat itu dia sibuk mengerjakan skripsi, namun saya salut dengan karyanya ini. Dia juga mengaku tulisannya terinspirasi Ayu Utami. Tidak heran konsepnya mirip dengan Saman, meski Dadaisme jauh lebih teratur, rapi, dan 'dimengerti'.
Saya menyukai novel ini karena nuansa suram sangat terasa begitu pekat. Nikmati Dadaisme seperti halnya kalian melihat lukisan abstrak. Selalu ada sesuatu dalam seni. Dan ini mengasyikan.
1. Saman - Ayu Utami
 Oh, yeah. Akhirnya kita orgasme bareng-bareng, kawan. Tapi kalian tentu sudah menduga buku apa yang berada di posisi ini. Saman, merupakan pemenang sayembara novel DKJ tahun 1998.Silakan simak tulisan saya soal penulisnya di sini. Yang jelas Saman menjadi pionir novel-novel dengan konsep modern dan membahas hal yang selama ini dianggap tabu: seksualitas. Meski kemunculan novel ini menjadi polemik di ranah susastra dan media cetak, namun Saman memang maha karya yang berisi kritikan terhadap orde baru, adat istiadat, dan tentunya posisi perempuan dalam budaya kita.
Saman menjadi istimewa karena saat itu novel dengan kata ganti 'saya' terbilang jarang. Belum lagi dengan bahasa lugas dan sedemikian frontal. Bagusnya di sisi lain, Saman memunyai kata-kata yang sangat berkilau alias puitis, sampai saya terkagum-kagum atas deskripsi tersebut. Nuansa pemberontakan pun tercium kuat di sini. 'Kemarahan' penulis berhasil diluapkan dalam kritik melalui karya sastra demi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Sayang, novel ini kemudian dianggap sebagai pionir karya-karya bertema 'selangkangan'. (Silakan baca artikel Karya Dakwah Versus Karya HumanisAh, apapun. Yang jelas pantaslah Saman mendapatkan apresiasi terbaik bagi pecinta karya sastra bahkan orang Indonesia yang melek seni.
 
Dari:
 http://wanasedaju.blogspot.com/2011/12/sepuluh-karya-sastra-indonesia-terbaik.html

1 komentar:

  1. keren gan blognya, mampir2 ke blog sastra karya ane sendiri malhusin.blogspot.com

    BalasHapus