Buku 1 Bab 01
Tiga Cincin untuk raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja Kurcaci di balairung batu mereka,
Sembilan untuk Insan Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa Kegelapan di takhtanya yang kelam
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.
Satu Cincin 'tuk menguasai mereka semua, Satu Cincin ‘tuk menemukan mereka,
Satu Cincin 'tuk membawa mereka semua dan dalam kegelapan mengikat mereka
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.
Daftar Isi
Prolog
BUKU SATU
1. Pesta yang Ditunggu-tunggu
2. Bayangan Masa Lalu
3. Tiga Menjadi Rombongan
4. Jalan Pintas Menuju Jamur
5. Komplotan Terbongkar
6. Old Forest
7. Di Rumah Tom Bombadil
8. Kabut di Atas Barrow-Downs
9. Di Bawah Papan Nama Kuda Menari
10. Strider
11. Pisau dalam Gelap
12. Pelarian ke Ford
BUKU DUA
1. Banyak Pertemuan
2. Dewan Penasihat Elrond
3. Cincin Pergi ke Selatan
4. Perjalanan dalam Gelap
5. Jembatan Khazad-Dum
6. Lothlorien
7. Cermin Galadriel
8. Selamat Tinggal Lorien
9. Sungai Besar
10. Perpecahan
PROLOG
1. Tentang Para Hobbit
Sebagian besar buku ini adalah mengenai para hobbit, dan dari lembar-lembar isinya, pembaca bisa menemukan banyak hal tentang karakter serta sedikit sejarah mereka. Informasi lebih lanjut bisa ditemukan dalam cuplikan dari Buku Merah Westmarch yang sudah diterbitkan dengan judul Hobbit. Kisah itu diambil dari bab-bab awal Bukit Merah karangan Bilbo sendiri-hobbit pertama yang menjadi terkenal di dunia luas-yang olehnya dinamakan Pergi dan Kembali, sebab di dalam bab-bab itu ia menceritakan perjalanannya ke Timur, serta kepulangannya: petualangan tersebut kelak melibatkan seluruh hobbit dalam peristiwa-peristiwa besar pada Zaman tersebut, yang dipaparkan di sini.
Banyak pembaca mungkin ingin tahu lebih banyak tentang tokoh-tokoh dalam buku ini, dan mungkin tidak semua pembaca memiliki buku yang sebelumnya. Karena itu, di sini akan disampaikan point-point penting yang dikumpulkan dari hobbit-lore serta petualangan yang pertama, yang digambarkan secara singkat.
Kaum hobbit adalah kaum yang tidak suka menonjolkan diri dan sudah sangat tua umumya. Dulu jumlah mereka lebih banyak daripada sekarang ini; mereka mencintai kedamaian, ketenangan, dan tanah yang digarap dengan baik. Mereka senang berada di daerah pedesaan yang teratur rapi dan diurus dengan baik. Sejak dulu sampai sekarang mereka tidak memahami dan tidak menyukai mesin yang susunannya lebih rumit daripada pengembus api, kincir air, ataupun mesin tenun tangan, meski mereka sangat terampil menggunakan berbagai perkakas. Sejak zaman dahulu kala, mereka takut pada "Makhluk Besar"-sebutan mereka untuk kita, manusia-dan sekarang mereka lebih suka menghindari kita, hingga sukar bagi kita untuk menemukan mereka. Mereka punya pendengaran dan penglihatan tajam; meski cenderung gemuk dan tidak suka terburu-buru, gerakan mereka cepat dan cekatan. Sejak dulu mereka punya keahlian menghilang dengan cepat, tanpa suara, kalau kebetulan berpapasan dengan Manusia yang tidak ingin mereka temui. Mereka sudah mengembangkan keahlian ini sedemikian rupa, hingga bagi Manusia kelihatannya seperti sihir. Tapi sebenarnya kaum hobbit tidak pernah belajar sihir apa pun; kemahiran mereka menghilang semata-mata merupakan keterampilan profesional yang diwariskan turun-temurun, juga berkat latihan dan kedekatan yang begitu erat dengan tanah, dan keahlian ini tak bisa ditiru oleh makhluk-makhluk yang lebih besar dan lebih canggung.
Kaum hobbit ini adalah makhluk-makhluk kecil, lebih kecil daripada Kurcaci: tidak terlalu kekar dan gempal, walau sebenarnya mereka tak bisa dikatakan jauh lebih pendek daripada Kurcaci. Tinggi badan mereka bervariasi, antara enam puluh satu sampai seratus dua puluh dua sentimeter menurut ukuran kita, manusia. Sekarang ini jarang di antara mereka yang tingginya mencapai sembilan puluh satu senti; kata orang, mereka sudah semakin menyusut; pada zaman dahulu, mereka lebih tinggi. Menurut Buku Merah, Bandobras Took (Bullroarer), putra Isengrim Kedua, tingginya seratus tiga puluh sembilan senti dan bisa mengendarai kuda. Yang bisa menandinginya dalam semua catatan kaum hobbit hanyalah dua tokoh terkenal dari zaman lampau; tapi hal tersebut bisa dibaca nanti dalam buku ini.
Mengenai para hobbit dari Shire—yang menjadi sentral dalam kisah-kisah ini—pada masa damai dan kelimpahan, mereka adalah kaum yang riang gembira. Mereka suka mengenakan pakaian dengan warna-warni cerah, dan terutama suka sekali warna kuning dan hijau; tapi mereka jarang memakai sepatu, sebab telapak kaki mereka liat seperti kulit dan dilapisi rambut tebal dan ikal, mirip sekali dengan rambut kepala mereka, yang umumnya berwarna cokelat. Karenanya, membuat sepatu menjadi satu-satunya kerajinan yang jarang sekali dipraktekkan di antara mereka; tapi mereka memiliki jemari panjang dan terampil, dan mereka bisa membuat banyak perkakas lain yang sederhana namun berguna. Wajah mereka lebih berkesan ramah daripada indah, lebar, dengan mata berbinar-binar, pipi merah, dan mulut yang suka tertawa, juga suka makan dan minum. Dan memang, mereka suka tertawa, juga suka makan dan minum, sering dan penuh semangat, sebab mereka suka bercanda sepanjang waktu, dan suka makan enam kali sehari (kalau ada makanan yang bisa diperoleh). Mereka ramah, suka berpesta, dan suka hadiah. Mereka mudah memberikan hadiah, dan juga senang menerimanya.
Jelaslah bahwa kaum hobbit adalah kerabat kita juga, walau kelak mereka menjauhkan diri dari Manusia; mereka jauh lebih dekat dengan kita daripada kaum Peri, atau bahkan kaum Kurcaci. Dulu mereka berbicara bahasa Manusia, dengan cara mereka sendiri; apa-apa yang mereka sukai dan tidak mereka sukai banyak miripnya dengan apa-apa yang disukai dan tidak disukai Manusia. Tapi apa persisnya kaitan kita dengan mereka sudah tidak lagi diketahui. Awal mula kaum hobbit mengacu jauh ke belakang, pada Zaman Peri yang sekarang sudah hilang dan terlupakan. Hanya kaum Peri yang masih menyimpan catatan tentang masa-masa yang telah hilang itu, namun catatan mereka hampir seluruhnya hanya mengenai sejarah mereka sendiri, dan di dalamnya Manusia jarang muncul dan kaum hobbit sama sekali tidak disebut-sebut. Namun jelas bahwa kaum hobbit sebenarnya sudah bertahun-tahun tinggal tanpa banyak ribut-ribut di Dunia Tengah, sebelum makhluk-makhluk lain menyadari keberadaan mereka. Dan berhubung dunia ini memang penuh dengan makhluk-makhluk aneh yang tak terhitung banyaknya, maka kaum kecil ini tidak tampak terlalu penting. Namun pada masa Bilbo, dan Frodo pewarisnya, sekonyong-konyong mereka menjadi penting dan terkenal walau mereka sendiri tidak menghendakinya--dan menjadi masalah bagi kaum Bijak dan Berkuasa.
Masa-masa Zaman Ketiga Dunia Tengah kini telah lama berlalu, dan bentuk semua negeri pun telah berubah; namun wilayah di mana kaum hobbit dulu tinggal, tak diragukan lagi sama dengan wilayah-wilayah di mana mereka masih menetap: sebelah Barat-Laut Eropa, di timur Laut-an. Mengenai asal-usul asli mereka, kaum hobbit yang hidup pada masa Bilbo sama sekali tidak tahu-menahu. Minat belajar (selain pengetahuan tentang silsilah) bukanlah hal yang umum di antara mereka, tapi masih ada beberapa hobbit dari keluarga-keluarga lama yang mempelajari buku-buku mereka sendiri, dan bahkan mengumpulkan laporan-laporan tentang masa-masa lalu dan negeri-negeri jauh dari kaum Peri, Kurcaci, dan Manusia. Catatan yang mereka buat sendiri baru dimulai setelah terbentuknya Shire, dan legenda-legenda mereka yang paling kuno boleh dikatakan hanya sejauh Masa-Masa Mengembara mereka. Namun dari legenda-legenda ini, dan dari bukti tentang kata-kata dan adat-istiadat mereka yang aneh, jelas bahwa seperti banyak makhluk lainnya, pada zaman dahulu kala kaum hobbit telah bergerak ke barat. Kisah-kisah mereka yang paling awal -sepertinya mengacu sekilas pada masa ketika mereka tinggal di lembah-lembah sebelah atas Anduin, di antara tonjolan-tonjolan Greenwood the Great dan Pegunungan Berkabut. Kenapa mereka kemudian melakukan perjalanan berbahaya dan sulit melintasi pegunungan tersebut, menuju Eriador, tidak lagi diketahui pasti. Menurut catatan mereka, alasannya karena semakin banyaknya Manusia di tanah itu, dan karena ada bayangan yang jatuh menyelubungi hutan, hingga hutan itu menjadi gelap dan diberi nama baru Mirkwood.
Sebelum perjalanan melintasi pegunungan itu, kaum hobbit sudah dibagi menjadi tiga jenis berbeda: Harfoot, Stoor, dan Fallohide. Jenis Harfoot berkulit lebih cokelat, lebih kecil, dan lebih pendek; mereka tidak berjanggut dan tidak memakai sepatu; tangan dan kaki mereka bagus dan cekatan, dan mereka lebih suka tinggal di dataran-dataran tinggi serta lereng-lereng bukit. Jenis Stoor lebih lebar dan kekar; kaki dan tangan mereka lebih besar, dan mereka lebih suka tinggal di dataran-dataran serta tepi-tepi sungai. Jenis Fallohide memiliki kulit dan rambut lebih terang, mereka juga lebih tinggi dan ramping daripada kedua jenis terdahulu; mereka sangat menyukai pepohonan dan hutan.
Jenis Harfoot merupakan kerabat dekat Kurcaci pada zaman dahulu kala, dan mereka lama tinggal di kaki-kaki pegunungan. Mereka suh dah lebih dulu pindah ke barat, mengembara melintasi Eriador, hingga sejauh Weathertop, sementara yang lain-lainnya masih berada di Belantara. Mereka merupakan jenis yang paling normal dan paling mewakili kaum hobbit, dan jumlah mereka juga paling banyak. Merekalah yang paling memiliki kecenderungan menetap di satu tempat, juga paling lama mempertahankan kebiasaan tinggal di terowongan-terowongan dan lubang-lubang.
Jenis Stoor lama tinggal di tepi-tepi Sungai Besar Anduin, dan tidak begitu takut pada Manusia. Mereka pindah ke barat, menyusul kaum Harfoot, dan mengikuti aliran Loudwater ke arah selatan; di sana banyak di antara mereka tinggal lama di antara Tharbad dan perbatasan-perbatasan Dunland, sebelum pindah kembali ke utara.
Jenis Fallohide, yang jumlahnya paling sedikit, merupakan kelompok yang tinggal di utara. Mereka lebih akrab dengan para Peri daripada jenis-jenis hobbit lainnya, dan lebih terampil berbahasa dan menyanyi daripada membuat kerajinan; dulu mereka lebih suka berburu daripada menggarap tanah. Mereka melintasi pegunungan sebelah utara Rivendell dan datang ke Sungai Hoarwell. Di Eriador mereka segera berbaur dengan kaum-kaum hobbit lain yang lebih dulu menetap di sana, tapi karena mereka lebih berani dan lebih berjiwa petualang, sering kali mereka menjadi pemimpin atau kepala suku di antara klan-klan Harfoot atau Stoor. Bahkan pada masa Bilbo darah Fallohide yang kuat masih tampak jelas di antara keluarga-keluarga terkemuka, seperti keluarga Took dan Para Penguasa Buckland.
Di wilayah barat Eriador, di antara Pegunungan Berkabut dan pegunungan Lune, kaum hobbit menemukan Manusia dan Peri. Bahkan sisa-sisa kaum Dunedain—raja-raja Manusia yang menyeberangi Laut dari Westernesse—masih tinggal di sana; tapi jumlah mereka menyusut dengan cepat, dan wilayah-wilayah Kerajaan Utara mereka mulai mengalami keruntuhan di mana-mana. Ada tempat untuk para pendatang baru, dan tak lama kemudian kaum hobbit mulai menetap dalam komunitas-komunitas yang teratur. Sebagian besar tempat menetap mereka sebelumnya telah lama hilang dan terlupakan pada masa hidup Bilbo; tapi salah satu dari tempat yang pertama menjadi penting kelak, masih bertahan, walau luasnya telah berkurang; tempat itu ada di Bree, dan di Chetwood yang terbentang di sekitarnya, sekitar empat puluh mil sebelah timur Shire.
Tak diragukan lagi, pada masa-masa awal inilah kaum hobbit mulai belajar mengenal huruf, dan mulai menulis seperti kaum Dunedain, yang lama berselang telah mempelajari seni menulis dari para Peri. Dan pada masa-masa itu pulalah mereka lupa pada bahasa entah apa yang sebelumnya mereka gunakan; sesudahnya mereka berbicara Bahasa Umum, bahasa Westron, yang dikenal di seluruh wilayah raja-raja dari Arnor hingga ke Gondor, dan di seluruh pantai-pantai Laut mulai dari Belfalas hingga ke Lune. Namun mereka masih mempertahankan beberapa kata dari bahasa mereka sendiri, berikut nama-nama bulan dan hari; serta sejumlah besar nama pribadi dari masa lampau.
Sekitar masa ini, legenda di antara kaum hobbit mulai berkembang menjadi sejarah, dengan penghitungan tahun. Sebab pada tahun seribu enam ratus satu dari Zaman Ketiga inilah dua bersaudara Fallohide, Marcho dan Blanco, berangkat dari Bree; setelah mendapatkan izin dari raja tinggi di Fornost—menurut catatan sejarah Gondor, raja yang dimaksud ini adalah Argeleb II, keturunan kedua puluh dari raja-raja Utara, yang berakhir dengan Arvedui tiga ratus tahun kemudian—mereka menyeberangi Sungai Baranduin yang cokelat, diikuti oleh sejumlah besar hobbit. Mereka melewati Jembatan Stonebows yang dibangun pada masa kekuasaan Kerajaan Utara, dan mereka mengambil seluruh wilayah di seberangnya untuk tempat tinggal mereka, di antara sungai tersebut dan Far Downs. Mereka hanya diminta menjaga kondisi Jembatan Besar tersebut, juga semua jembatan dan jalan lainnya, mempermudah perjalanan para kurir Raja, dan mengakui kedaulatan sang raja.
Maka dimulailah masa Hitungan Shire (H.S.), sebab tahun penyeberangan Sungai Brandywine (nama yang diberikan kaum hobbit untuk Baranduin) menjadi Tahun Pertama Shire, dan semua tanggal berikutnya dihitung dari peristiwa tersebut. Dengan demikian, tahun-tahun pada Zaman Ketiga dalam penghitungan kaum Peri dan kaum Dunedain bisa ditemukan dengan menambahkan 1600 pada tanggal-tanggal Hitungan-Shire. Kaum hobbit dari barat ini dengan segera jatuh cinta pada tanah mereka yang baru; mereka pun menetap di sana, dan tak lama kemudian sekali lagi mereka keluar dari catatan sejarah Manusia dan Peri. Sementara masih ada raja yang berkuasa, secara formal mereka dianggap rakyat dari raja tersebut, tapi sebenarnya mereka mempunyai kepala-kepala suku sendiri dan sama sekali tidak ikut campur dengan segala urusan di dunia luar. Ketika terjadi pertempuran terakhir di Fornost melawan Raja Sihir dari Angmar, mereka mengirimkan sejumlah pemanah untuk membantu raja Dunedain, atau begitulah kata mereka, walau hal ini tak pernah disebut-sebut dalam catatan sejarah Manusia. Namun dalam perang tersebut berakhirlah riwayat Kerajaan Utara; kaum hobbit mengambil tanah itu menjadi milik mereka, dan mereka memilih seorang Thain dari antara kepala-kepala suku mereka sendiri, untuk memegang kekuasaan menggantikan sang raja yang sudah tiada. Selama seribu tahun mereka hidup dalam damai, tidak terganggu oleh perang; mereka hidup dalam kelimpahan dan berkembang biak setelah peristiwa Wabah Kegelapan (H.S. 37) hingga malapetaka Musim Dingin Yang Panjang serta masa kelaparan yang menyusul kemudian. Ribuan hobbit tewas ketika itu, namun pada masa terjadinya cerita ini, Hari-Hari Kematian (1158-1160) tersebut telah lama berlalu dan kaum . hobbit sudah kembali hidup dalam kelimpahan. Tanah mereka subur dan ramah, dan meski tanah itu telah lama ditinggalkan ketika mereka memasukinya, sebelumnya tanah itu telah digarap dengan baik; di sana sang raja pernah memiliki banyak pertanian, ladang-ladang jagung, ladang-ladang anggur, dan hutan-hutan.
Tanah itu membentang seluas empat puluh league dari Far Downs ke Jembatan Brandywine, dan lima puluh league dari padang-padang belantara di sebelah utara ke rawa-rawa di sebelah selatan. Kaum hobbit menamai wilayah itu Shire, wilayah kekuasaan Thain mereka, sebuah distrik usaha yang teratur rapi; dan di sana, di sudut dunia yang nyaman itu, mereka menjalani kehidupan yang tenang, dan mereka semakin tidak peduli akan dunia di luar, di mana berbagai unsur kegelapan berkeliaran. Mereka mulai menganggap bahwa kedamaian dan kelimpahan merupakan kelaziman belaka di Dunia Tengah, dan menjadi hak orang-orang yang berakal sehat. Mereka lupa atau tidak mengacuhkan sedikit informasi yang pernah mereka dengar tentang Para Penjaga, serta tentang hasil kerja keras mereka-mereka yang memungkinkan terciptanya kedamaian panjang di Shire tersebut. Sebenarnya mereka menjalani kehidupan yang terlindung, tapi mereka tak lagi ingat hal itu.
Sejak dulu kaum hobbit tidak suka berperang, dan di antara mereka sendiri juga tak pernah terjadi perselisihan. Pada zaman lampau, tentu saja mereka sering terpaksa berperang demi mempertahankan diri di dunia yang keras, tapi pada masa hidup Bilbo, itu sudah menjadi sejarah lama. Pertempuran terakhir, sebelum kisah ini bermula, dan satu-satunya pertempuran yang terjadi di dalam wilayah Shire, sudah lepas dari ingatan siapa pun yang masih hidup, yakni Pertempuran Greenfields, H.S. 1147, di mana Bandobras Took mengadakan invasi terhadap kaum Orc. Bahkan cuaca pun sudah lebih lunak, dan serigala-serigala yang dulu berkeliaran keluar dari Utara dalam musim dingin yang tajam membeku sekarang sudah menjadi cerita masa lalu belaka. Jadi, walaupun masih ada sisa-sisa senjata di Shire, semua itu kebanyakan hanya dijadikan pajangan, digantung di atas perapian atau di tembok-tembok, atau dikumpulkan di museum di Michel Delving, yang disebut Mathom-house-sebab segala sesuatu yang dianggap tidak bermanfaat oleh para hobbit, tapi tidak mall mereka buang, mereka sebut mathom. Tempat-tempat tinggal mereka cenderung menjadi agak sesak oleh mathom-mathom ini, dan banyak hadiah yang beredar dari tangan ke tangan adalah benda-benda semacam itu.
Namun demikian, anehnya mereka tetap merupakan kaum yang tangguh, walau terbiasa hidup nyaman dalam kedamaian. Mereka sulit untuk ditakut-takuti atau dibunuh; dan mereka begitu menyukai barang-barang bagus, walau jika terpaksa mereka bisa hidup tanpa semua itu; mereka juga bisa bertahan menghadapi kesedihan, musuh, atau cuaca, dengan cara yang membuat terperangah orang-orang yang tidak mengenal mereka dengan baik, yang hanya melihat perut serta wajah mereka yang sehat dan cukup makan. Walau tidak suka bertengkar atau membunuh makhluk hidup sekadar untuk menyenangkan diri, mereka tergolong berani dan kalau perlu masih bisa mengangkat senjata. Mereka mahir memanah, sebab mereka bermata tajam dan bisa mengenai sasaran dengan tepat. Bukan hanya dengan busur dan anak panah. Kalau seorang hobbit membungkuk mengambil batu, sebaiknya cepat-cepatlah mencari perlindungan; semua binatang yang melintas lewat perbatasan mereka sudah tahu betul hal itu.
Semua hobbit mulanya tinggal di dalam lubang-lubang di tanah, atau begitulah anggapan mereka. Di tempat-tempat semacam itulah mereka merasa paling nyaman; tapi seiring perjalanan waktu, mereka terpaksa beradaptasi dengan bentuk-bentuk tempat tinggal yang lain. Sebenarnya di wilayah Shire pada zaman Bilbo, hanya hobbit-hobbit paling kaya dan paling miskin yang masih mempertahankan kebiasaan lama tersebut. Hobbit yang paling miskin masih tinggal di liang-liang yang paling primitif, yang benar-benar hanya berupa lubang, dengan satu jendela atau tanpa jendela sama sekali; sementara itu, hobbit-hobbit kaya masih membangun lubang-lubang dalam versi lebih mewah daripada sekadar lubang zaman dulu yang digali begitu saja. Namun tidak mudah menemukan tempat-tempat yang sesuai untuk membuat terowongan-terowongan besar dan bercabang-cabang ini (smials, menurut istilah mereka). Maka di tanah-tanah datar dan distrik-distrik yang terletak rendah, kaum hobbit yang telah berkembang biak mulai membangun di atas tanah. Bahkan di daerah-daerah berbukit dan desa-desa yang lebih tua, seperti di Hobbiton atau Tuckborough, atau di kota utama Shire, Michel Delving di White Downs, sekarang banyak rumah terbuat dari kayu, batu bata, atau batu. Rumah-rumah semacam ini terutama disukai oleh para hobbit yang menjadi penggiling padi, pandai besi, pembuat tali, dan pembuat kereta serta profesi lain semacamnya; sebab meski mereka tinggal di lubang-lubang, kaum hobbit sudah lama terbiasa membangun gudang dan bengkel-bengkel kerja.
Kebiasaan membuat rumah-rumah pertanian dan lumbung-lumbung konon dimulai di antara penduduk Marish di tepi Brandywine. Kaum hobbit di sana, yang disebut penduduk Wilayah Timur, bertubuh agak besar, dengan gerakan lamban, dan mereka mengenakan sepatu bot kurcaci pada musim hujan. Tapi mereka dikenal banyak memiliki darah Stoor, seperti terlihat dari janggut yang banyak dipelihara di antara mereka. Tidak ada kaum Harfoot atau Fallohide yang memelihara janggut. Golongan yang tinggal di Marish dan Buckland, di sebelah timur Sungai yang sesudahnya mereka tempati, kelak sebagian besar datang ke wilayah Shire dari arah selatan; mereka masih tetap memiliki nama-nama aneh serta kata-kata asing yang tidak ditemukan di bagian lain Shire.
Kemungkinan seni membuat bangunan, seperti halnya seni-seni lainnya, dipelajari dari kaum Dunedain. Tapi mungkin juga para hobbit ini mempelajarinya secara langsung dari para Peri, yang menjadi guru Manusia semasa muda. Sebab para Per' Keturunan Bangsawan belum meninggalkan Dunia Tengah, dan ketika itu mereka masih tinggal di Grey Havens jauh di barat, dan di tempat-tempat lain yang masih dalam jangkauan Shire. Tiga menara Peri yang sudah ada entah sejak kapan masih bisa dilihat di Bukit-Bukit Menara di seberang perbatasan-perbatasan sebelah barat. Mereka suka bersinar dari kejauhan, dalam cahaya bulan. Menara tertinggi terletak paling jauh, tegak sendirian di sebuah bukit hijau. Kaum hobbit dari Wilayah Barat mengatakan bahwa orang bisa melihat Laut dari puncak menara itu; tapi belum pernah ada seorang hobbit pun yang naik ke sana. Sedikit sekali kaum hobbit yang pernah melihat atau berlayar di Laut, dan lebih sedikit lagi yang kembali untuk melaporkan pengalaman mereka. Sebagian besar hobbit bahkan sangat tidak menyukai sungai dan perahu-perahu kecil sekalipun, dan tidak banyak di antara mereka bisa berenang. Sementara hari-hari di Shire semakin panjang, mereka semakin jarang berbicara dengan kaum Peri, dan menjadi takut pada mereka, juga tak percaya pada makhluk-makhluk yang berurusan dengan Peri; dan Laut pun menjadi kata yang ditakuti di antara mereka, sebuah tanda kematian, dan mereka pun berpaling dari perbukitan di barat.
Seni mendirikan bangunan mungkin dipelajari dari kaum Peri atau Manusia, tapi para hobbit menggunakannya dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak suka membangun menara. Rumah-rumah mereka biasanya berbentuk panjang, rendah, dan nyaman. Jenis rumah yang paling tua bahkan sekadar merupakan imitasi dari smials, dilapisi rumput kering atau jerami, atau diberi atap dari tanah berumput, dengan tembok-tembok agak tebal. Tapi tahap tersebut hanyalah bagian dari masa-masa awal Shire. Sejak saat itu, kecakapan kaum hobbit dalam membuat bangunan telah semakin maju, dengan digunakannya berbagai peralatan, yang dipelajari dari kaum Kurcaci atau merupakan temuan mereka sendiri. Sisa-sisa khas arsitektur hobbit ada pada jendela-jendela berbentuk bundar, bahkan pintu-pintu yang juga bundar.
Rumah-rumah dan lubang-lubang tempat tinggal kaum hobbit di Shire sering kali berukuran besar, dan dihuni oleh keluarga-keluarga besar. (Bilbo dan Frodo Baggins, yang keduanya bujangan, merupakan perkecualian, juga dalam hal-hal lainnya, seperti misalnya persahabatan mereka dengan kaum Peri.) Kadang-kadang, seperti dalam kasus keluarga Took dari Great Smials, atau keluarga Brandybuck dari Brandy Hall, banyak kerabat yang, hingga bergenerasi-generasi, tinggal bersama dalam suasana (relatif) damai di satu rumah pusaka berukuran besar berterowongan banyak. Semua hobbit pada dasarnya suka membentuk klan, dan mereka mencatat hubungan kekerabatan mereka dengan sangat saksama. Mereka membuat pohon silsilah yang panjang dan rumit, dengan cabang-cabang tak terhitung banyaknya. Kalau berurusan dengan para hobbit, penting untuk mengingat siapa berkerabat dengan siapa, dan sampai sedekat apa. Dalam buku ini tak mungkin menyelipkan pohon silsilah yang mencakup para anggota keluarga yang lebih penting dari keluarga-keluarga yang lebih terkemuka pada masa terjadinya kisah-kisah di sini. Pohon-pohon silsilah yang ada di akhir Buku Merah Westmarch sudah merupakan buku kecil tersendiri, dan tidak bakal ada orang yang tertarik membacanya, kecuali para hobbit sendiri. Kaum hobbit sangat menyukai hal-hal semacam itu, kalau dibuat dengan akurat; mereka senang mengisi buku-buku dengan hal-hal yang sudah mereka ketahui, yang dipaparkan apa adanya, tanpa kontradiksi.
***
2. Mengenai Rumput Pipa
Ada satu hal lain yang mengejutkan tentang para hobbit zaman dahulu; kebiasaan mereka yang mengejutkan: mereka suka menggunakan pipa dari tanah liat atau kayu untuk mengisap atau menghirup asap dedaunan obat yang dibakar, yang mereka sebut rumput pipa atau daun, kemungkinan merupakan varietas Nicotiana. Banyak sekali misteri seputar asal-usul kebiasaan—atau "seni"—aneh ini. Dan satu-satunya informasi yang bisa ditemukan dari masa lampau tentang kebiasaan ini disusun oleh Meriadoc Brandybuck (kelak menjadi Penguasa Buckland); dan berhubung ia serta tembakau dari Wilayah Selatan ikut memainkan peran dalam sejarah yang menyusul kemudian, pernyataannya dalam bagian pendahuluan buku Asal-usul Tanaman di Shire karangannya boleh dikutip di bawah ini.
"Ini," katanya, "adalah satu-satunya seni yang bisa kita katakan sebagai penemuan kita sendiri. Kapan persisnya kaum hobbit mulai merokok tidaklah diketahui, sebab semua legenda dan sejarah keluarga menganggap kebiasaan ini sudah ada sejak lama; selama bertahun-tahun kaum hobbit di Shire sudah mengisap berbagai dedaunan, ada yang baunya menyengat, ada juga yang manis. Tapi semua sependapat bahwa Tobold Hornblower dari Longbottom di Wilayah Selatan-lah yang pertama kali menanam rumput pipa di kebun-kebunnya pada masa Isengrim Kedua, sekitar tahun 1070 Hitungan Shire. Sampai sekarang, hasil tanam terbaik masih berasal dari distrik tersebut, terutama varietas-varietas yang kini dikenal sebagai Daun Longbottom, Old Toby, dan Bintang Selatan.
"Bagaimana Old Toby menemukan tanaman itu tidaklah diketahui, sebab sampai saat kematiannya dia tak mau memberitahukan. Dia tahu banyak tentang dedaunan, tapi dia bukan seorang pengembara. Kabarnya semasa muda dia sering pergi ke Bree, walaupun jelas dia tak pernah pergi meninggalkan Shire lebih jauh dari situ. Karenanya sangat mungkin dia mengetahui tentang tanaman ini di Bree; sekarang di sana tanaman tersebut tumbuh subur di lereng-lereng bukit selatan. Para hobbit di Bree menyatakan diri sebagai yang pertama-tama menjadi pemakai rumput pipa. Memang mereka suka mengaku-aku telah melakukan ini-itu lebih dulu daripada orang-orang di Shire, yang mereka sebut "penduduk baru"; tapi dalam kasus ini saya rasa pernyataan mereka ada benarnya. Dan memang dari Bree-lah seni mengisap rumput ini menyebar pada abad-abad belakangan ini di antara kaum Kurcaci dan lain-lainnya, Para Penjaga Hutan, Penyihir, atau pengembara yang masih mondar-mandir di jalur jalanan tua itu. Tapi rumah dan pusat seni tersebut bisa ditemukan di sebuah penginapan tua di Bree, Kuda Menari, yang dikelola keluarga Butterbur sejak zaman entah kapan.
"Tapi berdasarkan observasi-observasi yang saya buat sendiri dalam sekian banyak perjalanan saya ke selatan, saya yakin bahwa rumput itu bukan berasal dari bagian dunia kami, melainkan dari utara, dari bagian hilir Anduin, dan saya duga yang mula-mula membawanya ke sana adalah Orang-Orang Westernesse, melalui Laut. Rumput itu banyak tumbuh di Gondor, lebih lebat dan lebih banyak daripada di Utara. Di Utara tidak pernah ditemukan rumput tersebut tumbuh liar, sebab ia hanya bisa berkembang di tempat-tempat hangat dan terlindung seperti Longbottom. Orang-Orang Gondor menamainya galenas manis, dan mereka menyukainya hanya karena keharuman bunganya. Dari tanah itu, rumput tersebut pasti dibawa ke Greenway, selama abad-abad panjang di antara kedatangan Elendil dan hari-hari kami sendiri. Tapi bahkan kaum Dunedain di Gondor mengakui satu hal ini: kaum hobbit-lah yang pertama-tama menggunakan rumput itu dengan pipa. Bahkan para Penyihir pun tidak terpikir untuk melakukan itu. Tapi ada seorang Penyihir yang saya kenal, yang mempraktekkan seni ini lama berselang, dan menjadi begitu mahir menggunakannya, seperti dalam hal-hal lain yang diseriusinya."
3. Mengenai Pembagian Wilayah Shire {
Wilayah Shire dibagi menjadi empat bagian: Wilayah Utara, Selatan, Timur, dan Barat; dan keempat wilayah ini dibagi-bagi lagi, masing-masing menjadi sejumlah tanah rakyat yang masih menyandang nama-nama beberapa keluarga lama yang terkemuka, walaupun pada masa sejarah ini terjadi, nama-nama tersebut bukan lagi hanya dipakai di tanah-tanah mereka yang semestinya. Hampir semua keluarga Took masih tinggal di Tookland, tapi tidak demikian halnya dengan banyak keluarga lainnya, misalnya keluarga Baggins atau Boffin. Di luar Wilayah-Wilayah tersebut terletak Perbatasan-Perbatasan Timur dan Barat: Buckland; dan Westmarch yang ditambahkan pada wilayah Shire pada H.S. 1462.
Pada masa itu, di wilayah Shire hampir-hampir tidak ada "pemerintahan" apa pun. Keluarga-keluarga di sana boleh dikatakan mengurus urusan masing-masing. Menanam tanaman pangan dan memakannya sudah menghabiskan sebagian besar waktu mereka. Dalam urusan-urusan lain, mereka umumnya bersifat murah hati dan tidak rakus, merasa puas dan hidup sederhana, sehingga tanah-tanah milik, lahan-lahan pertanian, bengkel-bengkel kerja, dan usaha-usaha kecil cenderung tidak mengalami perubahan selama turun-temurun.
Tapi tentu saja ada tradisi lama yang menyangkut raja tinggi di Fornost, atau Norbury, seperti sebutan mereka, jauh di sebelah utara Shire. Tapi di sana sudah tak lagi ada raja selama hampir seribu tahun; bahkan reruntuhan Kings' Norbury telah diselimuti rumput. Namun para hobbit masih juga menyebut-nyebut tentang orang-orang liar dan makhluk-makhluk jahat (seperti troll) hingga mereka tidak tahu kabar sang raja. Mereka menghubungkan seluruh hukum penting mereka pada sang raja; dan biasanya mereka mempertahankan hukum kehendak bebas, sebab bagi mereka itulah Hukum yang paling penting, (seperti kata mereka), hukum lama dan adil.
Memang benar bahwa sejak lama berselang keluarga Took telah memiliki kedudukan terkemuka; jabatan sebagai Thain jatuh ke tangan mereka (dari keluarga Oldbuck) beberapa abad sebelumnya, dan sejak saat itu kepala suku Took memangku gelar tersebut. Seorang Thain merangkap menjadi Hakim Agung Shire, kapten Kepala Pasukan dan Angkatan Bersenjata Hobbit, tapi berhubung prajurit dan persenjataan hanya digunakan pada saat-saat genting, yang tidak lagi dialami, jabatan Thain itu hanya merupakan formalitas belaka. Keluarga Took masih mendapatkan respek khusus, karena jumlah mereka yang banyak dan kekayaan mereka yang luar biasa, dan karena dalam setiap generasi mereka sanggup memunculkan orang-orang kuat dengan kebiasaan-kebiasaan aneh serta berjiwa petualang. Namun kedua unsur tersebut kini lebih banyak ditolerir (di kalangan kaya) daripada disetujui. Tetapi kebiasaan lama tetap bertahan, yakni kebiasaan untuk menyebut kepala keluarga sebagai Sang Took, dan di belakang namanya ditambahkan angka: misalnya Isengrim Kedua.
Satu-satunya pejabat resmi di Shire pada masa itu adalah Wali Kota Michel Delving (atau Wali Kota Shire) yang dipilih setiap tujuh tahun di Free Fair, yang diadakan di White Downs, Lithe, pada pertengahan musim panas. Sebagai wali kota, boleh dikatakan satu-satunya tugasnya adalah mengetuai acara-acara pesta makan-makan yang diselenggarakan pada hari-hari libur Shire yang sering sekali terjadi. Tapi jabatan Kepala Kantor Pos dan First Shirriff juga merupakan tanggung jawab seorang wall kota, maka ia juga mesti mengelola Jasa Kurir dan Ronda. Hanya dua itulah jasa pelayanan di Shire, dan Jasa Kurirlah yang paling banyak pegawainya serta jauh lebih sibuk daripada Jasa Ronda. Tidak semua hobbit mengenal huruf, tapi mereka-mereka yang bisa baca-tulis selalu saja menulis pada teman-teman mereka (dan pada sejumlah kerabat) yang jarak tempat tinggalnya lebih jauh daripada sesiangan berjalan kaki.
Shirriff adalah sebutan kaum hobbit untuk polisi mereka, atau kesatuan setara polisi yang mereka miliki. Tentu saja Shirriff-Shirriff ini tidak memakai seragam (hal-hal semacam itu tidak dikenal di kalangan hobbit). Mereka hanya memakai sehelai bulu di topi mereka, dan dalam prakteknya mereka lebih banyak mengurusi hewan-hewan yang tersesat daripada mengurusi orang. Hanya ada dua belas Shirriff di seluruh wilayah Shire, tiga di setiap Wilayah, untuk Urusan Dalam Negeri. Ada juga suatu kesatuan lain yang agak lebih besar jumlahnya tergantung kebutuhan-untuk "menjaga perbatasan", dan memastikan bahwa orang-orang luar dari jenis apa pun, besar maupun kecil, tidak membuat masalah.
Pada masa cerita ini bermula, Para Penjaga Perbatasan-itu sebutannya jumlahnya sudah jauh bertambah. Banyak laporan dan keluhan tentang orang-orang dan makhluk-makhluk tak dikenal yang berkeliaran di sekitar perbatasan, atau malah memasukinya: tanda pertama bahwa segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti biasa, kecuali dalam cerita-cerita dan legenda-legenda masa lalu. Tapi hanya sedikit yang memperhatikan tanda ini; bahkan Bilbo sendiri belum menyadari apa yang bakal terjadi. Enam puluh tahun telah berlalu sejak ia pertama kali memulai perjalanannya yang bersejarah, dan ia sudah terhitung tua, untuk ukuran hobbit sekalipun, yang sering mencapai umur seratus tahun; namun kekayaan besar yang dibawanya masih banyak tersisa. Seberapa banyak atau seberapa sedikit kekayaan itu, ia tak pernah mengungkapkannya pada siapa pun, tidak juga kepada Frodo, "keponakan" kesayangannya. Dan ia masih tetap merahasiakan cincin yang dulu ditemukannya.
4. Tentang Penemuan Cincin
Seperti dikisahkan dalam The Hobbit, suatu hari datang ke rumah Bilbo sang Penyihir besar, Gandalf si Kelabu, bersama tiga betas kurcaci. Ketiga betas kurcaci itu tidak lain adalah Thorin Oakenshield, keturunan raja-raja, berikut kedua betas rekannya yang tengah dalam pengasingan. Bersama mereka Bilbo berangkat—ia sendiri masih tetap terheran-heran akan hal ini—pada suatu pagi bulan April, tahun 1341 Hitungan Shire, untuk mencari harta karun besar milik Raja-Raja yang disembunyikan oleh para kurcaci di bawah Gunung Erebor di Dale, jauh di Timur sana. Pencarian mereka berhasil, Naga yang menjaga harta karun itu berhasil dikalahkan. Tapi, walau sebelumnya terjadi Pertempuran Lima Pasukan—di mana Thorin tewas terbunuh dan banyak tindakan gagah berani dilakukan—peristiwa ini tidak akan terlalu diperhatikan dalam sejarah kemudian, dan mungkin hanya akan ditulis sebagai catatan pendek dalam sejarah panjang Zaman Ketiga, kalau bukan karena suatu peristiwa "kebetulan". Kelompok mereka diserang para Orc di sebuah celah terjal Pegunungan Berkabut ketika mereka hendak menuju Belantara; kebetulan Bilbo tersesat selama beberapa waktu di tambang-tambang Orc yang gelap, jauh di bawah pegunungan. DI sana, ketika sedang meraba-raba dalam gelap, tangannya menyentuh sebentuk cincin yang tergeletak di dasar terowongan. Ia memasukkan cincin itu ke sakunya. Ketika itu semuanya seolah kebetulan belaka.
Bilbo, yang mencoba mencari jalan keluar, terus turun ke dasar-dasar pegunungan, hingga tak bisa maju lebih jauh lagi. Di dasar terowongan tampak sebuah danau dingin yang jauh dari cahaya, dan di sebuah pulau karang di danau itu tinggallah Gollum. Gollum adalah makhluk kecil yang menjijikkan: ia mengayuh sebuah perahu kecil dengan kaki-kakinya yang besar dan datar, sepasang matanya pucat bersinar-sinar; ia menangkap ikan-ikan buta dengan jemarinya yang panjang dan memakan mereka mentah-mentah. Ia makan makhluk hidup apa saja, termasuk Orc, kalau bisa menangkapnya dan mencekiknya tanpa perlawanan. Ia punya sebuah harta rahasia yang diperolehnya lama berselang, ketika ia masih hidup dalam terang cahaya: sebentuk cincin emas yang bisa membuat pemakainya tidak tampak. Itulah satu-satunya benda yang dicintainya, "hartanya yang paling berharga", dan ia suka mengajak bicara cincin itu, bahkan saat cincin itu sedang tidak dibawanya. Sebab ia menyembunyikan cincin itu di sebuah lubang di pulaunya, kecuali kalau ia sedang berburu atau mengintai para Orc di tambang-tambang.
Mungkin ia akan menyerang Bilbo pada saat itu juga, kalau cincin itu sedang dipakainya ketika mereka bertemu; tapi Gollum sedang tidak memakai cincin tersebut, dan di tangan Bilbo ada sebilah pisau Peri yang berfungsi sebagai pedang. Maka, untuk mengulur waktu, Gollum menantang Bilbo untuk bermain Teka-Teki. Katanya, kalau Bilbo tak bisa menjawab teka-tekinya, ia akan membunuh Bilbo dan memakannya; tapi kalau Bilbo berhasil mengalahkannya, maka ia akan memenuhi permintaan Bilbo: menuntunnya keluar dari terowongan-terowongan itu.
Berhubung Bilbo tersesat dalam gelap, tanpa harapan, dan tidak bisa mundur ataupun maju, ia pun menerima tantangan Gollum; mereka saling melemparkan teka-teki. Pada akhirnya, Bilbo yang menang, lebih karena keberuntungan belaka (tampaknya) daripada karena kecerdikannya; ketika sudah kehabisan teka-teki, Bilbo memasukkan tangan ke sakunya dan menyentuh cincin yang tadi diambilnya, namun telah ia lupakan; ia pun berseru, Ada apa ini di sakuku? Gollum tak bisa menjawab, walau sudah minta diberi tiga kesempatan.
Di antara Yang Berwenang memang ada perbedaan pendapat, apakah pertanyaan terakhir itu sekadar "pertanyaan" atau bisa disebut "teka-teki" menurut peraturan ketat Permainan; tapi semua sependapat bahwa, setelah menerima "pertanyaan" tersebut dan mencoba menebak jawabannya, Gollum terikat pada janjinya tadi. Dan Bilbo mendesaknya untuk menepati janji; terpikir olehnya bahwa makhluk licin ini mungkin saja akan menipunya, walaupun janji semacam itu dianggap keramat, dan pada zaman dulu, hanya makhluk-makhluk paling jahat Yang berani ingkar janji. Namun setelah tinggal sendirian begitu lama dalam kegelapan, hati Gollum sudah menghitam dan di dalamnya tersimpan kecurangan. Ia menyelinap pergi dan kembali ke pulaunya, Yang sama sekali tidak diketahui Bilbo, tak jauh di perairan yang gelap. Ia mengira cincinnya ada di sana. Ia sudah lapar sekarang, Juga marah, dan begitu cincin itu dipakainya, ia tak perlu takut lagi akan senjata apa pun.
Tapi cincin itu tak ada di pulau; cincin itu sudah hilang. Jeritan nyaring Gollum membuat Bilbo merinding ngeri, walau ia belum mengerti apa yang terjadi. Namun akhirnya Gollum berhasil menebak, walau sudah terlambat. Ada apa di sakurnya itu? serunya. Matanya berkilat-kilat seperti api hijau saat ia berbalik cepat untuk membunuh hobbit itu dan merebut kembali "kesayangannya". Tepat pada waktunya, Bilbo melihat bahaya yang mengancam, dan ia pun lari membabi buta di terowongan itu, menjauhi air; sekali lagi ia diselamatkan oleh keberuntungannya. Sebab sambil lari ia memasukkan tangan ke sakunya dan cincin itu pun melingkar di jarinya. Maka Gollum melewatinya tanpa bisa melihatnya, lalu berdiri berjaga di jalan keluar supaya si "pencuri" tak bisa melarikan diri. Dengan cemas Bilbo mengikuti Gollum yang berjalan sambil menyumpah-nyumpah dan bicara sendiri tentang "kesayangannya" itu; dari celotehannya, akhirnya Bilbo bisa menebak kebenarannya, dan secercah harapan kembali muncul di hatinya, dalam kegelapan: ia telah menemukan cincin bertuah itu, dan ia punya kesempatan untuk lepas dari para Orc dan dari Gollum.
Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah bukaan tak terlihat, yang mengarah ke gerbang-gerbang tambang yang lebih rendah, yang berada di sisi sebelah timur pegunungan. Di sana Gollum berjongkok menunggu, mengendus-endus dan memasang telinga; Bilbo tergoda untuk menebasnya dengan pedang, tapi perasaan iba membuat ia mengurungkan niatnya. Meski ia tetap menyimpan cincin itu, yang merupakan satu-satunya harapannya, ia tak mau menggunakannya untuk membantunya membunuh makhluk malang yang tidak berdaya itu. Akhirnya, dengan mengerahkan seluruh keberaniannya, ia melompati Gollum dalam gelap, dan lari di terowongan, dikejar oleh teriakan benci dan putus asa musuhnya: Pencuri, pencuri! Baggins! Kami benci kalian selamanya!
Anehnya, cerita di atas bukanlah cerita yang mula-mula disampaikan Bilbo pada teman-temannya. Pada mereka, ia mengatakan bahwa Gollum telah berjanji akan memberinya hadiah, kalau ia menang dalam permainan itu; tapi ketika Gollum hendak mengambil hadiah itu dari pulaunya, ternyata benda itu sudah hilang: sebentuk cincin ajaib yang diberikan padanya lama berselang, pada hari ulang tahunnya. Bilbo menduga cincin yang ditemukannya itulah yang dimaksud, dan berhubung ia menang dalam permainan tersebut, berarti cincin in, memang menjadi haknya. Tapi, berhubung posisinya tidak menguntungkan, ia tidak mengatakan apa-apa tentang cincin itu; ia minta Gollum menunjukkan jalan keluar, sebagai penghargaan untuk menggantikan hadiah tersebut. Bilbo menuliskan kisah ini dalam catatan perjalanan hidupnya, dan sepertinya ia tak pernah mengubah versi ini, tidak juga di hadapan Dewan Elrond. Rupanya versi ini masih tetap muncul dalam edisi orisinal Buku Merah, juga dalam beberapa salinan dan edisi-edisi ringkasnya. Tapi banyak salinan buku itu yang mengandung kisah sebenarnya (sebagai alternatif), yang pasti diambil dari catatan-catatan Frodo atau Samwise, yang sama-sama mengetahui peristiwa sesungguhnya, walau mereka tampaknya enggan menghapuskan apa-apa yang telah ditulis oleh hobbit tua itu sendiri.
Namun demikian, begitu mendengar cerita yang mula-mula disampaikan Bilbo, Gandalf langsung tidak mempercayainya, dan ia tetap merasa sangat penasaran tentang cincin itu. Lambat laun ia berhasil juga mendapatkan cerita sesungguhnya dari Bilbo, setelah lama menanyainya, sampai-sampai untuk sementara persahabatan mereka terganggu karenanya; tapi penyihir itu rupanya menganggap kebenarannya sangatlah penting. Tidak dikatakannya pada Bilbo bahwa selain penting, ia juga merasa sangat terganggu mendapati hobbit yang baik itu pada mulanya tidak mengatakan yang sebenarnya: ini sangat berlawanan dengan kebiasaannya. Masalah "hadiah" itu bukan sekadar reka-rekaan khas hobbit, tapi juga muncul dalam kepala Bilbo—seperti diakuinya kemudian—karena mendengar celotehan Gollum; Gollum memang berkali-kali mengatakan bahwa cincin itu adalah "hadiah ulang tahunnya". Ini juga dianggap aneh dan mencurigakan oleh Gandalf, tapi baru bertahun-tahun kemudian ia menemukan kebenaran tentang hal tersebut, seperti bisa kita lihat nanti dalam buku ini.
Mengenai petualangan-petualangan Bilbo sesudahnya, tidak banyak yang perlu diceritakan di. sini. Dengan bantuan cincin tersebut, ia berhasil meloloskan diri dari para penjaga Orc di gerbang, dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Ia berulang kali menggunakan cincin itu dalam petualangannya. terutama untuk menolong teman-temannya; tapi ia tetap merahasiakan cincin itu selama mungkin. Setelah pulang ke rumah, ia tak pernah membicarakannya lagi dengan siapa pun, kecuali dengan Gandalf dan Frodo; tak ada orang lain di Shire yang tahu keberadaan cincin itu, atau begitulah yang diyakininya. Hanya kepada Frodo ia memperlihatkan catatan Perjalanan yang sedang ditulisnya.
Pedangnya, Sting, digantungnya di atas perapian, dan rompi logamnya—hadiah dari para Kurcaci, perolehan dari harta karun Naga, dipinjamkannya ke museum, ke Michel Delving Mathom-house. Tapi mantel dan kerudung tua yang ia kenakan dalam perjalanan-perjalanannya ia simpan di dalam laci di Bag End; sementara cincinnya tetap disimpan di dalam saku, setelah diberi rantai halus.
Ia kembali ke rumahnya di Bag End pada tanggal dua puluh dua Juni, dalam usianya yang kelima puluh dua (H.S. 1342). Tidak ada kejadian penting di Shire, sampai Mr. Baggins memulai persiapan untuk merayakan ulang tahunnya yang keseratus sebelas (H.S. 1401). Pada titik ini barulah Sejarah dimulai.
CATATAN TENTANG SEJARAH-SEJARAH SHIRE
Pada akhir Zaman Ketiga, peran para hobbit dalam peristiwa-peristiwa besar yang mengarah pada masuknya Shire menjadi wilayah Kerajaan Bersatu, telah membangkitkan minat yang lebih besar pada diri mereka, mengenai sejarah mereka sendiri; banyak tradisi mereka, yang sampai saat itu sebagian besar masih disampaikan secara oral, kini dikumpulkan menjadi bentuk tertulis. Keluarga-keluarga yang lebih terkemuka juga merasa berkepentingan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam Kerajaan tersebut secara garis besar, dan banyak anggota keluarga mereka mempelajari sejarah-sejarah serta legenda-legenda lamanya. Menjelang akhir abad pertama Zaman Keempat, di Shire sudah bisa ditemukan beberapa perpustakaan yang menyimpan banyak buku dan catatan sejarah.
Koleksi terbesar yang mereka miliki mungkin ada di Under-towers, di Great Smials, dan di Brandy Hall. Catatan tentang akhir Zaman Ketiga ini terutama diambil dari Buku Merah Westmarch. Sumber paling penting untuk sejarah Perang Cincin itu dinamakan demikian karena lama tersimpan di Undertowers, rumah keluarga Fairbairn, Para Pengawas Westmarch. Buku itu sebenarnya adalah buku harian pribadi Bilbo, yang dibawanya ke Rivendell. Frodo membawa kembali buku itu ke Shire, berikut banyak lembar catatan lepas lainnya, dan selama H.S. 1420-1, ia hampir memenuhi lembar-lembar buku tersebut dengan catatannya tentang Perang. Namun bersama buku itu terdapat tiga buku tebal lainnya, dijilid dalam kulit merah-barangkali disimpan menjadi satu di sebuah kotak merah-yang diberikan Bilbo padanya sebagai hadiah perpisahan. Di Westmarch, pada keempat buku tersebut kemudian ditambahkan buku kelima berisi berbagai komentar, silsilah, dan macam-macam hal lainnya yang menyangkut para hobbit dalam Rombongan Sembilan Pembawa Cincin.
Buku Merah yang asli sudah tidak ada, tapi salinannya banyak dibuat, terutama volume pertamanya, untuk keperluan keturunan anak-anak Master Samwise. Namun salinan yang paling penting menyimpan sejarah berbeda. Salinan tersebut disimpan di Great Smials, namun ditulis di Gondor, kemungkinan atas permintaan cucu buyut Peregrin, dan diselesaikan pada H.S. 1592 (Zaman Keempat 172). Juru tulis dari selatan menambahkan catatan ini: Findegil, Juru Tulis Raja, menyelesaikan karya ini pada IV 172. Ini adalah salinan setepatnya dari seluruh detail dalam Buku sang Thain di Minas Tirith. Buku tersebut merupakan salinan yang dibuat atas permintaan Raja Elessar, dari Buku Merah Periannath, dan dibawa kepadanya oleh Thain Peregrin ketika ia mengundurkan diri ke Gondor pada IV 64.
Buku sang Thain den-an demikian merupakan salinan pertama yang dibuat dari Buku Merah, dan berisi banyak hal yang kelak dihapus atau hilang. Di Minas Tirith, buku itu mendapatkan banyak catatan serta koreksi, terutama pada nama-nama, kata-kata, dan kutipan-kutipan dalam bahasa Peri di dalamnya; dan di situ ditambahkan pula versi ringkas bagian-bagian dari Kisah Aragorn dan Arwen, yang berada di luar catatan tentang Perang. Kisah selengkapnya kabarnya ditulis oleh Barahir, cucu laki-laki Faramir, beberapa lama setelah kematian sang Raja. Tapi yang paling penting dari salinan yang dibuat Findegil adalah salinan itulah satu-satun'ya yang menyimpan keseluruhan "Terjemahan dari bahasa Peri" yang ditulis Bilbo. Ketiga buku ini merupakan hasil karya yang memerlukan kecakapan tinggi serta pengetahuan luas, dan untuk menuliskannya, antara tahun 1403 sampai 1418 Bilbo telah menggunakan segala sumber yang bisa diperolehnya di Rivendell, baik dari mereka yang masih hidup maupun yang diperolehnya secara tertulis. Tapi berhubung ketiga buku ini jarang dipergunakan oleh Frodo, karena hampir sepenuhnya berisi catatan tentang Zaman Peri, maka ketiganya tidak dibahas lebih lanjut di sini.
Berhubung Meriadoc dan Peregrin menjadi kepala-kepala keluarga terkemuka kelak, dan berhubung mereka juga terus menjalin hubungan dengan Rohan dan Gondor, maka perpustakaan-perpustakaan di Bucklebury dan Tuckborough menyimpan banyak catatan yang tidak muncul dalam Buku Merah. Di Brandy Hall banyak karya yang berkaitan dengan Eriador serta sejarah Rohan. Beberapa di antaranya disusun atau dimulai oleh Meriadoc sendiri, walaupun di Shire ia terutama dikenang karena karyanya Asal-usul Tanaman di Shire, dan Penghitungan Tahun, di mana ia membahas hubungan antara kalender-kalender Shire dan Bree dengan kalender-kalender Rivendell, Gondor, dan Rohan. Ia juga menulis risalat singkat tentang Kata-Kata Lama dan Nama-Nama di Shire, di mana ia menunjukkan minat khusus dalam menemukan kaitan antara "kata-kata Shire"—seperti mathom dan unsur-unsur lama dalam nama-nama tempat—dengan bahasa Rohirrim.
Di Great Smials, buku-buku ini tidak terlalu diminati oleh penduduk Shire, walau mereka punya arti penting dalam skala sejarah yang lebih besar. Dari keseluruhan buku tersebut, tak satu pun yang ditulis oleh Peregrin, namun ia dan para penerusnya mengumpulkan banyak manuskrip yang ditulis oleh para juru tulis Gondor: terutama salinan-salinan atau ringkasan-ringkasan sejarah atau legenda-legenda yang berkaitan dengan Elendil dan para pewarisnya. Hanya di Shire bisa ditemukan bahan-bahan ekstensif tentang sejarah Numenor serta kebangkitan Sauron. Kemungkinan di Great Smials-lah Kisah Perjalanan Tahun disatukan, dengan bantuan materi yang dikumpulkan oleh Meriadoc. Walaupun tanggal-tanggal yang dicantumkan sering kali merupakan perkiraan belaka, terutama untuk Zaman Kedua, namun tanggal-tanggal tersebut layak diperhatikan. Kemungkinan Meriadoc mendapatkan bantuan dan informasi dari Rivendell, yang dikunjunginya lebih dari sekali. Di sana, meskipun Elrond telah pergi, anak-anaknya masih lama tinggal di tempat itu, bersama beberapa kaum Peri Tinggi. Kabamya Celeborn masih terus tinggal di sana setelah kepergian Galadriel; tapi tak ada catatan tentang hari ketika ia akhirnya berangkat ke Grey Havens, dan bersamanya lenyaplah kenangan terakhir yang hidup tentang Zaman Peri di Dunia Tengah.
SEMBILAN PEMBAWA CINCIN
BAGIAN PERTAMA
The Lord of the Rings
BUKU SATU
BAB 1
PESTA YANG DITUNGGU-TUNGGU
Ketika Mr. Bilbo Baggins dari Bag End mengumumkan bahwa dalam waktu dekat ia akan merayakan ulang tahunnya yang kesebelas puluh satu, dengan pesta besar gegap-gempita, di Hobbiton menyebar banyak desas-desus dan kegairahan.
Bilbo kaya-raya dan berwatak aneh. Selama enam puluh tahun ia menjadi keajaiban di wilayah Shire, semenjak ia menghilang dan mendadak kembali lagi. Harta kekayaan yang dibawanya dari lawatannya kini sudah menjadi legenda setempat, dan penduduk di sana percaya, meski apa pun yang dikatakan orang-orang tua, bahwa Bukit di Bag End penuh dengan terowongan-terowongan yang tumpah-ruah oleh harta karun. Dan bukan kekayaan itu saja yang membuat Bilbo tersohor, tetapi juga umur panjangnya menimbulkan kekaguman. Perjalanan waktu kelihatannya tidak banyak pengaruhnya pada Mr. Baggins. Di usia sembilan puluh, ia hampir sama saja dengan sewaktu berusia lima puluh. Ketika usianya menginjak sembilan puluh sembilan, mereka menyebutnya awet muda; namun mungkin lebih tepat dikatakan ia tak berubah. Beberapa orang menggelengkan kepala dan menganggap ini terlalu berlebihan; rasanya tidak adil bahwa ada orang yang (kelihatannya) bisa terus awet muda dan (kabarnya) punya kekayaan tak terhingga.
"Pasti ada harga yang mesti dibayar," kata mereka. "Itu tidak wajar, pasti nanti akan timbul kesulitan!"
Tapi sejauh itu tidak ada masalah; dan karena Mr. Baggins sangat dermawan dengan uangnya, kebanyakan orang mau memaafkan keanehan dan keberuntungannya. Ia bergaul baik dengan keluarganya (kecuali, tentu saja, keluarga Sackville-Baggins), dan ia mempunyai banyak pengagum setia di antara para hobbit dari keluarga-keluarga miskin dan kurang penting. Tap' ia tidak mempunyai sahabat-sahabat dekat, sampai beberapa keponakannya mulai tumbuh dewasa.
Yang tertua di antara mereka, dan yang paling disayang Bilbo, adalah Frodo Baggins muda. Saat Bilbo berusia sembilan puluh sembilan tahun, ia mengadopsi Frodo sebagai ahli warisnya, dan membawanya tinggal bersamanya di Bag End; maka pupuslah harapan keluarga Sackville-Baggins. Kebetulan ulang tahun Bilbo dan Frodo sama, 22 September. "Sebaiknya kau datang dan tinggal di sini, Frodo anakku," begitu kata Bilbo pada suatu hari, "jadi kita bisa merayakan pesta ulang tahun kita bersama-sama dengan nyaman." Saat itu Frodo masih berusia dua puluhan, sedang dalam masa tweens, selang antara masa kanak-kanak dan kedewasaan pada usia tiga puluh tiga.
Dua belas tahun berlalu sudah. Setiap tahun keluarga Baggins mengadakan pesta ulang tahun bersama yang cukup meriah di Bag End; tapi kini ternyata ada rencana pesta istimewa untuk musim gugur itu. Bilbo akan berumur sebelas puluh satu, 111, suatu angka yang ganjil, dan usia yang sangat terhormat untuk seorang hobbit (Old Took sendiri hanya berumur 130); dan Frodo akan berusia tiga puluh tiga, 33, angka penting: saatnya ia mencapai "kedewasaan".
Lidah-lidah mulai bergoyang ramai sekali di Hobbiton dan Bywater; desas-desus tentang pesta mendatang menyebar ke seluruh penjuru Shire. Riwayat dan watak Mr. Bilbo Baggins sekali lagi menjadi pokok pembicaraan utama, dan orang-orang yang sudah tua mendadak mendapati banyak orang ingin mendengar kisah-kisah lama mereka.
Yang paling banyak menarik perhatian pendengar adalah si tua Ham Gamgee, yang lebih dikenal sebagai si Gaffer (yang berarti Lelaki Tua). Ia berbicara di Semak Ivy, sebuah penginapan kecil di jalan Bywater; ia berbicara dengan agak sok, sebab sudah empat puluh tahun ia merawat kebun di Bag End, dan ia juga telah membantu si Holman tua dengan pekerjaan yang sama sebelum itu. Kini, setelah ia mulai tua dan sendi-sendinya sudah kaku, pekerjaannya lebih banyak dilakukan putra bungsunya, Sam Gamgee. Baik ayah maupun anak bersahabat dekat dengan Bilbo dan Frodo. Mereka tinggal di Bukit itu juga, di Bagshot Row Nomor 3, persis di bawah Bag End.
"Seperti sering kukatakan, Mr. Bilbo itu seorang hobbit terhormat yang sangat santun dan ramah," si Gaffer menyatakan. Memang benar Bilbo sangat sopan padanya, memanggilnya "Master Hamfast", dan selalu meminta nasihatnya tentang menanam sayur-sayuran—dalam masalah umbi-umbian, terutama kentang, si Gaffer diakui sebagai pakar terkemuka oleh semua orang di lingkungan itu (termasuk dirinya sendiri).
"Tapi bagaimana dengan si Frodo yang tinggal bersamanya?" tanya Old Noakes dari Bywater. "Memang nama belakangnya Baggins, tapi dia lebih dari separuh Brandybuck, kata orang. Aku tak mengerti kenapa seorang Baggins dari Hobbiton mencari istri jauh-jauh di Buckland, yang penduduknya aneh-aneh."
"Tidak heran mereka aneh," tambah Daddy Twofoot (tetangga si Gaffer), "sebab mereka tinggal di sisi yang salah dari Sungai Brandywine, persis berseberangan dengan Old Forest. Itu tempat yang gelap dan jahat, menurut cerita."
"Kau benar, Dad!" kata si Gaffer. "Memang kaum Brandybuck dari Buckland tidak tinggal di dalam Old Forest, tapi tampaknya mereka memang keturunan aneh. Mereka suka bermain-main dengan perahu di sungai besar itu—dan itu tidak wajar. Tidak heran kalau terjadi masalah, menurutku. Meski begitu, Mr. Frodo itu seorang hobbit muda yang sangat ramah. Sangat mirip Mr. Bilbo, dan bukan hanya dalam penampilannya. Bagaimanapun, ayahnya seorang Baggins. Mr. Drogo Baggins seorang hobbit sopan dan terhormat; tak banyak yang bisa diceritakan tentang dia, sampai dia tenggelam."
"Tenggelam?" terdengar beberapa suara. Mereka pernah mendengar tentang itu, dan berbagai selentingan menyeramkan lain, tapi kaum hobbit suka sekali mendengar tentang riwayat keluarga, dan mereka sudah siap mendengarkan lagi tentang yang satu ini.
"Ya, begitulah kata orang," kata si Gaffer. "Soalnya Mr. Drogo menikah dengan Miss Primula Brandybuck yang malang. Miss Primula itu sepupu pertama Mr. Bilbo dari pihak ibunya (ibunya adalah yang bungsu di antara putri-putri Old Took), dan Mr. Drogo sepupu kedua. Jadi, Mr. Frodo adalah sepupunya yang pertama dan kedua sekaligus, bersaudara sepupu dari kedua pihak, begitu sebutannya, kalau kalian paham. Waktu itu Mr. Drogo sedang tinggal di Brandy Hall dengan ayah mertuanya, Master Gorbadoc tua; ini sering dilakukannya setelah Pernikahannya (soalnya dia sangat suka makan, dan Gorbadoc tua itu sangat murah hati dengan makanan); lalu dia pergi naik perahu di Sungai Brandywine; dia serta istrinya tenggelam, sedangkan Mr. Frodo masih anak-anak, kasihan sekali."
"Kudengar mereka naik perahu setelah makan malam, di bawah sinar bulan," kata Old Noakes, "dan berat badan Drogo yang membuat perahunya karam."
"Aku mendengar istrinya yang mendorongnya ke dalam air, dan Drogo menariknya ikut masuk," kata Sandyman, tukang giling di Hobbiton.
"Seharusnya kau jangan percaya semua yang kaudengar, Sandyman," kata si Gaffer, yang tidak begitu menyukai tukang giling ini. "Tidak masuk akal segala omongan tentang mendorong dan menarik itu. Perahu memang pada dasarnya berbahaya, kalaupun orang-orang di dalamnya duduk diam tanpa banyak macam-macam. Pokoknya begitulah, Mr. Frodo menjadi anak yatim piatu, terdampar di antara kaum Bucklander yang aneh itu, diasuh di Brandy Hall. Tempat itu penuh sesak. Old Master Gorbadoc mengumpulkan tak kurang dari ratusan saudara di tempat itu. Mr. Bilbo benar-benar telah melakukan perbuatan mulia, membawa anak itu tinggal bersama masyarakat baik-baik.
"Tapi kurasa hal itu merupakan kejutan berat untuk kaum Sackville- Baggins. Mereka menyangka akan memperoleh Bag End, saat Mr. Bilbo pergi dan diduga sudah mati. Ternyata dia kembali dan menyuruh mereka pergi; lalu dia masih hidup terus, dan malah tidak pernah kelihatan bertambah tua! Lalu mendadak dia menyodorkan seorang pewaris, dan sudah mengurus semua surat-suratnya. Keluarga Sackville-Baggins takkan pernah masuk ke Bag End sekarang, mudah-mudahan begitu."
"Lumayan banyak uang yang disimpan di sana, begitulah yang kudengar," kata seorang asing, pendatang dari Michel Delving di Wilayah - Barat, yang sedang punya urusan bisnis. "Seluruh puncak bukit kalian penuh dengan terowongan berisi peti-peti penuh emas, perak, dan permata, begitulah yang kudengar."
"Kalau begitu, kau lebih banyak mendengar daripada yang aku tahu," jawab si Gaffer. "Aku sama sekali tidak tahu tentang permata, Mr. Bilbo royal sekali dengan uangnya, dan kelihatannya dia tidak kekurangan, tapi aku tidak tahu tentang terowongan apa pun. Aku bertemu Mr. Bilbo ketika dia kembali, sekitar enam puluh tahun yang lalu, saat aku masih remaja. Waktu itu aku belum lama membantu Holman tua (karena dia sepupu ayahku), tapi dia membawaku ke Bag End untuk membantunya menjaga kebun supaya tidak diinjak-injak dan dikacaukan orang-orang sementara penjualan sedang berlangsung. Di tengah-tengah itu semua, Mr. Bilbo datang mendaki Bukit dengan seekor kuda kecil, beberapa kantong yang sangat besar, dan beberapa peti. Aku tak ragu bahwa kebanyakan berisi harta yang diperolehnya di negeri-negeri asing, di mana ada gunung-gunung emas, kata orang; tapi harta itu tak cukup banyak untuk mengisi terowongan. Tapi putraku Sam pasti lebih banyak tahu tentang itu. Dia suka keluar-masuk Bag End. Dia keranjingan kisah-kisah zaman dulu, dan selalu mendengarkan semua cerita Mr. Bilbo. Mr. Bilbo yang mengajari Sam membaca—tanpa bermaksud buruk, camkan itu, dan kuharap tidak bakal timbul masalah karenanya.
"Peri dan Naga! kataku padanya. Kol dan kentang lebih baik buatmu dan buatku. Jangan mencampuri urusan majikanmu, atau kau akan mendapat masalah yang terlalu besar untukmu, begitulah kukatakan padanya. Dan itu boleh kukatakan pada yang lain-lain juga," tambah si Gaffer sambil memandang si orang asing dan si tukang giling.
Tetapi para pendengarnya tidak percaya. Legenda tentang kekayaan Bilbo sekarang sudah terpatri kuat dalam benak generasi muda kaum hobbit.
"Ah, tapi sekarang harta kekayaannya pasti sudah bertambah, lebih banyak daripada yang pertama kali dibawanya," debat si tukang giling, menyuarakan pendapat umum. "Dia sering pergi jauh. Dan lihatlah orang-orang aneh yang mengunjunginya: kurcaci-kurcaci datang di malam hari, dan penyihir pengembara itu, si Gandalf, dan sebagainya. Kau boleh omong sesukamu, Gaffer, tapi Bag End itu tempat yang aneh, dan penghuninya lebih aneh lagi."
"Dan kau juga boleh omong sesukamu, tentang apa yang tidak lebih banyak kauketahui daripada tentang urusan naik perahu itu, Mr. Sandyman," jawab si Gaffer dengan ketus, semakin tidak menyukai tukang giling itu. "Kalau itu kausebut aneh, ada lagi yang lebih aneh di sekitar sini. Ada orang-orang yang tinggalnya tidak terlalu jauh dari sini, yang tidak mau menawarkan segelas bir pada teman, walaupun mereka tinggal di dalam liang berdinding emas. Tapi di Bag End mereka mengikuti aturan kesopanan dengan baik. Sam bilang semua akan diundang ke pesta, dan akan ada hadiah-hadiah, camkan itu, hadiah untuk semuanya—bulan ini juga."
Bulan itu bulan September, dan cuacanya bagus sekali. Sekitar satu-dua hari kemudian, tersebar selentingan (mungkin dimulai oleh Sam yang sudah tahu) tentang akan adanya kembang api-kembang api yang belum pernah disaksikan lagi di Shire selama hampir lebih dari seabad, semenjak Old Took meninggal.
Hari-hari berlalu dan Hari H semakin dekat. Suatu sore, sebuah kereta aneh berisi bungkusan-bungkusan yang juga tampak aneh bergulir masuk ke Hobbiton, mendaki Bukit, menuju Bag End. Kaum hobbit yang tercengang mengintip melongo dari ambang-ambang pintu yang diterangi lampu. Kereta itu dikemudikan orang-orang aneh dan asing, yang menyanyikan lagu-lagu aneh: orang-orang kerdil dengan janggut-panjang dan kerudung lebar. Beberapa di antara mereka tetap tinggal di Bag End. Pada akhir minggu kedua bulan September, sebuah kereta datang melalui Bywater dari arah Jembatan Brandywine di siang hari bolong. Kereta itu dikemudikan oleh seorang lelaki tua. Ia memakai topi tinggi runcing berwarna biru, jubah panjang kelabu, dan selendang perak. Ia mempunyai 'an-gut panjang putih dan alis tebal panjang yang menjulur keluar dari bawah pinggiran topinya. Anak-anak hobbit kecil berlari-lari di belakang kereta sepanjang kota Hobbiton, sampai ke atas Bukit. Mereka menduga kereta itu bermuatan kembang api, dan ternyata benar. Di depan pintu masuk rumah Bilbo, orang tua itu mulai menurunkan muatannya: ada berkas-berkas besar kembang api dari segala macam bentuk dan jenis, masing-masing diberi label dengan huruf G merah besar dan huruf Peri.
Tentu saja itu lambang Gandalf, dan orang tua itu Gandalf sang Penyihir, yang di Shire tersohor karena kepiawaiannya dengan api, asap, dan cahaya. Pekerjaannya yang sebenarnya jauh lebih sulit dan berbahaya, tapi penduduk Shire tidak tahu-menahu tentang itu. Bagi mereka, Gandalf hanya salah satu "hiburan" pada acara pesta. Karena itulah gairah anak-anak hobbit menggebu-gebu. "G untuk Gede!" teriak mereka, dan pria tua itu tersenyum. Mereka kenal wajahnya, meski ia hanya sesekali muncul di Hobbiton dan tidak pernah tinggal lama; tetapi anak-anak itu maupun orang-orang lainnya—kecuali orang-orang tertua di antara para tetua mereka—belum pernah melihat pertunjukan kembang apinya, yang sudah menjadi legenda masa lalu.
Ketika pria tua itu selesai menurunkan muatannya, dibantu oleh Bilbo dan beberapa kurcaci, Bilbo membagi-bagikan uang receh; tapi tak satu pun petasan dibagikan, dan ini sangat mengecewakan para penonton.
"Pergilah sekarang!" kata Gandalf. "Nanti kalian akan mendapat banyak kembang api, kalau sudah waktunya." Lalu ia menghilang ke dalam bersama Bilbo, dan pintu ditutup. Para hobbit kecil itu memandangi pintu dengan sia-sia untuk beberapa saat, lalu pergi sambil memendam perasaan seakan-akan hari pesta takkan pernah datang.
Di dalam Bag End, Bilbo dan Gandalf duduk di sebuah ruangan kecil, di depan jendela terbuka yang menghadap pemandangan kebun di sebelah barat. Siang itu cerah dan damai. Bunga-bunga bersinar merah dan keemasan: snapdragon, bunga matahari, dan nasturtian merambati seluruh tembok tanah dan mengintip ke dalam jendela-jendela bundar.
"Kebunmu kelihatan cerah sekali!" kata Gandalf.
"Ya," kata Bilbo. "Memang aku sangat menyukai kebunku, dan bahkan seluruh Shire ini, tapi rasanya aku butuh liburan."
"Jadi, maksudmu kau akan tetap melaksanakan rencanamu?"
"Benar. Aku sudah mengambil keputusan itu beberapa bulan yang lalu, dan belum berubah pikiran."
"Baiklah. Tak perlu dibahas lagi. Tetaplah pada rencanamu—seluruh rencanamu, perhatikan itu-dan kuharap itu akan membawa manfaat terbaik bagimu, dan bagi kita semua."
"Kuharap begitu. Bagaimanapun, aku berniat menikmati hari Kamis nanti, dan melakukan kelakar kecilku."
"Siapa yang akan tertawa, ya?" kata Gandalf sambil menggelengkan kepala.
"Kita lihat saja nanti," kata Bilbo.
Hari berikutnya lebih banyak lagi kereta mendaki Bukit, lagi dan lagi. Mungkin ada pihak-pihak yang mengeluh tentang "transaksi setempat", tetapi minggu itu juga berbagai pesanan mulai mengalir dari Bag End untuk segala macam perbekalan, bahan-bahan pokok, atau kemewahan yang bisa diperoleh di Hobbiton, Bywater, atau di mana pun di lingkungan tersebut. Orang-orang mulai bergairah; mereka mulai menandai hari-hari di kalender, dan dengan penuh semangat mereka menunggu tukang pos, mengharapkan undangan.
Tak lama kemudian, undangan-undangan mulai mengalir, kantor pus Hobbiton kewalahan, dan kantor pos Bywater terendam surat, sampai-sampai asisten-asisten tukang pos relawan dipanggil. Aliran tukang pos seakan tak ada habisnya mendaki Bukit, membawa ratusan variasi sopan ucapan Terima kasih, aku pasti datang.
Di gerbang Bag End dipasang pengumuman: DILARANG MASUK, KECUALI UNTUK KEPERLUAN PESTA. Bahkan mereka yang ada urusan, atau pura-pura mempunyai Urusan Pesta, jarang diizinkan masuk. Bilbo sibuk sekali: menulis undangan, menandai jawaban, membungkus hadiah, dan membuat beberapa persiapan pribadi. Sejak kedatangan Gandalf, ia tak terlihat lagi.
Suatu pagi kaum hobbit bangun dan menemukan lapangan luas di sebelah selatan pintu masuk rumah Bilbo tertutup tambang dan tiang untuk tenda dan paviliun. Sebuah gerbang masuk khusus dibuat menembus bendungan yang menuju jalan, dan anak tangga lebar serta gerbang putih dibangun di sana. Ketiga keluarga hobbit di Bagshot Row, yang bersebelahan dengan lapangan itu, sangat tertarik dan dicemburui secara luas. Gaffer Gamgee bahkan berhenti pura-pura bekerja di kebunnya.
Tenda-tenda mulai berdiri. Ada sebuah paviliun istimewa, begitu besar sampai-sampai pohon yang tumbuh di lapangan itu ada di dalamnya, berdiri dengan bangga di dekat salah satu ujungnya, di kepala meja utama. Lentera-lentera digantung pada dahan-dahannya. Yang lebih menjanjikan lagi (dalam benak hobbit): sebuah dapur terbuka yang luar biasa besar dibangun di pojok utara lapangan. Sederet tukang masak, dari setiap penginapan dan rumah makan sekitarnya, datang untuk ditambahkan kepada kaum kurcaci dan makhluk-makhluk aneh lainnya yang tinggal di Bag End. Kegairahan memuncak.
Lalu cuaca berubah mendung. Itu terjadi pada hari Rabu sore sebelum pesta. Orang-orang menjadi sangat cemas. Lalu Kamis, 22 September, akhirnya datang juga. Matahari terbit, awan-awan lenyap, bendera-bendera dikibarkan, dan kegembiraan dimulai.
Bilbo Baggins menyebut acara ini pesta, tapi sebenarnya ini merupakan beragam hiburan yang digabungkan jadi satu. Boleh dikatakan semua orang yang lingual di dekatnya diundang. Beberapa ada yang terlupa tanpa sengaja, tapi karena mereka toll datang juga, maka tidak ada masalah. Banyak orang dari luar Shire juga diundang, bahkan ada beberapa dari luar perbatasan. Bilbo sendiri yang menemui para tamu (dan tambahannya) di gerbang baru berwarna putih. Ia memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya-ada orang-orang yang keluar lewat jalan belakang dan masuk lagi dari gerbang. Kaum hobbit memang biasa memberikan hadiah kepada orang lain di hari ulang tahun mereka. Bukan hadiah mewah biasanya, dan tidak begitu berlebihan seperti pada pesta ini; tapi itu bukan kebiasaan buruk. Sebenarnya di Hobbiton dan Bywater setiap hari adalah ulang tahun seseorang, jadi setiap hobbit di wilayah itu punya kesempatan untuk setidaknya mendapat satu hadiah, sekurang-kurangnya sekali seminggu. Tapi mereka tak pernah bosan.
Pada kesempatan ini, hadiah-hadiahnya luar biasa bagus. Anak-anak hobbit begitu gembira, sampai hampir lupa makan. Ada macam-macam mainan yang belum pernah mereka lihat, semuanya indah dan beberapa pasti mempunyai daya sihir. Banyak di antaranya sudah dipesan setahun sebelumnya, dan datang dari Glinting dan Dale, buatan asli para kurcaci.
Setelah setiap tamu disambut dan sudah berada di dalam, mengalirlah lagu-lagu, tarian, musik, permainan, dan tentu saja makanan dan minuman. Ada tiga tahap hidangan resmi: makan siang, minum teh, dan makan malam (atau makan larut malam). Makan siang dan minum tell ditandai terutama oleh berkumpulnya para tamu untuk duduk dan makan bersama. Di luar acara tersebut, orang-orang makan dan minum begitu saja-secara beruntun sejak jam sebelasan hingga jam enam tiga puluh, ketika acara kembang api dimulai.
Kembang api itu diciptakan oleh Gandalf: bukan hanya dibawa olehnya, tetapi dirancang dan dibuat olehnya; efek-efek khusus, rangkuman potongan, dan formasi roket dinyalakan sendiri olehnya. Tetapi juga banyak petasan, model obor, model lilin kurcaci, ragam air mancur peri, petasan jembalang, dan petasan halilintar. Semuanya istimewa. Kepiawaian Gandalf semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Ada roket-roket yang meluncur seperti rangkaian burung gemilang bernyanyi dengan suara lembut. Ada pohon-pohon hijau dengan batang-batang asap gelap: daun-daunnya merekah seperti sumber air yang dalam sekejap tersingkap, dan dahan-dahannya yang berkilauan menjatuhkan kembang gemerlap ke atas para hobbit yang tercengang, lalu menghilang dengan wewangian harum tepat sebelum menyentuh wajah mereka yang menengadah. Ada air mancur kupu-kupu yang terbang dalam kerlap-kerlip kemilau ke dalam pohon-pohon; ada tiang-tiang api berwarna yang naik dan berubah menjadi elang, atau kapal layar, atau sekelompok angsa terbang; ada badai petir merah dan curah hujan kuning; ada belantara tombak perak yang mendadak melompat ke angkasa dengan bunyi teriakan seperti laskar yang berperang, dan jatuh kembali ke dalam air dengan bunyi desis ratusan ular membara. Dan ada kejutan terakhir, sebagai penghormatan kepada Bilbo, dan yang sangat mengejutkan kaum hobbit, seperti telah direncanakan Gandalf. Lampu-lampu padam. Asap tebal naik, membentuk wujud gunung di kejauhan, dan mulai menyala di puncaknya. Ia memuntahkan nyala api hijau dan merah. Seekor naga merah keemasan terbang keluar dari sana—tidak seukuran sebenarnya, tapi kelihatan sangat hidup: api keluar dari rahangnya, matanya melotot; terdengar raungan, dan ia mendesis tiga kali di alas kerumunan kepala para hobbit. Mereka semua membungkuk, dan banyak yang jatuh tertelungkup. Naga itu berlalu bagai kereta api ekspres, jungkir-balik, lalu meledak di alas Bywater dengan bunyi memekakkan.
"Itu tanda untuk makan malam!" kata Bilbo. Rasa ngeri dan kecemasan langsung sirna, dan para hobbit yang tiarap meloncat berdiri. Hidangan makan malam istimewa tersedia untuk semuanya; semuanya, kecuali mereka yang khusus diundang untuk pesta makan malam keluarga. Ini berlangsung di paviliun besar di mana terdapat pohon itu. Undangannya terbatas hanya dua belas lusin (angka yang disebut saw Gross oleh para hobbit, meski sebutan itu dianggap tidak sopan untuk menunjuk orang); dan tamunya dipilih dari mereka yang bertalian keluarga dengan Bilbo dan Frodo, ditambah beberapa teman yang bukan keluarga (seperti Gandalf). Banyak hobbit muda termasuk di dalamnya, dan hadir atas izin orangtua mereka; kaum hobbit cukup bijak dalam membiarkan anak-anak mereka bangun sampai malam, terutama bila ada kesempatan mendapat makanan gratis. Membesarkan hobbit-hobbit kecil membutuhkan banyak makanan.
Banyak anggota keluarga Baggins dan Boffin, juga banyak anggota keluarga Took dan Brandybuck; ada beberapa Grubb (keluarga nenek Bilbo Baggins), dan beberapa Chubb (keluarga kakek Bilbo dari marga Took); dan beberapa dari keluarga Burrows, Bolger, Bracegirdle, Brockhouse, Goodbody, Hornblower, dan Proudfoot. Beberapa di antara mereka hanya kerabat jauh Bilbo, dan beberapa bahkan belum pernah ke Hobbiton, karena mereka tinggal di daerah-daerah terpencil di Shire. Keluarga Sackville-Baggins tidak dilupakan. Otho dan istrinya Lobelia hadir juga. Mereka tidak menyukai Bilbo dan membenci Frodo, tetapi kartu undangannya begitu indah, ditulis dengan tinta emas, sampai mereka merasa tak mampu menolak. Lagi pula, sepupu mereka, Bilbo, sudah bertahun-tahun mengkhususkan diri dalam hal makanan, dan hidangan-hidangannya sudah terkenal lezat.
Keseratus empat puluh empat tamu itu mengharapkan pesta yang menyenangkan, walau mereka agak takut pada pidato sang man rumah sesudahnya (acara yang tak terelakkan). Ia suka bertele-tele memasukkan bagian yang disebutnya puisi; dan kadang-kadang, setelah minum segelas dua gelas, ia akan menyinggung petualangan tak masuk akal dari perjalanannya yang misterius. Tamu-tamu tidak kecewa: mereka menikmati pesta yang sangat menyenangkan, bahkan hiburan yang sangat memukau: mewah, berlimpah-limpah, beraneka ragam, dan berkepanjangan. Selama minggu-minggu berikutnya, hampir tidak ada sama sekali pembelian makanan di wilayah itu; tapi berhubung hidangan makanan Bilbo sudah menghabiskan persediaan hampir semua toko, gudang bawah tanah, dan gudang-gudang sejauh bermil-mil di sekitarnya, maka hal itu tidak menjadi masalah.
Setelah pesta (kurang-lebih), menyusullah pidato. Meski begitu, kebanyakan kelompok itu kini sudah bersuasana hati toleran, dalam tahap yang mereka sebut "mengisi pojok-pojok". Mereka meneguk minuman favorit mereka, menggigit makanan lezat kesukaan mereka, dan kecemasan mereka terlupakan. Mereka sudah siap mendengarkan apa pun, dan bersorak-sorai pada setiap akhir kalimat.
Hadirin yang baik, Bilbo memulai, bangkit berdiri di tempatnya. "Dengar! Dengar! Dengar!" mereka berteriak, dan terus mengulanginya bersamaan, meski tampaknya enggan mengikuti anjuran mereka sendiri. Bilbo meninggalkan tempatnya dan berdiri di atas sebuah kursi, di bawah pohon yang diterangi. Cahaya lentera jatuh di wajahnya yang berseri-seri; kancing-kancing emas berkilauan di rompi sutranya yang bersulam. Mereka semua bisa melihatnya berdiri, melambaikan satu tangan di udara, tangan satunya ada di saku celananya.
Para Baggins dan Boffin yang budiman, ia mulai lagi, dan para Took dan Brandybuck, dan Grubb, dan Chubb, dan Burrows, dan Hornblower, dan Bolger, Bracegirdle, Goodbody, Brockhouse, dan Proudfoot. "ProudFEET!" teriak seorang hobbit tua dari bagian belakang paviliun. Tentu saja namanya Proudfoot, dan nama itu pas sekali; kakinya besar, berbulu sangat lebat, dan keduanya diangkat di atas meja.
Proudfoot, ulang Bilbo. Juga keluarga Sackville-Baggins yang baik, yang akhirnya kusambut kembali ke Bag End. Hari ini hari ulang tahunku yang keseratus sebelas; usiaku sebelas puluh satu hari ini! "Hura! Hura! Panjang Umur!" teriak mereka, dan dengan gembira mereka memukul-mukul meja-meja. Bilbo hebat sekali. Inilah jenis pidato yang mereka sukai: pendek dan jelas.
Kuharap kalian semua bergembira, seperti aku sendiri. Sorak memekakkan. Seruan Ya (dan Tidak). Bunyi berisik terompet, seruling, dan alat musik lainnya terdengar. Seperti sudah diceritakan tadi, banyak sekali anak muda hobbit yang hadir. Ratusan petasan sudah diledakkan. Kebanyakan bertanda DALE; kebanyakan hobbit tidak memahami maksudnya, tapi mereka semua setuju petasannya luar biasa bagus. Petasan-petasan itu berisi alat-alat musik, kecil, tapi buatannya sempurna dan mengeluarkan bunyi-bunyian memukau. Bahkan di salah satu pojok beberapa Took dan Brandybuck muda, yang menyangka Paman Bilbo sudah selesai (karena jelas ia sudah mengucapkan semua yang penting), sekarang membentuk orkes dadakan, dan memulai irama dansa ceria. Master Everard Took dan Miss Melilot Brandybuck naik ke atas meja, dan dengan lonceng di tangan mereka mulai menari Springle-ring: sebuah tarian manis, tetapi agak dahsyat.
Tetapi Bilbo belum selesai. Ia merebut terompet dari seorang anak muda di dekatnya, dan membunyikannya tiga kali dengan keras. Suara berisik mereda. Aku tidak akan lama, teriak Bilbo. Teriakan riuh dari semuanya. Aku memanggil kalian semua ke sini untuk Tujuan Tertentu. Ada sesuatu dalam caranya mengatakan itu, yang membuat orang-orang terkesan. Keadaan hampir senyap, dan satu-dua kaum Took memasang telinga.
Bahkan untuk Tiga Tujuan! Pertama, untuk menyampaikan bahwa aku sangat menyayangi kalian semua, dan sebelas puluh satu tahun adalah waktu yang terlalu pendek untuk hidup di antara hobbit-hobbit yang begitu istimewa dan mengagumkan. Ledakan seruan setuju yang hebat.
Sebagian dari kalian tidak aku kenal sebaik yang kuinginkan, dan aku menyukai kurang dari separuh dari kalian sebesar separuh dari yang pantas kalian peroleh. Ini agak tak terduga dan rumit kedengarannya. Ada bunyi tepuk tangan di sana-sini, tapi kebanyakan dari mereka berusaha memikirkan ucapan Bilbo tadi, dan mereka-reka apakah itu suatu pujian.
Kedua, untuk merayakan ulang tahunku. Sorak-sorai lagi. Seharusnya kukatakan: ulang tahun KAMI. Karena, tentu saja, ini juga ulang tahun ahli waris dan keponakanku, Frodo. Dia menjadi dewasa dan menerima warisannya hari ini. Beberapa tepuk tangan acuh tak acuh dari kaum tua, dan beberapa teriakan keras "Frodo! Frodo! Frodo yang Baik," dari para pemuda. Keluarga Sackville-Baggins mengerutkan dahi, dan bertanya dalam hati, apa artinya "menerima warisannya".
Berdua jumlah usia kami seratus empat puluh empat. Jumlah kalian dipilih sesuai dengan angka ini: Satu Gross, kalau aku boleh memakai istilah ini. Tidak ada sorak-sorai. Ini konyol. Kebanyakan tamu, terutama kaum Sackville-Baggins, merasa tersinggung, karena merasa yakin mereka diundang hanya untuk melengkapi jumlah yang dibutuhkan, seperti barang-barang dalam paket. "Satu Gross, yang benar saja! Ungkapan yang kasar."
Hari ini juga, kalau aku boleh menunjuk pada sejarah kuno, adalah ulang tahun kedatanganku naik tong di Esgaroth di Danau Panjang; meski waktu itu aku tidak ingat bahwa hari itu hari ulang tahunku. Saat itu aku baru lima puluh satu tahun, dan ulang tahun rasanya tidak terlalu penting. Perjamuannya sangat istimewa, meski aku pilek berat saat itu, seingatku, dan hanya bisa mengatakan "Teriba kasih bajak". Sekarang aku mengulanginya dengan benar: Terima kasih banyak atas kedatangan kalian ke pestaku. Para tamu masih tetap diam. Mereka semua cemas sebuah lagu atau puisi akan muncul, dan mereka mulai jemu. Kenapa Bilbo tidak berhenti bicara dan membiarkan mereka minum demi kesehatannya? Tetapi Bilbo tidak menyanyi atau membacakan puisi. Ia diam sejenak.
Ketiga dan yang terakhir, kata Bilbo, aku ingin memberikan PENGUMUMAN. Ia mengucapkan kata terakhir ini begitu keras dan mendadak, sampai semua yang masih mampu, duduk tegak. Aku menyesal harus mengumuhkan bahwa—meski, seperti tadi sudah kukatakan sebelas puluh satu. tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk dilewatkan di tengah kalian—inilah AKHIRnya. Aku akan pergi. Aku akan berangkat SEKARANG. SELAMAT TINGGAL!
Ia melangkah turun dan lenyap. Ada kilatan cahaya yang sangat menyilaukan, dan semua tamu mengedipkan mata. Ketika mereka membuka mata, Bilbo tidak tampak di mana pun. Seratus empat puluh empat hobbit ternganga keheranan, duduk bersandar membisu. Odo Proudfoot tua memindahkan kakinya dari atas meja dan mengentakkannya. Lalu ada keheningan sempurna, sampai tiba-tiba, setelah beberapa tarikan napas dalam, setiap Baggins, Boffin, Took, Brandybuck, Grubb, Chubb, Burrows, Bolger, Bracegirdle, Brockhouse, Goodbody, Hornblower; dan Proudfoot berbicara bersamaan.
Secara umum disepakati bahwa kelakar itu berselera rendah, dan dibutuhkan lebih banyak makanan dan minuman untuk menyembuhkan para tamu dari perasaan terkejut dan jengkel. "Dia sinting. Aku sudah sering bilang." Mungkin komentar itulah yang paling banyak dilontarkan. Bahkan kaum Took (dengan beberapa pengecualian) menganggap tingkah laku Bilbo tak masuk akal. Untuk sementara, kebanyakan menganggap lenyapnya Bilbo hanya olok-olok konyol.
Tetapi Rory Brandybuck tua tidak begitu yakin. Baik usia maupun hidangan melimpah tidak membuat ia dan istrinya kabur ingatan, dan ia mengatakan kepada putrinya, Esmeralda, "Ada sesuatu yang mencurigakan di sini, Sayang! Kuduga si Baggins gila itu sudah pergi lagi. Si tolol tua konyol.--Tapi kenapa harus khawatir? Dia tidak membawa bahan makanan bersamanya." Dengan keras ia memanggil Frodo untuk membagikan anggur lagi.
Frodo satu-satunya yang tidak mengatakan apa pun. Untuk beberapa saat ia duduk di samping kursi Bilbo yang kosong, tidak menghiraukan semua pertanyaan dan komentar. Ia menikmati olok-olok itu, tentu saja, meski ia sudah tahu sebelumnya. Ia sulit menahan diri untuk tidak tertawa melihat kedongkolan tamu-tamu yang terkejut. Tapi sekaligus ia merasa sangat cemas: tiba-tiba ia menyadari bahwa ia sangat menyayangi hobbit tua itu. Kebanyakan tamu meneruskan makanminum dan membahas keanehan Bilbo Baggins, di masa lalu maupun sekarang, tapi keluarga Sackville-Baggins sudah pergi dengan gusar. Frodo tak ingin lagi mengikuti pesta itu. Ia menyuruh menghidangkan lebih banyak anggur, dan menghabiskan anggur dalam gelasnya demi kesehatan Bilbo, lalu menyelinap keluar dari paviliun.
Sedangkan Bilbo Baggins, sementara mengucapkan pidatonya ia sudah memegang-megang cincin emas di sakunya: cincin ajaib yang sudah bertahun-tahun dirahasiakannya. Saat melangkah turun ia menyelipkan cincin itu di jarinya, dan setelah itu ia tak pernah terlihat lagi oleh satu hobbit pun.
Ia berjalan cepat kembali ke lubangnya, dan sejenak berdiri sambil tersenyum, mendengarkan bunyi riuh di paviliun dan suasana gembira di bagian-bagian lain di lapangan. Lalu ia masuk. Ia melepaskan pakaian pestanya, melipat dan membungkus rompi sutra bersulamnya dalam kertas tisu, dan menyimpannya. Lalu dengan cepat ia mengenakan beberapa pakaian lama yang kusut, dan mengikatkan sebuah sabuk kulit yang sudah usang di pinggangnya. Di situ ia menggantungkan sebilah pedang pendek dalam sebuah sarung pedang Wit hitam yang lusuh. Dari sebuah laci terkunci, yang berbau bola kamper, ia mengeluarkan sehelai jubah lama dan kerudung. Benda-benda itu disimpan seolah sangat berharga, tapi mereka sudah begitu penuh tambalan dan pudar, sampai warnanya yang asli hampir tidak kelihatan lagi: mungkin saja dulu warnanya hijau tua. Pakaian itu agak kebesaran untuk Bilbo. Kemudian ia masuk ke ruang kerjanya, dan dari lemari besi ia mengeluarkan sebuah bungkusan kain lama, sebuah naskah bersampul kulit, dan sebuah amplop yang besar sekali. Buku dan bungkusan dimasukkannya ke dalam tas berat yang ada di situ, yang sudah hampir penuh. Ke dalam amplop ia menyelipkan cincin emasnya, serta rantainya yang halus, kemudian menutupnya dan mengalamatkannya pada Frodo. Mula-mula ia meletakkannya di atas perapian, tapi mendadak ia mengambilnya dan memasukkannya ke saku celananya. Saat itu pintu terbuka dan Gandalf masuk dengan cepat.
"Halo!" kata Bilbo. "Aku sudah bertanya-tanya, apakah kau akan datang."
"Aku senang menjumpaimu dalam keadaan kasat mata," kata penyihir itu, sambil duduk di kursi. "Aku ingin menjumpaimu dan mengungkapkan hal-hal terakhir. Kuduga kau merasa semuanya berjalan lancar dan sesuai rencana?"
"Ya, memang," kata Bilbo. "Meskipun kilatan cahaya itu mengejutkan sekali: aku saja kaget, apalagi yang lain. Tambahan kecil darimu, kuduga?"
"Memang. Kau sudah dengan bijak merahasiakan cincin itu selama inn, dan aku merasa perlu memberikan sesuatu yang lain kepada para tamu, sesuatu yang bisa menjelaskan menghilangnya dirimu dengan mendadak."
"Dan akan merusak olok-olokku. Kau orang tua yang suka ikut campur urusan orang lain," tawa Bilbo, "tapi kuduga kau lebih tahu, seperti biasanya."
"Memang begitu kalau aku tahu sesuatu. Tapi aku belum terlalu yakin atas masalah ini. Sekarang masalah ini sudah mencapai titik akhirnya. Kau sudah menikmati kelakarmu, membuat cemas atau menyinggung sebagian besar kerabatmu, dan memberikan bahan omongan pada seluruh Shire untuk dibahas selama sembilan hari, atau sembilan puluh sembilan hari mungkin lebih tepat. Apa kau akan melanjutkannya?"
"Ya. Aku merasa butuh liburan, liburan panjang sekali, seperti sudah kukatakan padamu. Mungkin liburan untuk selamanya: aku tidak memperkirakan akan kembali lagi. Bahkan sebenarnya aku tidak bermaksud untuk kembali, dan aku sudah mengatur semuanya.
"Aku sudah tua, Gandalf. Mungkin dari luar tidak kelihatan, tapi aku sudah mulai merasakannya jauh di dalam hatiku. Awet muda!" dengus Bilbo. "Bah, aku merasa tipis sekali, seperti terulur, kalau kau mengerti maksudku: seperti mentega yang dioleskan pada terlalu banyak roti. Itu pasti tidak baik. Aku butuh perubahan, atau semacarnnya."
Gandalf menatapnya dengan aneh dan tajam. "Tidak, memang kelihatannya tidak baik," katanya sambil merenung. "Tidak, bagaimanapun kupikir rencanamu mungkin yang terbaik."
"Well, bagaimanapun aku sudah mengambil keputusan. Aku ingin melihat gunung-gunung lagi, Gandalf gunung-gunung; lalu menemukan tempat untuk aku bisa beristirahat. Dalam kedamaian dan ketenangan, tanpa banyak keluarga berkeliaran sambil mengorek-ngorek, dan rangkaian tamu terkutuk yang memencet bel. Mungkin aku bisa menemukan tempat untuk menyelesaikan bukuku. Aku sudah memikirkan akhir yang bahagia untuknya: dan dia hidup bahagia sampai akhir hayatnya."
Gandalf tertawa. "Kuharap begitu. Tapi takkan ada yang membaca buku itu, bagaimanapun akhir kisahnya."
"Ah, mungkin akan dibaca, di tahun-tahun mendatang. Frodo sudah membaca sebagian, sampai sejauh yang sudah kutulis. Kau akan mengawasi Frodo, bukan?"
"Ya, akan kulakukan�bila perlu kuawasi berlipat ganda sebisa mungkin."
"Tentu dia akan ikut aku, kalau aku memintanya. Bahkan dia mengusulkannya satu kali, tepat sebelum pesta. Tapi dia sebenarnya belum benar-benar ingin. Aku ingin melihat alam liar lagi sebelum aku mati, dan Gunung-Gunung; tapi Frodo masih mencintai Shire, dengan hutan-hutan, padang rumput, dan sungai-sungai kecilnya. Dia akan lebih nyaman di sini. Aku mewariskan semuanya kepadanya, tentu, kecuali beberapa hal. Kuharap dia bahagia, bila sudah terbiasa sendirian. Sudah saatnya dia menjalani hidupnya sendiri sekarang."
"Semuanya?" kata Gandalf. "Cincin itu juga? Kau sepakat tentang itu, ingat itu." "Well, ya, mungkin begitu," kata Bilbo terbata-bata.
"Di mana cincin itu?"
"Di dalam amplop, kalau kau man tahu," kata Bilbo tak sabar. "Di sana, di atas perapian. Oh tidak! Ada di sini, di saku bajuku!" ia ragu. "Bukankah aneh rasanya sekarang?" kata Bilbo perlahan kepada dirinya sendiri. "Ya, bagaimanapun, kenapa tidak? Kenapa cincin ini tidak tetap di sini saja?"
Gandalf menatap Bilbo dengan tajam, ada kilauan di matanya. "Menurutku, Bilbo," katanya tenang, "sebaiknya cincin itu kautinggalkan di sini. Apa kau tidak ingin?"
"Well, ya dan tidak. Kini, setelah tiba saatnya, aku tak senang berpisah dengannya. Dan aku tidak tahu kenapa aku harus. Kenapa kau ingin aku meninggalkannya?" tanya Bilbo, ada perubahan aneh dalam suaranya. Tajam oleh kecurigaan dan kejengkelan. "Kau selalu mendesakku tentang cincinku, tapi kau tak pernah mempermasalahkan benda-benda lain yang kuperoleh dalam perjalananku."
"Tidak, tapi aku terpaksa mendesakmu," kata Gandalf. "Aku ingin kebenarannya. Itu penting. Cincin ajaib memang... yah, ajaib; dan mereka langka dan aneh. Secara profesional aku tertarik pada cincinmu, boleh dikatakan begitu; dan aku masih tertarik. Aku ingin tahu di mana cincin itu, kalau kau mengembara lagi. Juga menurutku kau sudah memilikinya cukup lama. Kau tidak membutuhkannya lagi, Bilbo, kecuali kalau aku salah."
Wajah Bilbo memerah, dalam matanya ada kilatan cahaya amarah. Wajahnya yang ramah berubah keras. "Kenapa tidak?" teriaknya. "Dan apa urusanmu ingin tahu apa yang kulakukan dengan barang-barangku sendiri? Cincin itu milikku. Aku yang menemukannya. Dia datang padaku."
"Ya, ya," kata Gandalf. "Tapi tidak perlu marah begitu."
"Kalau aku marah, itu salahmu," kata Bilbo. "Sudah kubilang cincin itu milikku. Milikku. Kesayanganku. Ya, kesayanganku."
Wajah sang penyihir tetap suram dan penuh perhatian, dan hanya sedikit kilatan dalam matanya menunjukkan bahwa ia kaget, dan bahkan cemas. "Pernah ada yang berkata begitu," kata Gandalf, "tapi bukan kau."
"Tapi kini aku yang mengatakannya. Dan mengapa tidak? Meski dulu Gollum juga pernah berkata begitu, sekarang cincin ini bukan miliknya, tapi milikku. Dan aku akan menyimpannya, kataku."
Gandalf berdiri. Ia berbicara dengan tegas. "Kau bodoh kalau begitu, Bilbo," katanya. "Semakin jelas dengan setiap kata yang kauucapkan. Cincin itu sudah terlalu jauh menguasai dirimu. Lepaskanlah! Lalu kau bisa pergi, dan bebas."
"Aku akan berbuat sesuka hatiku dan pergi semauku," kata Bilbo keras kepala.
"Ayo, ayo, hobbit-ku sayang!" kata Gandalf. "Kita sudah lama bersahabat, dan kau berutang padaku. Ayolah! Lakukan seperti yang sudah kaujanjikan: lepaskan!"
"Well, kalau kau sendiri menginginkan cincinku, katakan saja!" seru Bilbo. "Tapi kau takkan mendapatkannya. Aku tidak akan memberikan barang kesayanganku, camkan itu." Tangan Bilbo mendekati pangkal pedang kecilnya.
Mata Gandalf berkilauan. "Sebentar lagi giliranku untuk marah," katanya. "Kalau kau mengucapkan itu lagi, aku akan marah. Lalu kau akan melihat Gandalf tanpa jubah." ia maju selangkah ke arah Bilbo, dan tampaknya ia menjadi lebih tinggi dan mengancam; bayangannya memenuhi seluruh ruangan itu.
Bilbo mundur ke dinding, terengah-engah, tangannya mencengkeram saku celananya. Untuk beberapa saat mereka berdiri berhadapan, dan udara di ruangan itu menggelenyar. Mata Gandalf tetap terarah pada Bilbo. Perlahan tangan Bilbo mengendur, dan ia mulai gemetar.
"Entah kenapa kau ini,-.Gandalf," kata Bilbo. "Kau belum pernah seperti ini. Apa sih masalahnya? Cincin ini kan milikku. Aku menemukannya, dan Gollum akan membunuhku seandainya aku tidak tetap memegangnya. Aku bukan pencuri, apa pun yang dikatakannya."
"Aku tidak pernah menyebutmu pencuri," jawab Gandalf. "Dan aku juga bukan pencuri. Aku bukan mencoba merampokmu, tapi membantumu. Kuharap kau mempercayaiku, seperti biasanya." Gandalf membalikkan tubuh, dan bayangan itu lenyap. Ia seolah mengerut kembali menjadi pria tua kelabu, bungkuk dan sedih.
Bilbo menyapukan tangan ke matanya. "Aku minta maaf," katanya. "Tapi perasaanku aneh sekali. Meski begitu, aku akan lega sekali kalau tidak diganggu oleh cincin itu lagi. Akhir-akhir ini cincin itu memenuhi benakku. Kadang-kadang aku merasa seperti ada mata yang memandangku. Aku selalu ingin memakainya dan menghilang, atau bertanya-tanya apakah dia aman, dan mengeluarkannya agar yakin. Aku mencoba menyimpannya di tempat terkunci, tapi ternyata aku tak bisa tenang kalau dia tidak berada di saku celanaku. Aku tidak tahu kenapa. Dan kelihatannya aku tak bisa mengambil keputusan."
"Kalau begitu, percayalah padaku," kata Gandalf. "Kau sudah membuat keputusan. Pergilah dan tinggalkan cincin itu. Berhentilah memilikinya. Berikan pada Frodo, dan aku akan mengawasinya."
Sejenak Bilbo berdiri tegang, tak bisa memutuskan. Akhirnya ia mendesah. "Baiklah," katanya dengan enggan. "Akan kulakukan." Lalu ia angkat bahu dan tersenyum agak sedih. "Bagaimanapun, memang itulah tujuan pesta INI sebenarnya: untuk memberikan banyak hadiah ulang tahun, sekaligus supaya lebih mudah melepaskan cincin itu. Ternyata tetap saja tidak menjadi lebih mudah, tapi akan sayang sekali semua persiapanku. Akan merusak kelakarku."
"Memang, tujuan utama seluruh kegiatan ini jadi sia-sia," kata Gandalf.
"Baiklah," kata Bilbo, "cincin akan beralih pada Frodo dengan semua barang lain." ia menarik napas panjang. "Dan sekarang aku benar-benar harus pergi, atau akan ada yang memergoki aku. Aku sudah mengucapkan selamat tinggal, dan aku tidak tahan kalau harus mengulanginya lagi." ia mengangkat tasnya dan beranjak ke pintu.
"Cincin itu masih ada di saku celanamu," kata Gandalf.
"Well, memang!" seru Bilbo. "Juga surat wasiatku dan semua dokumen lainnya. Sebaiknya kau mengambilnya dan menyerahkannya untukku. Itu paling aman."
"Tidak, jangan berikan cincin itu padaku," kata Gandalf. "Letakkan di atas perapian. Akan cukup aman di sana, sampai Frodo datang. Aku akan menunggunya."
Bilbo mengeluarkan amplopnya. Tapi tepat ketika ia akan meletakkannya di dekat jam, tangannya tersentak ke belakang, dan bungkusan itu jatuh ke lantai. Sebelum Bilbo bisa memungutnya, Gandalf sudah membungkuk dan mengambil amplop itu, lalu meletakkannya di tempatnya. Wajah Bilbo sekejap mengejang penuh kemarahan. Tapi mendadak kemarahannya lenyap dan wajahnya berubah penuh kelegaan dan tawa gembira.
"Well, sudah beres," kata Bilbo. "Sekarang aku berangkat!"
Mereka keluar ke lorong. Bilbo memilih tongkat kesukaannya dari tempat penyimpanannya, lalu ia bersiul. Tiga orang kerdil muncul dari ruang-ruang berlainan, di mana mereka sibuk selama ini.
"Sudah siapkah semuanya?" tanya Bilbo. "Semua sudah dikemas dan diberi label?"
"Semuanya sudah," jawab mereka.
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" Bilbo keluar dari pintu depan.
Malam itu cuaca cerah, langit hitam dihiasi bintang-bintang. Bilbo menengadah, menghirup udara luar. "Menyenangkan sekali! Sangat menyenangkan bisa pergi lagi, berada di Jalan dengan para kurcaci! Inilah yang kudambakan selama bertahun-tahun! Selamat tinggal!" kata Bilbo, memandang rumahnya dan membungkuk kepada pintunya. "Selamat tinggal, Gandalf!"
"Selamat jalan, untuk sementara, Bilbo. Jaga dirimu sendiri! Kau sudah cukup tua, dan mungkin cukup bijaksana."
"Jaga diri! Aku tak peduli. Kau jangan cemas tentang aku! Belum pernah aku sebahagia sekarang, dan itu sangat besar artinya. Tapi saatnya sudah tiba. Akhirnya aku bisa pergi," tambah Bilbo, lalu dengan suara rendah, seolah hanya kepada dirinya sendiri, ia bernyanyi perlahan dalam kegelapan:
Jalan ini tak ada habisnya
Dari pintu tempat ia bermula.
Terbentang hingga di kejauhan sana,
Mesti kujalani sedapat aku bisa,
Kaki letih tapi kuberjalan juga,
Sampai kudapati jalan yang lebih lega
Di mana ban yak jalur dan urusan bertemu.
Lalu ke mana? Tak tahulah aku
Bilbo berhenti, diam sejenak. Lalu tanpa sepatah kata lagi ia membalikkan badannya dari lampu-lampu dan suara-suara di lapangan dan tenda, dan diikuti ketiga pendampingnya ia berjalan memutar di kebunnya, berderap menuruni jalan panjang yang curam. Setiba di bawah, ia melompati pagar semak di bagian yang rendah, lalu berjalan ke arah padang rumput, menghilang ke dalam kegelapan malam, bagai desiran angin di tengah rerumputan.
Untuk beberapa saat Gandalf tetap berdiri di sana, memandang ke dalam kegelapan. "Selamat jalan, Bilbo yang baik—sampai pertemuan kita berikutnya!" katanya perlahan, lalu ia masuk kembali.
Tak lama kemudian Frodo masuk, dan menemukan Gandalf duduk dalam kegelapan, sedang merenung. "Apa dia sudah pergi?" tanya Frodo.
"Ya," jawab Gandalf, "akhirnya dia pergi."
"Seandainya saja... maksudku, sampai tadi sore aku masih berharap bahwa ini hanya olok-olok saja," kata Frodo. "Tapi dalam hati aku tahu dia memang berniat pergi. Dia selalu berkelakar tentang hal-hal yang serius. Coba aku kembali lebih awal, biar bisa melihatnya pergi."
"Kurasa dia lebih suka menyelinap pergi diam-diam," kata Gandalf. "Jangan terlalu cemas. Dia akan baik-baik saja sekarang. Dia meninggalkan bingkisan untukmu. Itu, di sana!"
Frodo mengambil amplop dari atas perapian, dan melihatnya sekilas, tapi tidak membukanya.
"Kau akan menemukan surat wasiatnya dan semua dokumen lain, di dalamnya, kukira," kata penyihir itu. "Kini kaulah penguasa Bag End. Dan kau akan menemukan cincin emas juga di dalam amplop itu."
"Cincin itu!" seru Frodo. "Dia meninggalkannya untukku? Aneh, kenapa? Tapi mungkin cincin itu bisa bermanfaat."
"Mungkin ya, mungkin tidak," kata Gandalf. "Sebaiknya tidak digunakan, kalau aku jadi kau. Tapi rahasiakan terus, dan simpanlah dengan aman! Sekarang aku mau tidur."
Sebagai tuan rumah Bag End, Frodo merasa wajib berpamitan dengan para tamu, meskipun ia enggan. Selentingan tentang peristiwa-peristiwa ajaib sekarang sudah menyebar di seantero lapangan, tapi Frodo hanya mau mengatakan pasti semuanya akan beres besok pagi. Sekitar tengah malam, kereta-kereta berdatangan menjemput orang-orang penting. Satu demi satu kereta itu bergulir menghilang, penuh penumpang hobbit yang kenyang tapi tak puas. Tukang-tukang kebun yang sudah dipesan berdatangan, dan dengan gerobak dorong memulangkan mereka yang tak sengaja tertinggal.
Malam berlalu lamban. Matahari terbit. Para hobbit bangun agak lebih siang. Pagi terus merayap. Orang-orang datang dan mulai (atas perintah) membongkar paviliun dan meja-meja serta kursi, sendok-sendok, pisau, botol dan piring, lentera-lentera, serta semak-semak berbunga dalam kotak-kotak, remah-remah dan kertas petasan, kantong-kantong yang terlupakan, sarung tangan dan saputangan, dan hidangan yang tidak termakan (hanya sedikit sekali). Lalu sejumlah orang lain datang (tanpa disuruh): dari keluarga Baggins, Boffin, Bolger, Took, dan tamu-tamu lain yang tinggal di dekat situ. Tengah hari, ketika orang-orang yang sudah kenyang sekalipun telah berkeliaran lagi, ada kerumunan besar di Bag End. tak diundang tapi bukan tak terduga.
Frodo menunggu di anak tangga, tersenyum, tapi kelihatan agak letih dan cemas. Ia menyambut semua pengunjung, tapi tak bisa menyampaikan lebih banyak daripada sebelumnya. Jawabannya atas semua pertanyaan hanya ini, "Mr. Bilbo Baggins sudah pergi; sejauh yang kuketahui, untuk selamanya." Beberapa tamu dipersilakannya masuk, karena Bilbo meninggalkan "pesan" untuk mereka.
Di koridor ada tumpukan besar berbagai bingkisan, paket, dan perabot rumah kecil. Setiap benda dipasangi label. Ada beberapa label semacam ini:
Untuk ADELARD TOOK, untuk DIRINYA SENDIRI, dari Bilbo; pada sebuah payung. Adelard sudah sering membawa pergi payung Bilbo tanpa label.
Untuk DORA BAGGINS, untuk mengenang surat-menyurat yang PANJANG, teriring kasih sayang dari Bilbo; pada sebuah keranjang sampah besar. Dora adik perempuan Drogo dan saudara wanita tertua Bilbo dan Frodo yang masih hidup; usianya sembilan puluh sembilan, dan ia sudah menulis berlembar-lembar kertas penuh nasihat bagus selama lebih dari separuh abad.
Untuk MILO BURROWS, mudah-mudahan akan bermanfaat, dari B.B.; pada sebuah pena emas beserta botol tinta. Milo tak pernah membalas surat.
Untuk dipakai ANGELICA, dari Paman Bilbo; pada sebuah cermin bulat cembung. Ia seorang remaja Baggins, dan jelas menganggap wajahnya sendiri cantik.
Untuk koleksi HUGO BRACEGIRDLE, dari seorang penyumbang; pada sebuah rak buku (kosong). Hugo sering meminjam buku, dan jarang, bahkan tidak pernah, mengembalikannya.
Untuk LOBELIA SACKVILLE-BAGGINS, sebagai HADIAH; pada sebuah kotak berisi sendok-sendok perak. Bilbo yakin Lobelia mengambil banyak sendoknya ketika ia sedang pergi mengembara dulu. Lobelia tahu betul itu. Ketika ia datang agak siang hari itu, ia langsung memahaminya, tapi ia tetap mengambil sendok-sendok itu.
Itu hanya sebagian kecil dari kumpulan hadiah tersebut. Rumah Bilbo sudah agak kacau dengan barang-barang yang dikumpulkannya sepanjang hidupnya. Memang lubang hobbit cenderung penuh sesak: penyebab utama adalah kebiasaan memberikan hadiah ulang tahun. Tentu saja tidak semua hadiah ulang tahun selalu baru; ada satu-dua mathom yang gunanya sudah terlupakan, yang sudah berkeliling di seluruh wilayah; tapi Bilbo biasanya memberikan hadiah baru. Dan menyimpan hadiah yang diterimanya. Lubang lama sekarang agak dikosongkan.
Setiap hadiah perpisahan diberi label, yang ditulis secara pribadi oleh Bilbo, dan beberapa mempunyai maksud tertentu, atau merupakan kelakar. Tapi tentu saja kebanyakan hadiah diberikan pada orang-orang yang memang menginginkannya dan menyambutnya dengan baik. Kaum hobbit miskin, terutama mereka yang tinggal di Bagshot Row, bernasib cukup baik. Gaffer Gamgee tua mendapat dua karung kentang, sekop baru, rompi wol, dan sebotol minyak gosok untuk sendi-sendi yang gemerutuk. Sebagai balasan atas keramahannya menerima kunjungan Bilbo, Rory Brandybuck tua mendapat selusin botol Old Winyards: anggur merah keras dari Wilayah Selatan, yang kini sudah cukup matang, karena dulu disimpan ayah Bilbo. Rory memaafkan Bilbo, dan menyebutnya orang baik sekali setelah ia menghabiskan botol pertama.
Banyak sekali yang ditinggalkan untuk Frodo. Dan tentu saja, semua harta utama, serta buku-buku, gambar, dan banyak sekali perabot rumah, menjadi milik Frodo. Namun tak ada tanda-tanda atau berita tentang uang atau perhiasan: tak ada satu penny pun atau manik-manik kaca yang dibagikan.
Siang itu melelahkan sekali untuk Frodo. Desas-desus keliru bahwa seluruh isi rumah itu akan dibagikan gratis menyebar sangat cepat, dan dalam sekejap rumah itu penuh sesak dengan orang-orang yang sebenarnya tidak punya urusan di sana, tapi tak bisa ditolak. Labellabel mulai terlepas dan tercampur aduk, dan timbul pertengkaran. Beberapa orang mencoba melakukan pertukaran dan transaksi di koridor; yang lain mencoba mengambil benda-benda kecil yang tidak dimaksudkan untuk mereka, atau barang apa saja yang tampaknya tidak dibutuhkan atau dijaga. Jalan ke gerbang tertutup oleh gerobak dan kereta.
Di tengah keruwetan itu muncul keluarga Sackville-Baggins: Frodo sedang istirahat sejenak, dan membiarkan sahabatnya Merry Brandybuck mengawasi keadaan. Ketika Otho dengan nyaring menuntut bertemu dengan Frodo, Merry membungkuk sopan.
"Dia tidak bisa," kata Merry. "Dia sedang istirahat."
"Bersembunyi, maksudmu," kata Lobelia. "Pokoknya kami mau bertemu dengannya, dan itu tekad kami. Pergi dan beritahu dia!"
Merry meninggalkan mereka lama sekali di koridor, dan mereka sempat menemukan hadiah perpisahan mereka yang berupa sendok-sendok. Hal itu tidak membuat suasana hati mereka jadi lebih baik. Akhirnya mereka dibawa ke ruang kerja. Frodo sedang duduk di belakang meja, dengan banyak sekali berkas di depannya. Ia kelihatan enggan untuk menemui pasangan Sackville-Baggins, dan ia bangkit berdiri sambil memegang-megang sesuatu dengan gelisah di dalam saku bajunya. Tapi ia berbicara dengan sangat sopan.
Pasangan Sackville-Baggins agak kurang sopan. Mereka mulai dengan menawar murah (seperti di antara teman-teman) berbagai benda berharga yang tidak ada labelnya. Ketika Frodo menjawab bahwa hanya barang-barang yang khusus ditunjuk Bilbo yang dibagi-bagikan, mereka mengatakan seluruh kegiatan itu mencurigakan.
"Hanya satu hal yang jelas bagiku," kata Otho, "yaitu bahwa kau menarik keuntungan besar sekali dari semua ini. Aku menuntut melihat surat wasiatnya."
Sebenarnya Otho-lah yang akan menjadi ahli waris, jika Frodo tidak diadopsi sebagai anak oleh Bilbo. Otho membaca surat wasiat tersebut dengan saksama dan mendengus. Sayang sekali, surat wasiat itu sangat jelas dan benar (menurut kebiasaan hukum para hobbit, yang antara lain mensyaratkan tujuh tanda tangan saksi, memakai tinta merah).
"Gagal lagi!" kata Otho kepada istrinya. "Setelah menunggu enam puluh tahun. Sendok-sendok? Omong kosong!" ia menjentikkan jarinya di bawah hidung Frodo dan pergi. Tapi Lobelia tidak begitu mudah disingkirkan. Sejenak kemudian, Frodo keluar dari ruang kerja untuk melihat keadaan, dan menemukan Lobelia masih berkeliaran di rumah itu, memeriksa sudut-sudut dan pojok-pojok dan mengetuk-ngetuk lantai. Frodo dengan tegas menuntunnya keluar dari rumah, setelah mengambil kembali beberapa benda kecil (tapi berharga) yang entah bagaimana sudah jatuh ke dalam payung Lobelia. Ekspresi wajah wanita itu menyiratkan ia sedang memikirkan komentar perpisahan yang pedas; tapi, sambil membalikkan badannya di tangga, ia hanya bisa mengatakan,
"Kau akan menyesal, anak muda! Kenapa kau tidak pergi juga? Kau tidak berhak berada di sini; kau bukan Baggins-kau... kau... seorang Brandybuck!"
"Kaudengar itu, Merry? Itu sebuah penghinaan," kata Frodo sambil menutup pintu di belakang Lobelia.
"Itu justru pujian," kata Merry Brandybuck, "dan karenanya, tentu, tidak benar."
***
Lalu mereka berkeliling di lubang itu, dan mengusir tiga anak muda hobbit (dua Boffin dan satu Bolger) yang sedang menggedor dinding, membuat lubang di salah satu gudang bawah tanah. Frodo juga bergumul dengan Sancho Proudfoot muda (cucu Odo Proudfoot tua), yang sudah memulai penggalian di dapur besar, karena mengira mendengar bunyi gema di sana. Legenda tentang emas Bilbo menimbulkan harapan dan perasaan ingin tahu; karena emas yang sudah menjadi legenda (yang diperoleh secara misterius, atau bahkan secara tidak wajar) secara umum menjadi milik siapa pun yang menemukannya—kecuali bila pencariannya terhalang.
Ketika Frodo sudah berhasil mengatasi Sancho dan mendorongnya keluar, ia jatuh terkulai di kursi di koridor. "Sudah saatnya menyudahi kegiatan, Merry," katanya. "Kuncilah pintu, dan jangan buka untuk siapa pun lagi hari ini, meski mereka membawa palu godam." Lalu ia pergi menyegarkan diri dengan secangkir teh yang sudah dingin.
Baru saja ia duduk, terdengar ketukan pelan di pintu depan. "Paling-paling Lobelia lagi," pikir Frodo. "Pasti dia sudah memikirkan sesuatu yang sangat keji, dan kembali untuk mengucapkannya. Biar saja dia menunggu.
Ia melanjutkan minum teh. Ketukan itu berulang, lebih keras, tapi Frodo tidak mengacuhkapnya. Tiba-tiba kepala Gandalf si penyihir muncul di jendela.
"Kalau kau tidak membiarkan aku masuk, Frodo, akan kudobrak pintumu sampai menembus rumahmu dan keluar ke bukit," katanya.
"Gandalf-ku yang baik! Sebentar!" seru Frodo, lalu ia lari keluar ruangan, menuju pintu. "Masuk! Masuk! Kukira kau Lobelia."
"Kalau begitu, aku memaafkanmu. Tapi beberapa saat yang lalu aku melihatnya, mengendarai kereta kuda menuju Bywater dengan ekspresi yang bisa membuat susu segar mengental."
"Dia hampir saja membuatku mengental. Benar, aku sudah hampir mencoba memakai cincin Bilbo. Aku ingin sekali menghilang."
"Jangan lakukan aku!" kata Gandalf sambil duduk. "Berhati-hatilah dengan cincin itu, Frodo! Malah sebenarnya sebagian alasanku datang kemari karena aku ingin menyampaikan sesuatu."
"Jadi, kenapa?"
"Apa yang sudah kauketahui?"
"Hanya yang diceritakan Bilbo. Aku sudah mendengar ceritanya: bagaimana dia menemukan cincin itu dan bagaimana dia menggunakannya; dalam pengembaraannya, maksudku."
"Kisah yang mana, aku ingin tahu," kata Gandalf.
"Oh, bukan yang diceritakannya pada orang-orang kerdil dan yang ditulisnya dalam bukunya," kata Frodo. "Dia menceritakan kisah sebenarnya, tak lama setelah aku mulai tinggal di sini. Katanya kau mendesaknya terus sampai dia menceritakannya padamu, jadi sebaiknya aku juga tahu. 'Tak ada rahasia di antara kita, Frodo,' kata Bilbo, 'tapi cerita itu tak boleh diteruskan. Bagaimanapun, cincin itu milikku.’”
"Itu menarik sekali," kata Gandalf "Well, bagaimana menurutmu?"
"Kalau maksudmu isapan jempol tentang cincin yang katanya diberikan sebagai 'hadiah' itu, yah, menurutku kisah sebenarnya jauh lebih masuk akal, dan aku tidak mengerti mengapa harus diubah. Sangat di luar kebiasaan Bilbo, dan menurutku itu agak aneh."
"Aku juga berpendapat begitu. Tapi hal-hal aneh memang bisa terjadi pada orang-orang yang memiliki harta seperti itu-kalau mereka menggunakannya. Biarlah ini menjadi peringatan untukmu agar berhati-hati dengannya. Mungkin cincin itu mempunyai kekuatan-kekuatan lain, bukan sekadar membuatmu menghilang sesuka hatimu."
"Aku tidak mengerti," kata Frodo.
"Aku juga tidak," jawab Gandalf. "Tapi aku mulai bertanya-tanya tentang cincin itu, terutama sejak tadi malam. Kau tak perlu khawatir. Tapi kalau kau mau memperhatikan nasihatku, gunakan sesekali saja, atau bahkan tidak sama sekali. Setidaknya kumohon kau jangan menggunakannya dengan cara apa pun yang bakal menimbulkan desas-desus atau kecurigaan. Kukatakan sekali lagi: simpanlah dengan aman, dan rahasiakan!"
"Kau misterius sekali! Apa yang kautakutkan?"
"Aku tidak yakin, maka aku tidak akan mengatakan lebih banyak. Mungkin aku bisa menceritakan sesuatu padamu kalau aku sudah kembali. Aku akan segera pergi: jadi, selamat tinggal untuk sementara ini." ia bangkit berdiri.
"Segera!" seru Frodo. "Wah, kukira kau akan tinggal sedikitnya seminggu. Aku sudah mengharapkan bantuanmu."
"Memang sebenarnya maksudku begitu, tapi aku terpaksa mengubah niatku. Mungkin aku akan pergi cukup lama; tapi aku akan datang dan menemuimu lagi, sesegera mungkin. Tunggulah aku! Aku akan menyelinap- diam-diam. Aku tidak akan sering-sering lagi berkunjung secara terbuka ke Shire. Tampaknya aku sudah mulai tidak disukai. Katanya aku mengganggu dan merusak kedamaian. Bahkan beberapa orang menuduhku mendorong Bilbo pergi, atau lebih buruk dari itu. Kalau man tahu, katanya ada persekongkolan antara kau dan aku untuk memperoleh harta Bilbo."
"Keterlaluan!" seru Frodo. "Maksudmu Otho dan Lobelia. Jahat sekali! Aku mau memberikan Bag End dan semuanya pada mereka, asal aku bisa mendapatkan Bilbo kembali dan bisa mengembara bersamanya. Aku cinta Shire, tapi entah mengapa, aku mulai berharap aku juga bisa pergi. Aku bertanya-tanya, apakah aku masih akan bertemu lagi dengannya."
"Aku juga begitu," kata Gandalf. "Dan aku bertanya-tanya tentang banyak hal lain. Selamat tinggal! Jaga dirimu sendiri! Tunggulah aku, terutama pada saat-saat tak terduga! Selamat tin-gall"
Frodo mengantar Gandalf sampai ke pintu. Gandalf melambaikan tangannya untuk terakhir kali, dan berjalan sangat cepat; tapi, menurut Frodo, penyihir itu berjalan bungkuk sekali, tidak seperti biasanya, seolah ia mengangkat beban yang sangat berat. Malam mulai turun, dan sosok Gandalf yang berjubah dengan cepat lenyap ditelan senja. Frodo tidak bertemu lagi dengannya untuk waktu yang sangat lama.
Buku 1 Bab 02
BAYANGAN MASA LALU
Pembicaraan tidak surut dalam sembilan, bahkan sembilan puluh sembilan, hari. Lenyapnya Mr. Bilbo Baggins untuk kedua kalinya dibahas di Hobbiton, dan bahkan di seluruh penjuru Shire, selama setahun dan sehari, dan berada dalam ingatan lebih lama lagi. Cerita itu malah menjadi dongeng dekat perapian untuk kaum hobbit muda; dan akhirnya Mr. Baggins, yang biasa menghilang mendadak, lalu muncul kembali dengan berkantong-kantong permata dan emas, menjadi tokoh legenda favorit dan tetap hidup, jauh setelah semua kejadian sebenarnya sudah dilupakan.
Sementara itu, pendapat umum di lingkungan itu adalah bahwa Bilbo, yang sejak dulu memang agak sinting, rupanya benar-benar gila pada akhirnya, dan ia menghilang entah ke mana. Pasti ia jatuh ke dalam kolam atau sungai dan menemui ajal yang tragis, walau bukan dalam usia terlalu muda. Sebagian besar kesalahan ditimpakan pada Gandalf.
"Kalau saja penyihir keparat itu tidak mengganggu Frodo, mungkin dia akan mapan dan bisa punya akal sehat, layaknya seorang hobbit," kata mereka. Dan tampaknya Gandalf memang tidak mengganggu Frodo, dan Frodo mulai mapan, tapi pertumbuhan akal sehat hobbitnya tidak begitu kentara. Malah ia langsung mulai melanjutkan reputasi Bilbo dalam hal keanehan. Ia menolak berkabung, dan tahun berikutnya ia mengadakan pesta untuk menghormati ulang tahun Bilbo yang keseratus dua belas, yang disebutnya Pesta Bobot Seratus. Tetapi sebutan itu tidak tepat sasaran, karena hanya dua puluh tamu Yang diundang, dan ada beberapa kali hidangan makanan berlimpah-limpah—salju makanan dan hujan minuman, menurut istilah para hobbit.
Beberapa orang agak terkejut, tapi Frodo tetap mempertahankan kebiasaan mengadakan Pesta Ulang Tahun Bilbo tahun demi tahun, sampai mereka terbiasa. Frodo mengatakan bahwa menurut pendapatnya, Bilbo tidak mati. Ketika mereka bertanya, "Kalau begitu, di mana dia?" Ia hanya angkat bahu.
Frodo hidup sendirian, seperti Bilbo dulu; tapi ia punya cukup banyak teman, terutama di antara para hobbit muda (kebanyakan keturunan Old Took) yang semasa kanak-kanak sangat menyukai Bilbo dan sering keluar-masuk Bag End. Folco Boffin dan Fredegar Bolger adalah dua di antaranya; tapi sahabatnya yang terdekat adalah Peregrin Took (biasanya dipanggil Pippin), dan Merry Brandybuck (nama sebenarnya Meriadoc, tapi jarang diingat orang). Frodo sering berkeliaran di seluruh Shire bersama mereka, tapi ia lebih sering berjalan-jalan sendirian. Yang mengherankan orang-orang yang berakal sehat, kadang-kadang ia terlihat jauh dari rumah, berjalan-jalan di bukit-bukit dan hutan, di bawah cahaya bintang. Merry dan Pippin menduga Frodo sesekali mengunjungi kaum Peri, seperti yang dilakukan Bilbo dulu.
Dengan berlalunya waktu, orang-orang memperhatikan bahwa Frodo juga memperlihatkan tanda-tanda "awet muda" yang bagus: dari luar ia tampak seperti hobbit usia dua puluhan yang tegap dan bersemangat. "Beberapa orang selalu beruntung," kata mereka; tapi baru ketika Frodo mendekati usia lima puluhan- yang lebih bijaksana, mereka mulai menganggap hal itu aneh.
Frodo sendiri, walau mula-mula merasa terkejut, lambat laun menyadari bahwa menjalani hidup sendiri dan dikenal sebagai Mr. Baggins dari Bag End ternyata cukup menyenangkan. Selama beberapa tahun ia cukup bahagia dan tidak begitu cemas tentang masa depan. Tapi, tanpa ia sadari, penyesalannya bahwa ia tidak pergi bersama Bilbo lambat laun semakin berkembang. Kadang-kadang ia bertanya dalam hati, terutama di musim gugur, tentang negeri-negeri liar, dan pemandangan aneh gunung-gunung yang belum pernah dilihatnya, yang muncul dalam mimpi-mimpinya. Ia mulai berkata pada dirinya sendiri, "Mungkin suatu hari nanti aku sendiri akan menyeberangi Sungai." Namun bagian pikirannya yang lain selalu menjawab, "Belum sekarang."
Begitu terus, sampai usia empat puluhannya habis dan ulang tahunnya yang kelima puluh mulai dekat: lima puluh adalah angka yang menurut perasaan Frodo sangat penting (atau mengancam); setidaknya pada usia itulah petualangan Bilbo mendadak dimulai: Frodo mulai merasa gelisah, dan semua jalan lama tampak sudah terlalu sering dijalani. Ia mengamati peta-peta, dan bertanya-tanya apa yang ada di luar perbatasannya. Ia mulai berjalan lebih jauh; dan lebih sering sendirian; Merry dan sahabat-sahabatnya yang lain memperhatikannya dengan cemas. Ia sering terlihat berjalan dan bercakap-cakap dengan pelancong-pelancong asing yang saat itu mulai bermunculan di Shire.
Banyak selentingan tentang kejadian-kejadian aneh di dunia luar; dan karena Gandalf masih belum muncul atau mengirimkan kabar selama beberapa tahun, maka Frodo mengumpulkan sebanyak mungkin berita. Kaum Peri, yang jarang berjalan di Shire, sekarang suka tampak melintas ke arah barat, melalui hutan-hutan di senja hari, lewat tapi tidak kembali; mereka meninggalkan Dunia Tengah dan sudah tidak mempedulikan masalah-masalahnya. Namun banyak sekali kurcaci-kurcaci yang ada di jalan. Jalan Timur-Barat melintasi Shire sampai ke ujungnya di Grey Havens, dan para kurcaci selama ini selalu menggunakannya dalam perjalanan ke tambang mereka di Pegunungan Biru. Merekalah sumber utama berita dari luar daerah untuk para hobbit-kalau mereka ingin tahu; biasanya kurcaci tidak banyak bicara, dan para hobbit tidak banyak bertanya. Tapi kini Frodo sering bertemu kurcaci-kurcaci asing dari negara-negara jauh yang mengungsi ke Barat. Mereka gelisah, dan beberapa berbisik-bisik tentang Musuh dan tentang Negeri Mordor.
Nama itu hanya dikenal para hobbit dalam legenda-legenda masa lalu yang gelap, seperti bayangan di latar belakang ingatan mereka, tapi terasa mengancam dan meresahkan. Dulu kekuatan jahat di Mirkwood sudah diusir oleh Dewan Penasihat Putih, tapi sekarang muncul kembali dengan kekuatan berlipat ganda di benteng-benteng kuno Mordor. Kabarnya Menara Kegelapan sudah dibangun kembali. Dari sana kekuatan jahat itu menyebar sampai jauh dan luas, di timur dan selatan banyak peperangan dan ketakutan yang semakin besar. Bangsa Orc berkembang biak lagi di pegunungan. Troll-troll berada di luar wilayah mereka, tidak lagi bodoh, tetapi cerdik dan punya senjata mengerikan. Dan ada bisik-bisik tentang makhluk-makhluk yang lebih mengerikan daripada semua yang sudah disebutkan, tetapi makhluk-makhluk itu tidak bernama.
Tentu saja hanya sedikit dari berita-berita ini yang sampai ke telinga Para hobbit. Tetapi bahkan hobbit yang paling tuli dan biasa tinggal di rumah pun mulai mendengar kisah-kisah aneh; dan mereka yang mempunyai urusan yang membawa mereka ke perbatasan, melihat hal-hal aneh. Percakapan di Naga Hijau di Bywater, pada suatu senja di tahun kelima puluh usia Frodo, menunjukkan bahwa bahkan di jantung Shire yang paling nyaman sekalipun beredar berbagai desas-desus, meskipun kebanyakan hobbit menertawakannya.
Sam Gamgee sedang duduk di pojok dekat api, di seberangnya ada Ted Sandyman, putra si penggiling; dan ada beberapa hobbit dusun mendengarkan pembicaraan mereka.
"Banyak hal aneh yang terdengar akhir-akhir ini," kata Sam.
"Ah," kata Ted, "tentu terdengar kalau kaudengarkan. Tapi aku bisa mendengar cerita-cerita dekat perapian dan dongeng anak-anak di rumah, kalau aku mau."
"Sudah pasti," jawab Sam pedas, "dan aku berani bilang cerita-cerita itu mengandung kebenaran lebih banyak daripada yang kauduga. Siapa yang mengarang cerita-cerita itu, sih? Misalnya tentang naga."
"Tidak, terima kasih," kata Ted, "aku tak mau. Aku sudah mendengar tentang naga sejak aku masih kecil, tapi talc ada alasan untuk mempercayainya sekarang. Hanya ada satu Naga di Bywater sekarang, dan dia Hijau," kata Ted, dan semua tertawa.
"Baik," kata Sam, ikut tertawa bersama yang lain. "Tapi bagaimana dengan Manusia-Manusia-pohon, yang mungkin bisa disebut raksasa itu? Kata mereka, di luar North Moors belum lama ini terlihat satu raksasa yang lebih besar daripada pohon."
"Siapa mereka?"
"Sepupuku Hal salah satunya. Dia bekerja untuk Mr. Boffin di Overhill, dan sering ke Wilayah Utara untuk berburu. Dia melihat satu."
"Mengaku-aku melihat, mungkin. Hal-mu itu selalu mengatakan melihat sesuatu; mungkin juga dia melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada."
"Tapi yang ini sebesar pohon elm, dan berjalan-setiap langkahnya sejauh tujuh meter, tidak main-main."
"Kalau begitu, aku bertaruh itu main-main. Yang dia lihat memang pohon elm, pasti begitu."
"Tapi yang ini berjalan, benar-benar berjalan; dan tidak ada pohon elm di North Moors."
"Kalau begitu, Hal memang tidak melihat pohon elm," kata Ted. Bunyi tawa dan tepuk tangan bergema; yang lain menganggap Ted menang satu angka.
"Bagaimanapun," kata Sam, "kau tidak bisa mengelak bahwa orang lain selain Halfast sudah melihat banyak orang aneh melintasi Shire—melintasi, perhatikan itu; lebih banyak lagi yang dilarang masuk di perbatasan. Para Penjaga Perbatasan belum pernah sesibuk ini.
"Dan kudengar para Peri pindah ke barat. Katanya mereka akan pergi ke pelabuhan, jauh di sana, di luar Menara-Menara Putih." Sam mengibaskan tangannya samar-samar: baik dia maupun yang lain tidak tahu seberapa jauh jarak ke Laut, melewati menara-menara tua di luar perbatasan barat Shire. Tapi sudah menjadi tradisi bahwa jauh di sana terdapat Grey Havens, dari mana sesekali kapal-kapal para Peri berlayar, dan tak pernah kembali.
"Mereka berlayar, berlayar, berlayar mengarungi Laut, mereka pergi ke Barat dan meninggalkan kita," kata Sam, setengah menyanyikan kata-kata itu, menggelengkan kepalanya dengan sedih dan khidmat. Tapi Ted tertawa.
"Well, itu bukan hal baru, kalau kau percaya dongeng-dongeng kuno. Dan aku tidak mengerti, apa hubungannya itu dengan kau atau aku. Biarkan mereka berlayar! Tapi aku yakin kau belum pernah melihat mereka melakukan itu; juga orang-orang lain di Shire ini."
"Well, aku tidak tahu," kata Sam sambil merenung. Ia percaya ia pernah melihat seorang Peri di hutan, dan ia masih berharap akan melihatnya lagi suatu hari nanti. Dari semua legenda yang sudah didengarnya semasa kanak-kanak, potongan-potongan dongeng dan kisah-kisah yang setengah diingatnya tentang Peri, seperti yang diketahui hobbit, itulah yang paling menyentuh hatinya. "Ada beberapa orang, bahkan di wilayah ini, yang kenal Bangsa Halus ini dan mendengar kabar tentang mereka," kata Sam. "Misalnya Mr. Baggins, pada siapa aku bekerja. Dia bercerita bahwa mereka suka berlayar, dan dia tahu sedikit tentang kaum Peri. Dan Mr. Bilbo tua tahu lebih banyak: aku banyak mengobrol dengannya ketika aku masih kecil."
"Oh, mereka berdua kan. sinting," kata Ted. "Bilbo tua jelas sinting, dan Frodo sekarang mulai sinting. Kalau kau mendapat beritamu dari sana, kau tidak bakal pernah kekurangan omong kosong. Yah, kawan-kawan, aku mau pulang. Semoga sehat selalu!" ia menghabiskan minumannya dan pergi dengan berisik.
Sam duduk diam dan tidak berbicara lagi. Banyak sekali yang perlu dipikirkannya. Salah satunya, masih banyak pekerjaannya di kebun Bag End, dan besok ia akan sibuk sekali, kalau cuaca cerah. Rumput tumbuh sangat cepat. Tapi yang dipikirkan Sam bukan sekadar berkebun. Setelah beberapa saat, ia menarik napas panjang dan bangkit berdiri, lalu keluar.
Saat itu awal April, dan langit bersih setelah hujan lebat. Matahari sudah terbenam, dan senja sejuk dan pucat diam-diam melebur menjadi malam. Sam berjalan pulang di bawah bintang-bintang, melewati Hobbiton dan naik ke Bukit, sambil bersiul perlahan dan merenung.
Pada saat itulah Gandalf muncul kembali setelah lama tidak hadir. Selama tiga tahun sejak Pesta Bilbo ia tidak datang. Lalu ia mengunjungi Frodo sebentar, dan pergi lagi setelah mengamatinya dengan saksama. Selama satu-dua tahun berikutnya ia cukup sering muncul, datang tak terduga setelah senja, dan pergi tiba-tiba sebelum fajar. Ia tidak mau membahas urusan dan perjalanan-perjalanannya sendiri, dan kelihatannya ia terutama tertarik pada berita-berita kecil tentang kesehatan dan tingkah laku Frodo.
Kemudian mendadak kunjungan-kunjungannya berhenti. Sudah lebih dari sembilan tahun Frodo tidak mendengar kabar dan Gandalf atau melihatnya, dan ia sudah mulai berpikir penyihir itu takkan kembali dan sudah kehilangan minat kepada para hobbit. Tapi sore itu, ketika Sam sudah pulang dan senja mulai memudar, terdengar bunyi ketukan yang dulu begitu akrab di jendela ruang belajar.
Frodo menyambut sahabat lamanya dengan terkejut dan sangat senang. Mereka saling menatap dengan tajam.
"Semuanya baik-baik yah?" kata Gandalf. "Kau masih tampak sama, Frodo!"
"Kau juga," jawab Frodo; tapi dalam hati ia berpikir bahwa Gandalf kelihatan lebih tua dan letih. Frodo mendesak Gandalf bercerita tentang dirinya sendiri dan kabar-kabar dari dunia luas; mereka segera terlibat pembicaraan serius, dan belum tidur sampai larut malam.
Pagi berikutnya, setelah sarapan siang sekali, penyihir itu duduk bersama Frodo di dekat jendela terbuka ruang kerja. Api terang menyala di perapian, tapi matahari terasa panas, dan angin berembus dari Selatan. Semua kelihatan segar, kehijauan musim semi yang baru berkilauan di padang rumput dan di ujung jemari pepohonan.
Gandalf memikirkan pagi musim semi hampir delapan puluh tahun yang lalu, ketika Bilbo lari keluar dari Bag End tanpa saputangan. Mungkin rambutnya sekarang sudah lebih putih daripada saat itu, janggut serta alisnya mungkin lebih panjang, dan wajahnya lebih tergurat kepedulian dan kebijaksanaan; tapi matanya masih sama jernihnya, dan ia merokok serta meniup lingkaran-lingkaran asap dengan semangat dan keceriaan yang sama.
Sekarang ia merokok dalam diam, karena Frodo juga duduk diam, merenung. Bahkan dalam cahaya pagi yang cerah itu ia bisa merasakan bayang-bayang gelap dari kabar yang dibawa Gandalf. Akhirnya ia memecah kesunyian tersebut.
"Tadi malam kau mulai menceritakan hal-hal aneh tentang cincinku, Gandalf," kata Frodo. "Lalu kau berhenti, karena menurutmu hal-hal seperti itu lebih baik dibicarakan di pagi hari. Apa tidak sebaiknya kauselesaikan ceritamu sekarang? Katamu cincin itu berbahaya, jauh lebih berbahaya daripada yang kuduga. Dalam hal apa?"
"Dalam banyak hal," jawab penyihir itu. "Cincin itu jauh lebih kuat daripada yang kusangka semula; begitu kuat, sampai akhirnya dia akan menguasai makhluk hidup mana pun yang memilikinya. Cincin itu yang akan memilikinya.
"Di Eregion, di masa lalu, banyak dibuat cincin Peri; cincin sihir, begitu kau menyebutnya, dan beragam pula macamnya: beberapa lebih ampuh dan beberapa tidak begitu ampuh. Cincin yang kurang bagus hanyalah percobaan dalam kriya ini sampai dia matang, dan bagi para pandai besi Peri, cincin semacam itu tidak ada artinya-tapi menurutku tetap sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Tetapi Cincin-Cincin Agung, Cincin-Cincin Kekuasaan, mereka amat sangat berbahaya.
"Makhluk hidup yang menyimpan salah satu Cincin Agung itu, Frodo, tidak akan mati, tetapi dia juga tidak akan tumbuh atau memperoleh kehidupan lebih banyak, dia hanya berlanjut terus, sampai akhirnya setiap menit terasa meletihkan. Dan kalau dia sering menggunakan Cincin itu untuk membuat dirinya tidak tampak, dia akan memudar: akhirnya dia akan selamanya tidak tampak; dia akan berjalan dalam bayang-bayang, di bawah mata kekuasaan gelap yang mengendalikan Cincin-Cincin itu. Ya, cepat atau lambat-lambat, kalau dia kuat atau berniat baik pada awalnya, tetapi baik kekuatan maupun niat baik tidak akan bisa bertahan-cepat atau lambat kekuatan gelap itu akan melahapnya."
"Menakutkan sekali!" kata Frodo. Lalu keduanya kembali berdiam diri... lama. Suara Sam Gamgee memangkas kebun terdengar dari arah halaman.
"Sudah berapa lama kau mengetahui ini?" tanya Frodo akhirnya. "Dan seberapa banyak yang diketahui Bilbo?"
"Aku yakin Bilbo tidak tahu lebih dari yang diceritakannya padamu," kata Gandalf. "Dia pasti tidak akan mewariskan sesuatu yang diduganya berbahaya padamu, meski aku berjanji akan mengawasimu.
Menurutnya cincin itu indah sekali, dan sangat bermanfaat bila dibutuhkan; kalau ada sesuatu yang salah atau aneh, sesuatu itu adalah dirinya sendiri. Dia mengatakan 'cincin itu memberatkan pikirannya', dan dia selalu mencemaskannya; tapi dia tidak curiga bahwa cincin itulah penyebabnya. Tapi dia menemukan bahwa benda itu perlu dirawat; ukurannya atau bobotnya tidak selalu sama; cincin itu bisa mengecil atau membesar dengan cara yang aneh, dan bisa tiba-tiba lolos dari jari yang semula pas mengenakannya."
"Ya, dia memperingatkan aku tentang itu dalam suratnya yang terakhir," kata Frodo, "maka aku selalu menyimpannya terikat pada rantainya."
"Bijak sekali," kata Gandalf. "Tapi tentang hidupnya yang panjang, Bilbo tak pernah menghubungkannya dengan cincin itu. Dia menganggap itu kehebatannya sendiri, dan dia sangat bangga akan hal itu. Meskipun dia mulai merasa resah dan gelisah. Aku merasa tipis dan terulur, katanya. Suatu tanda bahwa cincin itu sudah mulai mengendalikannya."
"Sudah berapa lama kau tahu semua ini?" tanya Frodo lagi.
"Tahu?" kata Gandalf. "Aku sudah tahu banyak hal yang hanya diketahui kaum Bijak, Frodo. Tapi kalau maksudmu 'tahu tentang cincin ini', yah, aku masih belum tahu, bisa dikatakan begitu. Ada hal terakhir yang harus diuji. Tapi aku sudah tidak meragukan dugaanku.
"Kapan aku pertama mulai menduga?" renting Gandalf sambil mencari-cari dalam ingatannya. "Coba kuingat-ingat-Bilbo menemukan cincinnya di tahun ketika Dewan Penasihat Putih mengusir kekuatan gelap dari Mirkwood, tepat sebelum Pertempuran Lima Pasukan. Rasa takut menyelimuti hatiku saat itu, meski aku belum tahu apa yang kutakuti. Aku sering bertanya-tanya, bagaimana Gollum bisa mendapatkan Cincin Agung itu-bahwa itu Cincin Agung, setidaknya sudah jelas dari awal. Lalu aku mendengar kisah aneh dari Bilbo, tentang bagaimana dia 'memenangkannya', dan aku tidak percaya. Ketika akhirnya aku berhasil mengorek kebenarannya, langsung kusadari bahwa dia mencoba mengaku-aku kepemilikannya atas cincin itu. Mirip sekali dengan Gollum, yang mengatakan cincin itu adalah 'hadiah ulang tahunnya'. Kebohongan-kebohongan itu terlalu mirip, sehingga aku curiga. Jelas cincin itu memiliki kekuatan tak sehat yang langsung mempengaruhi pemiliknya. Itu peringatan pertama yang kudapat bahwa ada bahaya besar. Sering sekali aku mengatakan pada Bilbo bahwa cincin-cincin seperti itu lebih baik tidak digunakan; tapi dia tak senang, dan menjadi marah. Tak banyak yang bisa kulakukan. Aku tak bisa mengambil cincin itu darinya tanpa menyebabkan kerusakan lebih parah; dan bagaimanapun, aku tidak berhak melakukan itu. Aku hanya bisa memperhatikan dan menunggu. Mungkin aku bisa meminta nasihat Saruman si Putih, tapi selalu ada saja yang menahanku."
"Siapa Saruman itu?" tanya Frodo. "Aku belum pernah mendengar namanya."
"Mungkin tidak," jawab Gandalf. "Kaum hobbit tidak menjadi perhatiannya. Namun dia termasuk di antara kaum Bijak. Dia kepala ordo-ku dan ketua Dewan Penasihat. Pengetahuannya dalam sekali, tapi kesombongannya ikut tumbuh seiring pengetahuannya, dan dia sangat tidak menyukai campur tangan. Adat-istiadat dan pengetahuan tentang Cincin-Cincin Peri, besar maupun kecil, adalah wilayahnya. Dia sudah lama mempelajarinya, mencari rahasia yang hilang tentang pembuatan mereka; tapi ketika Cincin-Cincin itu dibahas dalam Dewan Penasihat, segala sesuatu yang diungkapkannya pada kami tentang cincin itu meredam ketakutanku. Maka keraguanku terlena—tapi dengan perasaan gelisah. Aku tetap memperhatikan dan menunggu.
"Dan semuanya kelihatan baik-baik saja dengan Bilbo. Tahun-tahun berlalu. Ya, berlalu, dan tampaknya tidak menyentuh Bilbo. Dia tidak kelihatan bertambah tua. Kekhawatiran itu timbul lagi di hatiku. Tapi aku berkata pada diriku sendiri, 'Bagaimanapun, dia berasal dari keturunan yang berumur panjang dari pihak ibunya. Masih ada waktu. Tunggulah!'
"Dan aku menunggu. Sampai malam itu, ketika Bilbo pergi dari rumahnya. Dia mengatakan dan melakukan hal-hal yang menimbulkan ketakutan besar dalam hatiku, yang tak bisa dihilangkan oleh kata-kata Saruman. Akhirnya tahulah aku bahwa sesuatu yang gelap dan mematikan sedang bekerja. Dan sejak itu kuhabiskan sebagian besar waktuku untuk mencari kebenaran sesungguhnya tentang cincin itu."
"Tak ada bahaya permanen, bukan?" tanya Frodo dengan cemas. "Dia akan baik-baik saja pada waktunya, bukan? Maksudku, bisa beristirahat dalam damai?"
"Dia Ian-sung merasa lebih baik," kata Gandalf. "Tapi hanya ada satu Kekuatan di dunia ini yang tahu semuanya tentang Cincin-Cincin ini dan pengaruhnya; dan sejauh yang kuketahui, tak ada Kekuatan di dunia ini yang tahu segalanya tentang hobbit. Di antara kaum Bijak, hanya aku seorang "yang man mempelajari adat-istiadat dan pengetahuan tentang hobbit: suatu cabang pengetahuan yang tak dikenal, tapi penuh kejutan. Mereka bisa selembek mentega, tapi kadang-kadang sekokoh akar-akar pohon tua. Mungkin ada hobbit yang bisa menolak Cincin-Cincin itu jauh lebih lama dari yang diyakini kaum Bijak. Kukira kau tidak perlu cemas tentang Bilbo.
"Memang dia sudah bertahun-tahun memiliki cincin itu, dan menggunakannya, jadi mungkin perlu waktu lama sampai pengaruhnya hilang-sebelum aman baginya untuk melihatnya lagi, misalnya. Bagaimanapun, dia bisa hidup bertahun-tahun lagi dengan bahagia: tetap sama seperti saat dia berpisah dengan cincin itu, karena akhirnya dia melepaskannya atas kerelaannya sendiri: ini suatu pokok penting. Tidak, aku tidak cemas lagi tentang Bilbo, begitu dia melepaskan cincin itu. Terhadap dirimulah aku merasa bertanggung jawab.
"Sejak Bilbo pergi, aku sangat khawatir tentang dirimu, dan semua hobbit yang memikat, konyol, dan tak berdaya ini. Akan menjadi suatu pukulan menyedihkan bagi dunia, kalau Kekuasaan Gelap menguasai Shire; kalau semua Bolger, Hornblower, Boffin, Bracegirdle dan yang lainnya, tak lupa para Baggins konyol, diperbudak olehnya."
Frodo menggigil. "Tapi kenapa harus begitu?" tanyanya. "Dan untuk apa dia menginginkan budak-budak seperti itu?"
"Sejujurnya," jawab Gandalf, "aku yakin selama ini—selama ini, camkan itu—dia sama sekali tidak melihat keberadaan para hobbit. Kau boleh bersyukur. Tapi keamanan kalian sudah hilang. Dia tidak membutuhkan kalian-dia punya banyak budak lain yang berguna tapi dia tidak akan melupakan kalian lagi. Dan para hobbit sebagai budak-budak sengsara akan jauh lebih menyenangkan hatinya daripada hobbit yang bebas dan bahagia. Di dunia ini ada yang namanya kedengkian dan balas dendam!"
"Balas dendam?" kata Frodo. "Balas dendam untuk apa? Aku masih belum mengerti, apa hubungannya semua ini dengan Bilbo dan aku, dan cincin kita."
"Semuanya berhubungan," kata Gandalf. "Kau belum tahu bahaya yang sebenarnya; tapi kau akan tahu. Aku sendiri belum yakin ketika terakhir aku berada di sini; tapi sekarang sudah tiba saatnya untuk mengungkapkannya. Berikan cincin itu padaku sebentar."
Frodo mengambil cincin itu dari saku celananya; cincin itu disambungkan dengan sebuah rantai yang tergantung dari ikat pinggangnya. Ia melepaskannya dan dengan perlahan memberikannya kepada penyihir itu. Mendadak cincin itu terasa lebih berat, seolah Frodo sendiri atau cincin itu sendiri agak enggan disentuh Gandalf.
Gandalf mengangkatnya. Kelihatannya cincin itu terbuat dari emas murni dan padat. "Kau bisa melihat tulisan di atasnya?" tanyanya.
"Tidak," kata Frodo. "Tidak ada apa-apa. Cincin itu polos sekali, dari tidak pernah memperlihatkan tanda goresan atau tanda usang."
"Kalau begitu, lihatlah!" Dengan tercengang dan cemas Frodo menyaksikan penyihir itu tiba-tiba melemparkan cincin tersebut ke tengah ujung api yang menyala. Frodo berteriak dari meraih penjepit, tapi Gandalf menahannya.
"Tunggu!" katanya dengan nada memerintah, sambil melirik cepat ke arah Frodo dari balik alisnya yang tebal berdiri.
Tak ada perubahan nyata pada cincin itu. Setelah beberapa saat, Gandalf berdiri dari menutup tirai. Ruangan itu menjadi gelap dan sunyi, meski bunyi gunting Sam yang sekarang lebih dekat ke jendela masih terdengar samar-samar dari arah kebun. Sejenak penyihir itu berdiri menatap api; lalu ia membungkuk, memindahkan cincin tersebut dengan penjepit ke atas perapian, dari langsung memegangnya. Frodo terkesiap.
"Cukup dingin," kata Gandalf. "Ambil!" Frodo menerimanya di atas telapak tangannya yang mengerut. Tampaknya cincin itu lebih tebal dan berat daripada sebelumnya.
"Angkat!" kata Gandalf. "Dan perhatikan dengan cermat!"
Frodo melakukannya, dan melihat garis-garis halus, lebih halus daripada sapuan pena terhalus, tertera di cincin itu, pada bagian luar maupun dalam: garis-garis api yang seperti membentuk huruf-huruf suatu tulisan yang mengalir. Garis-garis itu menyala tajam, namun jauh, seolah dari suatu kedalaman.
"Aku tidak bisa membaca huruf-huruf menyala ini," kata Frodo dengan suara gemetar.
"Tidak," kata Gandalf, "tapi aku bisa. Huruf-huruf ini tulisan Peri, dari langgam kuno, tetapi bahasanya dari Mordor, yang tidak akan kuucapkan di sini. Namun dalam Bahasa Umum artinya kira-kira begini:
Satu Cincin 'tuk membawa mereka semua
dan dalam kegelapan mengikat mereka.
Itu hanya dua baris dari syair yang sudah lama dikenal dalam adat-istiadat Peri:
Tiga Cincin untuk raja-raja Peri di bawah langit,
Tujuh untuk raja-raja Kurcaci di balairung batu mereka,
Sembilan untuk Insan Manusia yang ditakdirkan mati,
Satu untuk Penguasa Kegelapan di takhtanya yang kelam
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.
Satu Cincin 'tuk menguasai mereka semua,
Satu Cincin 'tuk menemukan mereka,
Satu Cincin 'tuk membawa mereka semua
dan dalam kegelapan mengikat mereka
Di Negeri Mordor di mana Bayang-bayang merajalela.
Gandalf berhenti, lalu berkata perlahan dengan suara dalam, "Ini adalah Cincin Utama, Cincin yang Satu untuk menguasai mereka semua. Inilah Cincin Utama yang hilang beberapa abad yang lalu, hingga sangat melemahkan kekuatannya. Dia sangat berhasrat memilikinya—tapi jangan sampai dia memperolehnya."
Frodo duduk diam tak bergerak. Ketakutan seolah mengulurkan tangannya, seperti awan gelap yang terbit di Timur, dan bayangannya seakan-akan hendak menelannya. "Cincin ini!" ia berkata terbata-bata. "Bagaimana, bagaimana sampai bisa jatuh ke tanganku?"
"Ah!" kata Gandalf. "Ceritanya panjang sekali. Awalnya dimulai pada Tahun-Tahun Hitam, yang sekarang hanya diingat para ahli dongeng. Jika aku harus menceritakan seluruh kisah itu padamu, bisa-bisa kita masih duduk di sini saat Musim Semi berganti ke Musim Dingin.
"Tapi tadi malam aku sudah menceritakan tentang Sauron yang Perkasa, Penguasa Kegelapan. Selentingan-selentingan yang sudah kaudengar memang benar: dia memang sudah bangkit kembali dan meninggalkan kubunya di Mirkwood, kembali ke wilayah kekuasaannya yang luas di masa lampau di Menara Kegelapan di Mordor. Pasti nama itu sudah pernah terdengar oleh kaum hobbit, seperti sebuah bayangan di perbatasan kisah-kisah kuno. Selalu setelah kalah dan beristirahat, sang Bayangan berubah wujud dan tumbuh lagi."
"Seandainya hal ini tak perlu terjadi di masa hidupku," kata Frodo.
"Aku pun berharap begitu," kata Gandalf, "begitu pula semua orang yang hidup dan mengalami masa-masa seperti itu. Tapi bukan hak mereka untuk menentukan. Yang perlu kita putuskan adalah apa
yang akan kita lakukan dengan waktu yang diberikan pada kita. Dan Frodo, waktu kita sudah mulai gelap. Musuh dengan cepat bertambah kuat. Rencana-rencananya masih jauh dari matang, tapi sedang menuju kematangan. Kita akan sangat kesulitan. Kita akan sangat kesulitan, meski tidak terjadi kebetulan yang mengerikan ini.
"Musuh masih kekurangan satu hal untuk memberinya kekuatan dan pengetahuan untuk mematahkan semua perlawanan, meruntuhkan pertahanan terakhir, dan menyelimuti semua negeri dalam kegelapan kedua. Dia tidak mempunyai Cincin Utama.
"Tiga Cincin, yang paling indah, disembunyikan oleh para Raja Peri, dan tangannya belum pernah menyentuh atau menodai ketiganya. Tujuh menjadi milik kaum Kurcaci, tapi dia sudah berhasil mendapatkan tiga, dan yang lainnya dimakan naga-naga. Sembilan diberikannya kepada Makhluk Manusia yang angkuh dan agung, untuk menjerat mereka. Lama berselang mereka jatuh di bawah kekuasaan yang Satu itu, dan mereka menjadi Hantu Cincin, bayang-bayang di bawah Bayangan-nya yang besar, pelayan-pelayannya yang paling mengerikan. Sudah lama sekali. Sudah lama sekali sejak kaum Sembilan itu pergi ke luar wilayah mereka. Tapi siapa tahu? Kalau Bayangan itu tumbuh lagi, mungkin mereka juga akan berkeliaran lagi. Tapi ayolah! Kita tidak akan membahas hal-hal semacam itu di pagi hari di Shire.
"Jadi, begitulah sekarang: yang Sembilan sudah dikumpulkannya sendiri; yang Tujuh juga, atau kalau tidak mereka sudah hancur. Yang Tiga masih tersembunyi. Tapi itu sudah bukan masalah untuknya. Dia hanya membutuhkan yang Utama; karena dia sendiri yang membuat Cincin itu, cincin itu miliknya, dan dia memasukkan sebagian besar kekuatannya di masa lalu ke dalam cincin itu, agar bisa mengendalikan semua yang lain. Kalau dia menemukannya, dia akan kembali memerintah mereka semua, di mana pun mereka berada, bahkan juga yang Tiga itu, dan semua yang sudah dibuat bersamaan dengan mereka akan terbuka, dan dia akan semakin kuat.
"Dan inilah kemungkinan yang mengerikan, Frodo. Semula dia menyangka Cincin Utama sudah hancur; bahwa kaum Peri sudah menghancurkannya, seperti seharusnya. Tapi kini dia tahu bahwa cincin itu tidak hancur, bahwa cincin itu ditemukan. Jadi, sekarang dia mencarinya, mencarinya, dan seluruh tekadnya ditujukan pada cincin itu. Cincin itu menjadi harapannya yang besar, dan ketakutan kita yang besar."
"Kenapa, kenapa tidak dihancurkan?" seru Frodo. "Dan bagaimana Musuh sampai bisa kehilangan cincin itu kalau dia begitu kuat, dan kalau cincin itu begitu berharga baginya?" Frodo menggenggam erat Cincin itu, seolah ia sudah melihat jari-jari gelap yang menggapai-gapai untuk merebutnya.
"Cincin itu diambil darinya," kata Gandalf. "Kekuatan kaum Peri zaman dulu lebih besar untuk melawannya; dan tidak semua Manusia terasing dari mereka. Orang-Orang Westernesse datang membantu mereka. Itu suatu bab yang patut diingat dalam sejarah kuno; karena di masa itu juga ada kesengsaraan, dan kegelapan yang semakin meluas, tapi juga ada keberanian dan perbuatan-perbuatan besar yang tidak sia-sia. Suatu hari nanti mungkin aku akan menceritakan seluruh kisah ini, atau kau akan mendengar keseluruhannya dari dia yang paling tahu.
"Tapi untuk sementara ini, yang paling perlu kauketahul hanyalah bagaimana cincin ini sampai kepadamu; aku saja sudah merupakan kisah panjang, jadi itu saja yang akan kuceritakan. Adalah Gil-galad, raja Peri, dan Elendil dari Westernesse yang menggulingkan Sauron. meski mereka sendiri tewas dalam pertempuran itu; putra Elendil, Isildur, memotong cincin aku dari jari tangan Sauron dan mengambilnya. Lalu Sauron ditaklukkan dan rohnya lari bersembunyi lama sekali, sampai bayangannya mulai berwujud kembali di Mirkwood.
"Tetapi Cincin itu hilang. Dia jatuh ke dalam Sungai Besar Anduin, dan lenyap, karena Isildur berjalan ke utara, sepanjang tepi sebelah timur Sungai. Di dekat Gladden Fields dia dihadang kaum Orc dari Pegunungan; hampir semua pengikutnya dibantai. Dia melompat ke dalam air, tetapi Cincin aku terlepas ketika dia berenang, lalu para Orc melihatnya dan membunuhnya dengan anak panah."
Gandalf berhenti. "Dan di sana, di kolam-kolam gelap di tengah Gladden Fields," katanya, "Cincin itu hilang dari pengetahuan dan legenda; riwayatnya hanya diketahui sedikit orang, dan Dewan Penasihat tak bisa menemukan lebih banyak dari itu. Tapi kupikir akhirnya aku bisa melanjutkan kisah itu."
"Jauh setelah itu, tetapi masih lama berselang, di tepi Sungai Besar di perbatasan Belantara tinggal suatu bangsa yang terampil dengan tangan mereka, dan bisa berjalan tanpa bersuara. Kukira mereka semacam hobbit; bersanak dengan para ayah dari ayah kaum Stoor, karena mereka mencintai Sungai, dan sering berenang di dalamnya, atau membuat perahu-perahu kecil dari ilalang. Di antara mereka ada sebuah keluarga yang sangat terhormat, karena besar dan lebih kaya daripada kebanyakan keluarga lain, dan diperintah oleh seorang nenek kaum itu, keras dan bijak dalam adat-istiadat kuno yang mereka miliki. Yang berwatak paling ingin tahu dan selalu mencari tahu dari keluarga itu adalah Smeagol. Dia tertarik pada akar-akar dan sumber segala sesuatu; dia suka menyelam ke dalam telaga-telaga dalam; dia menggali di bawah pohon-pohon dan tanaman; dia membuat terowongan di dalam bukit-bukit hijau; dan dia berhenti melihat ke atas, ke puncak-puncak bukit, atau dedaunan di pohon, atau bunga-bunga yang mekar di udara: kepala dan matanya tertuju ke bawah.
"Dia mempunyai seorang teman bernama Deagol, dari bangsa yang sama, lebih tajam matanya, tapi tidak begitu cepat dan kuat. Pada suatu hari, mereka naik perahu ke Gladden Fields, di mana banyak kumpulan bunga iris dan ilalang berbunga. Di sana Smeagol keluar dan menyelidiki tepi sungai, tetapi Deagol duduk di dalam perahu dan memancing. Tiba-tiba seekor ikan besar tersangkut pada kailnya, dan sebelum Deagol sadar, dia sudah terseret keluar, masuk ke dalam air, ke dasar sungai. Lalu dia melepaskan pancingnya, karena merasa melihat sesuatu yang berkilauan di dasar sungai; sambil menahan napas, dia memungutnya.
"Lalu dia naik- ke atas sambil megap-megap, dengan alang-alang di dalam rambutnya dan segenggam lumpur; dia berenang ke pinggir. Dan lihat! Ketika dia mencuci lumpurnya, di sana, di tangannya, ada cincin emas yang sangat indah; berkilauan dan bercahaya di bawah sinar matahari, membuat Deagol bahagia sekali. Tetapi Smeagol memperhatikannya dari balik pohon, dan sementara Deagol memandangi cincin itu dengan tamak, Smeagol diam-diam mendekatinya.
"'Berikan itu padaku, Deagol sayang,' kata Smeagol dari balik bahu temannya.
"'Kenapa?'
"'Karena ini hari ulang tahunku, Sayang, dan aku menginginkannya,' kata Smeagol.
"'Aku tak peduli,' kata Deagol. 'Aku sudah memberikan hadiah padamu, lebih dari yang sanggup kuberikan. Aku menemukan ini, dan aku akan menyimpannya.'
"'Oh, begitu, Sayang,' kata Smeagol; lalu dia meraih leher Deagol dan mencekiknya, karena emas itu tampak begitu cemerlang dan indah. Lalu dia mengenakan cincin itu di jarinya.
"Tak ada yang tahu, apa yang terjadi dengan Deagol; dia dibunuh Jauh dari rumah, dan mayatnya disembunyikan dengan cerdik. Tetapi Smeagol pulang sendirian, dan dia menemukan bahwa tak ada keluarganya yang bisa melihatnya kalau dia memakai cincin itu. Dia sangat puas dengan penemuannya, dan dia merahasiakannya; dia menggunakan cincin aku untuk mengorek rahasia-rahasia, dan dia menggunakan pengetahuannya untuk tujuan yang licik dan jahat. Penglihatan dan pendengarannya menjadi tajam untuk segala sesuatu yang menyakitkan. Cincin itu memberinya kekuatan sesuai dengan wataknya. Tak ?~ heran dia menjadi sangat tidak disukai dan dihindari (bila sedang tampak) oleh semua handai taulannya. Mereka menendangnya, dan Smeagol menggigit kaki mereka. Dia mulai mencuri, suka berjalan sambil menggumam sendiri, dan membuat bunyi berkumur. Maka mereka memanggilnya Gollum, dan mengutuknya, menyuruhnya pergi jauh; neneknya, yang menginginkan kedamaian, mengasingkannya dari keluarga dan mengusirnya dari rumah.
"Dia mengembara dalam kesepian, menangis sedikit karena kekejaman dunia, dan dia berkelana menyusuri Sungai, sampai tiba di sebuah sungai kecil yang mengalir turun dari pegunungan; ke sanalah dia pergi. Dia menangkap ikan di telaga-telaga yang dalam, dengan jari-jarinya yang tidak tampak, dan memakannya mentah-mentah. Suatu hari cuaca panas sekali, dan saat dia membungkuk di atas telaga, bagian belakang kepalanya serasa terbakar, dan cahaya menyilaukan dari dalam air memedihkan matanya yang basah. Dia terheran-heran, dia hampir lupa tentang Matahari. Lalu untuk terakhir kali dia menengadah dan mengayunkan tinjunya kepada Matahari.
"Tapi ketika dia menurunkan pandangan matanya, di kejauhan tampak olehnya puncak Pegunungan Berkabut, dari mana aliran sungai berasal. Dan terpikir olehnya, 'Akan sejuk dan dingin di bawah pegunungan itu. Di sana Matahari tak bisa melihatku. Akar-akar pegunungan itu pasti benar-benar akar; pasti banyak rahasia hebat terkubur di sana, yang belum ditemukan sejak awal.'
"Maka dia melanjutkan perjalanannya di malam hari ke dataran tinggi, dan dia menemukan sebuah gua kecil tempat aliran sungai kecil itu berasal; bagai seekor belatung, dia menyelinap masuk ke dalam jantung perbukitan, dan lenyap sama sekali. Cincin itu masuk ke dalam kegelapan bersamanya, dan bahkan pembuatnya sendiri, ketika kekuatannya mulai tumbuh lagi, tak tahu sedikit pun kabar tentang cincin itu."
"Gollum!" seru Frodo. "Gollum? Maksudmu Gollum yang dulu ditemui Bilbo? Betapa menjijikkan!"
"Menurutku kisah itu sedih," kata Gandalf, "dan itu bisa saja terjadi pada orang lain, bahkan pada beberapa hobbit yang kukenal."
"Aku tak bisa percaya Gollum bersanak dengan para hobbit, walau hanya sanak jauh sekalipun," kata Frodo agak panas. "Gagasan yang buruk sekali!"
"Tapi itu benar," jawab Gandalf. "Tentang asal-usul mereka, setidaknya aku tahu lebih banyak daripada kaum hobbit sendiri. Dan bahkan cerita Bilbo menunjukkan ikatan persaudaraan di antara mereka. Banyak hal yang sangat mirip dalam latar belakang benak dan ingatan mereka. Mereka saling mengerti dengan baik, jauh lebih baik daripada seorang hobbit bisa memahami seorang Kurcaci, atau Orc, atau bahkan Peri. Pikirkan teka-teki yang sama-sama mereka ketahui, sebagai contoh."
"Ya," kata Frodo. "Tapi bangsa-bangsa lain juga suka main teka-teki dari jenis yang sama. Dan kaum hobbit tidak pernah menipu. Gollum berniat menipu. Dia terus berusaha membuat Bilbo tidak waspada. Aku yakin watak jahatnyalah yang mendorongnya memulai permainan yang kira-kira bisa memberinya seorang korban yang mudah, tapi tidak bakal merugikannya seandainya dia kalah."
"Kurasa itu benar sekali," kata Gandalf. "Tapi ada satu hal lain di dalamnya, yang belum kausadari. Bahkan Gollum tidak sepenuhnya hancur. Terbukti dia lebih tahan banting daripada yang bisa diduga salah seorang kaum Bijak sekalipun-seperti yang bisa diduga seorang hobbit. Ada sudut kecil di benaknya yang masih miliknya sendiri, dan seberkas cahaya masuk ke dalamnya, seperti melalui celah di kegelapan: cahaya dari masa lalu. Kurasa mungkin menyenangkan mendengar suara ramah lagi, yang menimbulkan ingatan tentang angin, pohon, matahari di atas rumput, dan hal-hal lain yang sudah terlupakan.
"Tapi, pada akhirnya, itu hanya membuat bagian dirinya yang jahat semakin marah kecuali bila bagian yang jahat itu bisa dikalahkan. Bisa disembuhkan." Gandalf mendesah. "Sayang! Kecil sekali harapan untuk itu baginya. Tapi bukan sama sekali tidak ada harapan. Tidak, meski dia sudah sekian lama memiliki Cincin itu, hampir sepanjang ingatannya. Sudah lama sekali dia tidak lagi memakainya: dalam kegelapan, cincin itu jarang dibutuhkan. Jelas dia tidak pernah 'meredup'. Dia masih kurus dan liat. Tapi benda itu sudah menguasai pikirannya, tentu saja, dan siksaannya sudah hampir tak tertahankan.
"Semua 'rahasia besar' yang dikiranya ada di bawah pegunungan ternyata hanya malam kosong: tak ada lagi yang bisa ditemukan, tak ada lag, yang berharga untuk dilakukan, hanya makan makanan menjijikkan dengan sembunyi-sembunyi dan ingatan penuh dendam. Dia sangat menderita. Dia benci kegelapan, dan terlebih lagi membenci cahaya: dia benci semuanya, dan Cincin itu yang paling dibencinya."
"Apa maksudmu?" kata Frodo. "Bukankah Cincin itu kesayangannya dan satu-satunya yang dia pedulikan? Kalau dia membencinya, mengapa dia tidak membuangnya, atau pergi meninggalkannya?"
"Seharusnya kau mulai mengerti, Frodo, setelah semua yang kaudengar," kata Gandalf. "Dia membenci dan mencintai cincin itu, seperti dia membenci dan mencintai dirinya sendiri. Dia tak bisa membuangnya. Dia tak punya kemauan tersisa untuk itu."
"Cincin Kekuasaan itu mengendalikan dirinya sendiri, Frodo. Dia bisa melepaskan diri dengan lick tapi pemiliknya tidak akan pernah meninggalkannya. Paling-paling si pemilik hanya bermain-main dengan gagasan untuk menyerahkannya pada orang lain-itu pun hanya pada tahap awal, ketika cincin itu baru mulai menancapkan pengaruhnya. Setahuku sepanjang sejarah hanya Bilbo yang benar-benar melepaskannya. Itu pun dengan pertolonganku. Bahkan saat itu pun dia tak mau begitu saja menyerahkannya, atau melepaskannya. Bukan Gollum, Frodo, tapi Cincin itu sendiri yang menentukan segala sesuatunya. Cincin itu yang meninggalkannya."
"Apa? Tepat pada waktunya untuk bertemu Bilbo?" kata Frodo. "Tidakkah seorang Orc lebih sesuai untuknya?"
"Ini bukan masalah main-main," kata Gandalf. "Bukan untukmu. Ini peristiwa paling aneh dalam seluruh riwayat Cincin tersebut, sejauh itu: kedatangan Bilbo tepat pada waktu itu, dan bagaimana tangannya tepat menyentuh cincin itu, dalam kegelapan.
"Ada lebih dari satu kekuatan yang bekerja, Frodo. Cincin itu sedang berusaha kembali ke majikannya. Dia terlepas dari tangan Isildur dan mengkhianatinya; lain, ketika ada kesempatan, dia menjerat Deagol yang malang, dan membuatnya terbunuh; setelah itu dia melahap Gollum. Namun kemudian Gollum sudah tak bisa dimanfaatkan lagi: Gollum terlalu kecil dan licik; selama cincin itu tetap bersamanya, dia takkan pernah meninggalkan telaganya yang dalam. Jadi, sekarang, saat majikannya sudah bangkit kembali dan mengirimkan pikiran jahatnya dari Mirkwood, dia meninggalkan Gollum. Tapi justru dia dipungut oleh orang yang paling tak terduga yang bisa terbayang: Bilbo dari Shire!
"Di balik itu ada kekuatan lain yang bekerja, di luar rencana si pembuat Cincin. Aku hanya bisa mengatakan bahwa memang Bilbo sudah ditakdirkan untuk menemukan Cincin itu, dan bukan oleh pembuatnya. Dalam hal itu, berarti kau juga sudah ditakdirkan memilikinya. Ini mungkin bisa membangkitkan semangatmu."
"Tidak," kata Frodo. "Meski aku tidak yakin memahamimu. Tap, bagaimana kau belajar semua tentang Cincin ini, dan tentang Gollum? Apa kau benar-benar tahu semuanya, atau hanya masih menduga-duga?"
Gandalf memandang Frodo, matanya bersinar-sinar. "Aku sudah tahu banyak, dan aku belajar banyak," jawabnya. "Tapi aku tidak akan menceritakan semua tindakanku kepadamu. Sejarah Elendil dan Isildur dan Cincin Utama sudah dikenal semua kaum Bijak. Cincinmu terbukti sebagai Cincin Utama dari tulisan api-nya saja, terlepas dari bukti-bukti lain."
"Dan kapan kau menemukan itu?" Frodo menyela.
"Baru saja, di ruangan ini, tentu," jawab Gandalf tajam. "Tapi aku sudah menduga akan menemukan bukti itu. Aku sudah kembali dari perjalanan-perjalanan gelap dan pencarian panjang untuk melakukan ujian terakhir itu. Itu bukti terakhir, dan sekarang semuanya sudah jelas. Mereka-reka bagian Gollum dan mencocokkannya ke dalam celah sejarah membutuhkan sedikit pemikiran. Awalnya aku memang sekadar menduga-duga tentang Gollum, tapi sekarang aku sudah tidak menduga-duga lagi. Aku sudah tahu. Aku sudah bertemu dengannya."
"Kau bertemu Gollum?" seru Frodo tercengang.
"Ya. Itu jelas perlu, kalau bisa. Dulu aku pernah mencobanya, tapi baru belakangan ini akhirnya aku berhasil."
"Jadi, apa yang terjadi setelah Bilbo lolos darinya? Kau tahu ceritanya?"
"Tidak begitu jelas. Yang kuceritakan padamu hanyalah apa-apa yang mau dibeberkan Gollum-meski ceritanya tidak persis seperti yang kusampaikan padamu. Gollum itu pembohong, dan kita hams menyaring kata-katanya. Misalnya saja, dia menyebut Cincin itu sebagai 'hadiah ulang tahun'-nya, dan dia bertahan pada versinya itu. Dia bilang dia mendapatkannya dari neneknya, yang punya banyak benda indah semacam itu. Kisah yang konyol. Aku percaya nenek Smeagol seorang pemimpin keluarga, seorang yang agung dengan caranya sendiri, tapi tak masuk akal kalau mengatakan dia punya banyak cincin Peri, dan bahwa neneknya membagi-bagikan cincin-cincin itu, itu bohong. Tapi ada sepercik kebenaran dalam kebohongan itu.
"Pembunuhan Deagol menghantui Gollum, dan dia sudah membangun pertahanannya, mengulangi terus ceritanya kepada 'cincin tersayang'-nya, sambil mengunyah tulang dalam kegelapan; sampai dia hampir-hampir mempercayai ceritanya sendiri. Memang saat itu ulang tahunnya. Deagol memang seharusnya memberikan cincin itu kepadanya. Ternyata cincin itu memang muncul sebagai hadiah ulang tahunnya Itu memang hadiah ulang tahunnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
"Aku berusaha bersabar semampuku, tapi kebenarannya sangat Penting, dan akhirnya aku terpaksa bersikap keras. Kuancam dia dengan kengerian akan api, dan kuperas keluar cerita sebenarnya, sedikit demi sedikit, dengan banyak sedu-sedan dan geraman. Dia menganggap orang-orang salah paham terhadapnya dan telah bersikap jahat pada dirinya. Tapi akhirnya dia menceritakan seluruh kisahnya hanya sejauh akhir permainan Teka-Teki dan pelarian Bilbo dan setelah itu dia tidak mau mengungkapkan lebih banyak lagi, kecuali dengan petunjuk-petunjuk gelap. Dia punya ketakutan lain yang lebih besar daripada ketakutannya akan diriku. Dia bergumam bahwa dia akan mengambil kembali miliknya. Orang-orang akan melihat nanti, apakah dia akan membiarkan saja dirinya ditendang, didorong ke dalam lubang, lalu dirampok. Gollum sekarang punya sahabat-sahabat baik, sangat baik dan sangat kuat. Mereka akan membantunya. Baggins akan membayar mahal. Itu pikirannya yang utama. Dia membenci Bilbo dan mengutuknya. Selain itu, dia tahu dari mana asal Bilbo."
"Tapi bagaimana dia bisa tahu itu?" tanya Frodo.
"Well, tentang nama, bodohnya Bilbo sendiri yang memberitahukannya pada Gollum; setelah itu, tidak sulit untuk menemukan negerinya, begitu Gollum keluar. Oh ya, dia keluar. Kerinduannya pada Cincin itu ternyata lebih kuat daripada ketakutannya pada Orc, atau bahkan cahaya. Setelah setahun-dua tahun, dia meninggalkan pegunungan. Meski dia masih terikat pada hasrat untuk memilikinya, Cincin itu tidak lagi menggerogotinya; dia mulai pulih sedikit. Dia merasa tua, amat sangat tua, tapi ketakutannya berkurang, dan dia lapar.
"Cahaya, cahaya Matahari dan Bulan, masih ditakuti dan dibencinya, dan akan begitu selamanya, kukira; tapi dia cerdik. Dia menemukan bahwa dia bisa bersembunyi dari cahaya siang dan cahaya bulan, berjalan cepat dan tak terdengar di larut malam dengan matanya yang dingin dan pucat, dan bisa menangkap makhluk-makhluk kecil yang tidak waspada. Dia semakin kuat dan berani dengan makanan dan udara baru. Dia berhasil masuk ke Mirkwood, sebagaimana bisa did uga."
"Di sanakah kau bertemu dengannya?" tanya Frodo.
"Aku melihatnya di sana," jawab Gandalf, "tapi sebelum itu dia sudah mengembara jauh sekali, mengikuti jejak Bilbo. Sulit sekali memperoleh informasi pasti darinya, karena pembicaraannya selalu dipotong oleh makian dan ancaman. 'Ada apa di dalam saku bajunya?' katanya. 'Dia tidak man bilang, heh, Sayang? Penipu kecil. Bukan pertanyaan yang adil. Dia lebih dulu menipu, benar. Dia melanggar aturan. Seharusnya kita mencekiknya, ya, Sayang. Dan kita akan mencekiknya, Sayang!'
"Itu contoh omongannya. Kurasa kau tidak bakal mau mendengar lebih dari itu. Aku sangat letih mendengarnya. Tapi dari celotehan-celotehan yang dikeluarkannya di antara geramannya, aku menyimpulkan bahwa dia sudah pergi ke Esgaroth, dan bahkan ke jalan-jalan di Dale, mendengarkan diam-diam dan mengintip. Well, berita tentang peristiwa-peristiwa besar menyebar jauh dan luas di Belantara, banyak yang sudah mendengar nama Bilbo dan tahu dari mana asalnya. Kami tidak merahasiakan perjalanan pulang kami ke rumahnya di Barat. Dengan telinganya yang tajam, Gollum akan segera mendapatkan keterangan yang diinginkannya."
"Kalau begitu, kenapa dia tidak meneruskan mengikuti jejak Bilbo?" tanya Frodo. "Kenapa dia tidak datang ke Shire?"
"Ah," kata Gandalf, "ini dia. Kukira Gollum berusaha. Dia pergi dan datang ke arah barat, sejauh Sungai Besar. Tapi kemudian dia menyimpang. Aku yakin dia bukannya enggan menempuh jarak jauh. Bukan, ada hal lain yang menariknya pergi. Begitulah menurut teman-temanku, mereka yang memburu Gollum untukku.
"Para Peri Hutan yang pertama menemukan jejaknya; pekerjaan mudah bagi mereka, karena saat itu jejaknya masih segar. Melalui Mirkwood dan kembali lagi, meski mereka tak pernah berhasil menangkapnya. Hutan penuh dengan berita tentang dia, kisah-kisah mengerikan bahkan di antara para binatang dan burung. Para penghuni hutan mengatakan ada teror baru di luar sana, hantu yang minum darah. Memanjat pohon untuk mencari sarang-sarang; merangkak ke dalam lubang-lubang untuk mencari anak-anak binatang; dia menyelinap melalui jendela-jendela untuk mencari keranjang bayi.
"Tetapi di perbatasan barat Mirkwood jejaknya menyimpang ke arah lain. Jejaknya mengembara ke arah selatan, keluar dari penglihatan para Peri Hutan, dan lenyap. Lalu aku membuat kesalahan besar. Ya, Frodo, dan bukan yang pertama, meski aku khawatir mungkin akan terbukti sebagai yang paling berat. Aku membiarkannya. Aku membiarkan dia pergi; karena masih banyak hal lain yang harus kupikirkan saat itu, dan aku masih merppercayai pengetahuan Saruman.
"Yah, itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku sudah membayarnya sejak itu, dengan banyak hari-hari gelap dan berbahaya. Jejaknya sudah dingin ketika aku mulai mengikutinya lagi, setelah Bilbo pergi dari sini. Dan pencarianku pasti akan sia-sia, kalau bukan karena bantuan seorang sahabat: Aragorn, pengembara dan pemburu terbesar abad ini di dunia. Bersama-sama kami mencari Gollum di seantero Belantara, tanpa harapan, dan tanpa hasil. Tapi akhirnya, ketika aku sudah menghentikan perburuan dan pergi ke wilayah lain, Gollum ditemukan. Sahabatku datang kembali dari bahaya besar, sambil membawa makhluk menyedihkan itu bersamanya.
"Apa yang sudah dilakukannya, dia tak mau bilang. Dia hanya menangis dan menyebut kami kejam, dengan banyak gollum di tenggorokannya; ketika kami mendesaknya, dia merengek dan membungkuk, dan menggosok tangannya yang panjang, menjilati jemarinya seolah terasa pedih, seakan-akan dia ingat suatu siksaan lama. Tapi aku tak punya keraguan lagi: dia sudah berjalan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, mil demi mil, ke selatan, dan akhirnya tiba di Negeri Mordor."
Keheningan yang terasa menekan menyelimuti ruangan itu. Frodo bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Bahkan di luar segalanya terasa sunyi. Tak terdengar lagi bunyi gunting Sam.
"Ya, ke Mordor," kata Gandalf. "Aduh! Mordor menarik semua hal yang keji, dan Kekuasaan Gelap mengerahkan kemampuannya untuk mengumpulkan mereka semua di sana. Cincin Musuh juga akan meninggalkan jejaknya, membuatnya terbuka untuk panggilan itu. Dan semua orang berbisik tentang Bayangan baru di Selatan, serta kebenciannya kepada Barat. Di sanalah teman-temannya yang baru, yang akan membantunya membalas dendam!
"Si tolol yang menyedihkan! Di negeri itu dia belajar terlalu banyak, terlalu banyak hingga membuatnya merasa tak nyaman. Dan cepat atau lambat, saat dia bersembunyi dan mengintai di perbatasan, dia akan tertangkap dan dibawa untuk penyelidikan. Begitulah jalannya, kukira. Ketika ditemukan, dia sudah lama berada di sana, dan sedang dalam perjalanan kembali. Untuk melakukan suatu mat jahat. Tapi itu sudah tidak penting sekarang. Kejahatan paling berat sudah dilakukannya.
"Ya, sayang sekali! Melalui dia, Musuh jadi tahu bahwa Cincin Utama sudah ditemukan lagi. Dia tahu di mana Isildur jatuh. Dia tahu di mana Gollum menemukan cincinnya. Dia tahu bahwa itulah Cincin Agung, karena dia memberikan umur panjang. Dia tahu itu bukan salah satu dari Tiga Cincin, karena mereka tak pernah hilang, dan mereka tidak tahan terhadap kejahatan. Dia tahu itu bukan salah satu dari Tujuh atau Sembilan cincin lainnya, karena keberadaan mereka diketahui. Dia tahu inilah Cincin Utama. Dan kurasa begitulah akhirnya dia mendengar tentang hobbit dan Shire.
"Shire-mungkin dia sedang mencarinya sekarang, kecuali kalau dia sudah menemukan letaknya. Bahkan, Frodo, aku cemas kalau-kalau dia sekarang menganggap penting nama Baggins yang semula tidak diperhatikannya."
"Mengerikan sekali!" seru Frodo. "Jauh lebih mengerikan daripada bayanganku yang paling buruk, setelah mendengar petunjuk dan peringatan-peringatanmu. Oh, Gandalf, sahabatku yang terbaik, apa yang harus kulakukan? Karena sekarang aku benar-benar takut. Apa yang harus kulakukan? Sayang sekali Bilbo tidak menusuk makhluk menjijikkan itu, ketika ada kesempatan!"
"Sayang? Perasaan Welas Asih-lah yang menahan tangannya. Perasaan Welas Asih dan Pengampunan: untuk tidak memukul bila tak perlu. Dan dia mendapatkan balasan yang pantas, Frodo. Percayalah, dia hanya sedikit menderita oleh kejahatan itu, dan akhirnya dia lolos, karena dia memulai kepemilikannya atas cincin itu dengan Rasa Welas Asih."
"Aku menyesal," kata Frodo. "Tapi aku ketakutan; dan aku tidak merasa kasihan sedikit pun pada Gollum."
"Kau belum melihatnya," sela Gandalf.
"Tidak, dan aku tak ingin," kata Frodo. "Aku tidak mengerti. Apa maksudmu bahwa kau dan kaum Peri membiarkan dia tetap hidup setelah semua tindakannya yang mengerikan itu? Boleh dibilang dia sama jahatnya dengan kaum Orc, dan dia seorang musuh. Dia pantas mati."
"Pantas mati! Menurutku memang begitu. Banyak yang hidup sepantasnya mail. Dan beberapa yang mati sepantasnya tetap hidup. Apa kau bisa memberikan kehidupan pada mereka? Jadi, jangan terlalu bersemangat memberi penilaian. Karena bahkan kaum Bijak tak bisa tahu semua tujuan akhir. Aku tidak menaruh harapan besar bahwa Gollum bisa disembuhkan sebelum dia mati, tapi kemungkinan itu ada. Dan dia terkait erat dengan nasib Cincin ini. Hatiku mengatakan dia masih akan memainkan peranan, entah untuk kebaikan atau kejahatan, sebelum kisah ini berakhir; dan kalau akhir itu sudah tiba, perasaan welas asih Bilbo mungkin akan menentukan nasib banyak pihak-termasuk nasibmu. Yang jelas, kami tidak membunuh Gollum. Dia sudah sangat tua dan -sangat sengsara. Para Peri Hutan memenjarakannya, tapi mereka memperlakukannya seramah mungkin."
"Bagaimanapun," kata Frodo, "meski Bilbo tak sampai hati membunuh Gollum, mestinya dia tidak mengambil Cincin itu. Mestinya dia tak pernah menemukan cincin itu, dan mestinya aku tidak memperolehnya! Kenapa kaubiarkan aku menyimpannya? Kenapa kau tidak menyuruhku membuangnya, atau... atau menghancurkannya?"
"Membiarkanmu? Menyuruhmu?" kata penyihir itu. "Apa kau tidak mendengarkan kata-kataku tadi? Apa yang ada dalam pikiranmu tidak sama dengan apa yang kauucapkan. Tentang masalah membuangnya, itu jelas salah. Cincin-Cincin ini punya cara ampuh untuk ditemukan. Di tangan yang jahat, dia bisa sangat berbahaya. Paling buruk, dia mungkin jatuh ke tangan Musuh. Dan itu akan terjadi; karena ini Cincin Utama, dan Musuh sedang memakai seluruh kekuatannya untuk menemukan Cincin ini-, atau menariknya kepadanya.
"Memang cincin ini sangat berbahaya bagimu, Frodo; dan itu sangat menyusahkan hatiku. Tapi begitu banyak yang dipertaruhkan, sehingga aku harus mengambil risiko—meski begitu, ketika aku sedang pergi jauh, selalu ada mata-mata yang waspada untuk menjaga Shire ini. Selama kau tidak memakainya, kupikir Cincin ini tidak akan mempunyai pengaruh kuat atas dirimu, tidak untuk kejahatan, setidaknya untuk waktu lama. Dan kau perlu ingat bahwa sembilan tahun yang lalu, ketika terakhir aku melihatmu, aku baru tahu sedikit sekali dengan jelas."
"Tapi mengapa tidak menghancurkannya? Katamu seharusnya cincin ini sudah lama dihancurkan!" seru Frodo lagi. "Seandainya kau memperingatkanku, atau mengirimkan pesan, aku pasti sudah membuangnya."
"Betulkah? Bagaimana kau akan melakukan itu? Apa kau sudah pernah mencoba?"
"Belum. Tapi kupikir kita bisa memukulnya dengan palu, atau meleburnya."
"Coba saja!" kata Gandalf. "Cobalah sekarang!"
Frodo mengeluarkan lagi Cincin itu dari saku celananya dan memandangnya. Sekarang benda itu tampak polos dan licin, tanpa tanda atau apa pun yang terlihat. Emasnya kelihatan sangat indah dan murni, dan di mata Frodo warnanya begitu kaya dan indah, dan betapa sempurna lingkarannya. Benda mengagumkan yang sangat berharga. Tadi, ketika mengeluarkannya, ia berniat melemparkannya ke dalam bagian api yang paling panas. Tapi sekarang ia sadar bahwa ia tak bisa melakukannya, tidak tanpa perjuangan berat. Ia menimbang-nimbang Cincin aku di tangannya, bimbang, dan memaksa dirinya mengingat semua yang diceritakan Gandalf; dengan kemauan keras ia bergerak, seolah hendak melemparkannya—tapi ia menyadari bahwa ia justru memasukkan cincin aku kembali ke sakunya.
Gandalf tertawa sedih. "Kaulihat? Kau juga sudah tak bisa melepaskannya begitu saja, Frodo, dan tak punya kemauan untuk menghancurkannya. Dan aku tak bisa 'menyuruhmu'—kecuali dengan paksaan, yang akan mematahkan pikiranmu. Tapi untuk mematahkan Cincin itu tidak bisa dengan kekuatan fisik. Sekalipun kau mengambilnya dan memukulnya dengan palu godam, takkan ada cacatnya. Cincin itu tak bisa dirusak oleh tanganmu, maupun tanganku.
"Apimu yang kecil tentu saja tak bisa melebur emas biasa sekalipun. Cincin ini sudah melewatinya tanpa cedera, bahkan tidak sampai panas. Tapi tak ada bengkel pandai besi di Shire yang bisa mengubahnya. Bahkan landasan dan tungku para Kurcaci pun tak bisa. Konon hanya api naga yang bisa melebur dan melahap Cincin-Cincin Kekuasaan ini, tapi kini sudah tidak ada naga di dunia yang mempunyai api cukup panas; dan belum pernah ada naga, tidak juga Ancalagon si Hitam, yang bisa mencederai Cincin Utama, Cincin Penguasa ini, karena dia dibuat oleh Sauron sendiri.
"Hanya ada satu cara: menemukan Celah Ajal di kedalaman Orodruin, Gunung Api, dan melemparkan Cincin aku ke dalamnya, kalau benar-benar mau dihancurkan, agar dia berada di luar jangkauan Musuh untuk selamanya."
"Aku benar-benar ingin menghancurkannya!" seru Frodo. "Atau, yah, menyuruh menghancurkannya. Aku tidak cocok untuk pencarian berbahaya. Seandainya aku tak pernah melihat Cincin ini! Mengapa dia datang padaku? Mengapa aku yang dipilih?"
"Pertanyaan seperti itu tak bisa dijawab," kata Gandalf. "Kau harus yakin itu bukan karena suatu kelebihan yang tidak dipunyai orang lain: bukan karena kekuatan atau kebijakan, setidaknya. Tapi karena kau sudah dipilih, dan karenanya kau harus menggunakan kekuatan dan kecerdasan yang kaumiliki."
"Tapi aku hanya punya sedikit sekali dari keduanya! Kau bijaksana dan kuat. Apa kau tidak man mengambil Cincin ini?"
"Tidak!" sent Gandalf, sambil melompat berdiri. "Dengan kekuatan itu, kekuasaanku bakal terlalu besar dan mengerikan. Dan melalui aku, Cincin itu akan memperoleh kekuatan lebih besar dan lebih mematikan." Mata Gandalf berkilat-kilat dan wajahnya bercahaya, seolah ada api memancar dari dalam dirinya. "Jangan menggodaku! Karena aku tak ingin jadi seperti Penguasa Kegelapan. Walau Cincin itu memasuki hatiku melalui jalan welas asih, welas asih kepada kelemahan dan hasrat kekuatan untuk melakukan kebajikan. Jangan goda aku! Aku tak berani mengambilnya, walau untuk mengamankannya sekalipun; tanpa menggunakannya. Hasrat untuk menggunakannya akan terlalu besar untuk kulawan. Padahal aku membutuhkan seluruh kekuatanku, karena banyak bahaya di depanku."
Gandalf berjalan ke jendela, menyibakkan tirai-tirai dan penutup Jendela. Cahaya matahari mengalir kembali ke dalam ruangan. Sam melewati jalan setapak di luar sambil bersiul. "Dan kini," kata penyihir itu, berbicara lagi kepada Frodo, "keputusan ada di tanganmu. Tapi aku akan selalu membantumu." Ia meletakkan tangannya di bahu Frodo. "Aku akan membantumu menanggung beban ini, selama dia menjadi bebanmu. Tapi kita harus segera bertindak. Musuh sudah mulai bergerak."
Ada keheningan lama sekali. Gandalf duduk kembali dan mengisap pipanya, seolah termenung. Matanya seakan terpejam, tapi dari bawah kelopak matanya ia memperhatikan Frodo dengan tajam. Frodo terpaku menatap bara api di pendiangan, sampai pemandangan itu memenuhi seluruh pandangannya, dan ia seolah sedang melihat ke dalam sumur api yang dalam. Ia sedang memikirkan Celah Ajal dan kengerian Gunung Api.
"Well!" kata Gandalf akhirnya. "Apa yang kaupikirkan? Apa kau sudah memutuskan akan berbuat apa?"
"Belum!" jawab Frodo, tersadar kembali dari kegelapan; dengan kaget ia menyadari bahwa hari belum gelap, dan dari jendela ia bisa melihat kebun yang disinari cahaya matahari. "Atau mungkin, sudah. Sejauh yang kupahami dari ucapanmu, kurasa aku harus menyimpan Cincin ini dan menjaganya, setidaknya untuk sementara, apa pun pengaruhnya padaku."
"Apa pun pengaruhnya, akan berjalan lambat, lambat ke arah kejahatan, kalau kau menyimpannya dengan niat seperti itu," kata Gandalf.
"Mudah-mudahan begitu," kata Frodo. "Tapi kuharap kau bisa segera menemukan penjaga lain yang lebih baik. Sementara itu, kelihatannya aku merupakan bahaya, bahaya bagi semua yang hidup di dekatku. Aku tak bisa menyimpan Cincin itu dan tetap tinggal di sini. Seharusnya aku meninggalkan Bag End, meninggalkan Shire, meninggalkan semuanya dan pergi," Frodo mengeluh.
"Aku ingin menyelamatkan Shire ini, kalau bisa-meski kadang-kadang kupikir penduduknya terlalu bodoh dan menjemukan, dan mungkin bagus juga kalau mereka kena gempa bumi atau diserang naga-naga. Tapi sekarang aku tidak merasa seperti itu. Aku menyadari bahwa selama Shire kutinggal dalam keadaan aman dan nyaman, aku akan merasa lebih senang dalam pengembaraanku: aku tahu bahwa ada pertahanan kuat, meski kakiku tidak menginjak Shire lagi.
"Tentu saja, kadang-kadang terpikir olehku untuk pergi, tapi kubayangkan kepergianku seperti semacam liburan, serangkaian petualangan seperti pengembaraan Bilbo, atau bahkan lebih bagus, yang berakhir dengan tenteram. Tapi itu akan berarti pengucilan, pelarian dari satu bahaya ke dalam bahaya lainnya, menarik bahaya menguntitku. Dan aku harus pergi sendirian, kalau ingin menyelamatkan Shire. Tapi aku merasa sangat kecil dan terasing, dan yah... putus asa. Musuh sangat kuat dan mengerikan."
Frodo tidak mengatakannya pada Gandalf, tapi sementara ia berbicara, suatu hasrat besar untuk mengikuti Bilbo menyala dalam hatinya-untuk mengikuti Bilbo, dan bahkan mungkin menemuinya lagi. Hasrat itu begitu kuat, sampai-sampai mengalahkan ketakutannya: hampir saja ia lari keluar saat itu juga, melintasi jalan tanpa mengenakan topi, seperti pernah dilakukan Bilbo di suatu pagi lama berselang.
"Frodo-ku yang baik!" seru Gandalf. "Hobbit benar-benar makhluk yang mengherankan, seperti sudah kukatakan sebelumnya. Kita bisa belajar segala sesuatu tentang watak dan adat-istiadat mereka dalam sebulan, tapi setelah seratus tahun pun mereka masih bisa memberi kejutan. Aku tidak berharap mendapat jawaban seperti itu, tidak juga darimu. Rupanya Bilbo tidak salah memilih ahli waris, meski dia tidak tahu betapa pentingnya hal ini. Aku khawatir kau benar. Cincin itu tak bisa tetap disembunyikan lebih lama lagi di Shire; demi keselamatanmu sendiri, dan juga yang lain, kau harus pergi dan menanggalkan nama Baggins. Nama itu tidak akan aman untuk dimiliki, di luar Shire atau di wilayah Belantara. Aku akan memberimu nama pengembaraan. Kalau kau pergi, pergilah dengan nama Mr. Underhill.
"Tapi menurutku kau tidak harus pergi sendirian. Tidak bila kau kenal seseorang yang bisa kaupercayai, yang bersedia menemanimu dan yang mau kaubawa ke dalam bahaya tak dikenal. Tapi hati-hatilah memilih pendamping! Dan hati-hatilah dengan ucapanmu, meski pada sahabat-sahabat terdekat! Musuh mempunyai banyak mata-mata dan banyak cara untuk menguping."
Mendadak Gandalf berhenti, seolah mendengarkan. Frodo sadar bahwa di dalam maupun.di luar rumah sangat hening. Gandalf merangkak ke salah satu sisi jendela, lalu ia meloncat ke arah kusen dan mengulurkan tangannya yang panjang ke luar, ke bawah. Terdengar pekikan, dan kepala Sam Gamgee muncul ditarik pada sebelah telinganya.
"Wah, wah, siapa sangka?" kata Gandalf. "Sam Gamgee rupanya? Sedang apa kau di situ?"
"Aduh, Mr. Gandalf, Sir!" kata Sam. "Tidak! Aku hanya sedang memangkas batas rumput di bawah jendela, sungguh." Ia memungut guntingnya sebagai bukti.
"Masa!" kata Gandalf keras. "Rasanya sudah cukup lama bunyi guntingmu tidak kedengaran. Sudah berapa lama kau menguping?"
"Menguping, Sir? Aku tidak paham, maaf. Tidak ada kuping di Bag End, sungguh."
"Jangan bodoh! Apa yang kaudengar, dan kenapa kau mendengarkan?" Mata Gandalf bersinar-sinar dan alisnya berdiri bagai sikat.
"Mr. Frodo, Sir!" kuak Sam. "Jangan biarkan dia menyakiti aku, Sir! Jangan biarkan dia mengubahku menjadi sesuatu yang tidak wajar! Ayahku yang tua akan sangat sedih. Aku tidak bermaksud jahat, aku bersumpah, Sir!"
"Dia tidak akan menyakitimu," kata Frodo, hampir tak bisa menahan tawanya, meski ia sendiri terkejut dan agak heran. "Dia tahu, seperti halnya aku, bahwa kau tidak bermaksud jahat. Tapi segeralah jawab pertanyaannya!"
"Yah, Sir," kata Sam sambil agak menggigil. "Aku mendengar banyak hal yang tidak kupahami betul, tentang musuh, dan cincin, dan Mr. Bilbo, Sir, dan naga-naga, gunung api, dan... dan kaum Peri, Sir. Aku mendengarkan tanpa sengaja, mudah-mudahan Anda paham. Sungguh, Sir, aku suka sekali dongeng-dongeng semacam itu. Dan '; aku percaya itu, meski apa pun yang dikatakan Ted. Kaum Peri, Sir! Aku sangat ingin melihat mereka. Apa Anda bisa membawaku melihat mereka, Sir, kalau Anda pergi?"
Mendadak Gandalf tertawa. "Masuklah!" ia berteriak; lalu ia mengulurkan-ulurkan kedua tangannya dan mengangkat Sam yang tercengang, dengan gunting dan pemotong rumputnya sekalian, melalui jendela dan meletakkannya berdiri di lantai. "Membawamu untuk melihat Peri, ya?" katanya, menatap Sam dengan tajam, tapi dengan senyuman bergetar pada wajahnya. "Jadi, kau mendengar Mr. Frodo akan pergi?"
"Aku dengar, Sir. Itu sebabnya aku tersedak: rupanya Anda mendengar itu. Aku berusaha tidak begitu, Sir, tapi tak sengaja keluar: aku resah sekali."
"Memang terpaksa, Sam," kata Frodo sedih. Mendadak ia menyadari bahwa kepergiannya dari Shire menyangkut banyak perpisahan menyakitkan, bukan sekadar berpamitan dengan kenyamanan Bag End yang sudah akrab. "Aku terpaksa pergi. Tapi"—dan ia menatap San, dengan tajam—"kalau kau benar-benar peduli padaku, kau akan merahasiakannya. Paham? Kalau tidak, kalau kau membocorkan sedikit saja apa yang kaudengar tadi, kuharap Gandalf mengubahmu menjadi kodok berbintik dan mengisi seluruh kebun dengan ular."
Sam bertekuk lutut sambil gemetar. "Bangkit, Sam!" kata Gandalf. "Aku sudah memikirkan sesuatu yang lebih baik daripada itu. Sesuatu untuk menutup mulutmu dan menghukummu karena menguping. Kau akan pergi bersama Mr. Frodo!"
"Aku, Sir!" teriak Sam, melompat-lompat seperti anjing yang diajak jalan-jalan. "Aku pergi melihat Peri dan sebagainya! Hore!" ia berteriak, lalu tangisnya meledak.
Buku 1 Bab 03
TIGA MENJADI ROMBONGAN
"Kau harus pergi diam-diam, dengan segera," kata Gandalf. Sudah dua atau tiga minggu berlalu, dan Frodo masih belum menunjukkan tanda-tanda akan pergi.
"Aku tahu. Tapi sangat sulit melakukan keduanya," keluhnya. "Kalau aku menghilang seperti Bilbo, kisah itu akan menyebar sangat cepat di seluruh Shire."
"Tentu saja kau jangan menghilang!" kata Gandalf. "Itu sama sekali tidak baik! Aku tadi bilang segera, bukan dalam sekejap. Kalau kau bisa menemukan cara untuk menyelinap keluar dari Shire tanpa diketahui secara luas, maka bolehlah kau menunda sebentar. Tapi jangan menunda terlalu lama."
"Bagaimana kalau musim gugur, pada atau setelah Ulang Tahun kami?" tanya Frodo. "Mungkin aku sudah siap saat itu."
Sejujurnya, Frodo enggan berangkat, setelah tiba saatnya kini. Bag End terasa jauh lebih nyaman daripada yang dirasakannya selama bertahun-tahun ini, dan ia ingin mengecap sebanyak mungkin musim panasnya yang terakhir di Shire. Saat musim gugur datang, ia tahu bahwa sebagian hatinya setidaknya akan lebih siap mengembara, seperti selalu terjadi di musim itu. Bahkan dalam hati ia sudah memutuskan akan pergi pada ulang tahunnya yang kelima puluh: bersamaan dengan ulang tahun Bilbo yang keseratus dua puluh delapan. Rasanya itu hari yang pantas untuk berangkat mengikutinya. Yang utama dalam benak Frodo adalah mengikuti Bilbo; itu satu-satunya yang membuat pikiran untuk meninggalkan Shire bisa ditanggungnya. Ia berpikir sesedikit mungkin tentang Cincin itu, dan ke mana benda itu akan menuntunnya. Tapi tidak semua pikirannya ia ceritakan pada Gandalf. Sulit menebak apa yang diduga oleh penyihir itu.
Gandalf memandang Frodo dan tersenyum. "Baiklah," katanya. "Kurasa itu cukup—tapi jangan lebih lama lagi. Aku sudah sangat cemas. Sementara itu, berhati-hatilah, dan jangan sampai membocorkan satu petunjuk pun ke mana kau akan pergi! Dan awasi Sam Gamgee agar dia tidak berbicara. Kalau sampai dia buka mulut, aku benar-benar akan mengubahnya menjadi kodok."
"Tentang ke mana aku pergi," kata Frodo, "ihl akan sulit dibocorkan, karena aku sendiri belum punya rencana jelas."
"Jangan bodoh begitu!" kata Gandalf. "Aku bukan memperingatkanmu agar tidak meninggalkan alamat di kantor pos! Tapi kau akan meninggalkan Shire-dan itu sebaiknya tidak diketahui, sampai kau sudah jauh. Dan kau harus pergi, atau setidaknya berangkat, entah ke Utara, Selatan, Barat, atau Timur dan arah itu benar-benar tidak boleh ketahuan."
"Aku sudah began asyik memikirkan akan meninggalkan Bag End, dan tentang berpamitan, sampai-sampai aku tidak mempertimbangkan arah kepergianku," kata Frodo. "Sebab ke mana aku harus pergi? Dan berdasarkan apa aku harus menentukan arah? Apa yang harus kucari? Bilbo pergi untuk menemukan harta, lalu kembali; tapi aku pergi untuk membuang sebuah harta, dan tidak kembali, sejauh yang bisa kupahami."
"Tapi kau tidak tahu apa yang bakal terjadi," kata Gandalf. "Begitu pula aku. Mungkin saja tugasmulah untuk menemukan Celah Ajal itu; tapi pencarian itu bisa juga untuk orang lain: aku tidak tahu. Setidaknya kau belum siap untuk jalan panjang itu."
"Memang belum!" kata Frodo. "Tapi, sementara itu, arah mana yang harus kuambil?"
"Menuju bahaya; tapi jangan gegabah, maupun terlalu langsung," jawab sang penyihir. "Kalau kau ingin nasihatku, pergilah ke Rivendell. Perjalanan itu tidak akan terlalu berbahaya, meski Jalan ke sana tidak semudah dulu, dan akan semakin buruk pada penghujung tahun."
"Rivendell!" kata Frodo. "Baiklah: aku akan ke timur, dan aku akan menuju Rivendell. Aku akan membawa Sam untuk melihat para Peri; dia pasti senang sekali." Frodo berbicara dengan ringan, tapi hatinya tiba-tiba tergerak oleh hasrat besar untuk melihat rumah Elrond Halfelven, dan menghirup udara lembah dalam itu, di mana banyak bangsa Peri masih hidup dalam damai.
Suatu senja di musim panas, sebuah berita mengejutkan sampai di Semak Ivy dan Naga Hijau. Raksasa-raksasa dan tanda-tanda lain di Perbatasan Shire dilupakan untuk hal-hal yang lebih penting: Mr. Frodo akan menjual Bag End, bahkan ia sudah menjualnya—pada keluarga Sackville-Baggins!
"Dengan harga pantas pula," kata beberapa orang. "Dengan harga murah sekali," kata yang lain, "dan itu mungkin sekali kalau pembelinya Mistress Lobelia." (Otho sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, pada usia 102 yang matang tapi penuh kekecewaan.)
Alasan Mr. Frodo menjual Bag End bahkan lebih banyak menimbulkan perdebatan daripada soal harganya. Beberapa memegang —didukung oleh anggukan dan gelagat tersamar dari Mr. Baggins sendiri—bahwa uang Frodo mulai habis: ia akan meninggalkan Hobbiton dan hidup sederhana dengan hasil penjualan rumahnya, di Buckland, di tengah saudara-saudaranya dan keluarga Brandybuck. "Sejauh mungkin dari keluarga Sackville-Baggins," tambah beberapa orang. Tetapi gagasan tentang kekayaan tak terhingga keluarga Baggins dari Bag End sudah begitu berakar, sehingga kebanyakan orang sulit mempercayai hal ini, lebih sulit daripada alasan atau bukan alasan yang bisa ditawarkan khayalan mereka: kebanyakan orang menganggap itu merupakan petunjuk tentang rencana terselubung Gandalf. Meski Gandalf diam-diam saja dan tidak berkeliaran di siang hari, umum sudah tahu bahwa ia sedang "bersembunyi di Bag End". Tapi entah apa pun kaitan kepindahan ini dengan rencana-rencana sihir Gandalf, satu hal sudah jelas: Frodo Baggins akan kembali ke Buckland.
"Ya, aku akan pindah musim gugur ini," kata Frodo. "Merry Brandybuck sedang mencarikan lubang kecil yang nyaman untukku, atau mungkin sebuah rumah kecil."
Sebenarnya dengan bantuan Merry ia sudah memilih dan membeli sebuah rumah kecil di Crickhollow, di daerah luar Bucklebury. Pada semua orang, kecuali Sam, ia berpura-pura akan tinggal di sana untuk seterusnya. Keputusan untuk pergi ke timur telah menimbulkan gagasan tersebut; karena Buckland ada di perbatasan timur Shire, dan karena semasa kanak-kanak ia tinggal di sana, tidak akan terlalu mencurigakan seandainya ia mengatakan akan kembali ke sana.
Gandalf tinggal di Shire selama lebih dari dua bulan. Lalu suatu sore, di akhir Juni, segera setelah rencana Frodo diatur, mendadak ia mengumumkan bahwa ia akan pergi lagi pagi berikutnya. "Hanya sebentar, kuharap," katanya. "Tapi aku akan keluar dari perbatasan selatan untuk mencari berita, kalau bisa. Aku sudah terlalu lama memangur.”
Ia berbicara dengan ringan, tapi menurut Frodo ia kelihatan agak cemas. "Ada sesuatu?" tanyanya.
"Tidak; tapi aku mendengar sesuatu yang membuatku cemas dan perlu diselidiki. Kalau aku merasa kau perlu segera berangkat, aku akan cepat-cepat kembali, atau setidaknya mengirimkan pesan. Sementara itu, tetaplah pada rencanamu; tapi tingkatkan kewaspadaanmu, terutama dengan Cincin itu. Aku ingin menekankan sekali lagi: jangan gunakan!"'
Gandalf pergi saat fajar. "Aku akan kembali sewaktu-waktu," katanya. "Paling lambat aku akan kembali untuk pesta perpisahanmu. Kupikir mungkin kau akan membutuhkan aku untuk mendampingimu di Jalan."
Mulanya Frodo resah sekali, dan sering bertanya dalam hati, apa yang sudah didengar Gandalf; tapi kemudian kegelisahannya mereda, dan cuaca bagus membuat ia lupa sejenak akan kesulitannya. Shire belum pernah mengalami musim panas begitu indah, atau musim gugur yang begitu kaya: pohon-pohon sarat buah-buahan, madu menetes dari sarang lebah, dan tanaman jagung tinggi dan penuh.
Musim gugur sudah berlangsung lama ketika Frodo mulai cemas lagi tentang Gandalf. September sedang berlalu, dan masih belum ada berita darinya. Hari Ulang Tahun dan kepindahannya semakin dekat, dan Gandalf belum datang juga, atau mengirimkan pesan. Bag End mulai sibuk. Beberapa sahabat Frodo datang untuk tin-gal dan membantunya mengepak barang-barang: ada Fredegar Bolger dan Folco Boffin, dan tentu sahabat-sahabat dekatnya Pippin Took dan Merry Brandybuck. Bersama-sama mereka memporak-porandakan seluruh rumah itu.
Tanggal 20 September, dua kereta tertutup penuh muatan berangkat ke Buckland, mengantar perabot dan barang-barang yang tidak dijual oleh Frodo, ke rumahnya yang baru. Hari berikutnya Frodo benar-benar cemas, dan terus-menerus menunggu Gandalf. Kamis, pagi hari Ulang tahunnya, merekah dengan jernih dan indah seperti lama berselang, pada pesta besar Bilbo. Gandalf belum juga muncul. Senja hari itu Frodo mengadakan pesta perpisahannya: sederhana sekali, hanya makan malam untuk dirinya sendiri beserta keempat sahabatnya; tapi ia gelisah dan suasana hatinya tidak mendukung. Hatinya sangat susah, karena ia harus segera berpisah dengan sahabat-sahabat muda-nya. Ia bertanya-tanya bagaimana harus memberitahu mereka.
Namun keempat hobbit muda itu gembira sekali, dan pesta itu segera terasa meriah, meski Gandalf tidak hadir. Ruang makan kosong, hanya ada satu meja dan kursi-kursi, tapi hidangannya lezat, dan ada anggur bagus: anggur Frodo tidak termasuk barang yang dijual pada keluarga Sackville-Baggins.
"Apa pun yang terjadi dengan sisa barang-barangku, bila keluarga S.-Bs. sudah mencengkeramnya, setidaknya aku sudah menemukan rumah yang bagus untuk ini!" kata Frodo sambil mengosongkan gelasnya. Tetes terakhir Old Winyards.
Setelah menyanyikan banyak lagu, dan membahas banyak hat yang pernah mereka lakukan bersama, mereka bersulang untuk ulang tahun Bilbo, dan minum demi kesehatannya dan kesehatan Frodo, menurut kebiasaan Frodo. Lalu mereka keluar untuk menghirup udara segar dan melihat bintang-bintang, dan setelah itu pergi tidur. Pesta Frodo sudah berakhir, dan Gandalf belum datang juga.
Pagi berikutnya mereka sibuk mengisi sebuah kereta lain dengan sisa muatan. Merry mengawasi, dan pergi bersama Fatty (Fredegar Bolger). "Mesti ada yang berangkat lebih dulu, untuk menyiapkan rumah itu sebelum kau datang," kata Merry. "Nah, sampai ketemu—lusa, kalau kau tidak tidur di jalan!"
Setelah makan siang Folco pulang, tapi Pippin tetap tinggal Frodo resah dan gelisah, sia-sia menunggu kedatangan Gandalf. Ia memutuskan menunggu sampai malam tiba. Setelah itu, kalau Gandalf ingin segera menemuinya, ia akan ke Crickhollow, dan mungkin ia akan sampai lebih dulu di sana. Karena Frodo akan berjalan kaki. Rencananya—dengan alasan untuk bersenang-senang dan karena ingin melihat Hobbiton untuk terakhir kali, serta banyak alasan lain-adalah berjalan kaki dari Hobbiton ke Bucklebury Ferry, sambil bersantai.
"Sekalian berlatih," kata Frodo, sambil memandang dirinya sendiri di cermin berdebu, di koridor yang sudah setengah kosong. Ia sudah cukup lama tidak berjalan-jalan jauh, dan bayangannya di cermin kelihatan agak lembek, pikirnya.
Setelah makan siang, keluarga Sackville-Baggins datang—Lobelia dan Lotho, putranya yang berambut warna pasir. Frodo jengkel sekali. "Akhirnya rumah ini menjadi milik kami!" kata Lobelia ketika masuk. Sikapnya tidak sopan; juga tidak seluruhnya benar, karena penjualan Bag End baru berlaku efektif setelah tengah malam. Tapi mungkin Lobelia bisa dimaafkan: ia sudah menunggu tujuh puluh tujuh tahun lebih lama dari yang diharapkannya untuk mendapatkan Bag End, dan kini ia sudah berusia seratus tahun. Pokoknya ia datang untuk mengawasi bahwa semua barang yang sudah dibayarnya ada di situ, tidak dibawa pergi; dan ia ingin mengambil kunci-kuncinya. Makan waktu cukup lama untuk memuaskannya, karena ia membawa daftar lengkap dan memeriksa semuanya. Akhirnya ia pergi bersama Lotho dan kunci cadangan, dengan janji bahwa kunci yang lain akan dititipkan di rumah keluarga Gamgee di Bagshot Row. Lobelia mendengus, sikapnya jelas-jelas menunjukkan bahwa menurut pendapatnya, keluarga Gamgee bisa saja merampok habis rumah itu di malam hari. Frodo tidak menawarinya teh.
Ia minum teh sendiri bersama Pippin dan Sam Gamgee di dapur. Sudah diumumkan secara resmi bahwa Sam akan ikut ke Buckland "untuk membantu Mr. Frodo dan merawat kebunnya"; si Gaffer setuju, meski ia tidak began senang membayangkan dirinya bertetangga dengan Lobelia.
"Hidangan terakhir kita di Bag End!" kata Frodo, sambil mendorong kursinya ke belakang. Mereka meninggalkan piring-piring kotor untuk dicuci Lobelia. Pippin dan Sam mengikat ketiga ransel dan menumpuknya di teras. Lalu Pippin pergi berjalan-jalan di kebun. Sam menghilang.
Matahari terbenam. Bag End tampak sedih dan suram, dan tidak rapi. Frodo mengelilingi ruangan-ruangan yang sudah dikenalnya, melihat cahaya matahari terbenam memudar pada dinding-dinding, dan bayang-bayang merangkak keluar dari sudut-sudut. Di dalam rumah, kegelapan mulai menebar. Ia keluar dan melangkah ke gerbang di ujung jalan, lalu menapaki jalan pendek melewati Jalan Bukit. Ia setengah berharap akan melihat Gandalf muncul dari balik cahaya senja.
Langit jernih dan bintang-bintang bersinar terang. "Malam ini akan cerah," ia berkata keras-keras. "Bagus untuk sebuah awal. Aku merasa ingin berjalan. Aku sudah tidak tahan tetap di sini. Aku akan . berangkat dan Gandalf terpaksa mengikuti aku." ia membalikkan badannya untuk kembali, lalu berhenti, karena ia mendengar suara-suara, tepat di tikungan di ujung Bagshot Row. Satu suara jelas suara Gaffer tua; yang lainnya suara asing dan agak tidak menyenangkan. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakannya, tapi ia mendengar jawaban si Gaffer yang terdengar agak melengking. Kedengarannya Pria tua itu kesal.
"Tidak, Mr. Baggins sudah pergi. Dia pergi pagi tadi, dan Sam-ku pergi bersamanya: pokoknya seluruh barangnya juga dibawa. Ya, sudah dijual dan dia pergi, kubilang. Kenapa? Wah, itu bukan urusanku atau urusanmu. Ke mana? Itu bukan rahasia. Dia pindah ke Bucklebury atau tempat semacamnya, jauh di sana. Ya... cukup jauh. Aku sendiri belum pernah pergi sejauh itu; banyak orang aneh di Buckland. Tidak, aku tidak bisa memberikan pesan. Selamat malam!"
Terdengar langkah kaki menuruni Bukit. Frodo agak heran, mengapa ia merasa sangat lega bahwa langkah-langkah itu tidak mendaki Bukit. "Mungkin aku sudah muak atas segala rasa ingin tahu orang tentang sepak terjangku," pikirnya. "Mereka semua begitu ingin tahu!" ia hampir saja mendatangi si Gaffer dan menanyakan siapa orang tadi; tapi ia membatalkan niatnya dan membalikkan badan, lalu dengan cepat berjalan kembali ke Bag End.
Pippin sedang duduk di atas ranselnya di teras. Sam tidak ada di sana. Frodo masuk ke dalam pintu yang gelap. "Sam!" panggilnya. "Sam': Sudah waktunya!"
"Datang, Sir!" terdengar jawaban dari dalam, lalu Sam muncul sambil menyeka mulutnya. Ia sudah berpamitan dengan tong bir di gudang bawah tanah.
"Semua sudah naik, Sam?" tanya Frodo.
"Ya, Sir. Sekarang aku pasti tahan, Sir."
Frodo menutup dan mengunci pintu yang bundar, lalu memberikan' kuncinya pada Sam. "Lari dan bawa ini ke rumahmu, Sam!" kata Frodo. "Lalu potong jalan lewat Row dan jumpai kami secepat mungkin, di gerbang di jalan luar padang rumput. Kita tidak akan melewati desa malam ini. Terlalu banyak telinga menguping dan mata mengintai." Sam lari kencang sekali.
"Nah, akhirnya kita berangkat!" kata Frodo. Mereka memanggul ransel dan meraih tongkat, dan berbelok menuju sisi barat Bag End. "Selamat tinggal!" kata Frodo, sambil memandang jendela-jendela yang gelap dan kosong. Ia melambaikan tangan, lalu berbalik dan (persis seperti Bilbo, seandainya ia tahu) bergegas mengikuti Peregrin, melewati jalan kebun. Mereka melompati tempat yang rendah di pagar semak di ujung dan berjalan ke padang rumput, masuk ke dalam kegelapan, bagai bunyi desir angin di rumput.
Di sisi barat kaki Bukit, mereka menjumpai gerbang yang membuka ke jalan sempit. Di sana mereka berhenti untuk menyetel tali ransel. Tak lama kemudian Sam muncul, berlari cepat terengah-engah; ranselnya yang berat diangkat tinggi di pundaknya, dan di kepalanya bertengger kantong tinggi tak berbentuk dari kain lakan, yang disebutnya topi. Dalam keremangan ia mirip sekali dengan Kurcaci.
"Aku yakin kau memasukkan barang-barang yang paling berat di ranselku," kata Frodo. "Aku kasihan kepada siput, dan semua yang memanggul rumah mereka di punggung."
"Aku masih bisa mengangkat lebih banyak, Sir. Ranselku cukup ringan," kata Sam dengan gagah berani dan tidak jujur.
"Tidak, kau tidak bisa, Sam!" kata Pippin. "Ini bagus untuknya. Ranselnya hanya berisi apa-apa yang dia suruh kita masukkan ke dalamnya. Akhir-akhir ini dia agak lamban, dan beban itu tidak akan terlalu berat baginya kalau dia sudah berjalan cukup jauh."
"Kalian mesti ramah pada hobbit tua ini!" tawa Frodo. "Aku akan setipis tongkat kayu willow sebelum sampai di Buckland. Tapi aku cuma bercanda tadi. Kurasa bebanmu memang terlalu berat, Sam. Akan kupertimbangkan nanti, saat mengepak lagi." Frodo memungut tongkatnya lagi. "Well, kita semua senang berjalan dalam gelap," katanya, "jadi marilah kita berjalan beberapa mil sebelum tidur."
Untuk beberapa saat mereka mengikuti jalan ke arah barat, kemudian meninggalkannya dan diam-diam masuk ke padang rumput ia-i. Me reka berbaris satu-satu melewati pagar-pagar tanaman dan deretan semak-semak rendah; malam gelap menyelimuti. Dalam jubah gelap mereka, ketiganya tidak kelihatan, seolah mereka semua mempunyai cincin sihir. Karena mereka semua hobbit, dan berusaha untuk diam, mereka tidak menimbulkan bunyi berisik yang bisa didengar para hobbit sekalipun. Bahkan binatang-binatang di padang dan hutan hampir tidak tahu mereka sedang lewat.
Setelah beberapa saat, mereka menyeberangi Air, sebelah barat Hobbiton, melalui jembatan papan sempit. Aliran sungai di tempat itu tidak lebih dari pita hitam yang berkelok-kelok, dibatasi pepohonan alder yang merunduk. Satu-dua mil lebih jauh ke selatan, mereka tergesa-gesa menyeberangi jalan besar dari Jembatan Brandywine; sekarang mereka berada di Tookland dan berbelok ke tenggara, menuju Green Hill Country. Saat mulai mendaki lereng-lerengnya yang pertama, mereka menoleh dan melihat lampu-lampu di Hobbiton berkelap-kelip di kejauhan, di lembah Air. Segera lembah itu lenyap di dalam lipatan tanah yang gelap, diikuti oleh Bywater di sebelah telaganya yang kelabu. Ketika cahaya dari pertanian terakhir sudah jauh di belakang, sambil mengintip dari antara pepohonan, Frodo membalikkan badan dan melambaikan tangan untuk berpamitan.
"Akan pernahkah aku memandang lembah itu lagi?" kata Frodo tenang.
Setelah berjalan kira-kira tiga jam, mereka beristirahat. Malam cerah> sejuk, dan berbintang, tetapi gumpalan-gumpalan kabut seperti asap merangkak ke atas lereng bukit dari sungai dan padang rumput. Pohon-pohon birch kurus yang bergoyang dalam angin sepoi di atas kepala mereka membentuk jaring hitam pada latar langit yang pucat. Mereka menyantap makan malam yang sangat sederhana (untuk ukuran hobbit), lalu meneruskan perjalanan. Segera mereka tiba di jalan sempit yang turun-naik, memudar kelabu di kegelapan di depan: jalan ke Woodhall dan Stock, dan Bucklebury Ferry. Jalan itu mendaki dari jalan utama di lembah Air, dan memutar menyusuri hamparan Green Hills, menuju Woody End, sudut liar Wilayah Timur.
Setelah beberapa saat, mereka terjun ke jalan setapak di antara pohon-pohon tinggi yang menggemersikkan daun-daun kering mereka di malam hari. Gelap sekali. Mula-mula mereka bercakap-cakap, atau menyenandungkan sebuah lagu bersama-sama, karena sekarang mereka sudah jauh dari telinga-telinga yang ingin tahu. Lalu mereka berjalan terus dalam keheningan, dan Pippin mulai tertinggal. Akhirnya, saat mereka mulai mendaki lereng terjal, ia berhenti dan menguap.
"Aku mengantuk sekali," katanya, "kurasa sebentar lagi aku bisa jatuh di jalan. Apa kalian akan tidur sambil jalan? Sudah hampir tengah malam."
"Kupikir kau suka berjalan dalam gelap," kata Frodo. "Tapi tak perlu terburu-buru. Merry menunggu kedatangan kita sekitar lusa; tapi itu berarti kita masih punya waktu hampir dua hari lagi. Kita akan berhenti di tempat pertama yang memungkinkan."
"Angin ada di Barat," kata Sam. "Kalau kita sampai di sisi lain bukit ini, kita akan menemukan tempat yang cukup terlindung dan hangat, Sir. Ada hutan cemara kering di depan sana, seingatku." Sam kenal baik wilayah dalam jarak dua puluh mil dari Hobbiton, tapi hanya sebatas itu pengetahuan ilmu buminya.
Sedikit melewati puncak bukit, mereka sampai di petak pepohonan cemara. Setelah meninggalkan jalan, mereka masuk ke dalam kegelapan pekat pepohonan yang berbau resin, dan mengumpulkan ranting-ranting mati serta buah cemara untuk membuat api. Tak lama kemudian, mereka sudah menyalakan api yang berderak ramai di kaki pohon cemara besar. Ketiganya duduk mengelilingi api untuk beberapa saat, sampai kepala mereka mengangguk-angguk. Lalu masing-masing meringkuk di sebuah lekukan akar pohon besar itu, dalam jubah dan selimut mereka, dan tak lama kemudian mereka sudah tertidur lelap. Mereka tidak berjaga; bahkan Frodo belum cemas akan bahaya, karena mereka masih berada di jantung Shire. Beberapa makhluk datang memandang mereka ketika api sudah padam. Seekor rubah yang sedang melintasi hutan berhenti sejenak untuk mengendus mereka.
"Hobbit!" pikirnya. "Hmm, apa lagi berikutnya? Aku sudah mendengar hal-hal aneh di negeri ini, tapi aku jarang mendengar ada hobbit tidur di luar, di bawah pohon. Tiga hobbit, lagi! Past' ada yang aneh di balik ini." ia benar sekali, tapi ia tak pernah tahu lebih dari itu.
Pagi datang, pucat dan lembap. Frodo bangun lebih dulu, dan menemukan punggung bajunya berlubang oleh akar pohon, dan lehernya kaku. "Berjalan demi kesenangan! Kenapa aku tidak memakai kereta saja?" pikirnya, seperti yang selalu dilakukannya pada awal perjalanan. "Dan semua tempat tidur buluku yang indah sudah dijual pada keluarga Sackville-Baggins! Akar-akar pohon ini pantas untuk mereka!" Ia meregangkan badannya. "Bangun, hobbit-hobbit!" teriaknya. "Ini pagi yang indah."
"Apanya yang indah?" kata Pippin, sambil mengintip dari balik selimutnya dengan satu mata. "Sam! Siapkan sarapan untuk jam setengah sepuluh! Apa kau sudah menghangatkan air mandi?"
Sam melompat bangun, matanya masih mengantuk. "Tidak, Sir, belum, Sir!" katanya.
Frodo menyentakkan selimut dari tubuh Pippin dan menggulingkannya, lalu ia berjalan ke pinggir hutan. Di sebelah timur, matahari sedang terbit merah dari balik kabut tebal yang menyelimuti dunia. Pohon-pohon musim gugur yang mendapat sentuhan merah keemasan bagaikan berlayar tanpa akar di lautan remang-remang. Sedikit di bawah Frodo, agak ke kiri, jalanan menurun curam masuk ke cekungan dan lenyap.
Ketika Frodo kembali, Sam dan Pippin sudah menyalakan api. "Air!" teriak Pippin. "Mana airnya?"
"Aku tidak menyimpan air di kantongku," kata Frodo.
"Kami pikir kau pergi mencari air," kata Pippin, yang sibuk menyusun makanan dan cangkir. "Sebaiknya kau pergi sekarang."
"Kau bisa ikut juga," kata Frodo, "dan membawa semua botol air." Ada sungai kecil di kaki bukit. Mereka mengisi botol-botol dan ceret kecil mereka di sebuah air terjun kecil yang airnya jatuh beberapa meter dari atas bebatuan kelabu yang menonjol. Dingin sekali, seperti es; mereka merepet dan terengah-engah saat membasuh wajah dan tangan.
Sudah lewat jam sepuluh ketika mereka selesai sarapan dan telah mengikat kembali ransel-ransel. Cuaca hari itu mulai bagus dan panas. Mereka melangkah menuruni lereng, dan menyeberangi aliran sungai yang masuk ke bawah jalan, lalu menaiki lereng berikutnya, dan turun-naik punggung bukit lain; saat itu jubah, selimut, air, makanan, dan perlengkapan lainnya sudah terasa berat membebani.
Perjalanan hari itu kelihatannya akan panas dan melelahkan. Namun setelah beberapa mil jalanan itu tidak lagi naik-turun: ia mendaki berkelok-kelok sampai ke puncak tebing, lalu siap turun untuk terakhir kali. Di depan mereka terlihat dataran rendah dengan bercak-bercak kecil pepohonan, yang di kejauhan melebur menjadi kabut hutan kecokelatan. Mereka memandang ke seberang Woody End, ke arah Sungai Brandywine. Jalanan di depan mereka berkelok-kelok seperti seutas tali.
"Jalanan ini seperti tak ada habisnya," kata Pippin, "tapi aku bakal habis kalau tidak istirahat. Sudah waktunya makan siang." ia duduk di tebing sisi jalan dan memandang ke timur, ke dalam keremangan tempat Sungai berada, dan ujung Shire tempat ia menghabiskan seluruh hidupnya. Sam berdiri di dekatnya. Matanya yang bulat terbuka lebar, karena ia memandangi negeri yang belum pernah dilihatnya, sampai ke ufuk baru.
"Apa kaum Peri tinggal di dalam hutan itu?" tanyanya.
"Aku belum pernah dengar itu," kata Pippin. Frodo diam. Ia juga sedang menatap ke arah timur, sepanjang jalan, seolah ia belum pernah melihatnya. Tiba-tiba ia berbicara dengan suara keras, tapi seolah hanya untuk dirinya sendiri, mengatakan perlahan-lahan,
Jalan ini tak ada habisnya
Dari pintu ternpat ia bermula.
Terbentang hingga di kejauhan sana,
Mesti kujalani sedapat aku bisa,
Kaki letih, tapi kuberjalan juga,
Sampai kudapati jalan yang lebih lega,
Di mana banyak jalur dan urusan bertemu.
Lalu ke mana? Tak tahulah aku.
"Itu seperti sajak Bilbo," kata Pippin. "Atau itu salah satu tiruanmu? Kedengarannya tidak terlalu membangkitkan semangat."
"Aku tidak tahu," kata Frodo. "Sajak itu datang padaku seolah aku yang menciptakannya; tapi mungkin dulu aku pernah mendengarnya. Memang sajak itu sangat mengingatkanku pada Bilbo di tahun-tahun terakhir sebelum dia pergi. Dia sering mengatakan bahwa hanya ada satu Jalan; bahwa jalan itu seperti sebuah sungai besar: mata airnya ada di setiap ambang pintu, dan setiap jalan adalah anak sungainya. 'Berbahaya sekali, Frodo, kalau keluar pintu,' begitu dia biasa berkata. 'Kalau kau masuk ke Jalan itu, dan kau tak bisa mengendalikan kakimu, tak bisa dipastikan ke mana kau akan digiringnya. Sadarkah kau, bahwa jalan ini melewati Mirkwood, dan bila kaubiarkan, dia akan menuntunmu sampai ke Gunung Sunyi, atau bahkan ke tempat-tempat yang lebih jauh dan buruk?' Dia sering mengatakan itu di jalan luar pintu depan Bag End, terutama kalau dia habis berjalan-jalan jauh."
"Hmm, jalan ini tidak akan menyapuku ke mana pun, setidaknya selama satu jam," kata Pippin sambil melepas ikatan ranselnya. Yang lain mengikuti, menyandarkan ransel mereka pada tebing, dan menjulurkan kaki ke arah jalan. Setelah beristirahat, mereka makan siang, lalu istirahat lagi.
Matahari mulai rendah, dan cahaya senja sudah muncul ketika mereka menuruni bukit. Sejauh itu mereka tidak bertemu seorang pun di jalan. Jalan ini tidak banyak digunakan, karena hampir tidak cocok untuk kereta, dan hanya sedikit lalu lintas ke Woody End. Setelah berjalan lagi selama kurang-lebih satu jam, Sam berhenti sejenak, seolah sedang mendengarkan. Mereka sekarang sudah berada di tanah datar; setelah melalui banyak belokan, jalan itu mengarah lurus ke depan, melewati tanah berumput dengan pepohonan tinggi di sana-sini, membentuk pinggiran hutan yang semakin dekat.
"Aku bisa mendengar suara tapak kaki kuda di belakang sana," kata Sam.
Mereka menoleh, tapi tikungan jalan menghalangi pandangan mereka. "Gandalf-kah itu yang menyusul kita?" kata Frodo; tapi saat mengatakan itu pun ia merasa bahwa yang datang itu bukan Gandalf, dan mendadak muncul hasrat untuk bersembunyi dari pandangan penunggang kuda itu.
"Mungkin ini tidak begitu penting," kata Frodo meminta maaf, tapi aku lebih senang tidak kelihatan di jalan-oleh siapa pun. Aku sudah muak kelakuanku diperhatikan dan dibahas. Dan kalau itu memang Gandalf," tambahnya setelah berpikir-pikir, "kita bisa memberinya sedikit kejutan, untuk membalasnya karena dia terlambat. Ayo kita bersembunyi !"
Kedua pendampingnya lari cepat ke kiri, dan masuk ke sebuah cekungan tak jauh dari jalan. Di sana mereka tengkurap rata ke tanah. Frodo agak ragu: rasa ingin tahu, atau suatu perasaan lain, bertempur dengan keinginannya bersembunyi. Bunyi langkah kuda semakin dekat. Tepat pada waktunya ia menjatuhkan diri ke dalam rumpun alang-alang tinggi, di batik sebatang pohon yang bayangannya menutupi jalan. Lalu ia mengangkat kepala dan mengintip dengan hati-hati dari atas salah satu akar besar.
Dari batik tikungan datang seekor kuda hitam; bukan kuda hobbit, tapi kuda ukuran normal; di atasnya duduk seorang laki-laki besar; ia seperti meringkuk di atas pelana, terbungkus jubah hitam lebar dan kerudung, hingga yang tampak di bawahnya hanya sepatu botnya di sanggurdi yang tinggi; wajahnya tidak tampak, karena tertutup bayang-bayang.
Ketika mencapai pohon dan sejajar dengan Frodo, kuda itu berhenti. Penunggangnya duduk diam dengan kepala menunduk, seolah sedang mendengarkan. Dari batik kerudung muncul suara mendengus, seperti orang sedang berusaha mengendus ban yang sukar ditangkap; kepala orang itu bergerak dari sisi ke sisi jalan.
Mendadak perasaan takut ketahuan menyelimuti Frodo, dan ia ingat Cincin-nya. Ia hampir tidak berani bernapas, namun hasrat untuk mengeluarkan cincin itu dari sakunya jadi begitu kuat, sampai ia perlahan-lahan mulai menggerakkan tangannya. Ia merasa ia hanya perlu memasang cincin itu di jarinya, lain ia akan selamat. Nasihat Gandalf terasa tak masuk akal. Bilbo juga sudah pernah menggunakan Cincin itu. "Dan aku masih berada di Shire," pikirnya ketika tangannya menyentuh rantai pengikat cincin. Tepat pada saat itu si penunggang kuda duduk tegak dan menggoyangkan tali kekang. Kudanya melangkah maju, mula-mula perlahan-lahan, lain menderap cepat.
Frodo merangkak ke tepi jalan, memperhatikan si penunggang kuda sampai menghilang di kejauhan. Ia tidak begitu yakin, tapi kelihatannya sebelum menghilang dari pandangan, kuda itu mendadak membelok masuk ke pepohonan di sebelah kanan.
"Yah, menurutku itu aneh sekali, dan cukup meresahkan," kata Frodo pada dirinya sendiri, sambil berjalan menghampiri teman temannya. Pippin dan Sam tetap tiarap di tengah rerumputan tinggi, dan tidak melihat apa pun; maka Frodo menguraikan tentang penunggang tadi dan tingkah lakunya yang aneh.
"Aku tak bisa bilang kenapa, tapi aku yakin dia mencari atau mengendus-endus mencariku; dan aku juga yakin tak ingin ditemukan olehnya. Aku belum pernah melihat atau merasakan yang semacam itu di Shire."
"Tapi apa urusan Makhluk Besar dengan kita?" kata Pippin. "Dan apa yang dilakukannya di bagian dunia ini?"
"Ada beberapa Manusia berkeliaran," kata Frodo. "Penduduk di Wilayah Selatan bermasalah dengan Makhluk-Makhluk Besar. Kalau tak salah. Tapi aku belum pernah mendengar tentang penunggang kuda ini. Aku heran dia datang dari mana."
"Maaf," kata Sam tiba-tiba. "Aku tahu dari mana dia datang. Dia datang dari Hobbiton, kecuali ada lebih dari satu penunggang kuda. Dan aku tahu ke mana dia akan pergi."
"Apa maksudmu?" kata Frodo tajam, menatap Sam dengan tercengang. "Kenapa tadi kau tidak bicara?"
"Aku baru ingat, Sir. Begini, ketika aku pulang ke rumahku tadi malam dengan membawa kunci, ayahku bilang padaku, Halo, Sam! katanya. Kukira kau sudah pergi tadi pagi bersama Mr Frodo. Ada orang aneh menanyakan Mr. Baggins dari Bag End, dan dia baru saja pergi. Aku sudah menyuruhnya pergi ke Bucklebury. Aku tidak begitu suka padanya. Dia kelihatan sangat kecewa, ketika kukatakan bahwa Mr. Baggins sudah meninggalkan rumahnya selamanya. Dia mendesis padaku. Membuatku merinding. Orang macam apa dia? kataku pada ayahku. Aku tidak tahu, katanya, tapi dia bukan hobbit. Dia tinggi dan kehitaman, dan dia membungkuk di depanku. Kuduga dia salah satu Makhluk Besar dari wilayah asing. Cara bicaranya aneh.
"Aku tidak bisa tin-gal untuk mendengarkan lebih banyak, Sir, karena Anda sudah menungguku; aku sendiri tidak begitu memedulikannya. Ayahku sudah mulai tua, dan sudah sangat rabun; pasti sudah hampir gelap ketika orang ini datang mendaki Bukit dan menemukan ayahku sedang menghirup udara di ujung Row kita. Kuharap dia atau aku tidak menyebabkan masalah, Sir."
"Bagaimanapun, Gaffer tak bisa disalahkan," kata Frodo. "Sebenarnya aku mendengar dia berbicara dengan orang asing, yang rupanya menanyakanku. Aku hampir saja menemuinya, untuk menanyakan siapa dia. Seandainya aku melakukan itu, atau kau menceritakannya padaku. Aku mungkin akan lebih berhati-hati di jalan."
"Tapi mungkin tidak ada hubungan antara penunggang kuda ini dengan orang asing yang menanyai Gaffer," kata Pippin. "Kita meninggalkan Hobbiton dengan diam-diam, dan menurutku dia tak mungkin mengikuti kita."
"Bagaimana tentang caranya mengendus-endus itu, Sir?" kata Sam. "Dan ayahku bilang dia orang hitam."
"Aku menyesal tidak menunggu Gandalf," gumam Frodo. "Tapi mungkin itu hanya akan memperburuk masalah."
"Kalau begun, kau tahu atau menduga sesuatu tentang penunggang kuda ini?" kata Pippin, yang menangkap kata-kata yang digumamkannya.
"Aku tidak tahu, dan rasanya lebih baik aku tidak menduga-duga," kata Frodo.
"Baiklah, Sepupu Frodo. Kau bisa menyimpan rahasiamu untuk sementara, kalau kau ingin misterius. Sementara itu, apa yang harus kita lakukan? Aku ingin makan sedikit sup, tapi entah mengapa aku merasa sebaiknya kita pergi dan sini. Omonganmu tentang penunggang yang mengendus-endus dengan hidung tak tampak itu membuatku cemas."
"Ya, sebaiknya kita jalan terus sekarang," kata Frodo, "tapi jangan di tengah jalan-siapa tahu penunggang kuda itu kembali, atau yang lain menyusulnya. Kita harus berjalan cukup jauh hari ini. Buckland masih bermil-mil jauhnya."
Bayang-bayang pepohonan sudah panjang dan tipis di atas rumput, ketika mereka berangkat lagi. Kini mereka berjalan pada jarak selemparan batu di sebelah kiri jalan, dan sedapat mungkin menghindari terlihat. Tapi ini justru jadi menghambat; karena rumputnya tebal dan rapat, tanahnya tidak rata, dan pepohonan mulai merapat menjadi belukar.
Matahari sudah terbenam merah di balik bukit-bukit di belakang mereka, dan senja mulai turun sebelum mereka kembali ke jalan, di ujung jalur panjang yang menggaris lurus sepanjang beberapa mil. Pada titik tersebut, jalanan itu berbelok dan masuk ke dataran rendah Yale, menuju Stock; tapi ada jalan setapak yang bercabang ke kanan, berkelok-kelok melalui hutan pohon ek kuno, menuju Woodhall. "Kita lewat sana," kata Frodo.
Tak jauh dari pertemuan jalan tadi, mereka sampai di seba-tang pohon besar yang masih hidup; ranting-ranting kecil yang tumbuh di sekeliling dahan-dahannya yang patah dan sudah lama jatuh masih berdaun, tapi batangnya kosong dan bisa dimasuki melalui sebuah celah besar di sisi yang jauh dari jalan. Hobbit-hobbit itu merangkak masuk, duduk di tumpukan dedaunan dan kayu busuk. Mereka beristirahat dan makan ringan, bercakap-cakap pelan dan sesekali mendengarkan.
Sudah senja ketika mereka merangkak kembali ke jalan. Angin Barat mendesah di dahan-dahan. Dedaunan berbisik. Tak lama kemudian, perlahan tapi pasti, jalan itu mulai diselimuti keremangan senja. Sebuah bintang muncul di atas pepohonan, di Timur yang mulai menggelap di depan mereka. Mereka berjalan berjajar dengan langkah seirama, agar tetap bersemangat. Setelah beberapa saat, ketika bintang-bintang semakin rapat dan terang, perasaan gelisah pun hilang, dan mereka tidak lagi mendengarkan bunyi derap langkah kuda. Mereka mulai bersenandung pelan, sebagaimana biasa dilakukan para hobbit kalau sedang berjalan, terutama kalau sudah mendekati rumah di malam hari. Kebanyakan hobbit biasanya menyanyikan lagu makan malam atau lagu tidur, tetapi hobbit-hobbit ini menyenandungkan lagu perjalanan (meski, tentu saja, bukan tanpa menyebut makan malam dan tidur). Bilbo Baggins yang mengarang sajaknya, mengikuti lagu yang sudah setua bukit-bukit; ia mengajarkannya pada Frodo saat mereka berjalan-jalan di lembah Air dan berbincang-bincang tentang Petualangan.
Api pendiangan menyala merah,
Ada tempat tidur di dalam rumah;
Tetapi belum lelah kaki kita,
Di balik tikungan masih ada
Pohon atau batu berdiri tiba-tiba
Yang belum dilihat orang, kecuali kita.
Daun dan rumput, pohon dan bunga,
Biarkan saja! Biarkan saja!
Bukit dan air luas terbentang,
Lewati saja, walau mengundang!
Di balik tikungan mungkin menunggu
Get-bang rahasia atau jalan baru,
Meski hari ini kita lewati,
Esok mungkin kita kembali
Menapaki jalan tersembunyi
Menuju Bulan atau Matahari.
Apel dan duri, kacang dan stroberi,
Biarkan pergi! Biarkan pergi!
Pasir dan batu, telaga dan lembah,
Selamat berpisah! Selamat berpisah!
Rumah ada di belakang, dunia di depan,
Kita menapaki begitu banyak jalan
Lewat bayang-bayang, sampai ke ujung malam,
Dan semua bintang menyala temaram.
Maka dunia di belakang dan rumah di depan,
Kita kembali ke rumah, dan ke peraduan.
Kabut dan senja, awan dan bayangan,
Akan terlupakan! Akan terlupakan!
Api dan lampu, daging dan roti,
Sekarang tidur! Tidur bermimpi!
Lagu itu berakhir. "Dan sekarang tidur! Dan sekarang tidur!" nyanyi Pippin dengan suara nyaring.
"Ssstt!" kata Frodo. "Rasanya aku mendengar derap kaki kuda lagi."
Mereka berhenti mendadak, berdiri diam seperti bayangan pohon, sambil mendengarkan. Memang ada bunyi derap kaki kuda di jalan, agak di belakang, datang menunggang angin, perlahan dan jelas. Dengan cepat dan diam-diam mereka keluar dari jalan, lari ke dalam bayangan yang lebih gelap di bawah pohon-pohon ek.
"Jangan terlalu jauh!" kata Frodo. "Aku tak ingin terlihat, tapi aku ingin melihat, apakah itu Penunggang Hitam lain."
"Baiklah!" kata Pippin. "Tapi jangan lupa, dia suka mengendus-endus!"
Derap langkah kuda semakin dekat. Mereka tak punya waktu untuk menemukan tempat persembunyian yang lebih bagus daripada kegelapan menyeluruh di bawah pepohonan; Sam dan Pippin membungkuk di belakang batang pohon besar, sementara Frodo merangkak kembali beberapa meter ke arah jalan. Jalan itu terlihat kelabu pucat, bagai sebuah garis cahaya yang memudar melewati hutan. Di atasnya bintang-bintang bertebaran di langit yang redup, tapi tak ada bulan.
Bunyi langkah kuda berhenti. Frodo melihat sesuatu yang gelap melewati tempat yang agak terang di antara dua pohon, kemudian berhenti. Kelihatannya seperti bayangan hitam seekor kuda yang dituntun suatu bayangan hitam yang lebih kecil. Bayangan gelap itu berdiri dekat tempat mereka meninggalkan jalan, dan ia bergoyang ke kiri ke kanan. Frodo merasa mendengar bunyi mendengus. Bayangan itu membungkuk ke tanah, lalu mulai merangkak ke arahnya.
Sekali lagi hasrat untuk memakai Cincin menyergap Frodo; kali ini lebih kuat daripada sebelumnya. Begitu kuat, sampai-sampai tangannya sudah masuk ke dalam saku, nyaris sebelum ia menyadari apa yang dilakukannya. Tapi pada saat itu terdengar bunyi seperti campuran nyanyian dan tawa. Suara-suara jernih naik-turun di udara berbintang. Bayangan gelap itu menegakkan diri dan pergi. Ia memanjat kudanya yang gelap, dan seolah lenyap ke dalam kegelapan di seberang. Frodo bernapas kembali.
"Peri-peri!" seru Sam dengan bisikan parau. "Peri, Sir!" ia pasti sudah lari keluar dari balik pepohonan, menghampiri suara-suara itu, seandainya mereka tidak menahannya.
"Ya, mereka Peri," kata Frodo. "Kadang-kadang kita bisa bertemu mereka di Woody End. Mereka tidak tinggal di Shire, tapi di musim Semi dan Gugur mereka mengembara ke Shire, keluar dari negeri mereka sendiri, jauh di luar Bukit-Bukit Menara. Aku bersyukur mereka datang! Kalian tidak melihat, tapi Penunggang Hitam itu berhenti di sin, dan sudah mulai merangkak ke arah kita ketika terdengar nyanyian mereka. Begitu mendengar suara mereka, dia menyelinap pergi."
"Bagaimana dengan para Peri itu?" kata Sam, terlalu bergairah, sampai tak peduli tentang penunggang kuda tadi. "Tidak bisakah kita pergi melihat mereka?"
"Dengar! Mereka sedang menuju kemari," kata Frodo. "Kita tunggu saja di sini."
Suara nyanyian semakin dekat. Satu suara jernih terdengar lebih jelas di antara yang lain. Ia menyanyi dalam bahasa Peri, yang hanya sedikit dikenal Frodo, dan sama sekali tidak dikenal oleh yang lainnya. Paduan suara dan irama itu meresap ke dalam pikiran mereka, membentuk diri menjadi kata-kata yang hanya sebagian mereka pahami. Beginilah lagu yang didengar Frodo:
Putih-salju! Putih-salju! Oh wanita jelita!
Oh Ratu di seberang Samudra Barat!
Oh Cahaya 'tuk kami yang mengembara
Di tengah pohon yang berderet rapat!
Gilthoniel! Oh Elbereth!
Jernih matamu, terang napasmu!
Putih-salju! Putih-salju! Kami bernyanyi untukmu
Di negeri jauh, seberang Samudra itu,
Oh bintang-bintang di tahun nan gelap
Ditebar oleh tangannya yang bercahaya,
Di padang berangin yang terang gemerlap
Bunga-bunga perakmu meliuk berdansa!
Oh Elbereth! Gilthoniel!
kami masih ingat, kami yang tinggal
Di negeri jauh di bawah pepohonan rapat,
Cahaya bintangmu di atas Samudra Barat.
Lagu itu berakhir. "Mereka itu Peri-Peri Bangsawan! Mereka menyebut nama Elbereth!" kata Frodo heran. "Jarang sekali kaum Peri tertinggi itu terlihat di Shire. Tak banyak yang tersisa di Dunia Tengah, sebelah timur Samudra Besar. Ini benar-benar suatu kebetulan aneh!"
Hobbit-hobbit itu duduk dalam bayang-bayang di tepi jalan. Tak lama kemudian, para Peri datang melewati jalan, menuju lembah. Mereka lewat sangat perlahan, dan para hobbit bisa melihat cahaya bintang berkilauan di atas rambut mereka dan di dalam mata mereka. Mereka tidak membawa lampu, namun saat mereka berjalan, suatu cahaya gemerlap seolah jatuh di sekitar kaki mereka, seperti sinar bulan yang sedang terbit di atas punggung bukit. Mereka sekarang diam, dan ketika Peri terakhir lewat, la menoleh memandang para hobbit, dan tertawa.
"Hidup, Frodo!" serunya. "Kau masih di luar, malam-malam begini. Atau kau tersesat?" Lalu la memanggil yang lain dengan nyaring, dan seluruh rombongan berhenti dan berkumpul.
"Ini benar-benar ajaib!" kata mereka. "Tiga hobbit di hutan, di malam hari! Kami belum pernah menyaksikan hal seperti ini sejak Bilbo pergi. Apa artinya ini?"
"Artinya," kata Frodo, "kelihatannya kami berjalan searah dengan kalian. Aku senang berjalan di bawah bintang-bintang. Tapi aku akan lebih senang bila didampingi rombonganmu."
"Tapi kami tidak butuh didampingi, lagi pula hobbit-hobbit menjemukan sekali," tawa mereka. "Selain itu, bagaimana kau tahu kami juga menuju arah yang sama denganmu? Kau tidak tahu ke mana kami akan pergi."
"Dan bagaimana kau tahu namaku?" Frodo balik bertanya.
"Kami tahu banyak hal," kata mereka. "Kami sering melihatmu bersama Bilbo sebelum ini, meski kau belum tentu melihat kami."
"Siapa kau, dan siapa rajamu?" tanya Frodo.
"Aku Gildor," jawab pemimpin mereka, Peri yang pertama memanggilnya. "Gildor Inglorion dan Rumah Finrod. Kami Orang Buangan, dan kebanyakan bangsa kami sudah pergi lama sekali. Kami pun hanya sementara berlama-lama di sini, sebelum kembali menyeberangi Samudra Besar. Tetapi beberapa saudara kami masih tinggal dalam damai di Rivendell. Ayo, Frodo, ceritakan pada kami, apa yang sedang kaulakukan? Karena kami melihat bayangan ketakutan menyelimuti kalian."
"Oh, Orang-Orang Bijak!" sela Pippin dengan bergairah. “Ceritakan pada kami tentang para Penunggang Hitam!"
"Penunggang Hitam?" mereka berkata dengan suara berbisik. "Mengapa kau bertanya tentang Penunggang Hitam?"
"Karena dua Penunggang Hitam menyusul kami hari ini, atau satu penunggang melakukan itu dua kali," kata Pippin, "baru saja dia pergi, ketika kalian mendekat."
Para Peri tidak langsung menjawab, tetapi berbicara di antara mereka sendiri dengan pelan-pelan, dalam bahasa mereka. Akhirnya Gildor berbicara kepada para hobbit. "Kami tidak akan membicarakannya di sini," katanya. "Menurut kami, sebaiknya kalian ikut kami sekarang. Ini bukan kebiasaan kami, tapi untuk kali ini kami akan membawa kalian dalam perjalanan kami, dan kalian akan tidur bersama kami malam ini, kalau kalian mau."
"Oh, Bangsa Elok! Ini sungguh keberuntungan tak terduga," kata Pippin. Sam tak mampu berbicara.
"Aku berterima kasih padamu, Gildor Inglorion," kata Frodo sambil membungkuk. "Elen sila lumenn' ornentielvo, sebuah bintang bersinar pada jam pertemuan kita," tambahnya dalam bahasa tinggi kaum Peri.
"Hati-hati, teman-teman!" seru Gildor sambil tertawa. "Jangan bicarakan hal-hal rahasia! Dia mengerti Bahasa Kuno. Bilbo memang guru yang balk. Hidup, sahabat kaum Peri!" katanya, sambil membungkuk di depan Frodo. "Mari, sekarang kau dan kawan-kawanmu bergabung dengan rombonganku! Sebaiknya kalian berjalan di tengah, supaya tidak tersesat. Kau mungkin akan lelah sebelum kami berhenti."
"Mengapa? Ke mana kalian akan pergi?" tanya Frodo.
"Malam ini kami akan ke hutan di bukit-bukit di atas Woodhall. Jaraknya beberapa mil, tapi di akhir perjalanan kalian akan beristirahat, dan ini akan mempersingkat perjalanan kalian besok."
Mereka berjalan lagi dalam keheningan, berlalu bagai bayangan dan cahaya samar-samar: karena para Peri (melebihi kaum hobbit) bisa berjalan tanpa suara atau bunyi langkah kaki, bila mereka mau. Pippin segera merasa mengantuk, dan terhuyung-huyung sekali-dua kali; tapi seorang Peri jangkung di sampingnya selalu mengulurkan tangan dan menyelamatkannya agar tidak jatuh. Sam berjalan di sisi Frodo, seolah dalam mimpi, dengan ekspresi setengah ketakutan dan setengah gembira, penuh keheranan.
Hutan-hutan di kedua sisi semakin rapat; pohon-pohon lebih muda dan tebal; jalanan pun semakin menurun, masuk ke sebuah lipatan perbukitan, dengan banyak sekali tanah rendah bersemak hazel di tebing-tebing di kedua sisinya. Akhirnya para Peri membelok dari jalan. Suatu jalur hijau untuk berkuda terbentang hampir tak kelihatan di antara semak-semak di sebelah kanan; mereka mengikuti jalur ini, yang membelok naik ke tebing berhutan, sampai ke puncak bahu bukit yang menonjol di dataran rendah dari lembah sungai. Mendadak mereka keluar dari bawah bayang-bayang pohon, dan di depan mereka terhampar padang rumput luas, kelabu di bawah langit malam. Padang rumput itu diapit hutan di ketiga sisinya; tetapi di sebelah timur, tanah menurun curam, dan di bawah kaki mereka tampak puncak-puncak pohon gelap yang tumbuh di dasar lembah. Di seberang, dataran rendah terhampar samar-samar dan rata di bawah bintang-bintang. Lebih dekat dengan mereka, beberapa lampu berkelap-kelip di desa Woodhall.
Para Peri duduk di rumput dan bercakap-cakap perlahan; mereka seolah tidak memperhatikan para hobbit lagi. Frodo dan teman-temannya membungkus diri dengan mantel dan selimut, dan mereka langsung mengantuk. Malam berlanjut, dan cahaya-cahaya di lembah mulai padam. Pippin tertidur, berbantalkan bukit kecil hijau.
Jauh di Timur tergantung Remmirath, Bintang Jala, dan perlahan di atas kabut, Borgil merah terbit, menyala bagai berlian api. Lalu seembus udara menyingkap seluruh kabut itu, bagai menyibakkan kerudung, dan di sana Ksatria Pedang Langit bersandar, merayap perlahan memanjat ujung dunia—Menelvagor dengan ikat pinggangnya yang kemilau.- Para Peri mulai bernyanyi. Tiba-tiba di bawah pepohonan muncul nyala api dengan cahaya merah.
"Mari!" para Peri memanggil hobbit-hobbit. "Mari! Sekarang saatnya mengobrol dan bersuka ria!"
Pippin bangkit duduk dan menggosok matanya. Ia menggigil. "Ada api di balairung, dan makanan untuk tamu yang lapar," kata seorang Peri yang berdiri di depannya.
Di ujung selatan padang rumput itu ada tempat terbuka. Di sana hamparan rumput hijau berlanjut ke dalam hutan, membentuk ruangan luas seperti balairung, beratapkan cabang-cabang pohon. Batang-batang pohon tegak bagaikan tiang di kedua sisinya. Di tengah ada api unggun menyala, dan di atas tiang-tiang pohon, obor-obor bercahaya emas dan perak menyala tenang. Peri-peri duduk mengelilingi api, di rumput atau di tunggul-tunggul kayu pohon tua yang digergaji. Beberapa berjalan kian kemari, membawa cangkir dan menuangkan minuman; yang lain membawa makanan di piring-piring dan nampan-nampan.
"Makanan ini hanya sekadarnya," kata mereka kepada para hobbit, "karena kita menginap di hutan kayu, jauh dari balairung-balairung kami. Kalausuatu waktu kalian menjadi tamu di rumah kami, kami akan menghidangkan yang lebih baik."
"Ini pun sudah cukup meriah, seperti pesta ulang tahun," kata Frodo.
Setelahnya Pippin hanya ingat sedikit sekali tentang makanan dan minuman yang dihidangkan, karena pikirannya dipenuhi cahaya pada wajah kaum peri, serta suara-suara yang begitu beragam dan indah, yang membuatnya merasa bak bermimpi dalam keadaan terjaga. Tapi ia ingat ada roti yang rasanya melebihi kelezatan roti tawar putih bagi orang yang hampir mati kelaparan; buah-buahan semanis buah berry liar, dan lebih kaya daripada buah-buahan yang dirawat di kebun-kebun; ia menghabiskan secangkir cairan wangi yang sejuk bagai air mancur jernih, dan keemasan bagai siang musim panas.
Sam tak pernah bisa menjelaskan dengan kata-kata, maupun menggambarkan kepada dirinya sendiri, apa yang dirasakan atau dipikirkannya malam itu, meski peristiwa itu terpatri dalam ingatannya sebagai salah satu kejadian besar dalam hidupnya. Paling-paling ia hanya bisa mengatakan, "Wah, Sir, kalau aku bisa menumbuhkan apel seperti itu, baru aku akan menyebut diriku tukang kebun. Tapi sebenarnya nyanyiannya yang menyentuh hatiku, kalau Anda paham maksudku."
Frodo duduk, makan, minum, dan bercakap-cakap dengan riang; namun pikirannya terutama tertuju kepada kata-kata yang diucapkan. Ia tahu sedikit bahasa Peri, dan ia mendengarkan dengan penuh gairah. Sesekali ia berbicara pada mereka yang melayaninya, dan mengucapkan terima kasih dalam bahasa mereka. Mereka tersenyum kepadanya dan sambil tertawa berkata, "Ini dia permata di antara para hobbit."
Setelah beberapa saat, Pippin tertidur; ia diangkat dan dibawa ke sebuah punjung di bawah pepohonan; di sana ia diletakkan di ranjang empuk, dan ia tidur sepanjang malam. Sam menolak meninggalkan majikannya. Ketika Pippin sudah-pergi, ia datang dan duduk meringkuk dekat kaki Frodo, di mana akhirnya ia mengangguk-angguk dan memejamkan matanya. Frodo masih lama terjaga sambil bercakap-cakap dengan Gildor.
Mereka membicarakan banyak hat, lama dan baru, dan Frodo banyak bertanya pada Gildor tentang kejadian-kejadian di dunia luas di luar Shire. Berita-beritanya kebanyakan sedih dan mengancam: tentang kegelapan yang semakin meluas, perang-perang Manusia, dan pelarian kaum Peri. Akhirnya Frodo mengajukan pertanyaan yang paling dekat di hatinya,
"Katakan, Gildor, apa kau pernah bertemu Bilbo sejak dia meninggalkan kami?"
Gildor tersenyum. "Ya," jawabnya. "Dua kali. Dia berpamitan dengan kami, persis di tempat ini. Tapi aku bertemu lagi dengannya. satu kali, jauh dari sini." ia tak mau mengatakan lebih banyak tentang Bilbo, dan Frodo terdiam.
"Kau tidak banyak bertanya atau bercerita tentang hal-hal yang menyangkut dirimu sendiri, Frodo," kata Gildor. "Tapi aku sudah tahu sedikit, dan aku bisa membaca lebih banyak di wajahmu, dan dalam apa yang tersirat di balik pertanyaan-pertanyaanmu. Kau meninggalkan Shire, tapi kau ragu akan menemukan apa yang kaucari, atau berhasil melakukan niatmu, atau apakah kau akan pernah kembali. Bukankah begitu?"
"Memang," kata Frodo, "tapi kusangka kepergianku adalah rahasia yang hanya diketahui Gandalf dan Sam yang setia." ia memandang Sam yang mendengkur pelan.
"Rahasia ini tidak akan sampai ke telinga Musuh melalui kami," kata Gildor.
"Musuh?" kata Frodo. "Kalau begitu, kau tahu mengapa aku meninggalkan Shire?"
"Aku tidak tahu alasan Musuh mengejarmu," jawab Gildor, "tapi aku merasa memang itulah yang terjadi—meski ini terasa aneh bagiku. Aku ingin memperingatkanmu bahwa bahaya ada di depan maupun di belakangmu, dan di kedua sisi."
"Maksudmu para Penunggang itu? Aku sudah cemas bahwa mereka adalah pengabdi Musuh. Siapa sebenarnya para Penunggang Hitam itu?"
"Apakah Gandalf tidak menceritakan apa pun padamu?"
"Tidak tentang makhluk semacam itu."
"Kalau begitu, tidak pada tempatnya kalau aku mengatakan lebih banyak jangan-jangan nanti perasaan takut membuatmu tidak berani melanjutkan perjalanan. Menurutku kau berangkat tepat pada waktunya, kalau bisa dikatakan belum terlambat. Sekarang kau hams bergegas, dan jangan tinggal atau kembali; karena Shire bukan lagi tempat perlindungan yang aman bagimu."
"Tak bisa kubayangkan penjelasan apa lagi yang lebih mengerikan daripada petunjuk-petunjuk dan peringatanmu," seru Frodo. "Aku tahu ada bahaya di depanku, tapi aku tak menduga akan menemukannya di dalam Shire kami sendiri. Tak bisakah seorang hobbit berjalan dari Air ke Sungai dengan tenteram?"
"Tapi ini bukan Shire-mu sendiri," kata Gildor. "Ada makhluk-makhluk lain yang tinggal di sini sebelum hobbit; dan makhluk-makhluk lain pula yang akan menetap di sini kalau hobbit sudah musnah. Dunia luas terbentang di sekitarmu: kau bisa memagari dirimu, tapi kau tak bisa selamanya menahan dunia di luar."
"Aku tahu-tapi selama ini Shire selalu terasa aman dan akrab.
Apa yang bisa kulakukan sekarang? Rencanaku adalah meninggalkan Shire diam-diam, dan pergi ke Rivendell; tapi sekarang langkahku mantap, bahkan sebelum aku sampai di Buckland."
"Kupikir kau harus tetap mengikuti rencanamu," kata Gildor. "Menurutku Jalan ini tidak akan terlalu sulit untuk keberanianmu. Tapi kalau kau mengharapkan nasihat lebih jelas, kau harus bertanya pada Gandalf. Aku tidak tahu alasan pelarianmu, karena itu aku tidak tahu dengan cara apa pengejarmu akan menyerangmu. Gandalf pasti tahu hal-hal ini. Kurasa kau akan bertemu dengannya sebelum meninggalkan Shire?"
"Kuharap begitu. Tapi aku cemas. Aku sudah berhari-hari menunggu Gandalf. Seharusnya dia datang ke Hobbiton paling lambat dua malam yang lalu; tapi dia sama sekali tidak muncul. Sekarang aku bertanya-tanya, apa yang terjadi. Haruskah aku menunggunya'?"
Gildor diam sejenak. "Aku tidak senang mendengar ini," akhirnya ia berkata. "Keterlambatan Gandalf itu pertanda kurang baik. Tapi kata pepatah: jangan mencampuri urusan para Penyihir, karena mereka halus dan cepat marah. Pilihannya ada padamu: pergi atau menunggu."
"Ada pepatah lain," jawab Frodo, "Jangan minta nasihat pada kaum Peri, karena mereka akan mengatakan ya maupun tidak."
"Begitukah?" tawa Gildor. "Kaum Peri jarang memberikan nasihat begitu saja, karena nasihat adalah pemberian berbahaya, walau datangnya dari yang bijak dan untuk yang bijak pula; salah-salah segala sesuatunya bisa berakibat buruk. Tapi apa yang kauinginkan? Kau belum banyak bercerita tentang dirimu sendiri, jadi bagaimana aku bisa memilih lebih baik daripadamu? Tapi kalau kau meminta nasihat, demi persahabatan aku akan memberikannya. Menurutku kau harus pergi sekarang juga, tanpa ditunda; dan kalau Gandalf tidak datang sebelum kau berangkat, maka kusarankan jangan pergi sendirian. Bawalah teman-teman yang bersedia ikut dan bisa dipercaya. Sekarang kau hams bersyukur, karena aku tidak memberikan nasihat ini dengan senang hati. Kaum Peri punya pekerjaan dan masalah sendiri, dan mereka tak peduli dengan kehidupan kaum hobbit atau makhluk-makhluk lain di bumi. Jalan kami jarang bersilangan dengan Plan mereka, baik secara kebetulan atau sengaja. Pertemuan kita ini mungkin bukan sekadar kebetulan, tapi tujuannya tidak jelas untukku, dan aku takut bicara terlalu banyak."
"Aku sangat bersyukur," kata Frodo, "tapi aku berharap kau mau mengatakan padaku, siapa sebenarnya Penunggang Hitam itu. Kalau aku menuruti nasihatmu, mungkin untuk waktu lama aku tidak akan bertemu Gandalf, dan aku perlu tahu bahaya apa yang mengejarku."
"Tidak cukupkah mengetahui bahwa mereka adalah pengabdi Musuh?" jawab Gildor. "Larilah dari mereka! Jangan bicara dengan mereka! Mereka mematikan. Jangan tanya lebih banyak padaku! Tapi aku punya firasat bahwa, sebelum semuanya berakhir, kau, Frodo putra Drogo, akan mengetahui lebih banyak tentang hal-hal jahat ini daripada Gildor Inglorion. Semoga Elbereth melindungimu!"
"Tapi di mana aku harus menemukan keberanian itu?" tanya Frodo. "Itu yang terutama kubutuhkan."
"Keberanian bisa ditemukan di tempat-tempat tak terduga," kata Gildor. "Berharaplah! Sekarang tidurlah! Besok pagi kami sudah akan pergi; tapi kami akan mengirimkan pesan-pesan ke seluruh pelosok negeri. Rombongan Pengembara akan tahu tentang perjalananmu, dan mereka yang memiliki kekuatan untuk kebaikan akan berjaga-jaga. Akan kusebut kau sahabat Peri; semoga bintang-bintang bersinar pada ujung jalanmu! Jarang kami begitu senang bertemu orang asing, dan indah sekali mendengar kata-kata Bahasa Kuno itu dari bibir para pengembara lain di dunia."
Frodo mulai mengantuk, sementara Gildor baru selesai berbicara. "Aku akan tidur sekarang," katanya. Peri itu menuntunnya ke sebuah punjung di sebelah Pippin. Frodo mengempaskan tubuh ke sebuah ranjang, dan langsung tertidur lelap tanpa mimpi.
Buku 1 Bab 04
JALAN PINTAS MENUJU JAMUR
Pagi harinya Frodo bangun dengan perasaan segar. Ia berbaring di sebuah punjung yang terbentuk dari sebatang pohon hidup, dengan dahan-dahan saling berjalin dan menjuntai sampai ke tanah; ranjangnya terbuat dari pakis dan rumput, tebal lembut dan wanginya aneh. Matahari bersinar dari antara dedaunan hijau yang bergoyang-goyang dan masih melekat pada pohon. Ia melompat dan keluar.
Sam duduk di rumput dekat pinggir hutan. Pippin sedang berdiri memperhatikan langit dan cuaca. Tak ada tanda-tanda kehadiran para Peri.
"Mereka meninggalkan buah-buahan dan minuman untuk kita, juga roti," kata Pippin. "Ayo sarapan dulu. Rotinya lezat seperti tadi malam. Aku tak mau menyisakannya untukmu, tapi Sam memaksaku."
Frodo duduk di samping Sam dan mulai makan. "Apa rencana untuk hari ini?" tanya Pippin.
"Berjalan secepat mungkin ke Bucklebury," jawab Frodo, lalu memusatkan perhatian pada makanannya.
"Apa menurutmu kita masih akan bertemu Penunggang-Penunggang itu?" tanya Pippin riang. Di bawah matahari pagi, kemungkinan melihat sepasukan penunggang kuda itu rasanya tidak terlalu menakutkan baginya.
"Ya, mungkin," kata Frodo, tak senang diingatkan. "Tapi kuharap kita bisa menyeberangi sungai tanpa terlihat oleh mereka."
"Kau sudah tahu sesuatu tentang mereka dari Gildor?"
"Tidak banyak-hanya petunjuk samar dan teka-teki," kata Frodo mengelak.
"Apa kau bertanya tentang caranya mengendus-endus?"
"Kami tidak membahasnya," kata Frodo dengan mulut penuh.
"Seharusnya kautanyakan. Aku yakin itu penting sekali."
"Kalau begitu, aku yakin Gildor menolak menjelaskannya," kata Frodo tajam. "Dan sekarang biarkan aku tenang sebentar! Aku tidak mau menjawab serentetan pertanyaan sementara sedang makan. Aku ingin berpikir!"
"Ya ampun!" kata Pippin. "Di waktu sarapan?" ia berjalan ke arah tepian rumput.
Pagi yang cerah itu-terlalu cerah malah—tak bisa melenyapkan ketakutan Frodo kalau—kalau mereka dikejar; dan ia merenungkan kata-kata Gildor. Suara riang Pippin terdengar olehnya. Pippin sedang berlari di bentangan rumput dan bernyanyi.
"Tidak! Aku tak bisa!" kata Frodo pada dirinya sendiri. "Ini tak bisa disamakan. Membawa teman-temanku yang masih muda berjalan-jalan di Shire sampai kami lapar dan lelah, hingga makanan dan ranjang terasa enak setelah pulang, itu tak apa-apa. Tapi membawa mereka ke dalam pengasingan, di mana kelaparan dan keletihan mungkin tak ada obatnya, sungguh merupakan tanggung jawab berat, walau mereka bersedia ikut. Ini urusanku sendiri. Kurasa Sam pun tak boleh kubawa." ia memandang Sam Gamgee, dan melihat Sam sedang memperhatikannya.
"Well, Sam!" kata Frodo. "Bagaimana? Aku akan meninggalkan Shire sesegera mungkin bahkan aku sudah mengambil keputusan untuk tidak menunggu sehari pun di Crickhollow, kalau bisa."
"Baik, Sir!"
"Kau masih bertekad ikut aku?"
"Ya."
"Akan sangat berbahaya, Sam. Bahkan sekarang pun sudah berbahaya. Besar kemungkinan kita berdua tidak akan kembali."
"Kalau Anda tidak kembali, Sir, aku juga tidak, itu pasti," kata Sam. "Jangan tinggalkan dia! kata mereka padaku: Meninggalkan dial kataku. Takkan pernah. Aku akan ikut bersamanya, kalau dia memanjat Bulan; dan kalau ada di antara para Penunggang itu berusaha menghentikannya, mereka akan berurusan dengan Sam Gamgee, kataku. Mereka tertawa."
"Siapa mereka, dan apa yang kaubicarakan?"
"Para Peri, Sir. Kami bercakap-cakap sedikit tadi malam, Sir; dan rupanya mereka tahu Anda akan pergi, jadi menurutku tidak ada gunanya membantah itu. Makhluk yang hebat, Sir, para Peri itu! Hebat!"
"Memang," kata Frodo. "Apa kau masih menyukai mereka, setelah memandang mereka dari dekat?"
"Kelihatannya mereka berada di atas rasa suka dan tidak sukaku, bisa dikatakan begitu," jawab Sam perlahan. "Tidak penting apa yang kupikirkan tentang mereka. Mereka sangat berbeda dari yang kusangka—begitu tua dan muda, begitu riang dan sedih, begitulah kira-kira."
Frodo menatap Sam dengan kaget, setengah berharap melihat tanda luar yang menunjukkan perubahan aneh yang rupanya terjadi pada dirinya. Suaranya tidak seperti suara Sam Gamgee yang selama ini ia kenal. Tapi sosok yang duduk di sana itu masih seperti Sam Gamgee yang biasa, hanya saja wajahnya tampak merenung, tidak seperti biasanya.
"Apa kau masih merasa ingin meninggalkan Shire sekarang, setelah keinginanmu bertemu dengan mereka terwujud?" tanya Frodo.
"Ya, Sir. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya, tapi setelah tadi malam aku merasa berbeda. Seolah aku bisa melihat ke masa depan, semacam itulah. Aku tahu kita akan meniti jalan panjang sekali ke dalam kegelapan; tapi aku tahu aku tak bisa kembali. Sekarang yang kau inginkan bukanlah melihat Peri, bukan juga naga, atau pegunungan aku tidak tahu persis apa yang kuinginkan, tapi aku harus melakukan, sesuatu sebelum akhir itu tiba, dan sesuatu itu ada di depan sana, bukan di Shire. Aku hams mengatasinya, Sir, kalau Anda paham maksudku."
"Aku sama sekali tidak mengerti. Tapi aku mengerti bahwa Gandalf telah memilihkanku seorang pendamping yang baik. Aku puas. Kita akan pergi bersama."
Frodo menghabiskan sarapannya dengan diam. Lalu sambil berdiri ia menatap pemandangan di depan, dan memanggil Pippin.
"Sudah siap berangkat?" katanya kepada Pippin yang datang berlari. "Kita harus segera berangkat. Kita sudah bangun kesiangan, dan masih jauh sekali jarak yang harus kita tempuh."
"Kau yang kesiangan bangun, maksudmu," kata Pippin. "Aku sudah bangun lama sebelumnya; dan kami hanya menunggumu menyelesaikan sarapan dan berpikir."
"Aku sudah menyelesaikan keduanya sekarang. Dan aku akan berjalan ke Bucklebury Ferry secepat mungkin. Aku tidak akan menyimpang dari sini, kembali ke jalan yang kita tinggalkan tadi malam: aku akan memotong langsung lewat pedalaman dari slim."
"Kalau begitu, kau mesti terbang," kata Pippin. "Kau tidak bisa memotong lurus lewat pedalaman dari sini."
"Setidaknya kita bisa memotong lebih lurus daripada jalan raya," Jawab Frodo. "Ferry ada di sebelah timur Woodhall, tapi jalan raya membelok ke kiri—kau bisa lihat belokannya di sana, di sebelah utara. Dia melingkari ujung utara Marish, bergabung dengan jalan lintasan tinggi dari Jembatan di atas Stock. Tapi itu bermil-mil di luar arah kita. Kita bisa menghemat seperempat jarak kalau kita berjalan mengikuti garis lurus ke arah Ferry dari tempat kita berdiri."
"Potong jalan menimbulkan penundaan lama," debat Pippin. "Pedalaman di sini kasar sekali, ada tanah berlumpur dan segala macam kesulitan di daerah Marish—aku kenal wilayah ini. Dan kalau kau cemas berpapasan dengan para Penunggang Hitam, menurutku bertemu mereka di jalan sama saja dengan bertemu di hutan atau padang rumput."
"Lebih sulit menemukan orang di dalam hutan atau di padang," jawab Frodo. "Dan kalau orang menduga kita berada di jalan, ada kemungkinan kita akan dicari di jalan, bukan di luarnya."
"Baiklah!" kata Pippin. "Aku akan mengikutimu ke setiap tanah berlumpur dan parit. Tapi akan sulit sekah ! Aku sudah berharap melewati Persinggahan Emas di Stock sebelum gelap. Di situ ada bir paling enak di seluruh Wilayah Timur. Sudah lama aku tidak mencicipinya."
"Jadilah kalau begitu," kata Frodo. "Mengambil jalan pintas bisa-bisa malah menghambat, tapi tempat-tempat minum bakal lebih menghambat lagi. Pokoknya kau tidak boleh dekat-dekat Persinggahan Emas. Kita mesti sampai di Bucklebury sebelum gelap. Bagaimana menurutmu, Sam?"
"Aku akan mendampingi Anda, Mr. Frodo," kata Sam (meski dalam hati ia merasa kecewa dan menyesal tidak bisa mencicipi bir terbaik di Wilayah Timur).
"Kalau begitu, jika kita mesti susah payah melewati tanah berlumpur dan semak-semak berduri, ayo berangkat sekarang!" kata Pippin.
Cuaca sudah hampir sama panasnya seperti kemarin; tapi awan-awan mulai muncul dari sebelah Barat. Kelihatannya sangat mungkin hujan akan turun. Para hobbit berjuang menuruni sebuah tebing hijau, dan meloncat ke dalam pepohonan lebat di bawah. Jalur yang mereka pilih itu meninggalkan Woodhall di sebelah kiri, dan memotong miring melewati hutan yang bergerombol sepanjang sisi timur bukit, sampai mencapai tanah datar di seberang. Setelah itu mereka bisa berjalan lurus ke arah Ferry, melewati daerah terbuka, kecuali beberapa parit dan pagar. Frodo memperkirakan garis lurus yang harus mereka lalui panjangnya delapan belas mil.
Segera ia menyadari bahwa semak-semak itu lebih rapat dan lebih kusut daripada kelihatannya. Tak ada jalan di dalam belukar, dan mereka tak bisa maju dengan cepat. Ketika sudah berjuang keras untuk mencapai dasar tebing, mereka menemukan sebuah sungai mengalir tunin dari bukit-bukit di belakang, ke dalam dasar yang sangat dalam, dengan tepi-tepi curam yang licin dan dipenuhi tanaman berduri. Sungai itu memotong garis arah yang sudah mereka pilih. Mereka tak bisa melompatinya, maupun menyeberanginya, tanpa menjadi basah kuyup, tergores-gores, dan berlumpur. Mereka berhenti, bertanya-tanya apa yang harus dilakukan. "Hambatan pertama!" kata Pippin sambil tersenyum murung.
Sam Gamgee menoleh ke belakang. Melalui bukaan di antara pepohonan, ia melihat sekilas puncak tebing hijau yang telah mereka turuni.
"Lihat!" katanya, mencengkeram tangan Frodo. Mereka semua memandang, dan di punggung tebing jauh di atas mereka, berlatar belakang Ian-it, berdiri seekor kuda. Di sampingnya membungkuk sebuah sosok hitam.
Seketika mereka membatalkan gagasan untuk kembali. Frodo memimpin jalan, dan terjun cepat ke dalam belukar rapat di sisi sungai. "Waduh!" katanya pada Pippin. "Kita berdua benar! Jalan pintas itu malah membuat masalah; tapi kita berhasil bersembunyi tepat pada waktunya. Pendengaranmu tajam, Sam; bisakah kau mendengar sesuatu datang?"
Mereka berdiri diam, hampir menahan napas sambil mendengarkan; tapi tidak terdengar bunyi pengejaran. "Rasanya dia tidak akan berani mencoba membawa kudanya menuruni tebing itu," kata Sam. "Tapi kukira dia tahu kita menuruninya. Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan."
Meneruskan berjalan sama sekali tidak mudah. Ransel-ransel harus dibawa, dan semak-semak belukar enggan membiarkan mereka lewat. Mereka terpotong dari aliran angin oleh punggung bukit di belakang; udara pengap dan diam. Ketika akhirnya berhasil menerobos jalan sampai ke wilayah yang lebih terbuka, mereka sudah kepanasan, lelah, dan tergores-gores, dan sudah tidak yakin akan arah yang mereka ambil. Tebing-tebing sungai mulai menurun, saat aliran airnya mencapai tanah datar dan menjadi lebih lebar dan dangkal, mengalir menuju Marish dan Sungai Besar.
"Wah, ini kan Stock-brook!" kata Pippin. "Kalau ingin mencoba kembali ke arah yang benar, kita harus menyeberangi sungai ini segera dan berjalan ke arah kanan."
Mereka menyeberangi sungai itu, bergegas melewati daerah terbuka yang tak berpohon dan ditumbuhi rush di sisi seberangnya. Setelah itu mereka sampai ke serumpun pepohonan: sebagian besar pohon ek tinggi, dengan pohon elm- atau asli di sana-sini. Tanahnya cukup datar, dan hanya sedikit belukar, tapi pepohonan terlalu rapat, sehingga mereka tak bisa melihat jauh ke depan. Dedaunan tertiup ke atas oleh embusan angin mendadak, dan bercak-bercak hujan mulai turun dari langit yang mendung. Lalu angin mereda dan hujan turun deras. Mereka berjalan dengan susah payah secepat mungkin, melewati bidang-bidang rumput dan timbunan daun-daun tua; di sekitar mereka hujan turun rintik-rintik. Mereka tidak berbicara, tapi sering menoleh ke belakang, dan ke kiri-kanan.
Setelah setengah jam, Pippin berkata, "Kuharap kita tidak terlalu banyak membelok ke arah selatan, dan tidak berjalan ke arah panjang hutan ini! Hutan ini tidak terlalu besar, dan seharusnya kita sudah melewatinya sekarang."
"Tak ada gunanya mulai berjalan berliku-liku," kata Frodo. "Itu tidak akan memperbaiki keadaan. Biarlah kita terus berjalan seperti sejak tadi! Aku belum berani keluar ke daerah terbuka."
Mereka terus berjalan sepanjang kira-kira dua mil. Lalu matahari bersinar lagi dari balik awan-awan, dan hujan mereda. Sekarang sudah lewat tengah hari, dan mereka merasa sudah saatnya makan siang. Mereka berhenti di bawah pohon elm: dedaunannya masih lebat, walau sudah mulai menguning, dan tanah di kakinya lumayan kering dan teduh. Ketika menyiapkan makanan, baru mereka sadar bahwa kaum Peri sudah mengisi botol-botol mereka dengan minuman jernih berwarna pucat keemasan: aromanya seperti madu dari bermacam kembang, dan ternyata sangat menyegarkan. Tak lama kemudian, mereka sudah tertawa-tawa dan menceklikkan jari kepada hujan, dan kepada para Penunggang Hitam. Beberapa mil terakhir rasanya akan segera selesai ditempuh.
Frodo bersandar ke batang pohon, dan memejamkan mata. Sam dan Pippin duduk di dekatnya, dan mereka mulai bersenandung, lalu bernyanyi perlahan:
Ho! Ho! Ho! Kepada botol aku pergi
Membenamkan sedih dan menyembuhkan hati.
Hujan boleh turun, angin pun berembus,
Masih jauh jarak yang harus ditembus,
Tapi di bawah pohon tinggi aku berbaring,
Membiarkan awan-awan lewat beriring.
Ho! Ho! Ho! mereka mulai lagi lebih keras. Tapi tiba-tiba mereka berhenti. Frodo melompat berdiri. Sebuah raungan panjang datang menunggang angin, seperti teriakan makhluk jahat dan kesepian. Raungan itu naik-turun, dan berakhir pada nada tinggi tajam. Sementara mereka duduk dan berdiri, seolah membeku mendadak, raungan itu dibalas teriakan lain, lebih lemah dan jauh, tapi tak kurang mengerikan. Lain menyusul keheningan yang dipatahkan hanya oleh bunyi angin di dedaunan.
"Apa itu menurutmu?" tanya Pippin akhirnya, berusaha berbicara ringan, tapi agak gemetar. "Kalau itu burung, belum pernah aku mendengar yang seperti itu di Shire."
"Itu bukan burung atau binatang," kata Frodo. "Itu panggilan, atau tanda-ada kata-kata dalam teriakan itu, meski aku tak bisa menangkapnya. Tapi tidak ada hobbit yang mempunyai suara semacam itu."
Mereka tidak membahasnya lagi. Mereka semua memikirkan para Penunggang Hitam itu, tapi tidak membicarakannya. Kini mereka enggan untuk tetap tinggal maupun berjalan terus; tapi cepat atau lambat mereka harus menyeberangi pedalaman terbuka untuk ke Ferry, dan sebaiknya mereka pergi segera, selagi masih terang. Dalam sekejap mereka sudah memanggul ransel dan berangkat.
Tak lama kemudian, hutan mendadak berakhir. Padang-padang rumput luas terhampar di depan mereka. Sekarang baru terlihat bahwa sebenarnya mereka sudah terlalu banyak membelok ke selatan. Jauh di sana, di seberang dataran rendah, tampak sekilas bukit rendah Bucklebury di seberang Sungai, tapi kini bukit itu ada di sebelah kiri mereka. Sambil merangkak perlahan dari balik pepohonan, mereka berjalan secepat mungkin melintasi wilayah terbuka itu.
Mulanya mereka merasa takut; karena jauh dari perlindungan hutan. Jauh di belakang sana tampak tempat tinggi di mana mereka tadi sarapan. Frodo setengah menduga akan melihat di kejauhan sosok kecil pengendara kuda di atas punggung bukit, berlatar belakang langit; tapi tak ada tanda-tanda sama sekali. Matahari yang melepaskan diri dari awan-awan yang memecah, sambil turun ke arah bukit-bukit yang telah mereka tinggalkan, kini bersinar terang kembali. Rasa takut hilang dari hati mereka, meski perasaan kurang nyaman itu masih ada. Tetapi lingkungan sekitar semakin lama semakin jinak dan teratur. Tak lama kemudian, mereka sampai di ladang-ladang yang terawat baik dan padang rumput: ada pagar-pagar dan gerbang, serta bendungan-bendungan untuk pengairan. Semuanya tampak tenang dan damai, pemandangan khas di Shire. Semangat mereka semakin membesar seiring setiap langkah. Garis Sungai semakin dekat, dan para Penunggang Hitam mulai tampak seperti hantu-hantu hutan yang sekarang sudah tertinggal jauh di belakang.
Mereka melewati ping,-Iran ladang lobak yang luas, dan sampai ke sebuah gerbang kokoh. Sesudah gerbang terdapat jalan penuh jejak roda yang diapit pagar-pagar tanaman rendah yang teratur rapi, menuju segerombolan pohon di kejauhan. Pippin berhenti.
"Aku kenal ladang dan gerbang ini!" katanya. "Ini Bamfurlong; tanah Maggot tua si petani. Itu tempat pertaniannya di sana, di pepohonan itu."
"Masalah datang susul-menyusul!" kata Frodo; ia tampak sangat gelisah, seolah Pippin mengumumkan bahwa jalan itu celah menuju sarang naga. Yang lain memandangnya dengan heran.
"Apa yang salah dengan si Maggot tua?" tanya Pippin. "Dia berteman baik dengan semua kaum Brandybuck. Memang dia menakutkan bagi orang-orang yang melanggar wilayahnya, dan dia memelihara anjing-anjing galak-tapi bagaimanapun penduduk di sini lebih dekat ke perbatasan, dan perlu lebih waspada."
"Aku tahu," kata Frodo. Lalu ia menambahkan dengan tawa malu-malu, "Tapi pokoknya aku takut padanya dan anjing-anjingnya. Aku sudah bertahun-tahun menghindari pertaniannya. Dia pernah menangkapku beberapa kali, ketika aku masuk tanpa izin untuk mengambil jamur, sewaktu aku masih remaja di Brandy Hall. Pada kesempatan terakhir, dia memukulku, lalu membawaku dan menunjukkanku pada anjing-anjingnya. 'Lihat, anak-anak,' katanya, 'lain kali, kalau bajingan kecil ini menginjak tanahku, kalian boleh makan dia. Sekarang usir dia!' Mereka mengejarku sepanjang jalan, sampai ke Ferry. Aku tak pernah lupa ketakutanku—meski kelihatannya hewan-hewan itu tahu betul tugas mereka dan tidak akan benar-benar menyentuhku."
Pippin tertawa. "Well, sudah saatnya kau memperbaikinya. Terutama bila kau kembali tinggal di Buckland. Maggot sebenarnya baik-kalau kau tidak menyentuh jamurnya. Mari kita masuk ke jalan ini, supaya kita tidak melanggar wilayahnya. Kalau kita bertemu dengannya, aku yang akan bicara. Dia teman Merry, dan aku sering datang ke sini bersamanya."
Mereka menyususuri jalan itu, sampai melihat atap jerami sebuah rumah besar dan bangunan-bangunan pertanian mengintip dari antara pohon-pohon di depan. Para Maggot dan Puddifoot dari Stock, dan kebanyakan penduduk Marish, tinggal di rumah-rumah; tempat pertanian Maggot dibangun dari bata kokoh dan mempunyai tembok tinggi di sekelilingnya. Ada gerbang kayu lebar membuka dari tembok ke jalan.
Mendadak, ketika mereka semakin dekat, terdengar salakan dan gonggongan mengerikan, dan sebuah suara nyaring berteriak, "Grip! Fang! Wolf! Ayo, anak-anak!"
Frodo dan Sam langsung berhenti, tapi Pippin maju beberapa langkah. Gerbang terbuka dan tiga anjing besar menghambur ke jalan, berlari ke arah rombongan mereka, sambil menggonggong galak. Mereka tidak memperhatikan Pippin, tapi Sam mengerut ke dinding, sementara dua anjing yang mirip serigala mengendus-endusnya curiga, dan menggertaknya kalau ia bergerak. Yang paling besar dan galak di antara ketiganya berhenti di depan Frodo sambil menggeram, bulu-bulunya meremang.
Melalui gerbang muncul seorang hobbit lebar gemuk dengan wajah bulat merah. "Halo! Halo! Siapa kalian, dan apa yang kalian perlukan?" tanyanya.
"Selamat siang, Mr. Maggot!" kata Pippin.
Petani itu mengamatinya lebih cermat. "Wah, ternyata Master Pippin—Mr. Peregrin Took, mestinya kukatakan!" serunya, kerutan dahinya berubah menjadi senyuman. "Sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Untung aku kenal kau. Aku baru saja akan menyuruh anjingku menyerang pendatang asing. Banyak hal aneh terjadi belakangan ini. Kadang-kadang ada orang-orang aneh berkeliaran di wilayah ini. Terlalu dekat ke Sungai," katanya sambil menggelengkan kepala. "Tapi ini orang paling aneh yang pernah kulihat. Dia tidak bakal melintasi tanahku tanpa izin untuk kedua kalinya, tidak kalau aku bisa menghalanginya."
"Orang apa maksud Anda?" tanya Pippin.
"Kalau begitu, kalian tidak melihatnya?" kata petani itu. "Dia menuju jalan lintasan tinggi belum lama ini. Orang aneh dan menanyakan Pertanyaan-pertanyaan aneh. Tapi mungkin kalian sebaiknya masuk saja, kita bisa bertukar berita dengan lebih nyaman. Aku punya bir bagus, kalau kau dan teman-temanmu berkenan, Mr. Took."
Jelas tampak bahwa petani itu man menceritakan lebih banyak, kalau mereka membiarkannya, maka mereka semua menerima ajakannya. "Bagaimana dengan anjing-anjing?" tanya Frodo cemas.
Petani itu tertawa. "Mereka tidak akan menyakitimu—kecuali aku menyuruh mereka. Sini, Grip! Fang! Duduk!" serunya. "Duduk!
Wolf!" Dengan lega Sam dan Frodo melihat anjing-anjing itu pergi dan membiarkan mereka bebas.
Pippin memperkenalkan kedua temannya pada petani itu. "Mr. Frodo Baggins," katanya. "Mungkin Anda tidak ingat dia, tapi dulu dia tinggal di Brandy Hall." Mendengar nama Baggins, petani itu tampak terkejut dan melirik tajam ke. Frodo. Sejenak Frodo menyangka ia ingat lagi tentang jamur-jamurnya yang dulu dicuri, dan anjing-anjing akan disuruh mengusirnya. Tapi Petani Maggot justru memegang tangan Frodo.
"Wah, bukankah ini semakin aneh?" serunya. "Mr. Baggins, bukan? Masuklah! Kita harus bicara."
Mereka masuk ke dapur si petani, dan duduk di dekat perapian lebar. Mrs. Maggot mengeluarkan bir dalam kendi besar dan mengisi empat mug besar. Bir buatannya enak sekali, dan Pippin merasa kekecewaannya karena tidak mampir ke Persinggahan Emas terobati Sam meneguk birnya dengan curiga. Pada dasarnya ia tidak mempercayai penduduk di bagian-bagian lain Shire; dan ia juga tak bisa cepat bersahabat dengan orang yang pernah memukul majikannya, biarpun itu sudah lama berlalu.
Setelah beberapa komentar tentang cuaca dan masa depan pertanian (yang tidak lebih jelek dari biasanya), Petani Maggot meletakkan mug-nya dan memandang mereka masing-masing bergantian.
"Jadi, Mr. Peregrin," katanya, "dari mana dan ke mana kau akan pergi? Apakah kau datang untuk menjengukku? Sebab, kalau memang begitu, kau sudah melewati gerbangku tanpa aku melihatmu."
"Well, tidak," jawab Pippin. "Sejujurnya, karena Anda sudah menduganya, kami masuk jalan ini dari ujung sana: kami datang melintasi ladang Anda. Tapi itu tanpa sengaja. Kami tersesat di hutan, di sana dekat Woodhall, saat mencoba memotong jalan ke Ferry."
"Kalau kalian terburu-buru, sebenarnya lewat jalan akan lebih cepat," kata si petani. "Tapi aku bukan cemas tentang itu. Kau kuizinkan melintasi tanahku, kalau mau, Mr. Peregrin. Dan kau juga, Mr. Baggins—meski aku berani bilang kau masih suka jamur." ia tertawa. "Oh ya, aku mengenali namamu. Aku ingat waktu Frodo Baggins muda menjadi salah satu pemuda berandal paling hebat di Buckland. Tapi bukan jamur yang kupikirkan. Aku baru saja mendengar nama Baggins sebelum kau muncul. Kaupikir apa yang ditanyakan orang aneh itu padaku?"
Dengan cemas mereka menunggu petani itu melanjutkan ceritanya. "Well," lanjutnya, sengaja berlama-lama dan menikmatinya, "dia datang menunggang kuda hitam, masuk ke gerbang yang kebetulan terbuka dan langsung sampai ke pintuku. Dia sendiri hitam, berjubah dan berkerudung, seolah tak ingin dikenali. 'Apa pula yang diinginkannya di Shire?' pikirku dalam hati. Kami jarang melihat Makhluk-Makhluk Besar di luar perbatasan, dan bagaimanapun aku belum pernah mendengar tentang orang hitam semacam ini.
"'Selamat pagi! kataku sambil mendekatinya. 'Jalan ini tidak ke mana-mana, dan ke mana pun tujuanmu, jalan tercepat adalah kembali ke jalan besar.' Aku tidak menyukai penampilannya; lalu Grip keluar, mengendusnya satu kali, dan langsung mendengking seperti kena tusuk: dia menurunkan ekornya dan lari sambil meraung. Orang hitam itu duduk diam saja.
"'Aku datang dari sana,' katanya, perlahan dan kaku, sambil menunjuk ke arah barat, melewati ladangku, sialan. 'Kau melihat Baggins?' dia bertanya dengan suara aneh, dan membungkuk ke arahku. Aku tak bisa melihat wajahnya, karena tertutup kerudungnya; dan aku merasa punggungku merinding. Tapi aku tidak mengerti, kenapa dia begitu berani melintasi tanahku.
"'Pergilah!' kataku. 'Tidak ada Baggins di sini. Kau masuk di bagian Shire yang keliru. Sebaiknya kau kembali ke Hobbiton-tapi kau bisa melewati jalan raya kali ini.'
"'Baggins sudah pergi,' jawabnya berbisik. 'Dia akan datang. Dia tidak jauh dari sini. Aku ingin bertemu dengannya. Kalau dia lewat, kau mau memberitahu aku? Aku akan kembali membawa emas.'
"'Tidak, kau tidak akan kembali kemari,' kataku. 'Kau akan kembali ke tempat asalmu, lebih cepat lagi. Kuberi kau satu menit, sebelum kupanggil semua anjingku.'
"Dia mengeluarkan semacam bunyi desis. Mungkin tertawa, mungkin juga tidak. Lalu dia memacu kudanya ke arahku, dan aku melompat menghindar tepat pada waktunya. Aku memanggil anjing-anjing, tapi dia membelok dan melaju melewati gerbang, dan naik ke jalan lintas tinggi bagai kilatan halilintar. Bagaimana menurut kalian?"
Frodo duduk sejenak menatap api, tapi yang ada dalam benaknya adalah bagaimana mereka bisa mencapai Ferry. "Aku tidak tahu harus berpikir apa," katanya akhirnya.
"Kalau begitu, izinkan aku memberi saran," kata Maggot. "Seharusnya kau jangan bergaul dengan orang-orang Hobbiton, Mr. Frodo. Di sana banyak orang aneh." Sam bergerak di kursinya, dan memandang petani itu dengan pandangan tidak ramah. "Tapi kau memang Pemuda sembrono. Ketika kudengar kau meninggalkan keluarga Brandybuck dan pergi ke Mr. Bilbo tua, aku sudah bilang kau akan menemui kesulitan. Perhatikan omonganku, ini semua akibat kelakuan aneh Mr. Bilbo. Uangnya diperolehnya dengan cara aneh di negeri asing, katanya. Mungkin ada yang ingin tahu, apa yang terjadi dengan emas dan berlian yang ditanamnya di bukit di Hobbiton, seperti yang kudengar?"
Frodo tidak mengatakan apa pun: tebakan licin petani itu agak mengganggunya.
"Well, Mr. Frodo," lanjut Maggot, "aku senang kau punya akal sehat untuk kembali ke Buckland. Nasihatku adalah: tetaplah di sana! Dan jangan bergaul dengan orang-orang aneh itu. Di sini kau akan punya teman. Kalau orang-orang hitam itu datang mengejarmu lagi, biar aku yang menangani mereka. Akan kukatakan kau sudah mati, atau meninggalkan Shire, atau apa pun yang kauinginkan. Dan mungkin omonganku tidak salah; karena tampaknya Mr. Bilbo tualah yang mereka cari."
"Mungkin Anda benar," kata Frodo, menghindari tatapan petani itu dan memandang api.
Maggot mengamatinya dengan merenung. "Well, tampaknya kau punya gagasan-gagasan sendiri," katanya. "Bagiku jelas sekali bahwa bukan suatu kebetulan yang membuat kau dan penunggang kuda itu datang ke sini pada siang yang sama; dan mungkin beritaku sebenarnya bukan berita besar bagimu. Aku tidak minta kau menceritakan sesuatu yang ingin kausimpan sendiri, tapi kulihat kau sedang dalam kesulitan. Mungkin kau merasa tidak terlalu mudah pergi ke Ferry tanpa tertangkap?"
"Memang itulah yang sedang kupikirkan," kata Frodo. "Tapi kami harus berusaha sampai ke sana; dan itu tidak akan terjadi kalau kami cuma duduk berpikir. Jadi, aku khawatir kami harus berangkat. Terima kasih banyak atas kebaikan hati Anda! Selama tiga puluh tahun aku takut pada Anda dan anjing-anjing Anda, Petani Maggot, meski Anda mungkin tertawa mendengarnya. Sayang sekali, karena selama ini aku kehilangan seorang teman baik. Dan sekarang aku menyesal harus segera pergi. Tapi aku akan kembali, mungkin, suatu hari-kalau ada kesempatan."
"Kau akan disambut bila datang," kata Maggot. "Tapi sekarang aku ingin menawarkan. Matahari hampir terbenam, dan kami akan makan malam, karena biasanya kami langsung tidur setelah Matahari. Kalau kau dan Mr. Peregrin dan semuanya bisa tinggal dan makan malam bersama kami, kami akan sangat senang!"
"Begitu pula kami!" kata Frodo. "Tapi kami harus segera pergi. Sekarang saja sudah mulai gelap, padahal kami belum sampai di Ferry."
"Ah! Tunggu dulu! Aku baru hendak mengatakan: setelah sedikit makan malam, aku akan mengeluarkan kereta kecil, dan akan kuantar kalian semua ke Ferry. Itu akan menghemat banyak langkah kalian, dan mungkin juga menghindarkan kalian dari masalah lain."
Frodo menerima undangan itu dengan bersyukur, sehingga Pippin dan Sam lega. Matahari sudah tenggelam di belakang bukit-bukit barat, dan cahaya terangnya sudah redup. Dua putra Maggot dan ketiga putrinya masuk, dan hidangan makan malam berlimpah disajikan di meja besar. Dapur diterangi lilin-lilin, api di pendiangan dibesarkan. Mrs. Maggot sibuk keluar-masuk. Satu-dua hobbit yang termasuk dalam rumah tangga pertanian itu masuk. Dalam sekejap empat belas orang duduk makan. Bir berlimpah-limpah, ada sebuah piring besar penuh jamur dan daging panggang, juga banyak makanan pertanian yang lezat. Anjing-anjing berbaring dekat perapian, mengunyah kulit dan memecah tulang.
Selesai makan, si petani dan putra-putranya keluar membawa lentera dan menyiapkan kereta. Gelap sekali di halaman, ketika tamu-tamu itu keluar. Mereka melemparkan ransel ke dalam kereta, dan naik ke dalamnya. Si petani duduk di kursi kusir, dan memecut kedua kudanya yang gagah. Istrinya berdiri dalam cahaya dari pintu yang terbuka.
"Jaga dirimu, Maggot!" ia berteriak. "Jangan berdebat dengan orang asing, dan langsung kembali!"
"Baik!" kata Maggot, lalu ia melaju keluar dari gerbang. Tidak ada embusan angin; malam diam dan tenang, dan hawa dingin. Mereka keluar tanpa lampu dan berjalan perlahan. Setelah satu-dua mil jalan itu berakhir, melintasi pematang dalam, dan mendaki tebing pendek menuju jalan lintas yang bertebing tinggi.
Maggot turun dan melihat tajam ke dua arah, utara dan selatan, tapi tak ada yang terlihat dalam kegelapan, dan tidak ada suara sama sekali dalam keheningan. Utas-utas tipis kabut sungai menggantung di atas pematang, dan merangkak di atas ladang-ladang.
"Kabut akan semakin tebal," kata Maggot, "tapi aku tidak akan menyalakan lenteraku sampai aku kembali ke rumah. Kalau ada suara di jalan, kita akan mendengamya jauh sebelum bertemu dengannya malam ini."
Dari jalan Maggot ke Ferry jaraknya lebih dari lima mil. Hobbit-hobbit itu menyelimuti diri, tapi telinga mereka memperhatikan suara apa saja di atas bunyi deritan roda dan derap perlahan kaki kuda. Frodo merasa kereta itu berjalan lebih lamban daripada siput. Di sampingnya Pippin sudah mengangguk-angguk mengantuk, tapi Sam menatap ke depan, ke dalam kabut yang sedang naik.
Akhirnya mereka mencapai pintu masuk ke jalan Ferry. Tempat itu ditandai dengan dua tiang putih tinggi yang tiba-tiba menjulang di sebelah kanan mereka. Petani Maggot menghentikan kudanya, dan kereta berhenti dengan bunyi berderit. Ketika mereka hendak keluar dari kereta, tiba-tiba terdengar suara yang sudah mereka takutkan: bunyi derap kaki kuda di jalan di depan. Bunyi itu menuju ke arah mereka.
Maggot melompat turun dan berdiri memegang kepala kuda-kuda, mengintai ke dalam keremangan. Klip-klop, klip-klop bunyi penunggang yang semakin dekat. Derap kaki kuda itu terdengar nyaring dalam keheningan udara yang berkabut.
"Sebaiknya Anda bersembunyi, Mr. Frodo," kata Sam cemas. "Berbaringlah di kereta, tutupi diri Anda dengan selimut, dan kami akan menangani penunggang ini!" ia memanjat keluar dan berdiri di samping si petani. Penunggang Hitam itu harus melindasnya bila ingin mendekati kereta.
Klop-klop, klop-klop. Penunggang itu hampir sampai di dekat mereka.
"Halo!" teriak Petani Maggot. Bunyi derap kuda yang menghampiri, berhenti mendadak. Mereka merasa samar-samar bisa melihat bayangan sosok gelap berjubah di dalam kabut, satu-dua meter di depan.
"Hei!" kata petani itu, sambil melemparkan tali kekang kepada Sam dan melangkah maju. "Jangan maju lagi selangkah pun! Apa yang kauinginkan, dan ke mana kau menuju?"
"Aku menginginkan Mr. Baggins. Apa kau melihatnya?" kata sebuah suara teredam—tapi itu suara Merry Brandybuck. Lentera gelap dibuka, dan cahayanya jatuh ke wajah sang petani yang keheranan.
"Mr. Merry!" teriaknya.
"Ya, tentu saja! Anda kira siapa?" kata Merry sambil berjalan maju. Saat ia keluar dari kabut dan ketakutan mereka hilang, sosok Merry mendadak kelihatan menyusut menjadi ukuran hobbit biasa. Ia mengendarai seekor kuda, sehelai selendang melingkari leher dan bagian atas dagunya, untuk menghalangi kabut.
Frodo meloncat keluar dari kereta untuk menyalaminya. "Jadi, akhirnya kau datang!" kata Merry. "Aku sudah mulai bertanya-tanya, apakah kau akan datang hari ini, dan aku baru saja mau kembali untuk makan malam. Ketika cuaca mulai berkabut, aku melintas dan naik kuda menuju Stock, untuk melihat apakah kalian jatuh ke dalam parit. Tapi aku tak mengerti kalian lewat jalan mana. Di mana Anda menemukan mereka, Mr. Maggot? Di kolam angsa Anda?"
"Tidak, aku menangkap mereka memasuki tanahku tanpa izin,” kata si petani, "dan aku hampir menyuruh anjing-anjingku menyerang mereka; tapi mereka akan menceritakan seluruhnya padamu, aku yakin itu. Sekarang, maaf, Mr. Merry, Mr. Frodo, dan semuanya, sebaiknya aku pulang. Mrs. Maggot akan cemas, apalagi malam berkabut tebal begini."
Ia memundurkan keretanya di jalan dan membalikkan arahnya. "Well, selamat malam semuanya," katanya. "Hari ini aneh sekali, betul-betul aneh. Tapi segala sesuatu yang baik akan berakhir dengan baik pula; meski mungkin kita tak boleh mengatakan begitu sebelum kita sampai di tujuan masing-masing. Kuakui, aku akan senang kalau sudah sampai di rumahku." ia menyalakan lenteranya, dan naik ke atas keretanya. Tiba-tiba ia mengeluarkan keranjang besar dari bawah tempat duduk. "Hampir saja aku lupa," katanya. "Mrs. Maggot menyiapkan ini untuk Mr. Baggins, beserta salamnya." ia menyerahkan keranjang itu dan mulai melaju, diiringi paduan suara ucapan terima kasih dan selamat malam.
Mereka memperhatikan lingkaran-lingkaran cahaya pucat di sekitar lenteranya, sampai lenyap ditelan malam berkabut. Mendadak Frodo tertawa: dari keranjang tertutup yang dipegangnya tercium aroma keharuman jamur.
Buku 1 Bab 05
KOMPLOTAN TERBONGKAR
"Sekarang sebaiknya kita sendiri juga pulang," kata Merry. "Rasanya ada yang aneh tentang ini semua; tapi ini harus menunggu sampai kita masuk ke rumah."
Mereka melangkah melewati jalan Ferry yang lurus dan terawat baik, dengan pinggiran bebatuan yang dikapur putih. Kira-kira seratus meter kemudian, mereka tiba di tepi sungai, di mana ada dermaga kayu lebar. Sebuah kapal feri datar besar tertambat di sampingnya. Tonggak-tonggak putih dekat tepi air berkilauan dalam cahaya dua buah lampu pada tiang-tiang tinggi. Di belakang mereka, kabut di ladang-ladang datar sekarang sudah melayang di atas pagar-pagar; tapi air di depan mereka gelap, dengan hanya beberapa untai nap keriting di antara rumput-rumput ilalang di tepinya. Kelihatannya di seberang sana kabut lebih tipis.
Merry menuntun kudanya melewati jembatan ke atas feri, dan yang lainnya menyusul. Merry kemudian mendorong feri itu perlahan dengan tongkat panjang. Sungai Brandywine mengalir perlahan dan lebar di depan mereka. Di tepi sebelah sana tebingnya curam, dan sebuah jalan mendaki berkelok-kelok dari dermaganya. Lampu-lampu berkelip di sana. Di belakang menjulang Bukit Buck; dan dari situ, melalui selubung kabut sana-sini, banyak jendela bundar menyala, kuning dan merah. Itulah jendela-jendela Brandy Hall, tempat tinggal zaman kuno kaum Brandybuck.
Lama berselang Gorhendad Oldbuck, kepala keluarga Oldbuck, salah satu yang tertua di Marish atau bahkan di Shire, menyeberangi sungai yang dulu menjadi perbatasan tanah sebelah timur. Ia membangun (dan menggali) Brandy Hall, mengganti namanya menjadi Brandybuck, dan menetap serta kelak menjadi pemimpin dari sebuah negeri kecil yang merdeka. Keluarganya terus berkembang, bahkan setelah ia meninggal, sampai Brandy Hall memenuhi seluruh bukit rendah itu, dan mempunyai tiga pintu depan besar, banyak pintu samping, dan sekitar seratus jendela. Kaum Brandybuck dan para pengikut mereka yang tak, terhitung banyaknya lalu mulai menggali liang, dan di kemudian hari membangun di seluruh penjuru. Itulah asal-muasal Buckland, sebuah petak berpenduduk padat di antara sungai dengan Old Forest, semacam koloni dari Shire. Desanya yang terbesar adalah Bucklebury, bergerombol di tebing dan lereng di belakang Brandy Hall.
Orang-orang di Marish bergaul akrab dengan kaum Buckland, dan wibawa Penguasa Hall (sebutan untuk kepala keluarga Brandybuck) masih diakui petani-petani antara Stock dan Rushey. Tapi kebanyakan orang Shire lama menganggap kaum Buckland agak aneh, bahkan setengah asing. Meski sebenarnya mereka tidak jauh berbeda dengan hobbit-hobbit lain dari Keempat Wilayah. Kecuali dalam satu hal: mereka senang perahu, dan beberapa di antara mereka bisa berenang.
Tanah mereka pada mulanya tidak terlindung dari Timur; tapi pada sisi itu mereka telah membuat pagar tanaman: High Hay. Sudah bergenerasi-generasi yang lain mereka menanamnya; sekarang pagar itu tebal dan tinggi, karena selalu dirawat. Ia membentang mulai dari Jembatan Brandywine, membelok dalam lingkaran besar menjauh dari sungai, ke Haysend (di mana Withywindle mengalir keluar dari hutan, masuk ke Brandywine): lebih dari dua puluh mil dari ujung ke ujung. Tapi tentu saja itu bukan perlindungan yang sempurna. Di banyak tempat, hutan tumbuh rapat dengan pagar itu. Kaum Buckland mengunci pintu mereka setelah gelap, dan itu juga hal yang tidak biasa di Shire.
Kapal feri itu bergerak perlahan di atas air. Pantai Buckland semakin dekat. Sam satu-satunya anggota rombongan yang belum pernah menyeberangi sungai itu. Suatu perasaan aneh merambati dirinya ketika aliran perlahan sungai mendeguk melewatinya; kehidupannya yang lama tertinggal di belakang, di dalam kabut, dan petualangan gelap terhampar di depan. Ia menggaruk kepalanya, dan sesaat ia menyesali kenapa Mr. Frodo tidak tetap tinggal dengan tenang di Bag End.
Keempat hobbit itu turun dari feri. Merry menambatkannya, dan pippin sudah menuntun kuda mendaki jalan setapak, ketika Sam (yang terus menoleh ke belakang, seolah parrot kepada Shire) berkata dengan bisikan parau, "Lihat ke belakang, Mr. Frodo! Apa Anda melihat sesuatu?"
Di atas dermaga jauh di sana, di bawah lampu-lampu, mereka bisa melihat suatu sosok: tampaknya seperti buntalan hitam gelap yang tertinggal. Tapi ketika mereka menatapnya, ia kelihatan bergerak dan bergoyang ke sana kemari, seolah mencari jejak di tanah. Lalu ia merangkak, atau pergi sambil membungkuk, kembali ke dalam keremangan di luar cahaya lampu-lampu.
"Apa pula itu?" seru Merry.
"Sesuatu yang mengejar kami," kata Frodo. "Tapi jangan banyak tanya dulu sekarang! Mari kita segera pergi!" Mereka bergegas mendaki jalan ke puncak tebing, tapi ketika mereka menoleh ke belakang, pantai seberang terselubung kabut, dan tak ada yang tampak.
"Untungnya kau tidak menyimpan perahu di tebing barat!" kata Frodo. "Apa kuda bisa menyeberangi sungai?"
"Mereka bisa berjalan dua puluh mil ke Jembatan Brandywine atau mereka bisa berenang," jawab Merry. "Meski aku belum pernah mendengar ada kuda berenang di Brandywine. Tapi apa hubungannya kuda dengan ini?"
"Nanti akan kuceritakan. Mari kita masuk ke dalam, lalu barulah kita bicara."
"Baiklah! Kau dan Pippin tahu jalan; jadi aku akan jalan lebih dulu dan memberitahu Fatty Bolger bahwa kau akan datang. Kami akan menyiapkan makan malam dan sebagainya."
"Kami sudah makan malam dengan Petani Maggot," kata Frodo, "tapi kami masih bisa makan lagi."
"Baiklah! Berikan keranjang itu!" kata Merry, lalu ia melaju di depan, memasuki kegelapan.
Dari Brandywine ke rumah Frodo yang baru di Crickhollow masih cukup jauh jaraknya. Mereka melewati Bukit Buck dan Brandy Hall di sebelah kiri mereka, dan di pinggiran Bucklebury mereka bertemu jalan raya dari Buckland yang menjalar ke selatan dari Jembatan. Setengah mil ke arah utara menyusuri jalan ini, mereka sampai ke suatu jalan di sebelah kanan. Mereka mengikuti jalan itu beberapa mil, mendaki naik-turun, masuk ke pedalaman.
Akhirnya mereka tiba di sebuah gerbang sempit dalam sebuah pagar tebal. Tak ada yang bisa dilihat dari rumah itu dalam kegelapan: ia berdiri jauh dari jalan, di tengah halaman rumput berupa lingkaran besar, dikelilingi lajur pohon-pohon rendah di sebelah dalam pagar luar. Frodo memilihnya karena berada di sudut negeri yang jauh dari mana-mana, dan tidak ada human lain di dekatnya. Orang bisa keluar-masuk tanpa terlihat. Rumah itu sudah lama dibangun oleh kaum Brandybuck, untuk digunakan para tamu atau anggota keluarga yang ingin istirahat sementara dari kehidupan ramai di Brandy Hall. Rumah itu kuno, dan sedapat mungkin dibuat menyerupai liang tempat tinggal hobbit: panjang dan rendah, tanpa tingkat; atapnya dari lempeng tanah, jendela bundar, dan pintu bundar lebar.
Saat mereka menapaki jalan setapak hijau dari gerbang, tidak tampak cahaya sama sekali; jendela-jendela gelap dan tertutup. Frodo mengetuk pintu, dan Fatty Bolger membukanya. Cahaya yang ramah memancar keluar. Mereka menyelinap masuk dengan cepat, dan mengurung diri sendiri serta cahaya di dalam. Mereka berada di dalam sebuah balairung, dengan pintu pada kedua sisinya; di depan mereka sebuah selasar mengarah ke belakang, melewati tengah rumah.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Merry yang datang dari selasar. "Kami sudah berupaya keras membuatnya tampak seperti rumah tinggal dalam waktu singkat. Bagaimanapun, Fatty dan aku baru kemarin sampai di sini dengan muatan kereta terakhir."
Frodo melihat sekeliling. Memang tampak seperti rumah. Banyak benda kesukaannya—atau barang-barang Bilbo (barang-barang itu sangat mengingatkannya pada Bilbo)-sudah disusun semirip mungkin dengan susunan di Bag End. Tempat itu nyaman, menyenangkan, dan terasa hangat menyambut; dan Frodo berharap ia benar-benar datang ke sini untuk menetap dengan tenteram. Rasanya tidak adil sudah menyusahkan teman-temannya; ia bertanya lagi dalam hati, bagaimana harus menyampaikan pada mereka bahwa ia harus segera pergi lagi. Namun ia terpaksa mesti berpamitan, sebelum mereka semua pergi tidur.
"Sangat menyenangkan!" katanya memaksakan diri. "Rasanya tidak seperti pindah rumah."
Mereka menggantungkan jubah dan menumpuk ransel di lantai. Merry menuntun mereka melewati selasar, dan membuka pintu di ujung terjauh. Nyala api keluar, berikut embusan uap. '
"Air mandi!" seru Pippin. "Bagus sekali, Meriadoc!"
“Siapa yang masuk lebih dulu?" tanya Frodo. "Yang paling tua dulu, atau yang paling cepat? Bagaimanapun, kau akan menjadi yang terakhir, Master Peregrin."
"Percayalah, aku bisa mengaturnya dengan lebih baik!" kata Merry. "Kita tidak bisa mulai hidup di Crickhollow dengan bertengkar tentang mandi. Di ruangan itu ada tiga bak mandi dan satu teko penuh air mendidih. Juga ada handuk, keset, dan sabun. Masuklah, dan cepatlah mandi!"
Merry dan Fatty masuk ke dapur yang ada di ujung lain selasar itu, dan menyibukkan diri dengan persiapan-persiapan terakhir untuk makan malam. Potongan-potongan lagu terdengar saling bersaing dari kamar mandi, bercampur dengan bunyi kecipak air dan gelak tawa. Suara Pippin tiba-tiba terdengar lebih keras dari yang lain, ketika menyanyikan salah satu lagu mandi kesukaan Bilbo.
Ayo nyanyi, nyanyi sambil mandi,
mandi Air Panas di penghujung hari!
Sintinglah dia yang tak mau bernyanyi:
mandi Air Panas bukankah enak sekali!
Oh! Manisnva titik rintik air hujan,
dan sungai yang melompat dari bukit ke hutan;
api mandi Air Panas jelas lebih nyaman
kepulan asapnya menyegarkan badan.
Oh! Air dingin bolehlah dituang
ke tenggorokan haus dan kita pun senang;
tapi minum Bir tentu lebih nikmat,
dan mandi Air Panas 'tuk mengusir penat.
Oh! Air jernih yang melompat menari
di bawah langit meliak-liuk tinggi;
tapi mandi Air Panas sungguh tak tertandingi
alirannya hangat di sela jari-jari kaki!
Ada bunyi cemplungan hebat, dan teriakan Hai! dari Frodo. Kelihatannya air mandi Pippin banyak meniru air mancur dan melompat tinggi.
Merry mendekati pintu. "Bagaimana kalau makan dan menuang bir ke tenggorokan?" serunya. Frodo keluar sambil mengeringkan rambutnya.
"Begitu banyak air beterbangan, jadi aku man ke dapur saja untuk menyelesaikan mandiku," kata Frodo.
"Wah-wah!" kata Merry, sambil melihat ke dalam. Lantai batu terendam air. "Kau harus mengepel lantai itu, Peregrin. Kalau tidak, kau tidak boleh makan," katanya. "Cepatlah, atau kami tidak akan menunggumu.'
Mereka makan malam di dapur, di meja dekat perapian. "Kukira kalian bertiga tidak man makan jamur lagi," kata Fredegar tanpa banyak harapan.
"Ya, kami mau makan jamur," seru Pippin.
"Itu punyaku!" kata Frodo. "Diberikan padaku oleh Mrs. Maggot, ratu di antara istri-istri petani. Singkirkan tanganmu yang serakah, biar aku yang membagi-bagikannya."
Hobbit sangat suka jamur, bahkan melebihi kerakusan Makhluk Besar sekalipun. Itu sebabnya dulu Frodo suka berpetualang ke ladang-ladang tersohor di Marish, dan itu pula sebabnya Maggot merasa sangat dirugikan. Tapi pada kesempatan ini jamurnya cukup banyak untuk mereka semua, bahkan menurut ukuran hobbit sekalipun. Banyak hidangan lain menyusul, dan saat mereka selesai, bahkan Fatty Bolger menarik napas puas.- Mereka mendorong meja dan menempatkan kursi-kursi di sekeliling api.
"Nanti saja beres-beresnya," kata Merry. "Sekarang ceritakan semuanya! Kuduga kalian mengalami petualangan, yang sebenarnya tidak adil bila tanpa aku. Aku ingin cerita lengkap; dan terutama aku ingin tahu ada apa dengan Maggot tua, dan mengapa dia bicara seperti itu padaku. Dia hampir-hampir seperti ketakutan, kalau itu mungkin."
"Kami semua ketakutan," kata Pippin setelah hening sejenak, sementara Frodo memandangi api dan tidak berbicara. "Kau pun pasti begitu, kalau kau dikejar selama dua hari oleh para Penunggang Hitam."
"Siapa mereka?"
"Sosok-sosok hitam menunggang kuda hitam," jawab Pippin. "Kalau Frodo tidak man bicara, aku akan menceritakan semuanya dari awal." Lalu ia membeberkan kisah lengkap perjalanan mereka, . sejak saat mereka berangkat dari Hobbiton. Sam mengangguk-angguk dan berseru memberi dukungan sesekali. Frodo tetap diam.
"Aku pasti akan menyangka kalian cuma mengada-ada," kata Merry, "kalau aku tidak melihat sosok hitam di dermaga itu-dan mendengar nada aneh dalam suara Maggot. Menurutmu ada apa sebenarnya, Frodo?"
"Sepupu Frodo terus menutup mulut," kata Pippin. "Tapi sudah saatnya dia membuka diri. Sejauh ini kami hanya tahu berdasarkan tebakan Petani Maggot bahwa semua ini ada hubungannya dengan harta Bilbo."
"Itu hanya dugaan," kata Frodo cepat. "Maggot tidak tahu apa pun."
"Maggot tua itu cerdik sekali," kata Merry. "Dia punya banyak akal yang tidak dia tunjukkan di balik wajahnya yang bundar itu. Kudengar dulu dia sering masuk ke Old Forest, dan kabarnya dia tahu banyak hal aneh. Tapi setidaknya kau bisa menceritakan pada kami, Frodo, apakah menurutmu dugaannya benar atau salah."
"Kupikir," jawab Frodo perlahan, "dugaannya benar, sejauh itu. Ada hubungannya dengan petualangan Bilbo di masa lalu, dan para Penunggang itu sedang mencari, atau lebih tepatnya nienehisuri, dia atau aku. Aku juga khawatir bahwa ini bukan mainmain, dan bahwa aku tidak aman di sini atau di mana pun." ia memandang ke dinding-dinding dan jendela, seolah takut tiba-tiba mereka runtuh. Yang lain menatapnya dalam diarn, dan saling bertukar pandang penuh arti.
"Sebentar lagi dia pasti bicara," bisik Pippin pada Merry. Merry mengangguk.
"Well!" kata Frodo akhirnya; ia menegakkan punggung, seolah sudah mengambil keputusan. "Aku tak bisa menutupinya lagi. Aku harus menceritakan sesuatu pada kalian semua. Tapi aku tidak tahu bagaimana harus memulainya."
"Kurasa aku bisa menolongmu," kata Merry tenang, "dengan menceritakan sebagian."
"Apa maksudmu?" kata Frodo, memandang Merry dengan cemas.
"Hanya ini, Frodo yang baik: kau sedih, karena kau tidak tahu bagaimana harus pamit. Kau sudah berniat meninggalkan Shire, tentu. Tapi bahaya lebih cepat datang daripada yang kaukira, dan kini kau memutuskan untuk segera pergi. Walau kau sebenarnya tak ingin. Kami kasihan padamu."
Frodo membuka mulutnya, dan menutupnya lagi. Ekspresi keheranannya begitu lucu, sampai mereka semua tertawa. "Frodo yang baik!" kata Pippin. "Kaupikir kau bisa mengelabui kami semua? Kau kurang hati-hati atau kurang cerdik untuk itu! Jelas sekali selama ini kau sudah mengucapkan selamat tinggal pada semua tempat yang sering kaukunjungi sepanjang tahun ini sejak April. Kami sering sekali mendengarmu menggumam, 'Apa aku akan pernah memandang ke dalam lembah itu lagi,' dan hal-hal semacamnya. Dan kau pura-pura sudah kehabisan uang, hingga menjual Bag End tersayang pada keluarga Sackville-Baggins! Dan semua pembicaraan seriusmu itu dengan Gandalf."
"Ya ampun!" kata Frodo. "Kupikir aku sudah cukup hati-hati dan pintar. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan Gandalf. Kalau begitu, apakah seluruh Shire membahas kepergianku?"
"Oh, tidak!" kata Merry. "Jangan khawatir tentang itu! Tentu saja rahasianya tak bisa ditutupi lama-lama, tapi saat ini yang tahu hanya komplotan kami, kukira. Bagaimanapun, kau harus ingat bahwa kami kenal baik denganmu, dan sering bersamamu. Kami biasanya bisa menduga apa yang kaupikirkan. Aku juga kenal Bilbo. Sejujurnya, aku sudah memperhatikanmu dengan cermat sejak Bilbo pergi. Aku sudah menduga, cepat atau lambat kau akan menyusulnya; bahkan aku menyangka kau akan pergi lebih cepat, dan akhir-akhir ini kami sudah sangat cemas. Kami takut kau akan memperdaya kami, dan mendadak pergi sendirian seperti Bilbo. Sejak musim semi ini kami membuka mata lebar-lebar, dan membuat rencana-rencana sendiri juga. Kau tidak bisa semudah itu melarikan diri!"
"Tapi aku harus pergi," kata Frodo. "Mau tak mau, kawan-kawan yang baik. Memang sangat menyedihkan bagi kita semua, tapi tak ada gunanya mencoba menahanku di sini. Karena kalian sudah bisa menduga sejauh ini, tolonglah aku dan jangan halangi aku!"
"Kau tidak mengerti!" kata Pippin. "Kau hams pergi, dan karenanya kami juga. Merry dan aku akan ikut bersamamu. Sam memang bisa diandalkan; dia pasti rela melompat ke dalam mulut buaya demi menyelamatkanmu, kalau dia tidak tersandung kakinya sendiri; tapi kau perlu lebih dari satu pendamping dalam petualanganmu yang penuh bahaya."
"Hobbit-hobbit-ku tersayang!" kata Frodo dengan terharu. "Aku tak bisa mengizinkan itu. Aku sudah lama memutuskan hal ini. Kau berbicara tentang bahaya, tapi kau tidak mengerti. Ini bukan pencarian harta, bukan perjalanan ke sana lalu kembali. Aku berlari dari bahaya mematikan, masuk ke bahaya maut lain."
"Tentu saja kami mengerti," kata Merry tegas. "Itulah sebabnya kami memutuskan untuk ikut. Kami tahu Cincin itu bukan soal mainmain, tapi kami akan berupaya sebaik mungkin untuk membantumu melawan Musuh."
"Cincin!" kata Frodo, sekarang benar-benar kaget.
"Ya, Cincin," kata Merry. "Hobbit-ku yang baik, kau tidak memperkirakan rasa ipgin tahu kawan-kawanmu. Aku sudah tahu keberadaan Cincin itu selama bertahun-tahun-sebelum Bilbo pergi bahkan; tapi karena kelihatannya dia menganggap itu rahasia, aku menyimpan pengetahuan itu untuk diriku sendiri, sampai kami membentuk komplotan. Tentu aku tidak kenal Bilbo sebaik aku kenal kau; aku terlalu muda, dan dia juga lebih hati-hati-tapi tidak cukup hati-hati. Kalau kau ingin tahu bagaimana aku mula-mula tahu tentang cincin itu, akan kuceritakan."
"Ceritakanlah!" kata Frodo lemah.
"Keluarga Sackville-Baggins-lah yang menimbulkan kejatuhannya, seperti mungkin sudah kauduga. Suatu hari, setahun sebelum Pesta, kebetulan aku sedang berjalan-jalan ketika kulihat Bilbo di depanku. Tiba-tiba di kejauhan keluarga S.-B.s muncul, berjalan ke arah kami. Bilbo memperlambat langkahnya, lalu... hai, presto! Dia lenyap. Aku begitu kaget, sampai hampir tak bisa berpikir untuk menyembunyikan diri dengan cara yang lebih wajar; maka aku menerobos pagar tanaman, dan berjalan sepanjang ladang sebelah dalam. Aku mengintip ke jalan, setelah keluarga S.-B.s lewat, dan memandang lurus ke Bilbo ketika dia mendadak muncul lagi. Aku menangkap sekilas kilatan emas saat dia memasukkan sesuatu ke dalam sakunya.
"Setelah itu aku terus mengawasinya. Kuakui, aku memata-matainya. Tapi peristiwa itu memang sangat membuatku penasaran, dan aku masih remaja waktu itu. Pasti aku satu-satunya orang di Shire, selain kau, Frodo, yang pernah melihat buku rahasia si tua itu."
"Kau sudah membaca bukunya?" seru Frodo. "Ya ampun! Apakah tidak ada yang aman?"
"Tidak terlalu aman, menurutku," kata Merry. "Tapi aku hanya melihat sekilas, dan itu sulit sekali. Dia tak pernah membiarkan bukunya tergeletak di sembarang tempat. Aku ingin tahu, apa yang terjadi dengan buku itu. Aku ingin sekali melihatnya lagi. Apakah ada padamu, Frodo?"
"Tidak. Buku itu tidak ada di Bag End. Pasti dia membawanya pergi."
"Well, seperti kataku tadi," lanjut Merry, "aku menyimpan pengetahuanku untuk diriku sendiri, sampai saat musim Semi ini, ketika keadaan mulai gawat. Saat itu kami membentuk komplotan kami; dan karena kami serius sekali dan benar-benar mau menanganinya, maka kami tidak terlalu hati-hati dan cermat. Kau bukan teka-teki yang mudah ditebak, apalagi Gandalf. Tapi kalau kau mau diperkenalkan pada detektif utama kami, aku bisa menunjukkannya."
"Di mana dia?" kata Frodo, melihat sekeliling, seolah berharap melihat sosok bertopeng dan menyeramkan muncul dari dalam lemari.
"Maju ke depan, Sam!" kata Merry, dan Sam berdiri dengan wajah merah sampai ke telinganya. "Inilah sumber informasi kami! Dan dia mengumpulkan banyak sekali informasi, sebelum akhirnya tertangkap. Setelah itu, dia kelihatannya menganggap dirinya dalam pembebasan bersyarat, dan dia diam saja."
"Sam!" seru Frodo, merasa tak bisa lebih kaget lagi, dan tidak tahu apakah ia merasa marah, geli, lega, atau hanya bodoh.
"Ya, Sir!" kata Sam. "Minta maaf, Sir! Tapi aku bukan bermaksud jahat terhadap Anda, Mr. Frodo, maupun pada Mr. Gandalf. Dia punya akal sehat, camkan itu; dan ketika Anda bilang akan pergi sendirian, dia bilang tidak! bawalah seseorang yang bisa kaurpercayai."
"Tapi kelihatannya aku tak bisa mempercayai siapa pun," kata Frodo.
Sam memandangnya dengan sedih. "Itu semua tergantung apa yang kauinginkan," tambah Merry. "Kau bisa mempercayai kami untuk mendampingimu dalam semua kesulitan—sampai akhir yang pahit. Dan kau bisa mempercayai kami untuk menyimpan rahasiamu yang mana pun lebih rapat daripada kau sendiri bisa menyimpannya. Tapi kau tak bisa menyuruh kami membiarkanmu menghadapi masalahmu sendirian, dan pergi tanpa kabar. Kami sahabat-sahabatmu, Frodo. Bagaimanapun: begitulah. Kami sudah tahu sebagian besar dari apa yang diceritakan Gandalf padamu. Kami tahu cukup banyak tentang Cincin itu. Kami sangat takut, tapi kami akan mendampingimu; atau mengikutimu seperti anjing pemburu."
"Dan bagaimanapun, Sir," tambah Sam, "Anda seharusnya mengikuti nasihat para Peri. Gildor mengatakan Anda harus mengajak mereka yang man ikut, dan aku tidak bisa Anda bantah."
"Aku tidak membantahnya," kata Frodo, sambil memandang Sam yang sekarang nyengir. "Aku tidak membantahnya, tapi aku tidak akan pernah percaya lagi bahwa kau sedang tidur, meski kau mendengkur atau tidak. Aku akan menendangmu dengan keras, agar yakin.
"Kalian sekelompok bajingan penipu!" katanya kepada yang lainnya. "Tapi terpujilah kalian!" tawanya sambil bangkit berdiri dan mengibaskan tan-an. "Aku menyerah. Aku akan mengikuti nasihat Gildor. Seandainya bahaya ini tidak begitu gelap, aku akan menari-nari kegirangan. Bagaimanapun, man tak man aku merasa bahagia; lebih bahagia daripada yang sudah lama kurasakan. Aku sudah ketakutan menghadapi sore ini."
"Bagus! Sudah diputuskan. Tiga kali sorak-sorai untuk Kapten Frodo dan rombongannya!" teriak mereka; lalu mereka menari-nari mengitarinya. Merry dan Pippin memulai suatu nyanyian, yang rupanya Sudah mereka siapkan untuk kesempatan itu.
Lagunya menuruti langgam lagu kurcaci yang dulu mengawali petualangan Bilbo, dan mengikuti irama yang sama:
Selamat tinggal rumah dan perapian!
Meski angin berembus dan turun hujan,
Kita harus pergi sebelum fajar
Jauh sekali lewat gunung dan hutan.
Ke Rivendell, tempat Peri
Di lapangan bawah bukit-bukit tinggi.
Lewat padang dan semak kami melaju,
Lalu ke mana kami tak tahu lagi.
Menerobos hutan, menyeberangi ngarai,
Di bawah langit ranjang kami,
Sampai kerja keras kami usai,
Perjalanan kami berakhir; urusan selesai.
Kami harus pergi! Kami harus pergi!
Kami melaju sebelum fajar pagi!
"Bagus sekali!" kata Frodo. "Tapi kalau begitu banyak yang harus kita lakukan sebelum tidur—di bawah atap, setidaknya malam ini."
"Oh! Itu kan hanya puisi!" kata Pippin. "Apa kau benar-benar berniat berangkat sebelum fajar?"
"Aku tidak tahu," jawab Frodo. "Aku takut pada para Penunggang Hitam itu, dan aku yakin tidak aman bila terlalu lama tetap di satu tempat, terutama kalau orang-orang sudah tahu aku akan datang ke sana. Gildor juga menasihatiku agar tidak menunggu. Tapi aku ingin sekali bertemu Gandalf. Kulihat Gildor juga resah ketika tahu Gandalf belum datang. Sebenarnya tergantung dua hal. Seberapa cepat para Penunggang itu bisa sampai di Bucklebury? Dan seberapa cepat kita bisa berangkat? Itu memerlukan persiapan besar."
"Jawaban untuk pertanyaan kedua," kata Merry, "adalah kita bisa berangkat dalam waktu satu jam. Aku sudah menyiapkan semuanya. Ada enam kuda di kandang di seberang padang; persediaan makanan dan perbekalan sudah dikemas, kecuali beberapa pakaian ekstra, dan makanan yang tidak tahan lama."
"Rupanya komplotan kalian sangat efisien," kata Frodo. "Tapi bagaimana dengan Penunggang Hitam? Apakah aman bila kita menunggu Gandalf satu hari?"
"Itu tergantung apa yang menurutmu akan dilakukan para Penunggang Hitam kalau mereka menemukanmu di sini," jawab Merry. "Mereka mungkin sudah sampai di sini sekarang, kalau tidak dihentikan di Gerbang Utara, di mana High Hay terbentang sampai ke tebing sungai, di sisi sebelah sini Jembatan. Para penjaga gerbang tidak akan membiarkan mereka masuk di malam hari, meski mungkin mereka akan berusaha mendobrak pagar itu. Bahkan kurasa siang hari pun para penjaga akan mencoba mencegah orang-orang itu masuk, setidaknya sampai mereka telah memberitahu Penguasa Hall-mereka pasti tidak menyukai penampilan para Penunggang itu, dan pasti ketakutan melihat mereka. Tapi tentu saja Buckland tidak bakal bisa menolak serangan gencar untuk waktu lama. Dan mungkin saja di pagi hari mereka akan membiarkan masuk seorang Penunggang Hitam yang datang menanyakan Mr. Baggins. Sudah banyak yang tahu bahwa kau akan datang untuk tinggal di Crickhollow."
Frodo duduk merenung beberapa saat. "Aku sudah mengambil keputusan," akhirnya ia berkata. "Aku akan berangkat besok, begitu hari terang. Tapi aku tidak akan melewati jalan: lebih aman menunggu di sini daripada berada di jalan. Kalau aku pergi melalui Gerbang Utara, kepergianku dari Buckland akan segera ketahuan, padahal mestinya bisa dirahasiakan selama beberapa hari. Terlebih lagi, Jembatan dan Jalan Timur dekat perbatasan pasti akan diawasi, entah ada Penunggang yang masuk ke Buckland atau tidak. Kita tidak tahu berapa Penunggang yang ada; tapi setidaknya ada dua, dan mungkin lebih. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah pergi ke arah yang sangat tak terduga."
"Tapi itu berarti masuk ke Old Forest!" kata Fredegar ketakutan. "Kau tidak berniat melakukan itu, kan? Itu sama berbahayanya dengan Penunggang Hitam."
"Tidak persis sama," kata Merry. "Kedengarannya memang nekat sekali, tapi aku yakin Frodo benar. Itu satu-satunya jalan untuk berangkat tanpa segera dikuntit. Kalau beruntung, kita bisa cukup jauh mendahului mereka."
"Tapi kau tidak akan beruntung di dalam Old Forest," bantah Fredegar. "Tidak ada yang pernah beruntung di dalam sana. Kau akan tersesat. Orang-orang tidak berani masuk ke sana."
"Oh, mereka masuk!" kata Merry. "Para Brandybuck sering masuk bila sedang ingin. Kami punya jalan masuk pribadi. Frodo pernah masuk, sudah lama sekali. Aku juga pernah masuk beberapa kali; biasanya siang hari, tentu, bila pepohonan sedang mengantuk dan suasananya cukup tenang."
"Well, lakukanlah yang terbaik menurutmu!" kata Fredegar. "Aku lebih takut pada Old Forest daripada apa pun: cerita-cerita tentangnya seperti mimpi buruk; tapi suaraku tidak bisa masuk hitungan, karma aku tidak akan ikut dalam perjalanan. Meski begitu, aku sangat senang masih ada yang tinggal, untuk menceritakan pada Gandalf apa yang kalian lakukan, kalau dia datang; dan aku yakin tak lama lagi dia akan datang.
Meski Fatty Bolger sangat menyayangi Frodo, ia tak ingin meninggalkan Shire, juga tak ingin melihat apa yang ada di luarnya. Keluarganya berasal dari Wilayah Timur, dari Budgeford di Bridgefields sebenarnya, tapi ia belum pernah melintasi Jembatan Brandywine. Tugasnya, sesuai rencana semula komplotan itu, adalah tetap tinggal di sana untuk menangani orang-orang yang ingin tahu, dan untuk selama mungkin berpura-pura bahwa Mr. Baggins masih tinggal di Crickhollow. Ia bahkan membawa beberapa pakaian lama Frodo untuk membantunya memainkan peran itu. Mereka sama sekali tak menduga peran itu akan terbukti sangat berbahaya.
"Bagus!" kata Frodo setelah memahami rencana mereka. "Kalau tidak, kita tak bisa meninggalkan pesan untuk Gandalf. Aku tidak tahu apakah para Penunggang ini bisa membaca atau tidak, tapi aku tidak akan berani mengambil risiko meninggalkan pesan tertulis, seandainya mereka masuk dan menggeledah rumah ini. Tapi kalau Fatty bersedia mempertahankan benteng, dan aku bisa yakin Gandalf tahu ke mana kita pergi, aku jadi lebih mantap. Aku akan masuk Old Forest besok pagi-pagi."
"Yah, begitulah," kata Pippin. "Secara keseluruhan, aku lebih senang mendapat tugas kami daripada togas Fatty menunggu di sini sampai Penunggang Hitam datang."
"Tunggu sampai kau sudah jauh masuk ke dalam Forest," kata Fredegar, "besok, sebelum jam ini, kau akan berharap masih bersamaku di sini."
"Tak ada gunanya berdebat tentang itu," kata Merry. "Kita masih harus beres-beres dan mengepak, sebelum tidur. Aku akan membangunkan kalian semua sebelum fajar."
Ketika akhirnya ia berbaring di ranjang, Frodo tak bisa tidur untuk beberapa lama. Kakinya sakit. Ia senang besok akan naik kuda. Akhirnya ia tenggelam dalam mimpi samar-samar, di mana ia seperti sedang memandang dari jendela di atas lautan gelap pepohonan kusut. Di bawah sana, di antara akar-akar, ada bunyi makhluk-makhluk yang merangkak dan mengendus-endus. Ia merasa cepat atau lambat mereka akan mengendusnva.
Lalu ia mendengar suara di kejauhan. Mula-mula ia mengira itu suara angin keras yang berembus di atas dedaunan hutan. Lalu ia tahu itu bukan bunyi dedaunan, tetapi bunyi Laut nun jauh di sana; bunyi yang belum pernah didengarnya dalam keadaan terjaga, meski bunyi itu Bering mengganggu mimpinya. Mendadak ia menyadari bahwa ia berada di ruang terbuka. Tak ada pohon lama sekali. Ia berada di padang rumput liar yang gelap, dan ada ban asin yang aneh di udara. Ketika menengadah, ia melihat di hadapannya sebuah menara tinggi putih menjulang sendiri di punggung sebuah bukit tinggi. Dalam dirinya muncul hasrat yang sangat besar untuk memanjat menara itu dan melihat Laut. Ia mulai berjuang mendaki bukit, menuju menara: tapi mendadak seberkas cahaya muncul di langit, dan terdengar bunyi halilintar.
Buku 1 Bab 06
OLD FOREST
Frodo terbangun tiba-tiba. Di dalam ruangan masih gelap. Merry berdiri dengan satu lilin di tangannya, dan menggedor pintu dengan tangan satunya. "Baik! Ada apa?" kata Frodo, masih gemetar dan bingung.
"Ada apa!" seru Merry. "Sudah waktunya bangun. Sudah jam setengah lima, dan kabut tebal sekali. Ayo! Sam sedang menyiapkan sarapan. Pippin juga sudah bangun. Aku baru saja akan memasang pelana pada kuda-kuda, dan mengambil kuda pengangkut barang. Bangunkan si pemalas Fatty! Setidaknya dia harus bangun dan mengantar kita berangkat."
Tak lama setelah jam enam, para hobbit sudah siap berangkat. Fatty Bolger masih menguap. Mereka keluar diam-diam dari rumah. Merry berjalan di depan, menuntun kuda, menyusuri jalan setapak yang melalui pepohonan di belakang rumah, lalu memotong melintasi beberapa ladang. Dedaunan berkilauan di pohon-pohon, dan setiap rantingnya meneteskan embun; rumput pun kelabu tertutup embun. Suasana sepi, bunyi-bunyi di kejauhan terdengar dekat dan jelas: unggas yang berceloteh di halaman, seseorang yang menutup pintu rumah di kejauhan. t
Kuda-kuda pony ada di kandang mereka; hewan-hewan kecil kuat dari jenis yang disukai kaum hobbit: tidak cepat, tapi cocok untuk bekerja sepanjang hari. Mereka menaiki kuda-kuda, dan tak lama kemudian sudah melaju pergi dalam kabut, yang seolah tersingkap enggan di depan, dan menutup kembali dengan menyeramkan di belakang. Setelah menunggang kuda lebih dari satu jam, lambat dan tanpa berbicara, mereka melihat High Hay menjulang di depan, tinggi dan ditutupi sarang labah-labah keperakan.
"Bagaimana kita bisa melewati ini?" tanya Fredegar.
"Ikuti aku!" kata Merry, "dan kau akan lihat" ia membelok ke kiri sepanjang High Hay; dengan segera mereka tiba di tempat pagar itu membelok ke dalam, menelusuri bibir suatu lembah. Ada sebuah bukaan pada jarak tertentu dari High Hay, menurun lembut ke dalam tanah. Pada sisinya ada tembok bata yang semakin meninggi, tiba-tiba membentuk lengkungan dan terowongan di bawahnya, yang masuk jauh ke bawah High Hay dan keluar di cekungan di seberang.
Di sini Fatty Bolger berhenti. "Selamat jalan, Frodo!" katanya. "Seandainya saja kau tidak masuk ke Forest. Kuharap kau tidak perlu diselamatkan sebelum hart ini berakhir. Mudah-mudahan kau berhasil sekarang dan setiap hari!"
"Aku beruntung kalau di depanku tidak ada rintangan yang lebih buruk daripada Old Forest," kata Frodo. "Katakan pada Gandalf untuk bergegas melewati Jalan Timur: kami akan segera lewat jalan itu lagi, dan akan berjalan secepat mungkin."
"Selamat tinggal!" teriak mereka, lalu melaju menuruni tebing dan menghilang dari pandangan Fredegar, masuk ke dalam terowongan.
Di sana gelap dan lembap. Ujung seberang terowongan ditutupi "' pintu dari jeruji besi kokoh. Merry turun dan membuka kunci gerbang, menutupnya lagi setelah mereka semua lewat. Pintu tertutup den-an bunyi gemerincing dan kuncinya terceklik. Suara itu terdengar mengancam.
"Nah!" kata Merry. "Kau sudah meninggalkan Shire, dan sekarang berada di luar, di pinggir Old Forest."
"Apakah cerita-cerita tentang hutan itu benar?" tanya Pippin.
"Aku tidak tahu cerita mana yang kaumaksud," jawab Merry. "Kalau maksudmu cerita-cerita khayal mengerikan yang biasa didengar Fatty dari pengasuhnya, maka menurutku tidak. Setidaknya aku tidak percaya. Tapi hutan ini memang ganjil. Segala sesuatu di dalamnya sangat hidup, lebih sadar tentang apa yang terjadi, daripada segala sesuatu di Shire. Dan pohon-pohon di sana tidak menyukai orang asing. Mereka suka mengawasi. Mereka biasanya puas hanya memperhatikan kita, selama hari masih terang, dan tidak berbuat banyak. Sesekali pohon yang paling tidak ramah suka menjatuhkan dahan, atau menjulurkan akar, atau menggapai kita dengan sulur panjang. Tapi di malam hari keadaan bisa sangat menakutkan, atau begitulah kata orang-orang. Aku baru sekali-dua kali masuk ke sini setelah gelap, itu pun hanya dekat pagar. Aku merasa semua pohon saling berbisik, meneruskan berita-berita dan rencana-rencana dalam bahasa yang tak bisa dipahami; dahan-dahan bergoyang dan meraba-raba tanpa ada angin. Kabarnya pohon-pohon itu benar-benar bisa bergerak, mengepung mereka. Bahkan sebenarnya lama berselang mereka pernah menyerang High Hay: mereka datang dan menanamkan diri persis di sampingnya, dan bersandar menutupinya. Tapi para hobbit datang menebang ratusan pohon, membuat api unggun besar di Forest, dan membakar seluruh tanah sepanjang satu petak di sebelah timur High Hay. Setelah itu pepohonan tidak menyerang lagi, tapi mereka menjadi tidak ramah. Masih ada ruang kosong luas tak jauh dari tempat api unggun dulu dinyalakan."
"Apakah hanya pohon-pohon yang berbahaya?" tanya Pippin.
"Ada banyak makhluk aneh yang tinggal jauh di dalam Forest, dan di pinggiran seberang sana," kata Merry, "atau setidaknya begitulah yang kudengar; tapi aku belum pernah melihat satu pun dari mereka. Tapi ada yang membuat jalan di sini. Setiap kita masuk, pasti kita akan menemukan jejak jalan terbuka; tapi kelihatannya jalan itu berubah-ubah dan berpindah dari waktu ke waktu dengan cara yang aneh. Tak jauh dad terowongan ada-atau pernah ada untuk waktu lama-awal suatu jalan lebar menuju Lapangan Api Unggun, lalu kurang-lebih ke arah yang kita tuju, ke timur dan agak ke utara. Itulah jalan yang akan kucoba cari."
Sekarang para hobbit meninggalkan mulut terowongan dan menunggang kuda melintasi lembah luas. Di seberang ada jejak jalan samar-samar menuju dataran Forest, seratus meter lebih di luar High Hay; tapi jalan itu menghilang begitu mereka sampai ke bawah pepohonan. Ketika menoleh ke belakang, mereka bisa melihat garis gelap High Hay melalui batang-batang pohon yang sudah rapat di sekeliling mereka. Di depan sana mereka hanya bisa melihat batang-batang pohon dalam beragam ukuran dan bentuk: lurus atau bengkok, terpelintir, condong gemuk atau ramping, licin atau kasar dan bercabang-cabang; semua batang tampak hijau oleh lumut dan tanaman lebat yang berlendir.
Hanya Merry yang kelihatan agak riang. "Kau sebaiknya memimpin dan menemukan jalan itu," kata Frodo kepadanya. "Jangan sampai kita saling kehilangan, atau lupa arah letak High Hay!"
Mereka memilih sebuah jalan di antara pepohonan, kuda-kuda melangkah lamban dan susah payah, dengan hati-hati menghindari akar-akar yang menggeliat dan saling berjalin. Tak ada semak-semak. Tanah semakin menanjak, dan ketika mereka berjalan maju, rasanya pohon-pohon semakin tinggi, gelap, dan rapat. Tak ada suara, kecuali bunyi tetesan air yang sesekali jatuh di antara dedaunan yang tidak bergerak. Untuk sementara tidak ada bisikan atau gerakan di antara dahan-dahan; tapi ada perasaan tidak nyaman di hati mereka, perasaan bahwa mereka sedang diperhatikan dengan rasa tak suka, yang meningkat menjadi tak senang dan bahkan benci. Perasaan itu semakin berkembang, sampai mereka sering menengok cepat atau menoleh ke belakang, seolah merasa akan dipukul tiba-tiba.
Masih belum ada tanda-tanda mereka akan menemukan jalan itu, dan pepohonan seolah-olah selalu merintangi. Pippin mendadak tak tahan lagi, dan sekonyong-konyong ia mengeluarkan teriakan. "Hoi! Hoi!" teriaknya. "Aku tidak akan melakukan apa pun. Biarkan aku lewat, tolong!"
Yang lain berhenti dengan kaget; tapi teriakan itu seolah teredam tirai tebal. Tak ada gema atau jawaban, meski hutan terasa semakin penuh sesak dan lebih waspada daripada sebelumnya.
"Aku tidak bakal berteriak, kalau aku jadi kau," kata Merry. "Itu malah lebih berakibat buruk daripada baik."
Frodo mulai bertanya-tanya, apakah mungkin menemukan jalan tembus, dan apakah ia telah bertindak benar dengan mengajak yang lain masuk ke hutan mengerikan ini. Merry memandang sekelilingnya, kelihatannya sudah tidak yakin mesti mengambil arah mana. Pippin memperhatikannya. "Belum apa-apa kau sudah membuat kita tersesat," katanya. Tapi tepat pada saat itu Merry mengeluarkan siulan penuh kelegaan dan menunjuk ke depan.
"Nah, nah!" katanya. "Memang pohon-pohon ini suka berpindah tempat. Itu Lapangan Api Unggun di depan kita (begitulah kuharap), tapi jalan ke sana kelihatannya sudah pindah!"
Cahaya semakin terang saat mereka berjalan maju. Tiba-tiba mereka sudah keluar dari pepohonan, dan sudah berada di suatu tempat luas berbentuk lingkaran. Langit terbentang di atas, kebiruan dan kejernihannya membuat mereka tercengang, karena di bawah atap Forest mereka tak bisa melihat pagi yang merebak dan kabut yang sirna. Namun matahari masih belum cukup tinggi untuk menyinari tempat terbuka itu, meski cahayanya menyentuh puncak-puncak pohon. Daun-daun tampak lebih tebal dan hijau di tepi-tepi lapangan, mengurungnya dengan dinding yang hampir padat. Tidak ada pohon tumbuh di sana, hanya rumput kasar dan banyak tanaman tinggi: cemara beracun yang layu berbatang ramping dan wood-parsley, fire-weed yang menyemai menjadi abu halus, dan jelatang serta widuri yang menjalar. Tempat yang suram, tapi tampak seperti kebun yang menarik dan ceria dibandingkan dengan Forest yang menyesakkan.
Semangat para hobbit kembali bangkit, dan mereka menengadah penuh harap pada cahaya pagi di langit. Di seberang lapangan ada celah di dinding pepohonan, dan sebuah jalan setapak tampak jelas di baliknya. Mereka bisa melihatnya menjulur masuk ke hutan, lebar di beberapa tempat dan terbuka di atasnya, meski sesekali pepohonan merapat dan menggelapkannya dengan cabang-cabang mereka. Mereka masih mendaki sedikit, tapi sekarang mereka berjalan lebih cepat, dan dengan hati lebih ringan, karena sepertinya Forest sudah mengalah, dan akhirnya bersedia membiarkan mereka melewatinya tanpa rintangan.
Tapi, setelah beberapa saat, udara mulai panas dan pengap. Pepohonan mulai merapat lagi di kedua sisi, dan mereka tak bisa lagi melihat jauh ke depan. Sekarang kebencian hutan itu terasa lebih kuat lagi menekan mereka. Begitu sepi suasana sekitar, sampai-sampai bunyi langkah kaki kuda yang gemersik pada dedaunan kering, dan kadang-kadang tersandung akar tersembunyi, seolah menggelegar di telinga. Frodo mencoba menyanyi untuk menyemangati mereka, tapi suaranya teredam menjadi gumaman.
Oh! Pengembara di negeri gelap
jangan putus asa! Sebab meski gelap dan senyap,
hutan ini 'kan berakhir juga,
matahari bersinar seperti semula:
terbenam matahari, terbit matahari,
penghujung hari, atau awal hari.
Timur atau barat, semua hutan 'kan berakhir...
Berakhir-ketika Frodo mengucapkan kata itu, suaranya menghilang dalam kesunyian. Udara terasa berat, dan menyusun kata-kata terasa melelahkan. Tepat di belakang mereka sebuah dahan besar jatuh dengan keras ke jalan, dari pohon tua yang sudah bungkuk. Pohon-pohon lainnya seakan merapat di depan mereka.
"Mereka tidak suka mendengar tentang hutan yang berakhir itu," kata Merry. "Sebaiknya tidak menyanyi lagi sekarang. Tunggu sampai kita keluar di ujung seberang, baru kita menoleh dan memberikan paduan suara yang membangkitkan semangat!"
Ia berbicara dengan riang, sama sekali tidak tampak cemas. Yang lain tidak menjawab. Mereka merasa tertekan. Beban berat terasa makin menindih hati Frodo, dan setiap mengambil langkah maju, ia menyesal sudah berani menantang ancaman pohon-pohon ini. Ia baru saja hendak berhenti dan mengusulkan untuk kembali (kalau itu masih mungkin), ketika keadaan mendadak berubah. Jalan setapak itu berhenti mendaki, dan untuk beberapa saat menjadi agak datar. Pepohonan yang gelap agak merenggang, dan di depan sana mereka bisa melihat jalan itu hampir lurus ke depan. Di depan mereka, tapi masih agak jauh, ada puncak bukit hijau tak berpohon, muncul bagai kepala botak dari hutan yang mengitarinya. Jalan itu tampaknya langsung menuju ke sana.
Sekarang mereka bergegas maju lagi, senang membayangkan akan keluar sejenak di atas atap Forest. Jalan menurun, lalu mendaki lagi, akhirnya menuntun mereka ke kaki lereng bukit yang curam. Di sana jalan itu meninggalkan pepohonan dan menghilang ke dalam tanah kering. Hutan berdiri mengelilingi bukit, seperti rambut tebal yang dengan tajam berakhir membentuk lingkaran, mengelilingi puncak kepala yang gundul.
Para hobbit menuntun kuda mereka naik, melingkar-lingkar ke atas, sampai mencapai puncak. Di sana mereka berdiri memandang sekeliling. Udara cerah dan matahari bersinar, tapi agak berkabut, dan mereka tak bisa melihat terlalu jauh. Di dekat mereka kabut hampir hilang, meski di sana-sini masih menggantung di cekungan hutan; di sebelah selatan mereka, dari suatu lipatan dalam yang memotong seluruh Forest, kabut masih naik seperti uap atau untaian asap putih.
"Itu," kata Merry, sambil menunjuk dengan tangannya, "itu garis Withywindle. Dia keluar dari Downs dan mengalir ke barat daya, melewati tengah Forest untuk bergabung dengan Brandywine di bawah Haysend. Kita tidak mau ke arah sana! Kabarnya lembah Withywindle adalah bagian paling aneh di seluruh hutan-pusat dari semua keanehan."
Yang lainnya memandang ke arah yang ditunjuk Merry, tapi mereka hanya bisa melihat kabut di atas lembah yang dalam dan lembap; di seberangnya, bagian selatan Forest menghilang dari pandangan.
Matahari sekarang mulai panas di atas puncak bukit. Saat itu pasti sekitar jam sebelas, tapi kabut musim gugur masih menghalangi mereka untuk bisa melihat banyak ke arah-arah lain. Di barat, mereka tak bisa melihat garis High Hay maupun lembah Brandywine di seberangnya. Ke arah utara, ke mana mereka memandang penuh harap, tak terlihat apa pun yang mungkin merupakan garis Jalan Timur yang besar, yang sedang mereka tuju. Mereka berada di suatu pulau di antara lautan pepohonan, dan cakrawala terselubung.
Di sisi tenggara tanah turun dengan curam, seolah-olah lereng bukit berlanjut jauh ke bawah pepohonan, seperti pantai kepulauan yang sebenarnya merupakan sisi gunung yang muncul dari air dalam. Mereka duduk di pinggiran rumput dan memandang hutan di bawah, sambil makan siang. Ketika matahari naik dan tengah hari lewat, jauh di timur mereka melihat garis-garis kelabu kehijauan Downs yang terletak di seberang Old Forest pada sisi itu. Pemandangan ini sangat menggembirakan mereka; rasanya menyenangkan melihat sesuatu di luar batas hutan, meski mereka tidak bermaksud pergi ke arah itu, kalau bisa: wilayah Barrow-downs dalam legenda-legenda hobbit terkenal sama menakutkannya seperti Forest.
Akhirnya mereka memutuskan melanjutkan perjalanan. Jalan yang membawa mereka ke bukit muncul kembali di sisi utara; tapi belum lama mereka menyusurinya, jalan itu semakin membelok ke kanan. Dengan segera jalan itu sudah menurun cepat, dan mereka menduga ia menuju lembah Withywindle: sama sekali bukan arah yang ingin mereka tuju. Setelah berdiskusi sebentar, mereka memutuskan meninggalkan jalan yang menyesatkan itu, dan pergi ke arah utara; meski mereka tak bisa melihatnya dari atas puncak bukit, Jalan tersebut pasti terletak di arah sana, dan pasti tidak terlalu jauh lagi. Lagi pula ke arah utara, dan ke kiri jalan, tanah kelihatan lebih kering dan lebih terbuka, mendaki ke lereng-lereng yang pepohonannya lebih jarang, di mana cemara-cemara menggantikan pohon-pohon A dan asli dan pohon-pohon aneh lain yang tak bernama di bagian hutan yang padat.
Mulanya pilihan mereka tampak bagus: Mereka maju dengan kecepatan lumayan, tapi setiap kali bisa melihat sekilas matahari di tempat terbuka, kelihatannya mereka secara tak terkendali sudah melenceng ke arah timur. Namun setelah beberapa saat pohon-pohon mulai merapat lagi, justru di tempat yang dari jauh tampak lebih jarang dan tidak begitu kusut. Lalu mereka menemukan banyak lipatan dalam yang tak terduga di tanah, seperti jejak roda raksasa besar atau parit lebar, dan jalan yang terbenam, sudah lama tidak digunakan, penuh sesak dengan semak berduri. Biasanya rintangan-rintangan itu tepat memotong arah jalan mereka, dan hanya bisa dilewati dengan merangkak di bawahnya; ini sulit dan mengganggu untuk kuda-kuda. Setiap kali mereka turun, mereka menemukan cekungan penuh belukar tebal dan semak-semak kusut, yang entah mengapa tak man memberi jalan ke arah kiri, hanya man menyerah kalau mereka belok ke kanan; mereka jadi terpaksa berjalan cukup jauh menyusuri dasar cekungan, sebelum bisa menemukan jalan naik ke tebing selanjutnya. Setiap kali mereka memanjat keluar, pepohonan seolah tampak lebih rapat dan gelap; dan selalu lebih sulit mencari jalan bila mereka belok ke kiri dan naik, hingga mereka terpaksa berjalan ke arah kanan dan turun.
Setelah satu-dua jam, mereka sudah kehilangan arah yang jelas, tapi mereka tahu betul bahwa sudah sejak tadi mereka tidak lagi berjalan ke arah utara. Mereka seperti sengaja dihadang, dan hanya mengikuti jalan yang dipilihkan untuk mereka ke timur dan selatan, menuju pusat Forest, bukan keluar.
Siang hari mulai habis ketika mereka merangkak dan tersandung-sandung ke dalam lipatan yang lebih lebar dan dalam daripada yang sebelumnya mereka temui. Begitu curam dan tertutup tanaman, hingga tak mungkin memanjat keluar, baik sambil maju maupun mundur, tanpa meninggalkan kuda-kuda dan bawaan. Mereka hanya bisa mengikuti lipatan itu—ke bawah. Tanah mulai melembek, berlumpur di beberapa tempat; mata air bermunculan di tebing, dan tak lama kemudian mereka ternyata menyusuri sebuah sungai yang menetes dan menggeluguk melewati dasar berumput liar. Lalu tanah menurun dengan cepat, dan sungai itu semakin kuat dan berisik, mengalir dan melompat lincah menuruni bukit. Mereka berada di sebuah selokan dalam yang remang-remang dan ditutupi pohon-pohon tinggi di atas.
Setelah terhuyung-huyung beberapa saat menyusuri aliran sungai, tiba-tiba mereka sudah keluar dari kesuraman itu. Seolah melalui sebuah gerbang, mereka melihat cahaya matahari di depan. Mendekati bukaan, mereka menyadari sudah berjalan turun melewati suatu belahan di tebing tinggi terjal, hampir seperti karang. Di kakinya ada hamparan rumput dan alang-alang; dan di kejauhan kelihatan tebing lain yang hampir sama terjalnya. Siang itu keemasan oleh cahaya matahari yang menggantung hangat dan mengantuk, di atas tanah yang tersembunyi di antara kedua tebing itu. Di tengahnya mengalir berkelok-kelok sebuah sungai gelap berair cokelat, dibatasi pohon-pohon willow tua, tertutup pohon-pohon willow yang bungkuk, dan penuh bercak-bercak ribuan daun willow yang sudah memudar. Udara dipenuhi dedaunan, kuning gemetaran pada dahan-dahan; karena ada angin lembut hangat bertiup di lembah, alang-alang gemersik, dan dahan-dahan willow berbunyi keriut.
"Well, sekarang aku mulai tahu sedikit, di mana kita berada!" kata Merry. "Kita sudah melenceng hampir berlawanan arah dengan tujuan kita semula. Ini Sungai Withywindle! Aku akan berjalan terus dan memeriksa."
Ia keluar ke bawah cahaya matahari dan menghilang di dalam rumput-rumput tinggi. Setelah beberapa saat ia muncul kembali, dan melaporkan bahwa tanah antara kaki karang dan sungai cukup padat; di beberapa tempat, tanah kering padat mencapai pinggiran air. "Lagi pula," katanya, "tampaknya ada semacam jalan setapak di sepanjang sisi sungai sebelah sini. Kalau kita membelok ke kiri dan mengikutinya, pasti kita akan keluar di sisi timur Forest akhirnya."
"Mudah-mudahan!" kata Pippin. "Itu kalau jalan itu terus berlanjut, bukan hanya menuntun kita masuk ke tanah berlumpur dan meninggalkan kita di sana. Siapa yang membuat jalan setapak itu, kira-kira, dan untuk apa? Aku yakin jalan ini bukan untuk digunakan oleh kita. Aku mulai sangat curiga dengan Forest ini dan semua di dalamnya, dan aku mulai mempercayai semua cerita tentangnya. Dan apakah kau tahu seberapa jauh ke arah timur kita harus pergi?"
"Tidak," kata Merry, "aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu seberapa jauh di samping Withywindle lokasi kita, atau siapa yang mungkin datang ke sini cukup sering untuk membuat jalan setapak menyusurinya. Tapi tidak ada jalan keluar lain yang bisa kulihat atau kuingat."
Karena tidak ada pilihan lain, mereka berbaris keluar, dan Merry menuntun mereka ke jalan yang ditemukannya. Di mana-mana alang-alang dan rumput tumbuh subur dan tinggi, di tempat-tempat jauh di atas kepala mereka; tapi sekali ditemukan, jalan itu mudah dilewati, dengan belokan-belokan dan tikungan-tikungannya, memilih tanah yang lebih bagus di antara tanah berlumpur dan genangan air. Di sana-sini ia melewati sungai-sungai lain yang mengalir sebagai selokan, masuk ke Withywindle dari tanah hutan yang lebih tinggi, dan pada tempat-tempat ini ada batang-batang pohon atau ikatan semak-semak yang dengan cermat dipasang membentang di atasnya.
Hobbit-hobbit itu mulai sangat kepanasan. Pasukan lalat dan serangga terbang mendengung di sekitar telinga mereka, dan matahari siang membakar punggung mereka. Akhirnya mereka sampai di tempat teduh yang sempit; dahan-dahan besar kelabu mencapai seberang jalan. Setiap langkah maju semakin tertahan. Rasa kantuk seolah merangkak keluar dari tanah, merambati kaki, dan jatuh dengan lembut dari udara ke atas kepala dan mata mereka.
Frodo merasa dagunya tertunduk dan kepalanya mengangguk. Tepat di depannya Pippin jatuh berlutut. Frodo berhenti. "Ini tidak benar," ia mendengar Merry berkata. "Tidak bisa berjalan lagi tanpa istirahat dulu. Perlu tidur dulu. Teduh sekali di bawah pohon willow. Tidak terlalu banyak lalat"
Frodo tak suka mendengar itu. "Ayo!" teriaknya. "Kita belum boleh tidur. Kita harus keluar dulu dari Forest." Tapi yang lain sudah telanjur mengantuk dan sudah tak peduli. Di samping mereka, Sam berdiri menguap dan mengedipkan mata dengan ekspresi bodoh.
Mendadak Frodo sendiri dikuasai kantuk. Kepalanya berputar-putar. Sekarang hampir tidak ada suara di udara. Lalat-lalat sudah berhenti mendengung. Hanya suara lembut di batas pendengaran, getaran lembut seolah nyanyian yang setengah dibisikkan, tampaknya bergetar di dahan-dahan di atas. Ia mengangkat matanya yang berat dan melihat di depannya sebuah pohon willow tua dan kasar condong ke arahnya. Pohon itu tampak seperti raksasa, ranting-rantingnya menjulur di atas, bagaikan tangan-tangan yang menggapai dengan jemari panjang, batangnya yang benjol-benjol dan terpelintir menganga dengan retakan-retakan besar yang berkeriut pelan ketika dahan-dahannya bergerak. Daun-daun yang bergetar pada latar langit menyilaukannya, dan ia terjatuh, tergeletak di tempat jatuhnya di atas rumput.
Merry dan Pippin menyeret diri mereka maju, dan berbaring dengan punggung menyandar pada batang willow. Di belakang mereka, lubang-lubang besar menganga lebar untuk menerima mereka, sementara pohon itu bergoyang dan berkeriut. Mereka menengadah pada daun-daun kelabu dan kuning yang bergerak perlahan di depan cahaya, dan bernyanyi. Mereka memejamkan mata, lalu mereka seolah bisa mendengar kata-kata, kata-kata sejuk, mengatakan sesuatu tentang air dan tidur. Mereka menyerah pada sihir itu, dan jatuh tertidur lelap sekali di kaki willow kelabu besar itu.
Untuk beberapa lama, Frodo berjuang melawan kantuk yang menguasainya; lalu dengan susah payah ia bangkit berdiri lagi. Ia merasakan hasrat tak tertahankan untuk mencicipi air sejuk. "Tunggu aku, Sam," katanya terbata-bata. "Aku harus membasuh kaki sebentar."
Setengah bermimpi ia berjalan ke sisi pohon yang menghadap sungai, di mana akar-akar besar yang terpelintir tumbuh hingga ke dalam air, seperti dragonet benjol-benjol yang menjangkau ke bawah untuk minum. Frodo duduk di atas salah satu akar, dan menggoyang-goyangkan kakinya yang panas di dalam air cokelat yang sejuk; di sana ia juga mendadak tertidur dengan punggung bersandar pada batang pohon.
Sam duduk dan menggaruk kepalanya, lalu menguap lebar seperti gua besar. Ia cemas. Siang sudah larut, dan menurutnya rasa kantuk yang mendadak ini agak aneh. "Ada sesuatu di balik ini, yang bukan hanya matahari dan udara panas," ia bergumam pada diri sendiri. "Aku tidak suka pohon besar ini. Aku tidak mempercayainya. Dengar, dia bernyanyi tentang tidur sekarang! Ini tidak benar!"
Ia berdiri dan terhuyung-huyung untuk melihat apa yang terjadi dengan kuda-kuda. Ternyata dua kuda sudah berkeliaran agak jauh di jalan setapak; baru saja ia menangkap dan membawa mereka kembali ke dekat yang lainnya, tiba-tiba terdengar dua bunyi: satu keras, satunya lagi pelan, tapi sangat jelas. Satunya bunyi cemplungan sesuatu yang berat ke dalam air; satunya lagi seperti bunyi pintu yang diam-diam terkunci rapat.
Ia bergegas kembali ke tebing sungai. Frodo berada di dalam air, dekat ke pinggir; sebuah akar pohon yang besar seolah menahannya dari atas, tapi Frodo tidak melawan. Sam mencengkeram jaket Frodo dan menyeretnya keluar dari bawah akar, lain dengan susah payah mengangkatnya ke tebing. Hampir seketika Frodo terbangun, batuk-batuk dan merepet.
"Kau tahu, Sam," akhirnya Frodo berkata, "pohon sialan itu melemparku ke dalam! Aku merasakannya. Akarnya yang besar melingkar dan menjatuhkanku!"
"Kurasa Anda bermimpi, Mr. Frodo," kata Sam. "Seharusnya Anda tidak duduk di tempat seperti itu, kalau merasa mengantuk."
"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Frodo. "Aku ingin tahu, mimpi macam apa yang mereka alami."
Mereka berjalan ke sisi lain pohon itu, lalu Sam mengerti bunyi ceklikan yang ia dengar tadi. Pippin sudah lenyap. Retakan di belakang tempat ia berbaring sudah menutup, sehingga lubangnya tidak tampak lagi. Merry sudah terjebak: sebuah retakan lain menutupi pinggangnya; kakinya ada di luar, tapi sisanya ada di dalam bukaan gelap yang pinggirannya mencengkeramnya seperti sepasang penjepit.
Frodo dan Sam mula-mula memukul batang pohon tempat Pippin tadi berbaring. Lalu mereka berjuang dengan kalut untuk membuka rahang retakan yang menjebak Merry. Sia-sia saja.
"Sial sekali!" teriak Frodo dengan liar. "Kenapa kita masuk ke hutan mengerikan ini? Kalau saja kita semua ada di Crickhollow kembali!" Ditendangnya pohon itu sekuat tenaga, tanpa memperhatikan kakinya sendiri. Suatu getaran tak kentara merayapi batang pohon itu, naik ke dahan-dahannya; daun-daunnya gemersik dan berbisik, dengan bunyi seperti suara tertawa jauh dan samar-samar.
"Kita tidak punya kapak di ransel kita, Mr. Frodo?" tanya Sam.
"Aku membawa kapak kecil untuk membelah kayu api," kata Frodo. "Tidak banyak gunanya."
"Tunggu!" seru Sam, yang mendapat gagasan mendengar kata "kayu api". "Mungkin kita bisa melakukan sesuatu dengan api!"
"Mungkin," kata Frodo ragu. "Kita mungkin berhasil memanggang pippin hidup-hidup di dalam."
"Kita bisa mencoba melukai atau menakuti dulu pohon ini," kata Sam dengan marah. "Kalau ia tidak melepaskan mereka, aku akan menebangnya, meski aku harus menggigitnya." ia lari ke kuda-kuda mereka, dan tak lama kemudian kembali dengan dua kotak korek api dan kapak kecil.
Dengan cepat mereka mengumpulkan rumput, daun-daun kering, dan serpihan-serpihan kulit pohon; lalu mereka membuat tumpukan ranting patah dan potongan-potongan cabang. Semua itu mereka susun bersandar pada batang pohon, di sisi terjauh dan tawanannya. Begitu Sam menyalakan korek api, rumput kering terbakar; nyala api dan asap membubung naik. Ranting-ranting berderak. Lidah-lidah api kecil menjilat kulit kering batang pohon tua itu dan menghanguskannya. Keseluruhan pohon itu bergetar. Daun-daunnya seolah mendesis di atas kepala mereka dengan bunyi kesakitan, dan kemarahan. Terdengar teriakan keras Merry, dan jauh dari dalam pohon mereka mendengar Pippin mengeluarkan teriakan teredam.
"Matikan! Matikan!" teriak Merry. "Kalau tidak, dia akan menjepitku sampai terbelah dua. Dia bilang begitu!"
Siapa? Apa?" teriak Frodo, berlari memutar ke balik pohon.
Matikan! Matikan!" pinta Merry. Dahan-dahan willow mulai bergoyang keras. Ada bunyi seperti angin naik dan menyebar ke semua dahan pohon di sekitarnya, seolah mereka melemparkan batu ke dalam tidur tenang lembah itu dan menimbulkan getaran kemarahan yang menyebar ke seluruh Forest. Sam menendang api kecil tadi dan menginjak mati percikan-percikannya. Tetapi Frodo, tanpa tahu mengapa ia melakukan itu, atau apa yang diharapkannya, berlari sepanjang jalan sambil berteriak tolong! tolong! tolong! Rasanya ia sendiri hampir tak bisa mendengar suaranya yang melengking: suaranya terbang ditiup angin willow, dan tenggelam dalam keberisikan dedaunan, begitu kata-kata yang ia ucapkan terlontar dari mulutnya. Ia merasa putus asa: tersesat dan kehilangan akal.
Mendadak ia berhenti. Ada jawaban, atau begitulah pikirnya; tapi sepertinya jawaban itu datang dari belakangnya, di atas jalan yang lebih jauh di dalam Forest. Ia membalikkan badan dan mendengarkan, dan segera ia tak ragu lagi: seseorang sedang menyanyikan lagu; suatu suara gembira dan berat sedang bernyanyi tak acuh dan riang, tapi kata-katanya seperti omong kosong:
Hei dot! gembira dot! dering a dong dillo!
Ring a dong! Loncatlah! Fal lal sang willow!
Tom Bom, Tom ceria, Tom Bombadillo!
Setengah berharap dan setengah takut akan bahaya baru, Frodo dan Sam sekarang berdiri diam. Mendadak dari rangkaian panjang kata-kata tak bermakna itu (atau kedengarannya begitu), suara tersebut naik dengan nyaring dan jelas, menyanyikan lagu ini:
Hei! Kemari gembira dot! derry dot! Sayangku!
Ringan embusan angin musim dan burung jalak berbulu.
Sepanjang bawah Bukit, bersinar di bawah mentari,
Menunggu cah’ya bintang sejuk di langit tinggi,
Di sanalah wanita cantik-ku, putri Sungai,
Ramping bagai tongkat willow; sehalus bunga rampai.
Tom Bombadil tua membawa lili air
Datang melompat pulang. Kaudengarkah dia nyanyi bersyair?
Hei! Kemari gembira dot! derry dot! dan ceria-ha!
Goldberry, Goldberry, beri kuning ceria-ha!
Willow-man tua malang, simpanlah akarmu!
Sebentar lagi malam datang, dan Tom sedang terburu-buru.
Tom pulang membawa bunga lili.
Hei! Kemari derry dot! Bisakah kaudengar aku bernyanyi?
Frodo dan Sam berdiri bagai tersihir. Angin berhenti. Daun-daun tergantung diam lagi pada dahan-dahan yang kaku. Nyanyian lain meledak, lalu tiba-tiba, dengan melompat dan menari-nari sepanjang jalan, di atas alang-alang muncul sebuah topi usang dengan puncak tinggi dan bulu biru panjang terpasang pada pitanya. Dengan lompatan dan loncatan sekali lagi, muncul seorang laki-laki, atau begitulah tampaknya. Bagaimanapun, ia terlalu besar dan berat untuk ukuran hobbit, tapi juga kurang tinggi untuk disebut Makhluk Besar, meski ia sama berisiknya seperti mereka. Ia terhuyung-huyung dengan sepatu bot kuning besar pada kakinya yang gemuk, menerjang rumput dan alang-alang seperti sapi yang akan minum. Ia memakai mantel biru dan berjenggot cokelat panjang; matanya biru dan cerah, dan wajahnya merah seperti apel matang, tapi keriput dalam seratus kerutan tawa. Di tangannya ia membawa daun lebar seperti baki, dengan setumpuk kecil lili air di atasnya.
"Tolong!" teriak Frodo dan Sam, sambil berlari menuju pria itu dengan tangan terulur.
"Hei! Hei! Tenang!" teriak pria tua itu, mengangkat satu tangannya. Mereka berhenti, seolah terpaku. "Nah, kawan-kawan kecil, kalian mau ke mana, terengah-engah seperti pengembus? Ada masalah apa di sini? Kalian tahu siapa aku? Aku Tom Bombadil. Ceritakan masalahmu! Tom sedang terburu-buru sekarang. Jangan merusak bunga lili-ku!"
"Teman-temanku terjebak di dalam pohon willow," teriak Frodo terengah-engah.
"Master Merry terjepit di dalam celah!" seru Sam.
"Apa?" teriak Tom Bombadil, melompat tinggi. "Si Tua Willow? Tidak lebih buruk dari itu, kan? Itu gampang. Aku tahu lagu untuknya. Si Tua Willow kelabu! Akan kubekukan sumsumnya, kalau dia tak mau sopan! Aku akan menyanyi sampai akar-akarnya lepas. Aku akan menyanyikan angin, mengembus daun dan dahannya sampai lepas. Si Tua Willow!"
Setelah meletakkan bunga-bunganya dengan hati-hati di rumput, ia berlari ke pohon itu. Di sana ia melihat kaki Merry masih menjulur keluar—sisanya sudah ditarik masuk lebih dalam. Tom menempatkan mulutnya di dekat celah dan mulai bernyanyi ke dalamnya dengan suara rendah. Mereka tak bisa menangkap kata-katanya, tapi rupanya Merry terbangun. Kaki-kakinya mulai menendang. Tom melompat menjauh, dan setelah mematahkan dahan yang tergantung, memukuli sisi willow dengannya. "Lepaskan mereka, Willow tua!" katanya. "Apa-apaan ini? Seharusnya kau tidak bangun. Makanlah tanah! Galilah yang dalam! Minumlah air! Tidurlah! Bombadil yang berbicara!" Kemudian ia memegang kaki Merry dan menariknya keluar dari lubang yang tiba-tiba membesar.
Ada bunyi keriut pecah, dan retakan yang lainnya juga terbuka. Pippin melompat keluar dari sana, bagai ditendang. Lalu dengan bunyi keras kedua lubang itu kembali tertutup rapat. Pohon itu gemetar dari akar sampai ke puncaknya, dan tiba-tiba sunyi.
"Terima kasih!" kata para hobbit, satu per satu.
Tom Bombadil tertawa terbahak-bahak. "Nah, kawan-kawan kecilku!" katanya sambil membungkuk, agar bisa menatap wajah mereka. "Kalian harus ikut pulang denganku! Meja sudah penuh dengan krim kuning, madu, roti putih, serta mentega. Goldberry sedang menunggu. Banyak waktu untuk bertanya saat makan nanti. Sekarang ikut aku secepat kalian bisa!" Setelah mengucapkan itu, ia memungut bunga lili-nya, lalu dengan melambaikan tangan ia melompat dan menari sepanjang jalan ke arah timur, masih bernyanyi nyaring tanpa makna.
Terlalu kaget dan lega untuk berbicara, para hobbit mengikutinya secepat mereka bisa. Tapi itu belum cukup cepat. Tom segera menghilang di depan sana, dan suara nyanyiannya semakin lemah dan jauh. Tiba-tiba suaranya mengalir kembali pada mereka dengan bunyi halo yang keras!
Teruslah terus, kawan-kawanku, di Withywindle kita berjalan!
Tom pergi lebih dulu, lilin-lilin mesti dinyalakan.
Di barat mentari terbenam: dalam gelap meraba-raba.
Saat bayangan malam turun, pintu 'kan terbuka,
Dari balik jendela, sinar kuning menyala.
Jangan takut pada alder hitam! Jangan hiraukan willow tua!
Jangan takut pada akar maupun dahan! Tom jalan di depan.
Hei sekarang! Gembira dot! Kami tunggu kalian!
Setelah itu para hobbit tidak mendengar apa-apa lagi. Hampir seketika matahari terbenam ke balik pepohonan di belakang. Mereka teringat cahaya senja yang berkilauan di Sungai Brandywine, dan jendela-jendela Bucklebury yang mulai menyala dengan ratusan cahaya. Bayang-bayang besar jatuh menyelimuti mereka; akar-akar dan dahan-dahan bergantung dengan gelap dan mengancam di atas jalan. Kabul putih mulai naik mengikal di atas sungai, dan berkeliaran di sekitar akar-akar pohon di tepi jalan. Dari tanah di bawah kaki mereka, uap gelap muncul dan berbaur dengan senja yang segera turun.
Semakin sulit mengikuti jalan itu, dan mereka sudah letih sekali. Kaki mereka terasa berat. Suara-suara aneh tersembunyi mengalir di antara semak-semak dan alang-alang di kedua sisi mereka; bila memandang ke langit pucat di atas, mereka menangkap pemandangan wajah-wajah aneh keriput dan benjol-benjol yang muncul dengan muram, berlatar belakang senja, melirik ke arah mereka dari tebing tinggi dan pinggir hutan. Mereka mulai merasa bahwa seluruh alam ini tidak nyata, dan mereka sedang tertatih-tatih melalui sebuah mimpi mengancam dari mana mereka takkan pernah bangun.
Tepat saat langkah kaki mereka berhenti, mereka melihat tanah semakin menanjak. Air mulai bergumam. Dalam kegelapan, mereka melihat sekilas kilauan buih putih, di mana sungai mengalir melewati sebuah air terjun pendek. Kemudian pohon-pohon mendadak habis, dan kabut sudah tertinggal di belakang. Mereka keluar dari Forest, dan menemukan lapangan rumput luas di depan. Sungai yang sekarang kecil dan mengalir cepat, melompat riang untuk menyambut mereka, kemilau di sana-sini, di bawah cahaya bintang yang sudah terbit di langit.
Rumput di bawah kaki mereka licin dan pendek, seolah sudah dipotong atau dicukur. Atap Forest di belakang sudah dipangkas, rapi seperti pagar. Jalanan sekarang tampak jelas di depan mereka, terawat baik dan berpinggiran batu. Jalan itu melingkar naik ke puncak bukit kecil, yang kini kelabu di malam pucat berbintang; dan di sana, masih tinggi di atas mereka, di lereng yang lebih jauh, mereka melihat lampu-lampu sebuah rumah berkelap-kelip. Jalanan menurun lagi, lalu mendaki lagi, menelusuri sisi panjang licin sebuah bukit bertanah kering, menuju cahaya itu. Tiba-tiba berkas cahaya kuning lebar mengalir cerah dari pintu yang dibuka. Itu rumah Tom Bombadil di depan mereka, naik, turun, di bawah bukit. Di belakangnya lereng kelabu dan kosong, dan di luar itu bayangan-bayangan gelap dari Barrow-downs menghilang dalam kegelapan malam di sebelah timur.
Mereka bergegas maju, hobbit-hobbit dan kuda-kuda. Sebagian keletihan dan semua ketakutan mereka sirna. Hei! Kemari gembira dot! mengalun lagu menyambut mereka.
Hei! Kemari gembira dot! Lompatlah, kawan-kawan!
Hobbit! Kuda! Semuanya! Kita senang pesta!
Mulailah bersuka ria! Mari bernyanyi bersama!
Lalu sebuah suara jernih lain mengalun bagai perak, menyambut mereka, muda dan kuno bagai musim Semi, seperti lagu tentang air yang mengalir hingga malam hari, dari pagi yang cerah di bukit-bukit:
Mulailah menyanyi! Mari nyanyi bersama
Tentang matahari, bintang, bulan dan kabut, hujan dan cuaca,
Cahaya di daun yang bersemi, embun di kelopak bunga,
Angin di atas bukit yang terbuka, lonceng-lonceng di leher domba-domba,
Alang-alang di danau remang, bunga lili di air telaga:
Tom Bombadil tua dan putri Sungai!
Dan dengan lagu itu para hobbit berdiri di ambang pintu, cahaya keemasan menyelimuti mereka semua.
Buku 1 Bab 07
DI RUMAH TOM BOMBADILKeempat hobbit itu melangkahi ambang batu yang lebar, dan berdiri diam sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Mereka berada di sebuah ruangan panjang beratap rendah, dipenuhi cahaya lampu yang menggantung dari balok-balok atap; di meja kayu gelap yang disemir berdiri lilin-lilin tinggi dan kuning, menyala terang.
Di sebuah kursi di ujung ruangan, menghadap pintu luar, duduk seorang wanita. Rambutnya yang pirang panjang mengalun turun ke bahunya; gaunnya hijau, sehijau alang-alang muda, bebercak keperakan seperti butir-butir embun; ikat pinggangnya dari emas, berbentuk rangkaian bunga lili bertaburkan mata biru pucat bunga for-get-me-not. Di sekitar kakinya, di dalam bejana-bejana lebar dari tanah hat hijau dan cokelat, mengambang bunga-bunga lili air, sehingga ia tampak seolah bertakhta di tengah kolam.
"Masuklah, tamu-tamu yang budiman!" katanya, dan ketika ia berbicara, tahulah mereka bahwa suara nyanyian jernih yang tadi mereka dengar adalah suaranya. Mereka maju beberapa langkah dengan malu-malu, dan mulai membungkuk rendah, merasa kaget keheranan dan canggung, seperti orang yang mengetuk pintu untuk meminta minuman, dan ternyata pintu dibukakan oleh ratu peri muda yang cantik, berpakaian bunga-bunga hidup. Tapi, sebelum mereka bisa mengatakan sesuatu, wanita itu bangkit dengan ringan, melompati bejana-bejana bunga lili, dan berlari sambil tertawa ke arah mereka; saat ia berlari, gaunnya berbunyi gemersik perlahan, seperti angin di semak-semak berbunga di tepi sungai.
"Mari, kawan-kawan yang baik!" katanya, memegang tangan Frodo. "Tertawalah dan bersuka rialah! Aku Goldberry, putri Sungai." Lalu dengan ringan ia melewati mereka, menutup pintu lalu memunggunginya, kedua lengannya yang putih terbentang di depannya. "Biarlah sang malam kita kunci di luar!" katanya. "Sebab kalian mungkin masih takut kepada kabut, bayangan pohon, air yang dalam, dan makhluk-makhluk liar. Jangan takut! Karena malam ini kalian ada di bawah atap Tom Bombadil."
Para hobbit menatapnya keheranan; ia memandang mereka masing-masing, dan tersenyum. "Nova cantik Goldberry!" akhirnya Frodo berkata, hatinya terharu, dipenuhi kebahagiaan yang tidak dipahaminya. Ia berdiri seperti kalau sedang tersihir oleh suara-suara indah kaum Peri; tapi sihir kali ini berbeda: kegembiraannya tidak begitu tajam dan agung, tapi lebih dalam dan lebih dekat kepada hati makhluk hidup; indah, tapi tidak aneh. "Nona cantik Goldberry!" ia berkata lagi. "Kini kegembiraan yang tersembunyi di dalam lagu-lagu itu menjadi jelas bagiku.
Oh ramping bagai tongkat willow! Oh sehalus bunga rampai!
Oh alang-alang di telaga hidup! Si cantik putri Sungai!
Oh musim semi dan musim panen, musim semi lagi bergantian!
Oh angin di atas air terjun, dan bunyi tawa dedaunan!
Mendadak ia berhenti dan tergagap, tercengang mendengar dirinya mengucapkan kata-kata seperti itu. Tapi Goldberry tertawa.
"Selamat datang!" katanya. "Aku tak pernah mendengar para hobbit bermulut manis seperti itu. Tapi kulihat kau sahabat kaum Peri; cahaya matamu dan nada suaramu mengungkapkannya. Ini pertemuan gembira! Duduklah dan tunggulah Tuan rumah ini! Dia takkan lama. Dia sedang merawat hewan-hewan kalian yang letih."
Para hobbit dengan senang hati duduk di kursi-kursi pendek beralaskan anyaman rumput, sementara Goldberry menyibukkan diri di meja; mata mereka mengikutinya, karena keluwesan gerakannya memenuhi mereka dengan_ kebahagiaan yang menenteramkan. Dari belakang rumah terdengar nyanyian. Sekali-sekali, di antara banyak kata derry dol dan gembira dol dan dering a ding dillo, mereka menangkap kata-kata yang diulang-ulang:
Tom Bombadil tua orang yang periang;
Jaketnya biro cerah, sepatu botnya kuning terang.
"Nona cantik!" kata Frodo lagi setelah beberapa saat. "Katakan kalau pertanyaanku tidak bodoh, siapakah Tom Bombadil?"
"Dia," kata Goldberry, menahan gerakannya yang cepat, dan tersenyum.
Frodo memandangnya dengan ekspresi bertanya. "Dia, seperti yang kaulihat," kata Goldberry, sebagai jawaban atas ekspresi wajahnya. “Dia Penguasa hutan, air, dan bukit."
"Jadi, seluruh negeri aneh ini miliknya?"
"Bukan!" jawab Goldberry, dan senyumnya lenyap. "Itu akan sangat menjadi beban," tambahnya dengan suara rendah, seolah pada dirinya sendiri. "Pohon-pohon dan rumput, dan semua makhluk yang tumbuh atau hidup di negeri ini, adalah milik diri mereka sendiri. Tom Bombadil adalah Penguasa. Belum pernah ada yang menangkap Tom tua bila dia berjalan di hutan, di dalam air, melompat di atas puncak-puncak bukit pada sung dan malam hari. Dia tak kenal takut. Tom Bombadil adalah Penguasa."
Sebuah pintu membuka, dan Tom Bombadil masuk. Sekarang ia tidak memakai topi, rambut cokelatnya yang tebal dimahkotai daun-daun musim gugur. Ia tertawa, mendekati Goldberry dan memegang tangannya.
"Inilah istriku yang cantik!" ia berkata sambil membungkuk kepada para hobbit. "Inilah Goldberry-ku, berpakaian hijau keperakan, dengan bunga-bunga di korsetnya! Apakah meja makan sudah penuh? Aku melihat krim kuning dan madu, roti putih dan mentega; susu, keju, rempah-rempah hijau, dan berry yang matang sudah terkumpul. Apakah itu cukup untuk kita? Apakah makan malam sudah siap?"
"Sudah," kata Goldberry, "tapi mungkin tamu-tamu belum siap?"
Tom bertepuk tangan dan berseru, "Tom! Tom! Tamu-tamumu lelah dan kau hampir lupa! Mari, kawan-kawan, Tom akan menyejukkan kalian! Kalian akan membersihkan tangan yang berdebu, dan membasuh wajah yang letih; melepaskan jubah yang berlumpur, dan menyisir rambut yang kusut!"
Ia membuka pintu, mereka mengikutinya melewati selasar pendek dan membelok tajam. Mereka tiba di sebuah kamar rendah dengan atap miring (rupanya sebuah penthouse, dibangun pada sisi utara rumah itu). binding-dindingnya dari batu bersih, tapi sebagian besar tertutup tikar-tikar hijau yang menggantung dan tirai kuning. Ada empat kasur tebal, masing-masing dengan tumpukan selimut putih, diletakkan di lantai sepanjang satu sisi. Pada dinding seberang ada bangku panjang dengan mangkuk tanah fiat lebar, dan di sampingnya berdiri kendi-kendi cokelat berisi air, beberapa dingin, beberapa papas beruap. Sandal-sandal lembut berwarna hijau disiapkan di samping setiap tempat tidur.
Tak lama kemudian, sesudah mandi dan segar, hobbit-hobbit duduk di depan meja, dua pada setiap sisi, sedangkan di masing-masing ujung meja duduk Goldberry dan sang Tuan. Makan malam berlangsung lama dan gembira. Meski para hobbit makan dengan lahap, makanan tidak kurang. Minuman di gelas mereka tampak seperti air jernih dan sejuk, tapi memabukkan seperti anggur dan membuat mereka banyak bersuara. Tamu-tamu mendadak menyadari bahwa mereka sedang bernyanyi gembira, seolah menyanyi lebih mudah dan lebih wajar dilakukan daripada berbicara.
Akhirnya Tom dan Goldberry bangkit dan membereskan meja dengan cepat. Para tamu disuruh duduk diam, dan ditempatkan di kursi-kursi, masing-masing dengan bangku kaki untuk kaki mereka yang lelah. Api menyala di perapian lebar di depan, menguarkan bau manis, seolah membakar kayu apel. Ketika semuanya sudah beres, semua lampu di ruangan itu dipadamkan, kecuali satu lampu dan sepasang lilin di setiap pojok rak cerobong asap. Lalu Goldberry datang dan berdiri di depan mereka, memegang lilin; ia mengucapkan selamat malam dan tidur nyenyak.
"Tenteramlah sekarang," katanya, "sampai pagi! Jangan hiraukan bunyi-bunyi malam hari! Sebab di sini tak ada yang bisa masuk lewat pintu dan jendela, kecuali sinar bulan dan bintang, dan angin dari atas bukit. Selamat malam!" ia keluar dari ruangan itu, sosoknya berkilauan dan berdesir. Langkah kakinya seperti bunyi aliran sungai yang mengalir lembut menuruni bukit, melalui batu-batu sejuk di keheningan malam.
Tom duduk sejenak bersama mereka dalam keheningan, sementara masing-masing berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengajukan salah satu pertanyaan yang tadi hendak mereka kemukakan saat makan malam. Kantuk menekan kelopak mata. Akhirnya Frodo berbicara, "Apakah kau mendengar aku berteriak, Master, atau kebetulan saja kau lewat saat itu?"
Tom seolah terbangun dari mimpi yang menyenangkan. "Eh, apa?" katanya. "Apakah aku mendengarmu berteriak? Tidak, aku tidak dengar: aku sibuk bernyanyi. Kebetulan saja aku datang, kalau kau menyebutnya kebetulan. Bukan rencanaku, meski aku memang menunggu kalian. Aku mendengar kabar tentang kalian, dan tahu kalian sedang mengembara. Kami menduga kalian akan datang ke air tidak lama lagi: semua jalan menuju ke sana, turun ke Withywindle. Si Willow Tua Kelabu, dia penyanyi hebat; sulit bagi orang-orang kecil untuk lepas dari belitan-belitannya yang simpang-siur. Tapi Tom ada urusan di sana, dan dia tidak berani merintangi." Tom mengangguk, seolah kantuk menyerangnya lagi; tapi ia melanjutkan dengan suara bernyanyi lembut:
Aku perlu ke sana: memetik lili air,
dedaunan hijau dan bunga lili, 'tuk menyenangkan istriku nan cantik,
bunga-bunga terakhir sebelum tahun ini berakhir, agar terhindar dari musim dingin,
'tuk berkembang di dekat kakinya yang manis, sampai salju mencair.
Tiap tahun di akhir musim panas aku pergi mencarinya untuk dia,
di telaga besar, dalam dan jernih, jauh di Withywindle;
di sana mereka mekar lebih dulu di musim semi, dan hidup lebih lama.
Dekat telaga itu dulu kutemukan sang putri Sungai,
Goldberry muda nan cantik, duduk di antara rerumputan.
Indah nyanyiannya saat itu, dan jantungnya berdebar!
Ia membuka matanya dan memandang mereka dengan kilatan biru yang muncul tiba-tiba:
Dan beruntunglah kalian—sebab sekarang aku takkan lagi
pergi ke sana, menyusuri sungai di hutan,
tidak saat tahun hampir usai. Dan aku pun takkan lewat
rumah si Tua Willow saat musim semi baru dimulai,
tidak sampai musim semi ceria, saat putri Sungai
menari lewat jalan willow 'tuk mandi di dalam air
Ia kembali diam; tapi Frodo masih mengajukan satu pertanyaan: Yang paling ingin ia ketahui jawabannya. "Ceritakan pada kami, Master," kata Frodo, "tentang si Willow. Siapa dia? Aku belum pernah dengar tentang dia."
"Tidak, jangan!" kata Merry dan Pippin bersamaan, dan mendadak duduk tegak. "Jangan sekarang! Besok pagi saja!" "Itu benar!" kata pria tua itu. "Sekarang waktunya istirahat. Ada hal-hal yang tidak baik didengar saat dunia sudah diselubungi kegelapan. Tidurlah sampai pagi terang, bersandarlah pada bantal! Jangan hiraukan bunyi-bunyian malam! Jangan takut pada willow kelabu!" Setelah itu ia menurunkan lampu dan memadamkannya, dan sambil membawa satu lilin di masing-masing tangannya, ia menuntun mereka keluar dari ruangan itu.
Kasur-kasur dan bantal mereka lembut seperti bulu angsa, dan selimut-selimut terbuat dari wol putih. Baru saja membaringkan diri di ranjang empuk dan menarik selimut menutupi tubuh, mereka Ian-sung tertidur.
Di larut malam, Frodo berbaring dalam mimpi, tanpa cahaya. Lain ia melihat bulan muda timbul; di bawah sinarnya yang redup, di depannya berdiri sebuah tembok hitam dari batu-batuan, ditembus sebuah lubang melengkung seperti gerbang besar. Frodo merasa diangkat, dan ketika lewat di atasnya, ia melihat tembok batu itu adalah lingkaran bukit, di dalamnya ada lapangan, dan di tengahnya berdiri sebuah batu berpuncak, seperti menara besar, tapi bukan buatan tangan. Di puncaknya berdiri sosok seorang laki-laki. Bulan yang naik seolah menggantung sejenak di atas kepalanya, dan berkilauan di rambutnya yang putih ketika angin meniupnya. Dari lapangan gelap di bawah terdengar teriakan-teriakan jahat, dan lolongan kawanan serigala. Tiba-tiba sebuah bayangan gelap berbentuk sayap besar melintas di depan bulan. Sosok itu mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya berkeredap dari tongkat yang dipegangnya. Seekor rajawali besar menukik ke bawah dan membawanya pergi. Suara-suara itu meraung dan serigala-serigala melolong. Ada bunyi embusan angin keras, dan bersamanya terdengar pula bunyi langkah kaki kuda, menderap, menderap, menderap dari Timur. "Para Penunggang Hitam!" pikir Frodo .. ketika terbangun; bunyi derap kaki kuda itu masih bergema dalam benaknya. Ia bertanya-tanya, apakah ia masih punya keberanian untuk meninggalkan tembok-tembok batu yang aman ini. Ia berbaring tak bergerak, masih mendengarkan; tapi kini semuanya diam. Akhirnya ia membalikkan badan dan tertidur lagi, atau mengembara ke dalam mimpi yang -kelak tak bisa diingatnya lagi.
Di sebelahnya Pippin tidur dengan nyaman; tapi mimpinya mulai berubah, dan ia pun membalikkan badan sambil mengerang. Tiba-tiba " ia terjaga, atau mengira ia terjaga; meski begitu, dalam kegelapan ia masih mendengar bunyi yang mengganggu mimpinya: tip-tap, keriut: bunyi seperti dahan-dahan bergetar kena angin, jari-jari ranting menggesek tembok dan jendela: keriut, keriut, keriut. Ia bertanya dalam hati, apakah ada pohon-pohon willow dekat rumah; tiba-tiba muncul perasaan mengerikan bahwa ia sama sekali bukan berada di dalam rumah biasa, tapi di dalam batang willow lagi, mendengarkan suara keriut mengerikan yang menertawakannya. Ia duduk tegak, dan merasa bantal-bantal lembut mengikuti tekanan tangannya, maka ia berbaring kembali dengan lega. Di telinganya seakan-akan ada yang membisikkan, "Jangan takut! Tenteramlah sampai pagi! Jangan hiraukan bunyi-bunyian malam!" Lalu ia tertidur lagi.
Merry mendengar bunyi air dalam tidurnya yang tenang: air yang mengalir dengan lembut, lain menyebar, menyebar tak terelakkan di sekeliling rumah, menjadi telaga gelap tak berpantai. Airnya menggeluguk di bawah tembok, dan perlahan tapi pasti semakin naik. "Aku akan tenggelam!" pikirnya. "Air akan masuk, dan aku akan tenggelam." ia merasa sedang terbaring di tanah berlumpur lembek dan basah, lain sambil melompat bangkit ia meletakkan kakinya di sudut sebuah batu ubin yang keras dan dingin. Kemudian ia ingat berada di mana, dan berbaring kembali. Ia seolah mendengar atau ingat mendengar, "Tak ada yang bisa masuk lewat pintu atau jendela, kecuali sinar bulan dan bintang, dan angin dari alas bukit." Embusan lembut udara segar menggerakkan tirai. Merry menarik napas panjang dan tertidur lagi.
Sejauh yang diingatnya, Sam tidur nyenyak sepanjang malam, bagai batang kayu yang diam (kalau batang kayu bisa nyenyak).
Keempatnya bangun bersamaan di pagi hari. Tom sedang mondar-mandir di dalam ruangan, bersiul-siul seperti burung jalak. Ketika mendengar mereka bergerak, ia menepukkan tangannya dan berseru, "Hei! Kemari gembira dol! derry dol! Sayangku!" ia menyibakkan tirai-tirai kuning, dan para hobbit melihat tirai-tirai itu menutupi jendela di setiap ujung ruangan, satu menghadap ke timur dan satu lagi ke barat.
Mereka melompat bangkit dengan perasaan segar. Frodo berlari ke Jendela sebelah timur, dan melihat sebuah kebun dapur yang kelabu ditutupi embun. Ia setengah berharap melihat lempengan tanah kering Pada tembok, tanah yang penuh jejak kaki kuda. Sebenarnya pandangannya tertutup oleh barisan buncis pada tiang-tiang tinggi; tapi di atas, dan jauh di seberang, puncak bukit yang kelabu berdiri di depan matahari terbit. Pagi itu pucat: di Timur, di belakang awan-awan panjang seperti garis-garis wol kotor bernoda merah pada tepiannya, muncul nada-nada kuning kemilau. Sepertinya bakal turun hujan; tapi cahaya menyebar dengan cepat, dan bunga-bunga buncis xyang merah mulai berkilauan di depan daun-daun hijau yang basah.
Pippin memandang ke luar dari jendela barat, ke dalam genangan kabut. Forest tersembunyi dalam kabut. Rasanya seperti memandang dari atas ke suatu atap awan miring. Ada sebuah lipatan atau saluran di mana kabut terpecah ke dalam banyak gelombang dan riak; lembah Withywindle. Sungai mengalir menuruni bukit di sebelah kiri, dan lenyap ke dalam bayang-bayang putih. Lebih dekat ada kebun bunga dan pagar tanaman yang dipangkas, tertutup jaringan embun keperakan; di seberangnya ada hamparan rumput yang sudah dipangkas, berwarna kelabu pucat berembun. Tidak ada pohon willow di dekat situ.
"Selamat pagi, kawan-kawanku yang ceria!" seru Tom, membuka lebar-lebar jendela timur. Udara sejuk mengalir masuk; berbau hujan. "Matahari tidak akan banyak menunjukkan wajahnya hari ini kukira. Aku sudah berjalan ke mana-mana, melompat di puncak-puncak bukit, sejak fajar kelabu menyingsing, mencium angin dan cuaca, rumput basah di bawah kaki, langit basah di atasku. Kubangunkan Goldberry sambil bernyanyi di bawah jendela; tapi tak ada yang bisa membangunkan para hobbit di pagi hari. Di malam hari, makhluk-makhluk kecil bangun dalam kegelapan, dan tidur setelah hari terang! Dering a ding dillo! Bangunlah sekarang, kawan-kawanku yang riang! Lupakan bunyi-bunyian madam! Dering-a ding dillo del! Derry del, sayangku! Kalau kalian cepat datang, kalian akan menemukan sarapan di meja. Kalau terlambat, kalian akan mendapat rumput dan air hujan!"
Para hobbit segera datang—bukan karena ancaman Tom kedengaran serius—dan meninggalkan meja siang sekali, setelah meja itu kelihatan agak kosong. Baik Tom maupun Goldberry tidak berada di sana. Tom kedengaran sibuk di sekitar rumah, gemerincing di dapur, naik-turun tangga, dan bernyanyi di sana-sini di luar. Ruangan itu menghadap ke barat, dengan pemandangan ke lembah yang tertutup kabut, dan jendelanya terbuka. Air menetes dari atap jerami di atas. Sebelum mereka selesai sarapan, awan-awan sudah menyatu menjadi atap tak terputus, dan hujan kelabu turun rintik-rintik terus-menerus. Forest sama sekali tertutup di belakang tirai hujan.
Ketika mereka memandang ke luar jendela, suara jernih Goldberry yang bernyanyi di atas mereka mengalir lembut, seolah jatuh bersama hujan dari langit. Mereka tidak bisa banyak menangkap kata-katanya, tapi tampaknya jelas itu sebuah lagu hujan, semanis curah hujan di alas bukit-bukit kering, yang menceritakan kisah sebuah sungai yang mengalir dari mata air di dataran tinggi ke Laut jauh di bawah. Para hobbit mendengarkan dengan senang; Frodo merasa bahagia, dan mensyukuri cuaca yang ramah, karena keberangkatan mereka jadi tertunda. Sejak bangun ia merasa berat hati harus pergi dari sini; tapi sekarang ia menduga mereka takkan bisa melanjutkan perjalanan hari itu.
Angin bercokol di Barat, awan-awan yang lebih tebal dan basah bergulung-gulung untuk menjatuhkan muatan hujan mereka ke atas tanah gundul Downs. Tak ada yang terlihat di sekeliling rumah, kecuali curahan air hujan. Frodo berdiri dekat pintu yang terbuka, memperhatikan jalan setapak putih berubah menjadi sungai kecil berwarna susu dan mengalir penuh buih ke lembah. Tom Bombadil datang melompat-lompat mengelilingi sudut rumah, sambil melambaikan tangannya seolah menahan hujan—dan memang ketika melompati ambang pintu ia kelihatan kering, kecuali sepatu botnya. Ia melepaskan sepatunya dan meletakkannya di sudut cerobong asap. Lalu ia duduk di kursi terbesar dan memanggil para hobbit berkumpul di dekatnya.
"Ini hari Goldberry mencuci," katanya, "dan pembersihan untuk musim gugur. Terlalu basah untuk makhluk hobbit biarkan mereka istirahat selama masih sempat! Ini hari yang baik untuk cerita-cerita panjang, untuk tanya jawab, jadi Tom akan mulai bicara."
Lalu ia menceritakan kisah-kisah luar biasa, kadang-kadang seolah berbicara pada dirinya sendiri, kadang-kadang menatap mereka tiba-tiba dengan mata biru cerah di bawah alisnya yang tebal. Sering kali suaranya berubah menjadi nyanyian, lalu ia keluar dari kursinya dan menari-nari. Ia menceritakan kisah-kisah tentang kumbang dan bunga, adat pepohonan, dan makhluk-makhluk ajaib di Forest, tentang makhluk-makhluk jahat dan baik, makhluk-makhluk ramah dan tidak ramah, makhluk-makhluk kejam dan yang baik hati, dan rahasia-rahasia yang disembunyikan di bawah semak-semak.
Saat mendengarkan, mereka mulai memahami kehidupan Forest, terlepas dari diri mereka, bahkan merasa menjadi orang asing di tempat yang bagi semua makhluk lain terasa seperti di rumah sendiri. Yang banyak keluar-masuk kisah-kisah Tom adalah si Tua Willow, dan perasaan ingin tahu Frodo jadi cukup terpuaskan, bahkan lebih dari cukup, karena kisah itu tidaklah menyenangkan. Dalam ceritanya, Tom menyingkap habis isi hati pohon-pohon dan pikiran mereka, yang sering kali gelap dan aneh dan dipenuhi kebencian pada semua makhluk yang bergerak bebas di bumi mengunyah, menggigit, memecahkan, memotong, membakar: perusak dan perampas kekuasaan. Bukan tanpa sebab tempat itu disebut Old Forest, karena ia memang kuno, bertahan di antara hutan-hutan lebat yang terlupakan; dan di dalamnya tinggal ayah-ayah dari ayah-ayah pepohonan, tidak lebih cepat tua daripada bukit-bukit, dan mereka ingat masa ketika mereka menjadi penguasa. Tahun-tahun tak terhitung banyaknya memenuhi hati mereka dengan keangkuhan dan kebijakan yang berakar, dan dengan kedengkian. Tapi tidak ada yang lebih berbahaya daripada si Willow Besar: hatinya busuk, tapi kekuatannya masih segar; dan ia cerdik, menguasai angin, nyanyian dan pikirannya menyebar melalui hutan di kedua sisi sungai. Rohnya yang kelabu dan haus menarik kekuatan dari dalam bum, menyebar seperti benang akar halus di dalam tanah, serta jari-jari ranting yang tak tampak di udara, sampai ia menguasai hampir semua pepohonan di Forest, mulai dari Hedge/High Hay sampai Downs.
Mendadak pembicaraan Tom beralih dari hutan ke sungai segar, melewati air terjun bergelembung, batu-batu, dan karang tua, menyelinap di antara bunga-bunga kecil di tengah rumput rapat dan celah-celah basah, akhirnya mengembara naik ke Downs. Mereka mendengar tentang Great Barrows, bukit-bukit hijau, dan lingkaran-lingkaran batu di atas bukit serta di lembah di antara perbukitan. Domba-domba mengembik dalam gerombolan. Tembok-tembok hijau dan putih berdiri menjulang. Ada benteng-benteng di puncak-puncak bukit. Raja-Raja dari kerajaan-kerajaan kecil berjuang bersama, dan Matahari yang masih muda bersinar bagaikan api di logam merah pedang mereka yang masih baru dan haus darah. Ada kemenangan dan kekalahan; menara-menara jatuh, benteng-benteng dibakar, dan nyala api membubung ke langit. Emas ditumpuk di atas tandu jenazah raja-raja dan ratu-ratu; gundukan tanah menutupi mereka, dan pintu-pintu batu tertutup; rumput tumbuh di atas semuanya. Domba-domba berjalan beberapa lama, menggigiti rumput, tapi dengan segera bukit-bukit itu kosong lagi. Sebuah bayangan datang dari tempat-tempat gelap yang jauh sekali, dan tulang-belulang bergerak di bawah gundukan tanah. Hantu-hantu Barrow-wight berjalan di tempat-tempat cekung dengan denting cincin pada jemari yang dingin, dan rantai emas di dalam angin. Cincin-cincin batu menyeringai dari dalam tanah, seperti gigi patah di bawah sinar bulan.
Para hobbit menggigil. Bahkan di Shire selentingan tentang Barrow-wight di Barrow-downs di luar Forest sudah terdengar. Tak ada hobbit yang senang mendengar kisah itu, meski di dekat perapian nyaman yang jauh sekalipun. Mendadak keempat hobbit itu ingat apa yang selama ini terusir dari benak mereka, karena kebahagiaan gal di rumah itu: rumah Tom Bombadil bersandar di bawah bukit-bukit menakutkan itu. Mereka mulai kehilangan konsentrasi mendengar cerita Tom, dan mulai bergerak-gerak gelisah sambil saling pandang.
Ketika mereka mendengar lagi kata-katanya, ternyata ia sudah mengembara masuk ke wilayah di luar ingatan mereka, dan di luar pikiran sadar mereka, ke masa-masa ketika dunia lebih luas, dan lautan-lautan mengalir langsung ke Pantai barat; dan Tom masih terus bernyanyi ke masa yang lebih jauh, sampai ke sinar bintang purbakala, ketika hanya kaum Peri yang terjaga. Lalu mendadak ia berhenti, dan mereka melihat ia mengangguk-angguk, seolah sedang bermimpi. para hobbit duduk diam di depannya, terpukau; angin sudah berhenti bertiup, seperti tersihir oleh 'kata-katanya, awan-awan mengering, terang sudah berakhir, dan kegelapan datang dari Timur dan Barat; seluruh langit bertaburan cahaya bintang-bintang putih.
Apakah pagi dan sore yang berlalu itu hanyalah pagi dan sore satu hari, atau beberapa hari, Frodo tidak tahu. Ia tidak merasa lapar atau lelah, hanya dipenuhi kekaguman. Bintang-bintang bersinar melalui jendela, dan keheningan angkasa seolah mengelilinginya. Akhirnya ia berbicara tentang keheranannya, dan ketakutan yang muncul mendadak akibat keheningan itu,
"Siapakah kau, Master?"
"Eh, apa?" kata Tom sambil duduk tegak, matanya berkilauan dalam kegelapan. "Bukankah kalian sudah tahu namaku? Hanya itu jawaban satu-satunya. Kau sendiri siapa? Sendirian dan tak bernama? Tapi kau masih muda dan aku sudah tua. Paling Tua, itulah aku. Camkan kata-kataku, kawan-kawan: Tom sudah ada sebelum sungai dan pohon-pohon; Tom ingat tetes hujan pertama dan biji pohon ek pertama. Dia membuat jalan-jalan sebelum Makhluk-Makhluk Besar ada, dan dia melihat orang-orang kecil datang. Dia sudah ada sebelum Raja-Raja dan kuburan dan Barrow-wight. Ketika para Peri sudah pergi ke barat, Tom sudah ada di sini, sebelum lautan melengkung. Dia tahu kegelapan di bawah bintang-bintang, ketika kegelapan itu masih belum mengenal ketakutan-sebelum Penguasa Kegelapan datang dari Luar."
Sebuah bayangan seolah melewati jendela, dan para hobbit den-an cepat melirik ke luar. Ketika mereka membalikkan badan lagi, Goldberry sudah berdiri di ambang pintu di belakang, bermandikan cahaya. Ia memegang lilin, menutupi nyalanya dari angin dengan tangannya; cahaya lilin itu mengalir menembusnya, seperti cahaya matahari mengenai sebuah kerang putih.
"Hujan sudah berhenti," katanya, "dan air segar mengalir turun di bawah sinar bintang. Sekarang mari kita tertawa dan bersenang-senang!
"Dan mari makan dan minum!" seru Tom. "Kisah-kisah panjang
membuat orang haus. Dan mendengarkan cerita panjang membuat I kita lapar, pagi, siang, dan malam!" Sambil berkata demikian, ia me- lompat ban-kit dari kursinya; dengan saw loncatan ia mengambil lilin dari atas rak cerobong asap dan menyalakannya dalam api yang dipegang Goldberry; lalu ia menari-nari mengelilingi me ja. Tiba-tiba ia melompat keluar dari pintu dan menghilang.
Dengan segera ia kembali, membawa baki besar berisi penuh makanan. Lalu Tom dan Goldberry menata meja; para hobbit duduk setengah heran dan setengah tertawa: begitu indah keluwesan Goldberry, begitu riang dan aneh lonjakan-lonjakan Tom. Meski begitu, mereka seolah menjalin suatu tarian tunggal, tanpa saling mengganggu, masuk dan keluar ruangan, dan seputar meja; dengan sangat cepat makanan, kendi-kendi, serta lampu sudah ditata. Panggung menyala terang oleh lilin, putih dan kuning. Tom membungkuk kepada tamu-tamunya. "Makan malam sudah siap," kata Goldberry; sekarang para hobbit melihat ia berpakaian warna perak seluruhnya, dengan korset putih, dan sepatunya seperti jaring ikan. Tapi Tom berpakaian biru polos, biru seperti bunga forget-me-not yang tersiram hujan, dan stokingnya hijau.
Makan malam itu bahkan lebih lezat daripada sebelumnya. Di bawah sihir kata-kata Tom, mungkin para hobbit sudah kehilangan satu atau banyak hidangan, tapi ketika makanan disajikan di depan mereka, rasanya sudah saw minggu sejak mereka terakhir makan. Mereka tidak bernyanyi atau bahkan berbicara banyak untuk beberapa saat, dan hanya memusatkan perhatian pada makanan. Tapi setelah beberapa saat semangat mereka bangkit kembali, dan suara mereka nyaring oleh keriangan dan tawa.
Setelah mereka makan, Goldberry menyanyikan banyak lagu untuk mereka; lagu-lagu yang dimulai dengan ceria di perbukitan, dan jatuh dengan lembut ke dalam keheningan; dan dalam keheningan itu terbayang dalam benak mereka telaga-telaga dan lautan yang lebih Was daripada yang pernah mereka kenal, dan ketika mereka menengok ke dalamnya, mereka melihat langit di bawah sana dan bintang-bintang bagai berlian di kedalaman. Lalu sekali lagi Goldberry mengucapkan selamat tidur dan meninggalkan mereka dekat perapian. Tapi Tom kini benar-benar terjaga, dan menghujani mereka dengan pertanyaan.
Rupanya ia sudah tahu banyak tentang mereka dan semua keluarga mereka, bahkan tentang sejarah dan kejadian di Shire dari masa yang hampir tak bisa diingat oleh kaum hobbit sendiri. Mereka sudah tidak heran akan hal ini; tapi Tom tidak merahasiakan bahwa ia tahu semua hal tersebut terutama dari Petani Maggot, yang ia anggap sebagai orang yang lebih penting daripada yang diduga para hobbit. "Di bawah kakinya yang tua ada tanah, dan tanah hat pada jemarinya; ada kebijakan dalam tulang-tulangnya, dan kedua matanya terbuka lebar," kata Tom. Jelas Tom juga berurusan dengan para Peri, dan kelihatannya berita dari Gildor tentang pelarian Frodo sampai kepadanya.
Tom tahu begitu banyak, dan caranya bertanya cerdik sekali, sampai-sampai Frodo mendapati dirinya menceritakan lebih banyak tentang Bilbo, dan harapan-harapan serta ketakutannya sendiri, daripada yang pernah diceritakannya pada Gandalf. Tom mengangguk-anggukkan kepala, dan ada kilatan di matanya ketika ia mendengar tentang para Penunggang itu.
"Tunjukkan padaku Cincin berharga itu!" ia berkata tiba-tiba, di tengah-tengah cerita: dan Frodo, dengan penuh keheranan, mengeluarkan rantai dari dalam sakunya, dan setelah melepaskan ikatan Cincin, ia segera memberikannya pada Tom.
Cincin itu seolah membesar sejenak di tangan Tom yang besar dan berkulit cokelat. Mendadak ia mendekatkan Cincin itu. ke matanya, dan tertawa. Sekilas para hobbit melihat suatu pemandangan lucu sekaligus menakutkan, yaitu mata Tom yang biru cerah berkilauan melalui lingkaran emas. Lalu Tom memasang Cincin itu pada ujung jari kelingkingnya, dan mengangkatnya ke dekat nyala lilin. Untuk beberapa saat para hobbit tidak melihat sesuatu yang aneh. Lalu mereka menarik napas kaget. Tidak ada tanda-tanda Tom menghilang!
Tom tertawa lagi, lalu melempar Cincin itu ke udara-dan Cincin itu lenyap seketika. Frodo berteriak, Tom mencondongkan badan ke depan, mengembalikan Cincin itu sambil tersenyum.
Frodo mengamatinya dengan saksama, dan agak curiga (seperti orang yang baru saja meminjamkan perhiasan kepada seorang pesulap). Cincinnya masih sama, atau kelihatan sama, dan beratnya juga sama: karena bagi Frodo, Cincin itu selalu terasa berat di tangan. Tapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk memastikan. Mungkin ia agak jengkel dengan Tom, karena Tom seolah menganggap enteng sesuatu yang bahkan oleh Gandalf dianggap penting dan berbahaya. Frodo menunggu kesempatan. Ketika pembicaraan sedang berlanjut, dan Torn sedang menceritakan kisah konyol tentang luwak dan tingkah lakunya yang aneh, Frodo menyelipkan Cincin itu di jarinya.
Merry berbalik kepadanya untuk mengatakan sesuatu, dan terkejut, nyaris terpekik. Frodo cukup senang: cincin ini memang cincinnya, karena Merry memandang kosong ke kursinya, dan jelas tak bisa melihatnya. Frodo bangkit berdiri, dan diam-diam menjauh dari api, menuju pintu luar.
"Hei, kau!" teriak Tom, melirik ke arahnya dengan pandangan tahu dalam matanya yang- bersinar-sinar. "Hei! Frodo! Kemari! Kau mau ke mana? Torn Bombadil tua belum buta. Lepaskan cincin emasmu! Tanganmu lebih indah tanpa dia. Kembalilah! Tinggalkan permainanmu dan duduklah di sampingku! Kita perlu berbicara lebih lama lagi, dan memikirkan pagi hari. Tom harus mengajarkan jalan yang benar, dan menahan kaki kalian dari pengembaraan."
Frodo tertawa (sambil mencoba merasa puas), dan sambil melepaskan Cincin, ia kembali duduk. Kata Tom, ia menduga besok matahari akan bersinar, besok pagi akan menyenangkan, dan berangkat besok akan banyak membawa harapan. Tapi sebaiknya mereka berangkat pagi-pagi, karena cuaca di negeri itu tidak begitu bisa dipastikan untuk jangka lama, bahkan oleh Tom sekalipun, dan kadang-kadang bisa berubah lebih cepat sebelum ia bisa mengganti jaketnya. "Aku bukan ahli cuaca," katanya, "begitu pula semua makhluk lain yang berjalan dengan dua kaki."
Mengikuti nasihatnya, mereka memutuskan pergi agak ke arah utara dari rumah Tom, melalui lereng barat Downs yang lebih rendah: dengan demikian, mereka bisa berharap bertemu Jalan Timur dalam satu hari perjalanan, dan menghindari Barrows. Tom mengatakan mereka tak perlu takut-dan jangan ikut campur urusan orang lain.
"Tetaplah di atas rumput hijau. Jangan mencampuri urusan batu-batu kuno atau Wight yang dingin, atau mengorek-ngorek rumah mereka, kecuali kalau kalian orang-orang kuat dengan hati yang tak pernah bimbang!" ia mengatakan itu lebih dari sekali; dan ia menasihati mereka untuk melewati barrows di sisi barat, kalau kebetulan berjalan dekat salah satu. Lalu ia mengajari mereka suatu sajak untuk dinyanyikan, kalau kebetulan nasib sial membuat mereka jatuh ke dalam bahaya atau kesulitan.
Ho! Tom Bombadil, Tom Bombadillo!
Dekat air, hutan, dan bukit, di alang-alang dan willow,
Dekat api, matahari, dan bulan, dengar sekarang, dengarkanlah!
Kami membutuhkanmu, Tom Bombadil, datanglah!
Ketika mereka selesai menyanyi mengikutinya, Tom menepuk bahu mereka masing-masing sambil tertawa, dan sambil membawa lilin-lilin. Ia menuntun mereka kembali ke kamar tidur.
Buku 1 Bab 08
KABUT Di ATAS BARROW-DOWNS
Malam itu mereka tidak mendengar suara apa pun. Tapi entah di dalam mimpinya, atau di luarnya, Frodo mendengar nyanyian indah mengalir dalam pikirannya: lagu yang seolah datang bagai cahaya remang-remang di balik tirai hujan kelabu, dan semakin kuat, hingga mengubah tirai itu menjadi kaca dan perak, yang lalu tersingkap, menampakkan negeri hijau yang terhampar di bawah matahari yang terbit dengan cepat.
Pemandangan itu melebur menjadi keterjagaan; dan ternyata Tom sedang bersiul seperti sepohon penuh burung; sinar matahari sudah jatuh miring di atas bukit, dan melalui jendela yang terbuka. Di luar semuanya hijau dan pucat keemasan.
Setelah sarapan, yang kembali mereka makan sendirian, mereka bersiap-siap untuk pamit, dengan berat hati, meski pagi itu indah: sejuk, cerah, dan bersih di bawah langit musim gugur yang biru tipis tersapu air. Udara segar datang dari Barat-laut. Kuda-kuda mereka yang tenang hampir-hampir tampak lincah, mendengus-dengus, dan bergerak-gerak gelisah. Tom keluar dari rumah, melambaikan topinya dan menari-nari di ambang pintu, menyuruh para hobbit untuk naik dan berangkat pergi dengan lancar.
Mereka melaju melewati jalan yang membentang dari belakang rumah, dan mendaki ke arah ujung utara pundak bukit tempat rumah itu berlindung. Mereka baru saja turun untuk menuntun kuda-kuda mendaki lereng terakhir yang terjal, ketika tiba-tiba Frodo berhenti.
"Goldberry!" serunya. "Nona cantik dalam gaunnya yang hijau keperakan! Kita belum pamit padanya, dan belum melihatnya sejak kemarin sore!" ia begitu sedih, sampai membalikkan badan untuk turun; tap, tepat pada saat itu terdengar suatu seruan jernih mengalun. Di sana, di atas pundak bukit, Goldberry berdiri memanggil mereka: rambutnya berkibar bebas, tampak menyala berkilauan kena sinar matahari. Cahaya seperti kilatan air pada rumput berembun menyala dari bawah kakinya, sementara ia menari-nari.
Mereka bergegas mendaki lereng terakhir, dan berdiri dengan na- pas terengah-engah di samping Goldberry. Mereka membungkuk, tapi dengan lambaian tangannya ia menyuruh mereka memandang sekeliling; mereka memandang dari atas puncak bukit ke daratan di pagi hari. Sekarang pemandangannya jernih dan jauh, tidak lagi berkabut dan terselubung, seperti ketika mereka berdiri di atas bukit kecil di Forest, yang sekarang terlihat berdiri pucat dan hijau di antara pepohonan gelap di Barat. Di sebelah sana, tanah naik membentuk punggung bukit berhutan, hijau, kuning, cokelat muda di bawah sinar matahari, di luarnya tersembunyi lembah Brandywine. Ke Selatan, menyeberangi garis Withywindle, ada kilatan jauh seperti kaca pucat, di mana Sungai Brandywine membentuk lingkaran besar di dataran rendah dan mengalir menghilang dari pengetahuan para hobbit. Di Utara, di luar bukit-bukit rendah yang semakin mengecil, tanah membentuk dataran dan tonjolan berwarna kelabu, hijau, dan warna tanah pucat, sampai menghilang dalam kejauhan tak berbentuk dan remang-remang. Di sebelah Timur berdiri Barrow-downs, punggung demi punggung bukit di pagi hari, lenyap dari pemandangan, menjadi terkaan: tak lebih dari perkiraan biru dan kilatan putih yang berbaur dengan pinggiran langit, tapi bagi mereka itu menyiratkan pegunungan tinggi dan jauh, seperti yang ada dalam ingatan dan dongeng-dongeng lama.
Mereka menghirup udara segar dalam-dalam, dan merasa bahwa satu loncatan dan beberapa langkah tegap akan membawa mereka ke mana pun mereka mau. Rasanya agak seperti pengecut kalau naik kuda melewati bukit-bukit kusut menuju Jalan Timur, sementara seharusnya mereka melompat-lompat penuh semangat seperti Tom, melewati tangga bukit, langsung ke Pegunungan.
Goldberry berbicara pada mereka, menyadarkan mata dan pikiran mereka. "Bergegaslah, tamu-tamu yang baik!" katanya. "Dan tetaplah pada tujuan semula! Ke Utara, dengan angin di mata kiri dan berkah pada setiap langkah! Cepatlah, selama matahari masih bersinar!" Dan kepada Frodo ia berkata, "Selamat jalan, sahabat kaum Peri, in, pertemuan yang menyenangkan!"
Tetapi Frodo tak bisa menemukan kata-kata untuk menjawab. Ia membungkuk rendah, dan menaiki kudanya, dan diikuti teman-temannya, pelan-pelan ia menuruni lereng yang tidak begitu terjal di balik bukit. Rumah Tom Bombadil dan lembah, dan Forest hilang dari pandangan. Udara semakin hangat di antara kedua dinding lereng bukit, bau tanah kering naik dengan keras dan harum ke dalam napas mereka. Tiba di dasar cekungan hijau, mereka menoleh dan melihat Goldberry yang sekarang tampak kecil dan ramping, seperti bunga disinari cahaya matahari, berlatar belakang langit: ia berdiri diam, masih memperhatikan mereka, tangannya terulur ke arah mereka. Ketika mereka menoleh, ia memanggil dengan suara jernih, dan sambil mengangkat tangannya, ia membalikkan badan dan menghilang di balik bukit.
Jalan mereka melewati sepanjang dasar lembah, mengitari kaki hijau bukit curam, memasuki lembah lain yang lebih dalam dan luas, lalu mendaki punggung bukit-bukit lain, menuruni lereng-lerengnya, lalu mendaki sisi-sisinya yang mulus lagi, naik ke puncak-puncak bukit baru dan turun ke lembah-lembah baru. Tidak ada pohon atau air: hanya ada tanah berumput dan tanah kering lentur, suasana sepi, yang terdengar hanya bisikan udara di atas batas tanah, dan lengkingan kesepian burung-burung aneh tinggi di atas. Semakin jauh perjalanan mereka, matahari semakin naik dan semakin panas. Setiap mereka mendaki suatu punggung bukit, angin seolah semakin melemah. Ketika mereka melihat sekilas tanah di sebelah barat, Forest di kejauhan tampak berasap, seolah hujan yang sudah turun menguap lagi dari daun, akar, dan gundukan tanah. Selapis tipis bayangan menyelimuti batas pandangan, kabut gelap yang di atasnya langit tampak seperti topi biru panas dan berat.
Sekitar tengah hari, mereka tiba di sebuah bukit yang puncaknya lebar dan datar, seperti piring ceper dengan pinggiran hijau yang meninggi. Di dalamnya tidak ada aliran udara, dan langit seolah dekat sekali ke kepala. Mereka menyeberangi bukit itu dan memandang ke arah utara. Semangat mereka meningkat, sebab jelas mereka sudah berjalan lebih jauh daripada yang diharapkan. Memang sekarang jarak-jarak menjadi kabur dan menipu, tapi tak diragukan lagi Downs akan segera berakhir. Sebuah lembah panjang terhampar di bawah mereka, dan berliku ke arah utara, mencapai suatu bukaan di antara dua punggung bukit curam. Di luarnya, kelihatannya tidak ada bukit-bukit lagi. Pada arah utara mereka melihat sekilas sebuah garis panjang gelap. "Itu garis pepohonan," kata Merry, "pasti menandai Jalan Timur. Sepanjang jalan, sejauh beberapa mil sebelah timur Jembatan, ada deretan pohon. Katanya mereka ditanam lama berselang."
"Bagus!" kata Frodo. "Kalau siang nanti kita bisa berjalan sejauh Pagi ini, kita sudah meninggalkan Downs jauh sebelum matahari terbenam dan bisa terus mencari tempat berkemah." Tapi sementara berbicara ia melihat ke arah timur, di sana tampak bahwa pada sisi itu bukit-bukit lebih tinggi dan menatap mereka dari ketinggian; semuanya tertutup gundukan hijau, dan pada beberapa tempat terdapat bebatuan menjulang, menunjuk ke atas seperti gigi tajam-tajam muncul dari rahang hijau.
Pemandangan itu agak meresahkan; maka mereka membuang muka darinya dan turun ke dalam lingkaran lembah. Di tengahnya berdiri sebuah baru sendirian, menjulang di bawah sinar matahari, dan pada saat itu tidak membuat bayangan. Batu itu tak berbentuk, namun penuh makna: seperti tanda lingkungan, atau jari yang melindungi, atau lebih seperti peringatan. Tapi sekarang mereka lapar, dan matahari masih pada posisi tengah hari; maka mereka bersandar pada sisi timur batu itu. Rasanya dingin, seolah matahari tak punya kekuatan untuk memanasinya; tapi pada saat itu hat itu terasa menyenangkan. Di sana mereka makan dan minum, melahap makan siang sebaik yang bisa diharapkan di bawah langit terbuka; karena makanan itu datang dari "bawah Bukit". Tom sudah membekali mereka dengan makanan berlimpah, demi kenyamanan mereka. Kuda-kuda mereka berkeliaran tanpa beban di rumput.
Menunggang kuda melewati perbukitan dan makan kenyang, sinar matahari hangat dan wangi tanah kering, berbaring agak terlalu lama, melunjurkan kaki dan memandang langit di atas: hal-hal ini barangkali cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi. Bagaimanapun, tahu-tahu mereka terbangun tiba-tiba, dalam keadaan sangat tidak nyaman, dari tidur yang sebenarnya tidak terencana. Batu berdiri itu sudah dingin, dan menjatuhkan bayangan panjang pucat yang merentang jauh ke arah timur di' atas mereka. Matahari sudah berwarna kuning pucat cair, bersinar melalui kabut, persis di atas dinding barat lembah tempat mereka berbaring; utara, selatan, dan timur, di luar dinding kabut sudah tebal, dingin, dan putih. Udara hening, berat, dan dingin. Kuda-kuda mereka berdiri bergerombol dengan kepala tertunduk.
Para hobbit melompat bangun dengan kaget, dan berlari ke pinggir
barat. Ternyata mereka berada di suatu pulau di tengah kabut. Tepat saat mereka dengan cemas memandang ke arah matahari yang sedang terbenam, ia tenggelam di depan mata mereka, masuk ke dalam lautan putih, dan sebuah bayangan kelabu dingin muncul di timur di belakang. Kabut mengalir naik ke dinding-dinding dan melayang ke atas mereka, dan sambil melambung, kabut itu menutupi kepala-kepala mereka hingga membentuk atap: mereka terkurung dalam ruangan kabut, dan tiang pusatnya adalah batu berdiri itu.
Mereka merasa terkurung oleh suatu perangkap, tapi mereka tidak kehilangan semangat. Mereka masih ingat pemandangan penuh harapan akan garis Jalan Timur di depan sana, dan mereka masih tahu arah letaknya. Bagaimanapun, sekarang mereka sudah sangat tidak suka pada tempat cekung di sekitar batu itu, sehingga sama sekali tidak berniat tetap tinggal di sana. Mereka mengepak barang secepat yang dimungkinkan oleh jari-jari mereka yang beku.
Segera mereka menuntun kuda-kuda dalam satu barisan, melewati pinggiran, dan menuruni lereng panjang bukit itu ke arah utara, masuk ke lautan kabut. Ketika mereka turun, kabut semakin dingin dan lembap, rambut mereka tergantung lemas dan terkulai di atas dahi. Saat mereka tiba di dasar lereng, hawa sudah sangat dingin, hingga mereka harus berhenti dulu dan mengeluarkan mantel dan kerudung, yang segera dipenuhi tetes-tetes embun kelabu. Lalu mereka kembali naik kuda, maju lagi perlahan-lahan, sambil meraba-raba jalan melalui naik dan turunnya tanah. Sedapat mungkin mereka mengarah ke bukaan seperti gerbang di ujung utara lembah panjang yang mereka lihat tadi pagi. Setelah melewati celah itu, mereka cukup melanjutkan perjalanan dalam garis lurus, dan pasti akan bertemu dengan Jalan Timur. Hanya itu yang ada dalam pikiran mereka, selain harapan samar-samar bahwa mungkin di luar Downs tak ada kabut.
Perjalanan mereka lamban sekali. Untuk menghindari terpisah dan berjalan ke arah berbeda, mereka berjalan dalam satu barisan, dipimpin oleh Frodo. Sam di belakangnya, setelahnya Pippin, lalu Merry. Lembah itu seakan tak berujung. Mendadak Frodo melihat tanda yang memberi harapan. Di kedua sisi, kegelapan mulai menyongsong melalui kabut; ia menduga mereka akhirnya mendekati celah di perbukitan, gerbang utara Barrow-downs. Kalau bisa melewati itu, mereka akan bebas.
"Ayo! Ikuti aku!" ia berteriak sambil menoleh ke belakang, dan ia bergegas maju. Tapi harapannya segera berubah menjadi kebingungan dan kekhawatiran. Bercak-bercak gelap semakin gelap, tapi mereka mengerut; dan tiba-tiba ia melihat dua batu berdiri, menjulang mengancam di depannya, agak condong dan saling bersandar seperti tiang pintu yang tidak berkepala. Rasanya ia tidak melihat hat semacam itu d' lembah, ketika memandang dari atas bukit pagi tadi. Ia melewati kedua batu itu hampir tanpa sadar, dan saat ia melakukannya, kegelapan seolah mengurungnya. Kudanya mengangkat kaki depan dan mendengus, dan Frodo terjatuh. Ketika menoleh, ia menyadari bahwa ia sendirian: yang lain tidak mengikutinya.
"Sam!" teriaknya. "Pippin! Merry! Ke sinilah! Kenapa kalian tidak ikut?"
Tak ada jawaban. Rasa takut menyergapnya, dan ia berlari kembali melewati kedua batu itu sambil berteriak liar, "Sam! Sam! Merry! Pippin!" Kudanya berlari ke dalam kabut dan lenyap. Dari kejauhan, atau begitulah kedengarannya, Frodo merasa mendengar teriakan, "Hei! Frodo! Hei!" Bunyinya dari arah timur, di sebelah kirinya saat ia berdiri di bawah batu besar itu, memandang dan menjulurkan kepala ke dalam kegelapan. Ia mulai melangkah menuju arah teriakan, dan menyadari bahwa ia berjalan mendaki dengan terjal.
Saat berjuang mendaki, ia berteriak lagi, dan terus memanggil dengan semakin kalut; tapi ia tidak mendengar jawaban untuk beberapa saat, kemudian samar-samar, jauh di atasnya, terdengar panggilan. "Frodo! Hei!" Terdengar suara-suara tipis dari dalam kabut: lalu teriakan yang terdengar seperti tolong, tolong! diulang berkali-kali, berakhir dengan tolong terakhir yang menjadi sebuah raungan panjang yang tiba-tiba terpotong. Frodo berjalan maju terhuyung-huyung secepat mungkin; tapi cahaya sekarang sudah sirna, dan malam pekat mengurungnya, hingga ia tak mungkin bisa tahu arah. Selama itu rupanya ia mendaki terus.
Akhirnya perubahan permukaan tanah di bawah kakinya memberitahukan bahwa ia sudah sampai ke puncak bukit atau punggung bukit. Ia lelah, berkeringat namun kedinginan. Kegelapan sudah sangat pekat.
"Di mana kalian?" teriaknya sedih.
Tak ada jawaban. Ia berdiri mendengarkan. Mendadak ia sadar bahwa udara sudah dingin sekali, dan di atas sini angin mulai bertiup, angin sedingin es. Cuaca mulai berubah. Kabut mengalir di sekitarnya dalam serpihan dan cabikan. Napasnya beruap, tapi kegelapan tidak begitu pekat dan tebal. Ia menengadah dan melihat dengan tercengang bahwa bintang-bintang -terang muncul di atas, di antara serpihan awan dan kabut yang berlarian. Angin mulai mendesis di atas rumput.
Mendadak Frodo merasa mendengar sebuah teriakan teredam, dan Ia berjalan ke arah itu; ketika ia maju ke depan, kabut tersingkap dan langit berbintang terbuka selubungnya. Sekilas pandang ia tahu bahwa ia sekarang menghadap ke selatan, dan berada di sebuah puncak bukit bundar, yang pasti didakinya dari sebelah utara. Dari timur berembus angin dingin menusuk. Di sebelah kanannya berdiri sebuah sosok hitam gelap, berlatar belakang bintang-bintang di sebelah barat. Ada sebuah gundukan tanah di situ.
"Di mana kalian?" teriak Frodo lagi, marah dan ketakutan.
"Di sini!" kata sebuah suara, berat dan dingin, seolah datang dari dalam tanah. "Aku menunggumu!"
"Tidak!" kata Frodo; tapi ia tidak lari. Lututnya lemas, dan ia jatuh ke tanah. Tidak terjadi apa-apa, dan tidak ada suara. Dengan gemetar ia menengadah, tepat pada waktunya untuk melihat sebuah sosok tinggi gelap seperti bayangan di depan bintang-bintang. Sosok itu mencondongkan tubuh di atasnya. Frodo merasa ada sepasang mata yang sangat dingin, meski bersinar dengan cahaya pucat yang seolah datang dari jarak sangat jauh. Lalu cengkeraman yang lebih kuat dan dingin daripada besi memegangnya. Sentuhan sedingin es itu membekukan tulang-tulangnya, dan ia tak sadarkan diri.
Ketika siuman lagi, sejenak ia tak ingat apa pun kecuali perasaan takut. Tiba-tiba ia tahu bahwa ia terperangkap, tertangkap tak berdaya; ia ada di dalam gundukan tanah kuburan. Seorang Barrow-wight telah menangkapnya, dan mungkin ia sudah kena sihir mengerikan dari Barrow-wight, yang banyak diceritakan dengan berbisik-bisik. Ia tidak berani bergerak, hanya berbaring seperti sewaktu siuman: telentang di atas bebatuan dingin dengan kedua tangannya di atas dada.
Tapi, meski ketakutannya begitu besar, hingga seolah menjadi bagian dari kegelapan di sekitarnya, ia sadar bahwa sementara berbaring ia teringat Bilbo Baggins dan kisah-kisahnya, tentang pengalaman mereka berlari bersama di jalan-jalan di Shire, membicarakan berbagai jalan dan petualangan. Ada benih keberanian tersembunyi (sering kali sangat dalam bahkan) dalam hati hobbit yang paling gemuk dan paling pemalu sekalipun, menunggu suatu bahaya akhir untuk membuatnya tumbuh. Frodo tidak terlalu gemuk maupun pemalu; ia mungkin tidak tahu itu, bahwa Bilbo (dan Gandalf) menganggapnya hobbit terbaik di Shire. Ia mengira sudah sampai ke akhir petualangannya, dan akhir yang mengerikan, tapi pikiran itu justru mengeraskan hatinya. Ia merasa dirinya jadi kaku, seperti hendak membuat suatu loncatan akhir; ia tidak lagi merasa lemas seperti mangsa yang tak berdaya.
Saat berbaring di sana, berpikir dan mengendalikan dirinya sendiri, ia melihat bahwa ternyata kegelapan itu perlahan-lahan menghilang: seberkas cahaya pucat kehijauan berkembang di sekitarnya. Pada mulanya cahaya itu tidak menunjukkan ia berada dalam ruangan macam apa, karena cahaya itu seolah datang dari dirinya sendiri, dan dari lantai di sampingnya, belum sampai ke atap atau dinding. Ia menoleh, dan di sana... dalam cahaya dingin, ia melihat Sam, Pippin, dan Merry berbaring di sampingnya. Mereka berbaring telentang, wajah mereka pucat pasi, dan mereka berpakaian putih. Di sekitar mereka berserakan banyak harta, mungkin dari emas, meski dalam cahaya tersebut harta itu kelihatan dingin dan tidak indah. Pada kepala mereka ada lingkaran bundar, rantai emas pada pergelangan tangan, dan banyak cincin terpasang pada jari mereka. Di samping mereka ada pedang-pedang, dan tameng di dekat kaki. Tapi di leher mereka melintang sebilah pedang panjang.
Tiba-tiba sebuah nyanyian mulai terdengar: gumaman dingin, naik dan turun. Suara itu kedengaran jauh sekali dan tak terhingga suramnya, kadang tinggi dan tipis di udara, kadang seperti erangan rendah dari tanah. Dari aliran bunyi sedih dan mengerikan yang tidak jelas itu, sesekali terwujud rangkaian kata-kata: kata-kata muram, keras, dingin, tak berperasaan, dan sedih. Malam mencerca pagi yang sudah hilang dari sisinya, dan hawa dingin mengutuk kehangatan yang didambakannya. Frodo merasa kedinginan sampai ke sumsumnya. Setelah beberapa saat, lagu itu semakin jelas, dan dengan ketakutan Frodo menyadari lagu itu sudah berubah menjadi semacam jampi-jampi:
Dinginlah tangan, hati dan tulang,
dan dinginlah tidur di bawah batu dan ilalang:
tak pernah lagi ban gun di ranjang batu,
sampai Matahari lenyap dan Bulan mati membisu.
Di dalam angin hitam, bintang-bintang 'kan mati,
biarkan mereka berbaring di sini, di atas emas murni,
sampai penguasa kegelapan mengayunkan tangan
di atas lautan mati dan tanah layu tak bertuan.
Di belakang kepalanya, Frodo mendengar bunyi keriut dan menggores. Ia menoleh sambil mengangkat tubuhnya pada satu lengan, dan dalam cahaya pucat ia melihat mereka berada dalam semacam selasar yang membelok di belakang. Dari balik tikungan, sebuah lengan panjang meraba-raba, berjalan di atas jemarinya mendekati Sam yang berbaring paling dekat, dan menuju ujung pedang yang tergeletak di atas tubuhnya.
Mula-mula Frodo merasa benar-benar telah menjadi batu karena pengaruh jampi-jampi itu. Lalu suatu pikiran liar untuk kabur muncul dalam benaknya. Ia bertanya-tanya, apakah kalau ia memakai Cincin, Barrow-wight itu takkan bisa melihatnya, dan mungkin ia bisa mencari jalan keluar. Ia membayangkan dirinya berlari bebas di rerumputan, sambil berduka tentang Merry, Sam, dan Pippin, tapi ia sendiri bebas dan hidup. Gandalf pasti mengerti bahwa tak ada yang bisa ia perbuat untuk menyelamatkan mereka.
Tapi keberanian yang sudah bangkit dalam dirinya kini terlalu kuat: ia tak bisa begitu saja meninggalkan teman-temannya. Ia bimbang, meraba-raba dalam sakunya, lalu bertempur melawan dirinya lagi; sementara itu, lengan tadi semakin dekat. Tiba-tiba Frodo berhasil mengambil keputusan tegas. Diambilnya pedang pendek di dekatnya, dan ia membungkuk rendah di atas tubuh teman-temannya. Dengan sekuat tenaga ia menebas lengan yang merangkak itu pada pergelangannya, dan tangan di lengan itu putus; tapi pada saat bersamaan pedang itu retak sampai ke pangkalnya. Terdengar teriakan, dan cahaya menghilang. Dalam kegelapan terdengar bunyi menggeram.
Frodo jatuh ke atas tubuh Merry, dan wajah Merry terasa dingin. Bersamaan dengan itu muncul kembali ingatan yang tadi hilang tersapu kabut pertama—ingatan akan rumah di kaki bukit itu, dan Tom yang bernyanyi. Ia ingat sajak yang diajarkan Tom pada mereka. Dengan suara kecil dan putus asa ia memulai: Ho! Tom Bombadil! Begitu ia menyebutkan nama itu, suaranya semakin kuat: bunyinya penuh dan bersemangat, dan ruangan gelap itu bergema, seolah mengikuti bunyi drum dan terompet.
Ho! Tom Bombadil, Tom Bombadillo!
Dekat air, hutan, dan bukit, di alang-alang dan willow,
Dekat api, matahari, dan bulan, dengar sekarang, dengarkanlah!
Kami membutuhkanmu, Torn Bombadil, datanglah!
Mendadak hening sekali, dan Frodo bisa mendengar jantungnya berdetak. Setelah beberapa saat yang lama dan lamban, ia mendengar dengan jelas, meski jauh sekali, seolah datang dari bawah, melalui tanah atau tembok tebal, sebuah suara menyanyikan jawabannya:
Tom Bombadil tua orang yang periang,
Jaketnya biru cerah, sepatu botnya kuning terang.
Tom-lah sang penguasa, takkan bisa dijerat:
Lagu-lagunya dahsyat, dan kakinya lebih cepat.
Ada bunyi gemuruh sangat keras, seolah bebatuan bergulir dan berjatuhan, dan tiba-tiba cahaya mengalir masuk, cahaya asli, cahaya biasa pagi hari. Suatu bukaan seperti pintu rendah muncul di ujung ruangan, di dekat kaki Frodo; dan muncullah kepala Tom Bombadil (topi, bulu, dan semuanya), terbingkai di depan cahaya matahari yang terbit kemerahan di belakangnya. Cahaya itu jatuh ke lantai, dan ke atas wajah ketiga hobbit yang berbaring di samping Frodo. Mereka tak bergerak, tapi warna pucat di wajah mereka sudah lenyap. Mereka sekarang hanya kelihatan sedang tidur lelap.
Tom membungkuk, melepaskan topinya, dan masuk ke dalam ruangan gelap itu sambil bernyanyi:
Keluar kau, Wight tua! Enyahlah dalam cahaya mentari!
Ciutlah seperti kabut dingin, seperti angin pergi' meraung,
Keluar ke negeri tandus, jauh di luar pegunungan!
Jangan datang ke sini lagi! Biarkan kuburanmu kosong!
Hilang dan terlupakanlah, lebih gelap daripada kegelapan,
Di mana gerbang-gerbangnya selalu tertutup, sampai dunia tersembuhkan.
Saat kata-kata itu diucapkan, terdengar teriakan keras dan sebagian ujung dalam ruangan itu runtuh dengan bunyi dahsyat. Lalu ada jeritan memanjang yang makin melemah ke dalam jarak tak terduga; dan setelah itu sepi.
"Ayo, Kawan Frodo!" kata Tom. "Mari kita keluar ke rumput bersih! Kau harus menolongku mengangkat mereka."
Berdua mereka mengangkat keluar Merry, Pippin, dan Sam. Ketika Frodo meninggalkan "kuburan" itu untuk terakhir kalinya, ia merasa melihat tangan, putus yang masih menggeliat seperti labah-labah kesakitan di gundukan tanah runtuh. Tom masuk kembali, terdengar bunyi pukulan dan injakan. Ketika keluar, ia membawa harta banyak sekali: benda-benda dari emas, perak, perunggu; banyak manik-manik rantai, dan hiasan berlian. Ia memanjat gundukan tanah hijau itu dan meletakkan semuanya di bawah sinar matahari.
Ia berdiri di sana, dengan topi di tangannya dan angin meniup rambutnya, memandang para hobbit yang sudah dibaringkan di rumput sebelah barat bukit. Sambil mengangkat tangan kanannya, Tom berkata dengan suara jernih berwibawa,
Bangunlah sekarang, kawan-kawanku yang riang!
Bangun dan dengarlah aku memanggil!
Hangatlah hati dan anggota tubuh! Batu yang dingin sudah runtuh;
Pintu gelap sudah terbuka; tangan mati sudah tiada.
Malam di bawah Malam sudah terbang, Gerbang sudah terpentang!
Den-an sangat gembira Frodo melihat para hobbit bergerak, meregangkan tangan dan menyeka mata, lalu tiba-tiba bangkit berdiri. Mereka melihat sekeliling dengan keheranan, mula-mula memandang Frodo, kemudian Tom yang berdiri menjulang di gundukan tanah di atas mereka; lalu diri mereka sendiri dalam kain putih compang-camping yang tipis, bermahkota dan berikat pinggang emas pucat, bergemerincing perhiasan.
"Apa-apaan ini?" kata Merry sambil meraba lingkaran bulat yang sudah merosot di atas salah satu matanya. Lalu ia berhenti, wajahnya menjadi muram, dan ia memejamkan mata. "Tentu saja, aku ingat!" katanya. "Orang-orang Carn Dum menyerang kami malam-malam, dan kami kalah. Aduh! Pedang dalam jantungku!" ia mencengkeram dadanya. "Tidak! Tidak!" katanya, sambil membuka mata. "Apa yang kukatakan? Aku bermimpi rupanya. Ke mana kau pergi, Frodo?"
"Kurasa aku tersesat," kata Frodo, "tapi aku tak mau membahasnya. Sebaiknya kita pikirkan apa yang harus dilakukan sekarang! Mari kita melanjutkan perjalanan!"
"Berpakaian seperti ini, Sir?" kata Sam. "Di mana pakaianku?" ia melemparkan lingkaran bulat, ikat pinggang, dan cincin-cincin ke atas rumput, lalu melihat sekeliling dengan tak berdaya, seolah berharap akan menemukan jubah, jaket, tali celana, dan pakaian hobbit lainnya bertebaran di dekat mereka.
"Kalian tidak akan menemukan lagi pakaian kalian," kata Tom, melompat dari atas gundukan tanah, dan tertawa sambil menari-nari mengelilingi mereka dalam cahaya matahari. Seolah-olah peristiwa berbahaya atau mengerikan tadi tak pernah terjadi; dan memang... kengerian lenyap dari hati mereka ketika memandang Tom, dan melihat sinar ceria di matanya.
"Apa maksudmu?" tanya Pippin, menatapnya, setengah heran dan setengah geli. "Kenapa tidak?"
Tapi Tom menggelengkan kepala, sambil berkata, "Kalian sudah menemukan din kalian sendiri, kalian sudah keluar dari dalam kesulitan besar. Pakaian hanya kehilangan kecil, kalau kalian sudah terelak dari tenggelam. Berbahagialah, kawan-kawanku yang ceria, dan biarkan sinar matahari yang panas menghangatkan hati dan anggota tubuh! Lepaskan pakaian compang-camping itu! Berlarilah telanjang di rumput, sementara Tom pergi berburu!"
Ia melompat menuruni bukit, sambil bersiul dan memanggil Frodo melihatnya berlari ke arah selatan, sepanjang cekungan hijau di antara bukit mereka dan yang berikutnya, sambil tetap bersiul dan memanggil,
Hei! Ayo! Datanglah hei sekarang! Ke mana kau mengembara ?
Naik, turun, dekat, atau jauh, di sini, di sana, atau jauh di sana ?
Telinga-tajam, Hidung-bijak, Ekor-kibas, dan Bumpkin, Kaus kaki-putih, dan Fatty Lumpkin?
Ia bernyanyi sambil berlari cepat, melemparkan topinya ke atas dan menangkapnya, hingga sosoknya tersembunyi dalam lipatan tanah; tapi untuk beberapa saat suaranya hei sekarang! hoi sekarang! mengalir terus terbawa angin, yang sudah berubah arah ke selatan.
Udara sudah mulai panas lagi. Para hobbit berlarian sebentar di rumput, seperti disuruh oleh Tom. Lalu mereka berbaring di bawah sinar matahari, dengan kegembiraan makhluk yang berpindah tiba-tiba dari musim dingin yang hebat ke cuaca ramah, atau seperti orang yang setelah lama menderita sakit, suatu hari bangun dalam keadaan sehat, dan hari terasa indah kembali.
Saat Tom kembali, mereka sudah merasa kuat (dan lapar). Torn muncul dari atas punggung bukit, topi lebih dulu, dan di belakangnya berbaris dengan patuh enam ekor kuda: kelima kuda mereka sendiri, dan satu kuda lain. Yang terakhir itu Paso Fatty Lumpkin: ia lebih besar, kuat, dan gemuk (dan lebih tua) daripada kuda-kuda mereka. Merry, pemilik kelima kuda itu, sebenarnya belum pernah menamai kuda-kudanya demikian, tapi selama sisa hidup mereka, kelima kuda itu mau dipanggil dengan nama baru yang diberikan Tom. Tom memanggil mereka satu demi satu, dan keenam kuda itu mendaki punggung bukit, lalu berdiri berbaris. Tom membungkuk kepada para hobbit.
"Ini kuda kalian!" katanya. "Mereka lebih berakal sehat (dalam segi tertentu) daripada kalian, hobbit pengembara—lebih banyak punya akal sehat dalam hidung mereka. Karena mereka mencium bahaya di depan, sementara kalian malah langsung terjun ke dalamnya; dan kalaupun mereka lari untuk menyelamatkan diri, mereka lari ke arah yang benar. Kalian harus memaafkan mereka, karena meski hati mereka setia, mereka tidak diciptakan untuk menghadapi kengerian para Barrow-wight. Lihat, mereka datang lagi, membawa semua muatan mereka!"
Merry, Sam, dan Pippin sekarang mengenakan pakaian cadangan yang mereka bawa dalam ransel; dengan segera mereka kepanasan, karena terpaksa memakai pakaian yang lebih tebal dan hangat, yang mereka bawa untuk musim dingin yang sudah dekat.
"Dari mana hewan tua yang satu itu datang? Si Fatty Lumpkin itu?" tanya Frodo.
"Dia milikku," kata Tom. "Kawanku yang berkaki empat; tapi aku jarang menunggangnya dan dia sering mengembara jauh, bebas di atas lereng bukit. Ketika kuda-kuda kalian tinggal di tempatku, mereka berkenalan dengan Lumpkin; mereka mengendusnya di malam hari, dan cepat berlari menemuinya. Kupikir dia akan mencari mereka, dan dengan kata-kata bijaknya akan membuang semua ketakutan mereka. Tapi sekarang, Lumpkin-ku yang riang, Tom akan menunggangimu. Hell Tom akan ikut dengan kalian, untuk mengantar ke jalan; jadi dia butuh kuda. Sebab tidak mudah berbicara dengan hobbit-hobbit yang menunggang kuda, kalau kau sendiri mencoba berlari dengan kaki di samping mereka."
Para hobbit senang sekali mendengar itu, dan berterima kasih berkali-kali pada Tom; tapi ia tertawa dan mengatakan mereka begitu pintar menyesatkan diri sendiri, hingga ia takkan puas sebelum mengantar mereka dengan selamat melintasi perbatasan negerinya. "Banyak sekali pekerjaanku," kata Tom, "berkarya dan bernyanyi, berbicara dan berjalan, dan mengawasi negeri. Tom tidak selalu bisa berada di dekat pintu-pintu terbuka dan celah pohon willow. Tom punya rumah yang mesti diurus, dan Goldberry menunggu."
Masih cukup pagi kalau melihat matahari, sekitar jam sembilan dan sepuluh, dan para hobbit mulai memikirkan makanan. Mereka terakhir makan pada siang hari sebelumnya, di dekat batu berdiri itu. Sekarang mereka sarapan dengan sisa perbekalan dan Tom, yang sebenarnya Untuk makan malam, berikut tambahan yang dibawakan Tom untuk mereka. Bukan hidangan besar (mengingat nafsu makan hobbit dan keadaan saat itu), tapi mereka merasa jauh lebih segar setelahnya. Sementara mereka makan, Tom naik ke atas gundukan itu, mengamati harta di atasnya. Kebanyakan ia buat menjadi tumpukan yang berkilauan dan bersinar di atas rumput. Ia menyuruh mereka tetap di sana, "bebas bagi semua penemu, burung, hewan, Peri maupun Manusia, dan semua makhluk ramah"; dengan demikian, sihir gundukan itu akan patah dan tercerai-berai, dan tidak akan ada lagi Wight yang kembali ke situ. Untuk dirinya sendiri ia memilih sebuah bros bertatahkan permata biru, bernuansa banyak seperti bunga flax atau sayap kupu-kupu biru. Ia memandangnya lama sekali, seolah tergetar oleh ingatan lama, menggelengkan kepala, dan akhirnya berkata,
"Ini mainan bagus untuk Tom dan istrinya! Cantik sekali dia yang dulu memakai ini di pundaknya. Sekarang Goldberry akan memakainya, dan kami tidak akan melupakannya!"
Untuk masing-masing hobbit, ia memilih sebilah belati panjang, berbentuk daun dan tajam, buatannya halus, berhiaskan pola-pola ular berwarna merah dan emas. Pisau-pisau itu berkilauan saat Tom mengeluarkannya dari sarung hitam mereka, yang ditempa dari semacam logam asing ringan dan kuat, bertatahkan banyak batu permata yang menyala bagai api. Entah karena pengaruh baik dari sarung-sarung itu, atau karena sihir yang mempengaruhi gundukan tanah itu, mata pisau-pisau tersebut seolah tak tersentuh waktu, tidak karatan, tajam, dan berkilauan dalam sinar matahari.
"Pisau-pisau tua cukup panjang sebagai pedang untuk makhluk hobbit," kata Tom. "Pisau tajam baik dipunyai kalau makhluk-makhluk Shire berjalan ke timur, selatan, atau jauh ke tempat gelap dan berbahaya." Lalu ia bercerita pada mereka bahwa pisau-pisau itu ditempa bertahun-tahun yang lalu oleh Orang-Orang Westernesse: mereka musuh Penguasa Kegelapan, tapi mereka dikalahkan oleh Raja Carn Dum yang jahat di Negeri Angmar.
"Hanya sedikit yang ingat pada mereka sekarang," gumam Tom, "tapi masih ada yang pergi mengembara, putra-putra raja yang terlupakan, berjalan kesepian, menjaga orang-orang yang tak acuh dan hal-hal yang jahat."
Para hobbit tidak, mengerti kata-kata Tom, tapi ketika ia berbicara, mereka mendapat penglihatan tentang tahun-tahun lama berselang, seperti sebuah dataran luas remang-remang, di mana berjalan segala macam bentuk Manusia, tinggi dan muram, dengan pedang mengilat, dan yang terakhir datang memiliki satu bintang di dahinya. Lalu penglihatan itu memudar, dan mereka kembali berada di dunia cerah bermandikan cahaya matahari. Sudah waktunya berangkat lagi. Mereka bersiap-siap, mengepak ransel, dan menaikkan muatan ke atas kuda-kuda. Dengan perasaan canggung, mereka menggantungkan senjata mereka yang baru pada ikat pinggang kulit di bawah jaket, sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah senjata itu akan pernah dimanfaatkan. Sebelum itu, tak pernah terbayang oleh mereka bahwa bertempur akan menjadi salah satu petualangan yang bakal menghadang mereka dalam pelarian.
Akhirnya mereka berangkat. Mereka menuntun kuda-kuda menuruni bukit; lalu, sambil menunggang kuda, mereka menderap cepat sepanjang lembah. Mereka menoleh dan melihat puncak gundukan lama di atas bukit, dari sana cahaya matahari yang menyinari emas naik seperti nyala api kuning. Lalu mereka membelakangi Downs, dan daerah itu tersembunyi dari pandangan.
Meski Frodo melihat sekeliling ke semua sisi, tidak kelihatan batu-batu besar berdiri seperti gerbang. Tak lama kemudian, mereka sampai di celah utara dan dengan cepat melaju melewatinya, tanah terhampar luas di depan. Perjalanan itu riang sekali, dengan Tom Bombadil berlari gembira di samping atau di depan mereka, menunggangi Fatty Lumpkin yang bisa bergerak jauh lebih cepat daripada yang tampak dari ukuran badannya. Tom lebih banyak bernyanyi, kebanyakan tanpa makna, atau mungkin bahasanya bahasa asing yang tidak dikenal para hobbit, bahasa kuno yang kata-katanya terutama tentang keajaiban dan kegembiraan.
Mereka melaju dengan teratur, tapi segera menyadari bahwa Jalan Timur yang mereka cari ternyata lebih jauh daripada yang mereka bayangkan. Bahkan tanpa kabut pun, acara tidur siang pasti menghalangi mereka untuk mencapainya sebelum malam pada hari sebelum- nya. Garis gelap yang mereka lihat bukan barisan pohon, tapi barisan semak belukar yang tumbuh di tepi tanggul dalam, dengan tembok curam di sisi sebelah sana. Kata Tom, dulu tanggul itu pernah menjadi perbatasan sebuah kerajaan, tapi itu sudah sangat lama berselang. Ia rupanya ingat sesuatu yang sedih tentang tanggul itu, dan tidak mau bicara banyak.
Mereka mendaki turun dan keluar dari tanggul, melewati celah di tembok, lalu Tom belok ke utara, karena selama itu mereka berjalan agak ke barat. Sekarang tanah terbuka dan cukup datar. Mereka mempercepat langkah, tapi matahari sudah terbenam rendah ketika akhirnya mereka melihat barisan pohon tinggi di depan. Tahulah mereka bahwa mereka sudah sampai kembali ke Jalan Timur, setelah beberapa petualangan tak terduga. Mereka memacu kuda melewati sekitar dua ratus meter terakhir, lalu berhenti di bawah bayangan panjang pepohonan. Mereka berada di atas puncak tebing menurun, dan
Jalan Timur yang sekarang kelihatan samar-samar saat senja, berkelok-kelok di bawah mereka. Pada titik itu ia menjulur hampir dari Barat-daya sampai ke Timur-laut, dan di sebelah kanan ia segera jatuh ke dalam cekungan lebar. Ada jejak roda dan banyak tanda bekas hujan deras yang baru saja berlalu; ada genangan-genangan dan lubang-lubang penuh air.
Mereka melaju menuruni tebing, melihat ke atas dan ke bawah. Tak kelihatan apa pun. "Nah, akhirnya kita kembali ke jalan ini!" kata Frodo. "Kurasa kita hanya kehilangan dua hari dengan memotong jalan lewat Forest! Mungkin saja keterlambatan itu terbukti berguna kelak-mungkin itu membuat mereka kehilangan jejak kita."
Yang lainnya memandang Frodo. Bayangan ketakutan terhadap Penunggang Hitam mendadak menyerbu kembali. Sejak memasuki Forest, mereka hanya memikirkan bagaimana kembali ke Jalan Timur; baru sekarang, ketika jalan itu sudah mereka tapaki, mereka ingat bahaya yang mengejar, dan sangat mungkin menunggu mereka di Jalan itu sendiri. Dengan cemas mereka menoleh ke arah matahari terbenam, tetapi Jalan itu cokelat dan kosong.
"Apakah menurutmu kita akan dikejar malam ini?" tanya Pippin ragu-ragu.
"Tidak, kuharap tidak," jawab Tom Bombadil, "besok pun mungkin tidak Tapi jangan percaya pada dugaanku, karena aku tidak yakin. Di sebelah timur, pengetahuanku tidak cukup. Tom bukan penguasa para Penunggang dari Negeri Hitam yang jauh di luar negerinya."
Bagaimanapun, para hobbit sangat berharap Tom ikut bersama mereka. Mereka merasa bila ada yang bisa menghadapi Penunggang Hitam, maka Tom-lah orangnya. Tak lama lagi mereka akan masuk ke negeri-negeri yang sama sekali asing bagi mereka, yang hanya mereka ketahui dari legenda-legenda paling samar dan jauh yang mereka dengar di Shire. Dalam senja yang mulai turun, mereka merasa rindu kepada rumah. .Perasaan kesepian dan kehilangan yang mendalam menyelimuti mereka. Mereka berdiri diam, enggan berpamitan untuk terakhir kali. Setelah lama, baru mereka menyadari bahwa Tom sedang mengucapkan selamat jalan, dan meminta agar mereka bersemangat dan terus melaju sampai gelap, tanpa berhenti.
"Tom akan memberi kalian nasihat bijak, sampai hari ini berakhiri (setelah itu, kalian mesti mengandalkan keberuntungan kalian sendiri) empat mil melewati Jalan Timur ini, kalian akan sampai ke desa Bree di bawah Bree-hill, dengan pintu-pintu menghadap ke barat. Di sana kalian akan menemukan penginapan tua bernama Kuda Menari. Pemiliknva adalah Barliman Butterbur yang terhormat. Di sana kalian bisa menginap, dan pagi harinya kalian bisa bergegas. Beranilah, tapi hati-hati! Pertahankan kegembiraan, dan melajulah menyambut keberuntungan kalian!"
Mereka memohon agar Tom mau ikut, setidaknya sejauh penginapan itu dan minum sekali lagi dengan mereka; tapi ia tertawa dan menolak, sambil berkata,
Negeri Tom berakhir di sini: ia takkan melewati perbatasan.
Tom punya rumah untuk diurus, don Goldberry menunggu!
Lalu ia berbalik, melemparkan topinya ke atas, melompat ke atas punggung Lumpkin, dan melaju menaiki tebing, menghilang dalam keremangan senja sambil bernyanyi.
Para hobbit naik ke atas puncak tebing, memperhatikan Tom sampai ia hilang dari pandangan.
"Aku menyesal harus berpisah dengan Mr. Bombadil," kata Sam. "Dia sangat bisa diandalkan. Kalaupun kita pergi lebih jauh, kurasa kita tidak bakal menjumpai sesuatu yang lebih baik atau lebih aneh. Tapi kuakui, aku akan senang menemukan penginapan Kuda Menari yang dibicarakannya itu. Kuharap mirip Naga Hijau di rumah! Seperti apa orang-orang di Bree?"
"Ada juga hobbit di Bree," kata Merry, "dan juga Makhluk-Makhluk Besar. Kupikir akan seperti di rumah juga. Bagaimanapun, penginapan itu bagus dalam segala hal. Orang-orangku sesekali pergi ke sana."
"Mungkin penginapan itu sesuai dengan harapan kita," kata Frodo, "tapi bagaimanapun dia ada di luar Shire. Jangan terlalu merasa kerasan di sana! Ingatlah-kalian semua-bahwa nama Baggins TIDAK boleh disebut. Aku adalah Mr. Underhill, kalau ada nama yang harus disebut."
Mereka menaiki kuda dan melaju diam-diam ke dalam senja. Kegelapan segera turun, saat mereka berjalan perlahan menuruni bukit dan naik lagi, sampai akhirnya mereka melihat lampu-lampu berkelip tak seberapa jauh di depan.
Di depan mereka berdiri Bree-hill menghalangi jalan, suatu bongkahan gelap di depan bintang-bintang samar-samar; dan di bawah sisi sebelah barat bersandar sebuah desa besar. Mereka berjalan bergegas menuju desa itu, dengan harapan akan menemukan api, dan pintu untuk membatasi mereka dengan malam.
Buku 1 Bab 09
DI BAWAH PAPAN NAMA KUDA MENARI
Bree merupakan desa utama di Bree-land, suatu wilayah kecil berpenduduk, seperti sebuah pulau di tengah tanah-tanah kosong di sekelilingnya. Selain Bree, ada Staddle di sisi lain bukit, Combe di lembah dalam sedikit lebih ke timur, dan Archet di pinggir hutan Chetwood. Di sekitar Bree-hill dan desa-desanya terletak wilayah kecil yang terdiri atas padang rumput dan hutan jinak yang hanya beberapa mil luasnya.
Orang-orang Bree berambut cokelat, berbadan lebar dan agak pendek, periang dan sangat bebas: mereka bangsa merdeka, tapi mereka lebih akrab dengan kaum hobbit, Kurcaci, Peri, dan penduduk lain di dunia sekitar mereka daripada Makhluk-Makhluk Besar lain. Menurut dongeng mereka sendiri, mereka penduduk asli dan keturunan Manusia pertama yang pernah mengembara ke bagian Barat Dunia Tengah. Hanya sedikit yang bertahan dalam huru-hara di Zaman Peri; tapi ketika para Raja kembali lagi melalui Laut Besar, mereka menemukan orang-orang Bree masih di sana, dan sekarang pun mereka masih di sana, ketika ingatan kepada Raja-Raja lama sudah memudar ke dalam rumput.
Pada masa itu belum ada Manusia lain yang mendirikan hunian begitu jauh ke barat, atau dalam jarak seratus mil dari Shire. Tapi di negeri liar di luar Bree banyak pengembara misterius. Bangsa Bree menamai mereka para Penjaga Hutan, dan tidak tahu-menahu tentang asal-usul mereka. Mereka lebih tinggi dan lebih gelap daripada Orang-Orang Bree, dan diyakini memiliki kekuatan-kekuatan pendengaran dan penglihatan yang aneh, serta bisa. mengerti bahasa hewan dan burung. Mereka mengembara ke selatan sesukanya, dan ke timur bahkan sampai sejauh Pegunungan Berkabut; tapi sekarang jumlah mereka hanya sedikit dan jarang terlihat. Bila muncul, mereka membawa berita dan jauh, dan menceritakan dongeng-dongeng aneh yang terlupakan, yang sangat disukai orang-orang; tapi bangsa Bree tidak bersahabat dengan mereka.
Banyak juga keluarga hobbit di Bree-land, dan mereka bersikeras bahwa desa mereka adalah perkampungan hobbit tertua di dunia, yang sudah lama didirikan jauh sebelum Brandywine diseberangi dan Shire dihuni. Mereka kebanyakan tinggal di Staddle, meski ada beberapa yang tinggal di Bree, terutama di lereng-lereng bukit yang lebih tinggi, di alas perumahan Manusia. Bangsa Besar dan Bangsa Kecil (sebagaimana mereka saling menyebut) berhubungan baik, mengurusi masalah mereka sendiri dengan cara mereka sendiri, tapi keduanya menganggap diri mereka sebagai bagian yang perlu dari bangsa Bree. Tidak ada tempat lain di dunia di mana aturan ganjil (tetapi bagus) ini bisa ditemukan.
Bangsa Bree sendiri, Besar dan Kecil, tidak banyak bepergian; dan urusan keempat desa itu menjadi perhatian utama mereka. Kadang-kadang para hobbit dari Bree pergi sampai sejauh Buckland, atau Wilayah Timur, tapi, meski negeri kecil mereka tidak lebih jauh daripada sehari perjalanan naik kuda ke arah timur Jembatan Brandywine, para hobbit dari Shire sekarang jarang mengunjunginya. Sesekali seorang Keluarga Buckland atau Took yang gemar bertualang akan datang ke Kuda Menari untuk semalam dua malam, tapi itu pun sudah semakin jarang. Hobbit dari Shire menyebut hobbit dari Bree, dan yang lain yang tinggal di luar perbatasan, sebagai Orang Luar, dan sangat tidak tertarik pada mereka, menganggap mereka membosankan dan tak tahu adat. Mungkin lebih banyak lagi Orang Luar yang tersebar di bagian Barat Dunia di masa itu, daripada yang dibayangkan orang-orang dari Shire. Beberapa bisa dikatakan tidak lebih baik daripada gelandangan, siap menggali lubang di tebing mana saja dan tinggal selama mereka mau. Tapi setidaknya hobbit di Bree-land adalah golongan beradab dan kaya, dan tidak lebih kasar daripada kebanyakan saudara °mereka di Dalam Shire. Mereka belum lupa bahwa pernah ada masa ketika para hobbit Shire dan Bree saling bolak-balik mengunjungi. Dalam keluarga Brandybuck setidaknya mengalir darah Bree.
Desa Bree mempunyai beberapa ratus rumah batu milik Makhluk-Makhluk Besar, kebanyakan di atas Jalan Timur, bersandar pada lereng bukit dengan jendela-jendela menghadap ke barat. Pada sisi itu, menjulur lebih dari setengah lingkaran dari bukit dan melingkar kembali kepadanya, ada sebuah tanggul dalam dengan pagar tebal di sebelah dalam. Jalan Timur melintas di atasnya dengan jalan lintas atas; tapi di bagian yang menembus pagar, jalan itu tertutup sebuah gerbang besar. Ada gerbang lain di sudut sebelah selatan, di tempat Jalan Timur mengarah ke luar desa. Gerbang-gerbang itu ditutup pada malam hari, tapi persis di dalamnya ada pondok-pondok kecil untuk para penjaga gerbang.
Di pinggir Jalan Timur, di bagian yang membelok ke kanan untuk mengitari bukit, ada sebuah penginapan besar. Penginapan itu dibangun lama berselang, ketika lalu lintas di jalan-jalan jauh lebih ramai. Bree berdiri di suatu pertemuan jalan-jalan lama; ada jalan kuno lain yang memotong Jalan Timur, persis di luar tanggul di ujung barat desa, dan di masa lalu Manusia dan berbagai bangsa lain banyak bepergian melewatinya. Ungkapan "Aneh seperti kabar dari Bree" masih digunakan di Wilayah Timur, berasal dari masa-masa itu, ketika kabar dari Utara, Selatan, dan Barat bisa didengar di penginapan tersebut, dan ketika para hobbit Shire lebih sering pergi untuk mendengarnya. Tapi Negeri-Negeri Utara sudah lama kosong, dan Jalan Utara jarang digunakan sekarang; jalan itu dipenuhi rumput dan bangsa Bree menyebutnya Greenway, Jalan Hijau.
Namun begitu, penginapan tersebut masih ada di sana, dan pemiliknya adalah orang pouting. Rumahnya menjadi tempat pertemuan para penganggur, mereka yang senang mengobrol, dan yang suka ingin tahu di antara penduduk besar dan kecil dari keempat desa; penginapan itu juga menjadi tempat menginap bagi Penjaga-Penjaga Hutan dan pengembara lain, serta para pelancong (kebanyakan kurcaci) yang masih bepergian melewati Jalan Timur, ke dan dari Pegunungan.
Sudah gelap, bintang-bintang putih bersinar ketika Frodo dan rombongannya akhirnya tiba di persimpangan Greenway dan mendekati desa. Mereka sampai di Gerbang Barat dan melihat gerbangnya sudah tertutup, tapi pada pintu pondok sebelah dalam, seorang laki-laki tampak sedang duduk. Ia melompat mengambil lentera, dan memandang mereka dengan tercengang dari atas gerbang.
"Mau apa dan dari mana kalian?" ia bertanya kasar.
"Kami mau ke penginapan di sini," jawab Frodo. "Kami sedang melancong ke timur dan tidak bisa meneruskan perjalanan malam
"Hobbit! Empat hobbit! Dari Shire, kalau mendengar cara mereka berbicara," kata penjaga gerbang itu pelan, seolah pada dirinya sendiri. Ia menatap curiga ke arah mereka untuk beberapa saat, lalu dengan perlahan membuka gerbang dan membiarkan mereka lewat.
"Kami tidak sering melihat bangsa Shire di Jalan Timur pada malam hari," lanjutnya, saat mereka berhenti sebentar di dekat pintunya. "Maaf kalau aku bertanya-tanya urusan apa yang membawa kalian pergi ke timur Bree! Siapa nama Anda sekalian, kalau aku boleh tanya?"
"Nama dan urusan kami adalah milik kami, dan tampaknya ini bukan tempat yang tepat untuk membahasnya," kata Frodo, yang tidak menyukai penampilan maupun nada suara laki-laki itu.
"Memang urusan Anda adalah urusan Anda sendiri," kata pria itu, "tapi aku berhak mengajukan pertanyaan setelah malam tiba."
"Kami hobbit dari Buckland, kami ingin melancong dan tinggal di penginapan di sini," tambah Merry. "Aku Mr. Brandybuck. Sudah cukup? Bangsa Bree biasanya ramah pada para pelancong, atau setidaknya begitulah yang kudengar."
"Baiklah, baiklah!" kata pria itu. "Aku tidak mau menyinggung perasaan. Tapi akan kalian lihat nanti, lebih banyak orang daripada Harry di gerbang yang akan menanyakan ini-itu pada kalian. Banyak orang aneh di sekitar sini. Kalau kalian pergi ke penginapan itu, kalian akan lihat bahwa bukan kalian saja tamu di sana."
Ia mengucapkan selamat malam, dan mereka tidak berbicara lagi; dalam cahaya lentera, Frodo melihat pria itu masih memandang mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Frodo senang mendengar gerbang tertutup di belakang mereka, ketika mereka melangkah maju. Ia bertanya dalam hati, mengapa pria itu begitu curiga, dan apakah sudah ada orang yang menanyakan kabar tentang rombongan hobbit. Gandalf barangkali? Mungkin ia sudah sampai, sementara mereka tertahan di Forest dan di Downs. Tapi ada sesuatu dalam tatapan dan suara penjaga gerbang itu yang membuatnya merasa tidak nyaman.
Pria itu masih terus menatap para hobbit untuk beberapa saat, lalu kembali ke rumahnya. Begitu ia membalikkan badan, sebuah sosok gelap memanjat cepat melewati gerbang, dan berbaur dalam keremangan di jalan desa.
Keempat hobbit itu mendaki suatu lereng landai, melewati beberapa rumah lepas, dan berhenti di luar penginapan. Rumah-rumah kelihatan besar dan aneh bagi mereka. Sam menatap bangunan penginapan yang terdiri alas tiga tingkat, dengan banyak jendela, dan merasa semangatnya merosot. Ia sudah membayangkan akan bertemu raksasa yang lebih besar daripada pohon, dan makhluk-makhluk lain yang lebih mengerikan, dalam perjalanannya; tapi saat pertama kali melihat Manusia dan rumah mereka yang tinggi sudah lebih dari cukup baginya, bahkan terlalu berlebihan sebagai akhir yang gelap dari hari yang melelahkan ini. Ia membayangkan kuda-kuda hitam berdiri siap dalam bayangan di halaman penginapan, dan para Penunggang Hitam mengintip dari jendela-jendela gelap di atas.
"Kita toh tidak akan tinggal di sini malam ini, Sir?" serunya. "Kalau ada bangsa hobbit yang tinggal di sini, mengapa kita tidak mencari mereka yang mau membiarkan kita menginap di rumahnya? Itu akan lebih terasa seperti di rumah."
"Apa yang salah dengan penginapan ini?" kata Frodo. "Tom Bombadil menyarankannya. Kupikir kita akan cukup merasa seperti rumah di dalamnya."
Bahkan dari luar penginapan itu kelihatan seperti rumah nyaman bagi mata yang sudah terbiasa. Bagian depannya menghadap ke Jalan Timur, dan dua sayapnya memanjang ke belakang, pada tanah yang sebagian dipotong dari lereng-lereng bukit yang lebih rendah, sehingga di bagian belakangnya jendela-jendela lantai kedua berada satu level dengan permukaan tanah. Ada lengkungan lebar yang menuntun ke pelataran di antara kedua sayap bangunan itu, dan di sebelah kiri, di bawah lengkungan, ada ambang pintu besar dengan beberapa anak tangga lebar. Pintunya terbuka dan cahaya mengalir keluar dari sana. Di atas lengkungan ada lampu, dan di bawahnya tergantung sebuah papan nama besar: seekor kuda putih gemuk berdiri pada kaki belakangnya. Di atas pintu terpampang tulisan dengan cat putih: KUDA MENARI oleh BARLIMAN BUTTERBUR. Banyak jendela di bawah memperlihatkan cahaya di balik tirai-tirai tebal.
Saat mereka berdiri bimbang dalam kegelapan di luar, seseorang mulai menyanyikan lagu gembira di dalam, dan banyak suara riang bergabung nyaring dalam paduan suara. Sejenak mereka mendengarkan suara yang membangkitkan 'semangat itu, lalu turun dari kuda-kuda. Lagu itu berakhir, terdengar ledakan tawa dan tepukan tangan.
Mereka menuntun kuda-kuda ke bawah lengkungan, dan meninggalkan hewan-hewan itu berdiri sementara mereka menaiki tangga. Frodo maju dan hampir bertabrakan dengan seorang laki-laki gemuk pendek berkepala botak dan berwajah merah. Ia memakai celemek putih, dan sibuk keluar satu pintu dan masuk pintu yang lain, sambil membawa baki penuh mug.
"Bisakah kami...," Frodo memulai.
"Setengah menit!" teriak laki-laki itu sambil menoleh, lalu menghilang ke dalam hiruk-pikuk suara dan kepulan asap. Sejenak kemudian ia sudah keluar lagi, menyeka tangan pada celemeknya.
"Selamat sore, tuan kecil!" katanya sambil membungkuk. "Apa yang kalian perlukan?"
"Tempat tidur untuk empat orang, dan kandang untuk lima kuda, kalau bisa diatur. Apakah Anda Mr. Butterbur?"
"Betul! Barliman namaku. Barliman Butterbur siap melayani Anda! Kalian dari Shire bukan?" katanya, lalu tiba-tiba ia menepukkan tangannya ke dahi, seolah mencoba mengingat sesuatu. "Hobbit!" serunya. "Wah, mengingatkan aku pada apa, ya? Bolehkah aku tahu nama kalian, Sir?"
"Mr. Took dan Mr. Brandybuck," kata Frodo, "dan ini Sam Gamgee. Namaku Underhill."
"Aah!" kata Mr. Butterbur, menceklikkan jarinya. "Sudah hilang lagi! Tapi nanti pasti ingat lagi, kalau aku punya waktu untuk berpikir. Aku terlalu sibuk; tapi akan kulihat apa yang bisa kulakukan untuk kalian. Tidak sering kami menerima kedatangan rombongan dari Shire akhir-akhir ini, dan aku akan menyesal kalau tidak bisa menyambut kalian. Tapi sudah banyak tamu di penginapan malam ini, padahal ini sudah cukup lama tidak terjadi. Tidak pernah hujan, tapi begitu turun, deras sekali, begitulah kata orang Bree.
"Hei! Nob!" teriaknya. "Di mana kau, kaki lembek melempem? Nob!"
"Datang, Sir! Aku datang!" Seorang hobbit bertampang riang melompat dari sebuah pintu, dan ketika melihat para pelancong itu, ia berhenti kaget dan menatap mereka dengan penuh minat.
"Di mana Bob?" tanya pemilik penginapan. "Kau tidak tahu? Well, carilah dia! Cepat! Aku tidak punya enam kaki dan enam mata! Katakan pada Bob, ada lima kuda yang perlu dimasukkan ke kandang. Pokoknya dia harus menyediakan tempat." Nob berlari keluar sambil nyengir dan mengedipkan mata.
"Nah, tadi aku mau bilang apa, ya?" kata Mr. Butterbur, sambil mengetuk dahinya. "Berbagai hal datang silih berganti, begitulah. Aku sibuk sekali malam ini, sampai kepalaku pusing. Ada rombongan yang datang lewat Greenway dari Selatan tadi malam-itu saja sudah cukup aneh. Lalu ada rombongan kurcaci yang akan pergi ke Barat, datang sore tadi. Dan sekarang ada kalian. Seandainya kalian bukan hobbit, belum tentu aku bisa menyediakan tempat untuk kalian. Tapi kami punya satu-dua kamar di sayap utara, yang dibuat khusus untuk hobbit ketika tempat ini dibangun. Di lantai bawah, seperti kesukaan mereka; berikut jendela-jendela bundar dan sebagainya. Kuharap kalian merasa nyaman. Pasti kalian ingin makan malam. Akan segera dihidangkan. Lewat sini!"
Ia membimbing mereka melewati selasar, dan membuka sebuah pintu. "Di sini ada ruang duduk kecil yang nyaman!" katanya. "Kuharap cocok. Sekarang aku permisi. Aku sibuk sekali. Tidak ada waktu untuk mengobrol. Aku harus lari lagi. Berat kalau cuma punya dua kaki, tapi aku tidak kurus-kurus juga. Aku akan menengok kalian lagi nanti. Kalau kalian butuh sesuatu, bunyikan bel, dan Nob akan datang. Kalau dia tidak datang, bunyikan bel dan teriaklah!"
Akhirnya ia keluar, meninggalkan mereka dengan perasaan agak terengah-engah. Mr. Butterbur tampaknya mampu berbicara tanpa henti, betapapun sibuknya dia. Mereka berada dalam ruangan kecil dan nyaman. Ada api kecil menyala terang di perapian, di depannya ada beberapa kursi rendah dan nyaman. Ada meja bundar yang sudah diberi taplak putih, dan di atasnya ada bel-tangan besar. Tapi sebelum mereka sempat membunyikan bel, Nob, si hobbit pelayan, sudah masuk membawa lilin dan baki penuh piring.
"Apakah Anda ingin minum sesuatu, Tuan-Tuan?" tanyanya. "Dan bolehkah aku menunjukkan kamar tidur Anda, sementara makan malam disiapkan?"
Mereka sudah mandi dan sedang minum bir enak dalam mug besar ketika Mr. Butterbur dan Nob masuk lagi. Dalam sekejap meja ditata. Ada sup panas, daging dingin, kue tar blackberry, roti baru, lempengan mentega, dan separuh keju matang: makanan sederhana yang enak, seenak yang ada di Shire, dan cukup terasa seperti di rumah sendiri, hingga bisa menghilangkan perasaan waswas Sam (yang sudah agak lega karena kelezatan bir yang diminumnya).
Pemilik penginapan berlama-lama sedikit, lalu bersiap meninggalkan mereka. "Aku tidak tahu apakah kalian mau bergabung dengan rombongan lain, kalau kalian sudah selesai makan malam," ia berkata sambil berdiri di pintu. "Mungkin kalian, memilih tidur. Tapi para tamu lain akan senang menyambut kalian, kalau kalian bersedia. Kami tidak sering menerima Orang Luar-pelancong dari Shire, maksudku, maaf-dan kami ingin mendengar berita, atau cerita, atau lag" yang kalian suka. Tapi terserah kalian! Bunyikan bel, kalau butuh sesuatu !"
Mereka merasa sangat segar dan bersemangat pada akhir makan malam (selama tiga perempat jam makan terus tanpa terganggu obrolan yang tidak perlu), sampai-sampai Frodo, Pippin, dan Sam memutuskan bergabung dengan rombongan lainnya. Merry enggan ikut serta, terlalu ramai, katanya. "Aku mau duduk sejenak dekat perapian, dan mungkin nanti keluar sebentar untuk menghirup hawa segar. Ingat, bicara yang sopan, dan jangan lupa... kita sedang melarikan diri secara rahasia, dan masih berada di jalan utama, belum jauh dari Shire!"
"Baiklah!" kata Pippin. "Jaga dirimu sendiri! Jangan sampai tersesat, dan jangan lupa bahwa di dalam lebih aman!"
Rombongan lainnya berada di ruang besar penginapan tersebut. Kumpulan berbagai macam orang, seperti yang dilihat Frodo ketika matanya sudah terbiasa dengan cahaya. Cahaya itu terutama datang dari kobaran nyala api unggun, karena ketiga lampu yang tergantung di balok langit-langit hanya mengeluarkan cahaya suram dan setengah terselubung asap. Barliman Butterbur sedang berdiri dekat api, berbicara dengan beberapa kurcaci dan satu-dua orang yang kelihatan aneh. Di bangku-bangku duduk berbagai macam orang: Orang-Orang Bree, sekumpulan hobbit setempat (duduk mengobrol bersama), beberapa kurcaci lagi, dan sosok-sosok lain yang samar-samar serta sulit dikenali dalam keremangan, dan di sudut-sudut.
Begitu para hobbit masuk, Orang-Orang Bree serempak menyapa mereka. Orang-orang asing, terutama yang datang melalui Greenway, memandang mereka dengan rasa ingin tahu. Pemilik penginapan memperkenalkan mereka pada orang-orang Bree, menyebutkan nama-nama dengan begitu cepat, sampai-sampai mereka tidak tahu siapa si pemilik nama itu. Orang-Orang Bree tampaknya mempunyai nama-nama mirip nama tanaman (dan bagi orang Shire terasa aneh), seperti misalnya Rushlight, Goatleaf, Heathertoes, Appledore, Thistlewool, dan Ferny (termasuk juga Butterbur). Beberapa kaum hobbit mempunyai nama sama. Nama Mugwort, misalnya, tak terhitung banyaknya. Tapi kebanyakan mereka mempunyai nama wajar, seperti Banks, Brockhouse, Longhole, Sandheaver, dan Tunnelly, yang juga banyak digunakan di Shire. Ada beberapa Underhill dari Staddle, dan berhubung merasa mempunyai nama belakang yang sama, mereka menyambut Frodo seperti sepupu yang sudah lama hilang.
Hobbit-hobbit Bree ternyata ramah dan penuh rasa ingin tahu, dan Frodo segera menyadari bahwa mau tak mau ia mesti memberikan sedikit penjelasan tentang dirinya. Ia mengaku tertarik pada sejarah dan ilmu bumi (para pendengarnya geleng-geleng kepala, meski kedua kata itu jarang digunakan dalam logat Bree). Ia mengatakan berniat menulis buku (yang membuat orang-orang terdiam heran), dan bahwa ia dan kawan-kawannya ingin mengumpulkan keterangan tentang hobbit-hobbit yang tinggal di luar Shire, terutama di negeri-negeri timur.
Mendengar itu, orang-orang langsung berbicara serempak. Kalau Frodo benar-benar ingin menulis buku, dan mempunyai banyak telinga, ia pasti bisa mendapat bahan tulisan untuk sekian bab, dalam beberapa menit saja. Dan seakan-akan itu belum cukup, ia diberi daftar nama lengkap, diawali dengan "Barliman tua ini", pada siapa ia bisa me- minta keterangan lebih lanjut. Tapi, setelah beberapa saat, karena Frodo tidak menunjukkan tanda-tanda akan langsung menulis buku di situ, para hobbit kembali pada pertanyaan mereka tentang peristiwa-peristiwa di Shire. Ternyata Frodo tidak begitu komunikatif, dan tak lama kemudian ia cuma duduk sendirian di pojok, mendengarkan dan melihat-lihat sekelilingnya.
Manusia-Manusia dan para Kurcaci kebanyakan membicarakan peristiwa-peristiwa di tempat jauh dan memberitakan jenis-jenis kabar yang sekarang sudah sangat dikenal. Ada kesulitan di Selatan, dan tampaknya Manusia-Manusia yang datang lewat Greenway hendak pindah tempat tinggal, mencari wilayah yang bisa menawarkan hidup tenteram. Bangsa Bree menaruh simpati, tapi jelas tidak siap untuk menerima sejumlah besar orang asing di negeri mereka yang kecil Salah seorang pelancong, bermata juling dan tidak ramah, meramalkan bahwa semakin banyak orang akan datang ke utara dalam waktu dekat. "Kalau tidak disediakan tempat untuk mereka, mereka akan mencarinya sendiri. Mereka punya hak untuk hidup, sama seperti orang lain," katanya nyaring. Penduduk setempat kelihatan tak senang mendengar ramalan itu.
Para hobbit tidak begitu menghiraukan semua itu, dan saat ini segala berita tersebut kelihatannya tidak begitu berhubungan dengan kaum hobbit. Makhluk-Makhluk Besar tak mungkin memohon ikut tinggal dalam lubang hobbit. Mereka lebih tertarik pada Pippin dan Sam, yang sekarang sudah mulai merasa betah, dan bercakap-cakap riang tentang kejadian-kejadian di Shire. Pippin menimbulkan tawa cukup ramai dengan menceritakan keruntuhan atap Town Hole di Michel Delving: Will Whitfoot, sang Wali Kota, dan hobbit paling gemuk di Wilayah Barat, terkubur dalam kapur, dan keluar dengan tampang seperti kue bola berlapis tepung. Tapi ada beberapa pertanyaan yang membuat Frodo merasa tidak nyaman. Salah satu orang Bree, yang tampaknya sudah beberapa kali mengunjungi Shire, ingin tahu di mana keluarga Underhill tinggal, dan dengan siapa mereka bertalian keluarga.
Tiba-tiba Frodo memperhatikan ada seorang pria berpenampilan asing, dengan wajah keras dimakan cuaca, sedang duduk di tempat gelap dekat dinding; orang itu juga mendengarkan omongan kaum hobbit dengan penuh perhatian. Sebuah cangkir logam ada di depannya, dan ia mengisap sebatang pipa bertangkai panjang dengan ukiran aneh. Kakinya dijulurkan ke depan, menunjukkan sepatu bot dari kulit lentur yang pas sekali, tapi tampaknya sudah sering dipakai dan sekarang dikotori lumpur kering. Mantel dari kain hijau tua, yang sudah usang karena perjalanan, menutup rapat tubuhnya, dan meski ruangan itu panas, ia memakai kerudung menutupi wajahnya; tapi kilatan matanya terlihat ketika ia memperhatikan para hobbit.
"Siapa itu?" tanya Frodo, ketika mendapat kesempatan untuk berbisik pada Mr. Butterbur. "Rasanya Anda belum memperkenalkan dia."
"Dia?" si pemilik penginapan menjawab dengan berbisik juga, melirik tanpa menolehkan kepala. "Aku tidak begitu tahu. Dia salah satu dari bangsa pengembara-para Penjaga Hutan, kami menyebut mereka. Dia jarang berbicara, tapi dia bisa menceritakan. kisah langka kalau mau. Dia suka menghilang selama sebulan, atau setahun, lalu muncul lagi. Musim semi lalu dia sering keluar-masuk; tapi akhir-akhir ini aku belum melihatnya. Siapa namanya, aku belum pernah dengar, tapi di sekitar sini dia dikenal sebagai Strider. Berjalan kaki ke sana kemari cepat sekali, dan tak pernah cerita pada siapa pun, apa alasannya dia terburu-buru. Tapi Timur dan Barat memang tak bisa diuraikan, begitulah kata orang di Bree-maksudnya kaum Penjaga Hutan dan orang-orang dari Shire, maaf. Lucu bahwa Anda menanyakan tentang dia." Tapi tepat pada saat itu Mr. Butterbur dipanggil karena ada permintaan bir lebih banyak lagi, jadi ia tak sempat menjelaskan komentarnya yang terakhir.
Frodo sekarang melihat Strider sedang memandangnya, seolah ia telah mendengar atau menduga semua yang dibicarakan. Tak lama kemudian, dengan lambaian tangan dan anggukan, Strider mengundang Frodo untuk mendekat dan duduk bersamanya. Saat Frodo mendekat, Strider membuka kerudungnya. Maka tersingkaplah kepala berambut panjang gelap bebercak kelabu, dan sepasang mata kelabu tajam dalam wajah pucat dan kaku.
"Orang-orang memanggilku Strider," katanya dengan suara rendah. "Aku sangat senang bertemu denganmu, Master... Underhill, kalau Butterbur tua mendengar namamu dengan benar."
"Memang benar," kata Frodo kaku. Ia merasa jauh dari nyaman di bawah tatapan mata tajam itu.
"Nah, Master Underhill," kata Strider, "kalau aku jadi kau, aku akan menghentikan kawan-kawanmu yang muda berbicara terlalu banyak Minum, perapian, dan pertemuan kebetulan sangat menyenangkan, tapi, well... di sini bukan Shire. Banyak orang aneh berkeliaran. Meski kubilang jangan, kau boleh memikirkannya," tambahnya dengan senyum sedih, melihat lirikan Frodo. "Dan bahkan ada pelancong yang lebih aneh lagi melewati Bree akhir-akhir ini," lanjutnya sambil memperhatikan wajah Frodo.
Frodo membalas tatapannya, tapi tidak mengatakan apa pun. Strider tidak memberi isyarat lagi. Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada Pippin. Dengan tercengang Frodo menyadari bahwa si Took muda yang konyol itu rupanya semakin bersemangat karena keberhasilannya dengan kisah Wall Kota Michel Delving yang gemuk, dan sekarang ia malah menyajikan uraian jenaka tentang pesta perpisahan Bilbo. Ia sudah mulai meniru pidato Bilbo, dan hampir mendekati bagian tentang lenyapnya Bilbo secara misterius.
Frodo jengkel. Kisah itu tidak begitu berbahaya bagi kebanyakan hobbit setempat: hanya sebuah kisah jenaka tentang orang-orang lucu di seberang Sungai; tapi beberapa orang (Butterbur tua misalnya) tahu satu-dua hal, dan mungkin sudah lama mendengar desas-desus tentang hilangnya Bilbo. Itu akan memunculkan nama Baggins dalam pikiran mereka, terutama kalau sudah ada pertanyaan tentang nama itu di Bree.
Frodo gelisah, bertanya-tanya dalam hati, apa yang harus ia lakukan. Pippin rupanya sangat menikmati perhatian yang diperolehnya, dan mulai lupa bahaya yang mengancam mereka. Frodo takut Pippin akan menyebut-nyebut Cincin itu; kalau itu terjadi, berbahaya sekali.
"Sebaiknya kau segera bertindak!" bisik Strider di telinganya.
Frodo melompat ke atas meja, dan mulai berbicara. Perhatian penonton Pippin teralihkan. Beberapa hobbit memandang Frodo, lalu tertawa dan bertepuk tangan, karena mengira Mr. Underhill sudah mabuk kebanyakan minum bir.
Frodo mendadak merasa bodoh sekali, dan menyadari dirinya (seperti kebiasaannya kalau sedang berpidato) meraba-raba benda-benda di sakunya. Ia meraba Cincin pada rantainya, dan tanpa bisa dijelaskan, muncul hasrat untuk mengenakannya dan menghilang dari keadaan sulit itu. Hasrat itu seolah datang dari luar dirinya, dari seseorang atau sesuatu di dalam ruangan itu. Dengan tegas ia menahan godaan tersebut, dan memegang Cincin di tangannya, seolah mencengkeramnya, mencegahnya lari atau berbuat nakal. Tapi hal itu tidak memberinya ilham. Ia mengucapkan beberapa "kata-kata pantas", seperti biasa dilakukan di Shire: kami semua sangat bersyukur dengan keramahan penyambutan Anda sekalian, dan aku memberanikan diri berharap bahwa kunjungan singkat ini akan membantu memperbaharui tali persahabatan lama antara Shire dan Bree; lalu ia berhenti dan batuk-batuk.
Semua di ruangan itu sekarang memandangnya. "Nyanyi!" teriak salah seorang hobbit. "Nyanyi! Nyanyi!" teriak semua yang lain, “Ayo, Master, nyanyikan sesuatu untuk kami, yang belum pernah kami dengar!"
Untuk beberapa saat Frodo berdiri melongo. Lalu dengan nekat ia mulai menyanyikan sebuah lagu konyol yang dulu disukai Bilbo (dan bahkan dibanggakannya karena ia sendiri yang mengarang kata-katanya). Lagu itu tentang sebuah penginapan, dan mungkin karena itulah ia terlintas dalam benak Frodo saat itu. Berikut ini sajaknya yang lengkap. Sekarang hanya beberapa kata yang diingat, biasanya.
Ada sebuah penginapan, penginapan tua ceria
di bawah bukit tua kelabu letaknya,
Bir buatan mereka begitu cokelat
Sampai Manusia Bulan sendiri turun melihat
Suatu malam untuk minum sepuasnya.
Pengasuh kuda punya kucing mabuk
yang sangat mahir main biola;
Gesek ke atas, gesek ke bawah,
Kadang melengking tinggi, kadang mendengkur rendah,
meliak-liuk dengan nada ceria.
Pemilik penginapan punya anjing kecil
yang suka sekali mendengar kelakar;
Kalau tetamu sedang bercanda, Dia ikut memasang telinga
dan tertawa sampai tergetar-getar
Sapi bertanduk pun mereka punya
angkuhnya bukan kepalang;
Mendengar musik membuatnya bergoyang,
Melambaikan ekornya dengan girang
Dia berdansa di rumput sampai siang.
Dan lihatlah barisan piring perak
deretan sendok perak serta garpu!
Untuk hari Minggu ada sepasang khusus, Yang digosok hati-hati agar tampak mulus
pada siang-siang hari Sabtu.
Manusia Bulan minum banyak,
si kucing pun melolong tak terkira;
Piring-sendok di meja berdansa,
Sapi di kebun berjingkrak jingkrak gila,
dan anjing kecil mengejar ekornya.
Manusia Bulan mengambil mug lain
lalu berguling ke bawah kursi;
Dia tidur nyenyak dan bermimpi,
Sampai bintang-bintang tak bersinar lagi,
dan datanglah fajar pagi.
Kata pengasuh kuda pada kucing mabuk:
"Kuda-kuda putih dari Bulan,
Mereka meringkik mengentakkan kaki;
Tapi titan mereka sudah asyik bermimpi,
sementara malam terus berjalan!"
Maka kucing memainkan biola hei-tra la la,
irama cepat dan riuh setengah mati:
Mendecit nada cepat tak terperikan,
Sementara pemilik penginapan mengguncang Manusia Bulan:
katanya, "Sudah lewat jam tiga pagi!"
Manusia Bulan digulingkan ke bukit
dibungkus masuk ke dalam Bulan,
Sementara kuda-kudanya berderap di belakang,
Dan sapi melonjak-lonjak ikut datang,
piring-sendok pun muncul berlarian.
Biola berbunyi semakin cepat;
anjing mulai menggeram,
Sapi dan kuda-kuda berdiri di atas kepala;
Tamu-tamu melompat dari ranjang dengan gembira
dan berdansa riang berdentam-dentam.
Ping, pong, senar biola putus!
sapi meloncat melewati Bulan,
Si anjing kecil tertawa geli melihat kelucuan,
Piring hari Sabtu berlari lintang pukang
disusul sendok hari Minggu di belakang.
Bulan bulat berguling ke balik bukit,
memberi giliran kepada Matahari,
Dan Matahari hampir-hampir tak percaya;
Sebab meski sudah siang, betapa ajaibnya,
semua orang malah justru tidur lagi!
Tepuk tangan keras dan panjang terdengar. Suara Frodo lumayan bagus, dan lagu itu menyenangkan mereka. "Di mana si tua Barley?" seru mereka. "Dia harus dengar ini. Bob harus mengajari kucingnya main biola, lalu kita bisa berdansa." Mereka meminta lebih banyak bir, lalu mulai berteriak, "Ayo, lagi, Master! Ayolah! Sekali lagi!"
Mereka memaksa Frodo minum lagi, lalu mulai bernyanyi lagi, diikuti oleh banyak di antara mereka, karena lagu itu cukup terkenal, dan mereka cepat hafal kata-katanya. Sekarang giliran Frodo merasa puas dengan dirinya sendiri. Ia menari-nari gembira di atas meja; dan ketika untuk kedua kalinya ia sampai pada sapi meloncat melewati Bulan, ia melompat ke atas. Terlalu bersemangat, hingga ia jatuh... beng... ke atas baki penuh mug, dan tergelincir, lalu menggelinding dan meja dengan bunyi gedubrak, kelontang, dan bam! Penonton membuka mulut lebar-lebar untuk tertawa, tapi lalu diam melongo; karena si penyanyi sudah menghilang. Ia lenyap begitu saja, seolah tembus lewat lantai, tanpa meninggalkan lubang!
Hobbit-hobbit setempat memandang tercengang, lalu melompat dan berteriak memanggil Barliman. Seluruh kumpulan itu menjauhkan diri dari Pippin dan Sam, yang ditinggal berduaan di pojok, dipandangi dengan curiga dan ragu dari kejauhan. Sudah jelas sekarang, mereka dianggap pendamping seorang tukang sihir pengembara, yang punya kekuatan tak terduga dan tujuan entah apa. Tapi ada satu orang Bree kehitaman yang menatap mereka dengan ekspresi tahu dan setengah mengejek, yang membuat mereka merasa sangat tidak nyaman. Akhirnya ia menyelinap keluar dari pintu, diikuti si orang selatan yang juling: kedua orang itu sudah berbisik berdua cukup lama sepanjang sore. Harry, si penjaga gerbang, juga keluar menyusul mereka.
Frodo merasa bodoh sekali. Karena tidak tahu harus berbuat apa, ia merangkak keluar dari bawah meja-meja, ke sudut gelap dekat Strider, yang duduk tak bergerak dan tidak menunjukkan reaksi apa Pun. Frodo bersandar pada dinding dan melepaskan Cincin-nya. Bagaimana Cincin itu bisa terpasang pada jarinya, ia tidak tahu. Ia hanya bisa menduga bahwa ia meraba-raba benda itu di sakunya sementara bernyanyi, dan jarinya masuk ke Cincin itu ketika ia menjulurkan tangan untuk menghindari terjatuh. Sejenak ia bertanya dalam hati, apakah bukan Cincin itu sendiri yang mempermainkannya; mungkin ia mencoba menyingkap sesuatu, sebagai jawaban atas suatu keinginan atau perintah yang terasa di ruangan itu. Frodo tidak suka pada orang-orang yang tadi pergi keluar.
"Well?" kata Strider ketika ia muncul kembali. "Kenapa kaulakukan itu? Lebih buruk daripada celotehan kawan-kawanmu! Tindakanmu sama sekali tidak bijaksana!"
"Aku tidak mengerti maksudmu,"' kata Frodo, jengkel dan takut.
"Ah, kau tahu," jawab Strider, "tapi sebaiknya kita menunggu sampai kegemparan mereda. Lalu, Mr. Baggins, aku ingin bicara dengan tenang denganmu."
"Tentang apa?" tanya Frodo, tidak mengacuhkan sapaan Strider atas nama aslinya.
"Suatu masalah penting-bagi kita berdua," jawab Strider, sambil menatap mata Frodo lekat-lekat. "Kau mungkin akan mendengar sesuatu yang menguntungkan bagimu."
"Baiklah," kata Frodo, berusaha kelihatan acuh tak acuh. "Aku akan berbicara denganmu nanti."
Sementara itu, sebuah perdebatan berlangsung dekat perapian. Mr. Butterbur berlari masuk, dan sekarang berusaha mendengarkan beberapa uraian yang saling berlawanan tentang kejadian tersebut pada saat bersamaan.
"Aku melihatnya, Mr. Butterbur," kata seorang hobbit, "maksudku... aku tidak melihatnya lagi, kalau Anda paham maksudku. Dia lenyap begitu saja, bisa dikatakan begitu."
"Ah, masa, Mr. Mugwort!" kata pemilik penginapan, kelihatan heran. "Ya, benar!" jawab Mugwort. "Lagi pula, aku berkata benar." "Pasti ada yang salah," kata Butterbur sambil menggelengkan kepala. "Tak mungkin Mr. Underhill bisa lenyap begitu saja; di tengah orang banyak begitu."
"Lalu di mana dia?" teriak beberapa suara.
"Mana aku tahu? Dia boleh pergi ke mana dia suka, asal dia bayar besok pagi. Itu Mr. Took: dia tidak menghilang."
"Pokoknya aku melihat apa yang kulihat, dan aku melihat apa yang tidak kulihat," kata Mugwort keras kepala.
"Dan aku bilang ada kesalahan," ulang Butterbur, sambil memungut baki dan mengumpulkan benda-benda tembikar yang pecah.
"Tentu saja ada kesalahan!" kata Frodo. "Aku tidak menghilang. Ini aku! Aku baru saja mengobrol sedikit dengan Strider di pojok."
Ia maju ke dalam cahaya api; tapi kebanyakan dari mereka mundur menjauh, bahkan lebih gelisah daripada sebelumnya. Mereka sama sekali tidak puas dengan penjelasannya bahwa tadi ia merangkak di bawah meja-meja setelah terjatuh. Kebanyakan para hobbit dan Orang-Orang Bree langsung pergi dengan marah saat itu juga, sama sekali tak ingin melanjutkan hiburan malam itu. Satu-dua memandang Frodo dengan curiga, dan pergi sambil menggerutu di antara mereka sendiri. para Kurcaci, dan dua atau tiga orang asing yang masih tertinggal, bangkit berdiri dan mengucapkan selamat malam kepada pemilik penginapan, tapi tidak kepada Frodo dan kawan-kawannya. Tak lama kemudian, tinggal Strider yang terus duduk tak diperhatikan di dekat dinding.
Mr. Butterbur tidak tampak terpengaruh. Mungkin ia merasa penginapannya akan penuh lagi pada malam-malam mendatang, setelah misteri yang sekarang terjadi didiskusikan dengan saksama. "Nah, apa yang sudah kaulakukan, Mr. Underhill?" tanyanya. "Menakut-nakuti pelangganku dan memecahkan tembikarku dengan akrobatmu!"
"Aku sangat menyesal telah menimbulkan masalah," kata Frodo. "Ini tidak disengaja, yakinlah. Ini kecelakaan yang sangat sial."
"Baiklah, Mr. Underhill! Tapi kalau hendak melakukan jungkir-balik, atau sulap, atau apa pun, sebaiknya kau memberitahu dulu-dan memperingatkan aku. Kami di sini agak curiga pada apa pun yang sedikit aneh-gaib, maksudku; dan kami tidak bisa begitu saja menyukainya."
"Aku tidak akan melakukan hal semacam itu lagi, Mr. Butterbur, aku janji. Dan sekarang aku akan pergi tidur. Kami akan berangkat besok, pagi-pagi. Maukah kau mengatur agar kuda-kuda kami siap jam delapan?"
"Baik! Tapi, sebelum kau pergi, aku mau bicara secara pribadi denganmu, Mr. Underhill. Aku baru teringat sesuatu yang harus kuceritakan padamu. Kuharap kau tidak akan salah terima. Kalau aku sudah membereskan beberapa hal, aku akan datang ke kamarmu, kalau kauizinkan."
"Tentu saja!" kata Frodo, tapi semangatnya merosot. Ia bertanya-tanya, berapa banyak pembicaraan pribadi yang mesti dilayaninya sebelum ia bisa tidur, dan apa yang akan terungkap. Apakah semua orang ini bersekongkol melawannya? ia bahkan mulai curiga akan adanya rencana-rencana gelap tersembunyi di balik wajah gemuk si Butterbur tua.
Buku 1 Bab 10
STRIDER
Frodo, Pippin, dan Sam kembali ke ruang duduk. Tidak ada cahaya di sana. Merry tidak ada, dan api sudah mengecil. Baru setelah nyala api mereka embus sampai berkobar tinggi, dan beberapa kayu bakar dilemparkan ke atasnya, mereka sadar bahwa Strider mengikuti mereka. Itu dia duduk dengan tenang di dekat pintu!
"Halo!" kata Pippin. "Siapa kau, dan apa maumu?"
"Aku dipanggil Strider," jawabnya, "mungkin temanmu lupa, tapi dia sudah berjanji akan berbicara denganku."
"Katamu aku akan mendengar sesuatu yang mungkin menguntungkan bagiku," kata Frodo. "Jadi, apa yang mau kaukatakan?"
"Beberapa hat," jawab Strider. "Tapi, tentu saja, aku punya harga."
"Apa maksudmu?" tanya Frodo tajam.
"Jangan kaget! Maksudku hanya begini: aku akan menceritakan
apa yang kuketahui, dan memberimu nasihat bagus-tapi aku vmenginginkan imbalan."
"Dan apakah imbalan itu?" tanya Frodo. Ia menduga yang dihadapinya ini seorang bajingan, dan dengan perasaan kurang enak ia ingat bahwa ia hanya membawa sedikit uang. Jumlahnya tidak akan memuaskan seorang bajingan, dan ia tak bisa menyisihkan uang itu sedikit pun. "Tidak lebih daripada kemampuanmu," jawab Strider dengan senyuman lamban, seolah bisa menebak pikiran Frodo. "Hanya ini: kau harus membawaku serta dengan rombonganmu, sampai aku mau meninggalkan kalian."
"Oh, begitu!" jawab Frodo, tercengang tapi tidak begitu lega. "Kalaupun aku butuh pendamping lain, aku tidak akan begitu saja menerimamu, sampai aku tahu lebih banyak tentang dirimu dan kegiatanmu."
“Bagus!” seru Strider, menyilangkan kakinya dan duduk bersandar dengan nyaman. "Kelihatannya kau sudah memakai akal sehat lagi, baguslah. Kau terlalu ceroboh sejauh ini. Baiklah! Aku akan menceritakan apa yang kuketahui, dan membiarkanmu memutuskan tentang imbalanku. Kau mungkin akan senang memberikannya, kalau kau sudah mendengar ceritaku."
"Teruskan!" kata Frodo. "Apa yang kauketahui?"
"Terlalu banyak; terlalu banyak hal-hal gelap," kata Strider muram. "Tapi mengenai urusanmu..." ia bangkit berdiri dan pergi ke pintu, membukanya cepat, dan melihat ke luar. Lalu ia menutupnya perlahan dan duduk lagi. "Aku punya telinga tajam," lanjutnya, merendahkan suaranya, "dan meski aku tak bisa menghilang, aku sudah memburu banyak makhluk liar dan waspada, dan aku bisa menghindari ketahuan, kalau aku mau. Nah, semalam aku berada di balik pagar, di Jalan sebelah barat Bree, ketika empat hobbit keluar dari Downlands. Tak perlu kuulangi semua yang mereka katakan pada Bombadil tua, atau di antara mereka sendiri, tapi satu hat menarik perhatianku. Ingat, kata salah satu dad mereka, nama Baggins tak boleh disebut-sebut. Aku Mr Underhill, kalau ada nama yang harus disebut. Itu sangat menarik perhatianku, maka aku pun mengikuti mereka ke sini. Aku menyelinap memanjat gerbang, persis di belakang mereka. Mungkin Mr. Baggins mempunyai alasan jujur untuk menyembunyikan namanya; kalau begitu, aku harus menasihati dia dan kawan-kawannya agar lebih berhati-hati."
"Aku tidak mengerti, apa daya tarik namaku untuk orang-orang di Bree," kata Frodo marah, "dan aku masih belum tahu, mengapa ini menarik perhatianmu. Mr. Strider mungkin punya alasan jujur untuk memata-matai dan menguping; kalau memang begitu, aku minta dia menjelaskannya."
"Jawaban bagus!" kata Strider sambil tertawa. "Tapi penjelasannya sederhana: aku sedang mencari hobbit bernama Frodo Baggins. Aku ingin segera menemukannya. Aku sudah tahu dia pergi dari Shire sambil membawa, well, sebuah rahasia yang berhubungan denganku dan teman-temanku.
"Nah, jangan salah tangkap!" seru Strider, saat Frodo bangkit dari kursinya, dan Sam melompat sambil mengerutkan dahi. "Aku akan lebih berhati-hati dengan rahasia itu daripada kalian. Dan kehati-hatian memang diperlukan!" ia mencondongkan badannya ke depan dan memandang mereka. "Waspadai setiap bayangan!" katanya dengan suara rendah. "Para Penunggang Hitam sudah melewati Bree. Hari Senin ada satu yang datang melalui Greenway, kata orang; dan satu lagi muncul kemudian, datang melewati Greenway dari selatan."
Sepi sebentar. Akhirnya Frodo berbicara pada Pippin dan Sam, "Seharusnya aku sudah menduga, dari cara penjaga gerbang menyalami kita," katanya. "Dan rupanya pemilik penginapan juga tahu sesuatu. Kenapa dia mendesak kita untuk bergabung den-an rombongan lainnya? Dan mengapa kita bersikap begitu bodoh? Seharusnya kita tetap di dalam sini dengan tenang."
"Itu akan lebih baik," kata Strider. "Sebenarnya aku mencoba mencegah kalian masuk ke ruang utama, seandainya bisa; tapi pemilik penginapan tidak mengizinkan aku menemuimu, atau mengantarkan pesan."
"Apakah menurutmu dia...," Frodo memulai.
"Tidak, aku tidak punya pandangan buruk tentang Butterbur tua. Hanya saja dia tidak menyukai pengembara misterius seperti aku." Frodo memandangnya dengan heran. "Well, penampilanku memang agak seperti bajingan, bukan?" kata Strider sambil mengulum bibirnya, dan kilauan aneh muncul di matanya. "Tapi kuharap kita bisa saling mengenal lebih baik. Setelah itu, kuharap kau mau menjelaskan apa yang terjadi pada akhir nyanyianmu. Olok-olok kecil itu..."
"Itu hanya kecelakaan!" sela Frodo.
"Aku ragu," kata Strider. "Kecelakaan, eh? Kecelakaan itu telah membahayakan posisimu."
"Tidak lebih membahayakan daripada sebelumnya," kata Frodo. "Aku tahu para Penunggang kuda itu mengejarku; tapi sekarang tampaknya mereka sudah gagal dan sudah pergi."
"Jangan harap!" kata Strider tajam. "Mereka akan kembali. Dan lebih banyak lagi yang bakal datang. Ada yang lain-lainnya. Aku tahu jumlahnya. Aku kenal Penunggang-Penunggang ini." ia berhenti, matanya dingin dan keras. "Dan ada beberapa orang di Bree yang tidak bisa dipercaya," lanjutnya. "Bill Ferny, misalnya. Reputasinya jelek di Bree-land, dan orang-orang aneh suka mengunjunginya. Pasti kau melihatnya di kumpulan orang-orang tadi; seorang pria kehitaman yang tampak selalu mengejek. Dia dekat sekali dengan salah satu pendatang asing dari Selatan, dan mereka menyelinap keluar persis setelah 'kecelakaanmu'. Tidak semua orang Selatan itu bermaksud baik; dan tentang Ferny, dia akan menjual apa pun pada siapa pun; atau membuat keonaran hanya demi kesenangan."
"Apa yang akan dijual Ferny, dan apa hubungan kecelakaanku dengannya?" kata Frodo, masih bertekad untuk pura-pura tak mengerti
"Berita tentang kau, tentu," jawab Strider. "Uraian tentang pertunjukanmu akan sangat menarik perhatian beberapa orang tertentu. Setelah itu, mereka tak perlu diberitahu namamu yang sebenarnya. Menurutku, sebelum malam ini berakhir mereka sudah mendengar tentang peristiwa tadi. Apakah itu sudah cukup? Terserah kau tentang imbalanku; kau boleh mengajakku sebagai pemandu jalan, atau tidak. Boleh kukatakan aku tahu semua negeri di antara Shire dan Pegunungan Berkabut, karena aku sudah mengembara di sana bertahun-tahun. Aku lebih tua daripada penampilanku. Siapa tahu aku akan berguna. Kau harus meninggalkan jalan terbuka setelah malam ini, karena para Penunggang itu akan mengawasinya siang-malam. Mungkin kau bisa melarikan diri dari Bree dan akan dibiarkan melangkah maju sementara Matahari bersinar; tapi kau tidak akan pergi jauh. Mereka akan menyergapmu di belantara, di suatu tempat gelap di mana tidak ada pertolongan. Apakah kau ingin mereka menemukanmu? Mereka sangat mengerikan!"
Para hobbit memandangnya, dan kaget melihat wajahnya menyeringai bagai kesakitan, tangannya mencengkeram kedua lengan kursinya. Ruangan itu sepi dan sangat hening, cahaya seolah semakin suram. Untuk beberapa saat Strider duduk dengan tatapan kosong, seolah sedang mengembara jauh dalam ingatannya, atau mendengarkan bunyi-bunyi Malam di kejauhan.
"Nah!" serunya setelah beberapa saat, menyapukan tangan ke dahinya. "Barangkali aku tahu lebih banyak tentang pengejarmu daripada kalian. Kalian takut pada mereka, tapi belum cukup takut. Besok kalian harus lari, kalau bisa. Strider bisa membawa kalian melalui jalan-jalan yang jarang dilalui. Kau mau mengajakku?"
Keheningan berat mencekam. Frodo tidak menjawab, benaknya bingung, penuh keraguan dan ketakutan. Sam mengerutkan dahi dan menatap majikannya, dan akhirnya mencetuskan,
"Dengan seizin Anda, Mr. Frodo, aku akan bilang tidak! Strider ini, dia memperingatkan kita dan bilang supaya hati-hati; aku bilang ya untuk itu, dan kita mulai dengan dia. Dia datang dari daerah Belantara, dan aku belum pernah mendengar kebaikan apa pun tentang orang-orang macam dia. Dia memang tahu sesuatu, itu jelas, dan dia tahu lebih banyak daripada yang kuanggap aman; tapi itu bukan alasan untuk membiarkan dia memimpin kita keluar ke suatu tempat gelap di mana tidak ada pertolongan, seperti katanya."
Pippin gelisah dan kelihatan tidak nyaman. Strider tidak menjawab Sam, tapi memalingkan matanya yang tajam ke arah Frodo. Frodo menangkap lirikannya dan membuang muka. "Tidak," katanya perlahan.
"Aku tidak setuju. Kupikir, kupikir kau bukan seperti penampilanmu
Kau mulai berbicara padaku seperti orang Bree, tapi suaramu berubah. Tapi Sam kelihatannya benar tentang ini: Aku tidak mengerti, mengapa kau menyuruh kami hati-hati, tapi juga meminta kami menerimamu atas dasar kepercayaan belaka. Kenapa harus menyamar? Siapa kau? Apa yang sebenarnya kauketahui tentang... urusanku, dan bagaimana kau tahu itu?"
"Pelajaran tentang kewaspadaan sudah kalian pelajari dengan baik," kata Strider dengan senyuman muram. "Tapi kewaspadaan dan keraguan adalah dua hal berbeda. Kalian tidak akan pernah sampai ke Rivendell sendirian, dan mempercayaiku adalah kesempatan kalian satu-satunya. Kalian harus memutuskan. Aku akan menjawab beberapa pertanyaan kalian, kalau itu membantu untuk mengambil keputusan. Tapi mengapa harus mempercayai ceritaku, kalau kalian toh tidak mempercayaiku? Bagaimanapun, beginilah ceritanya..."
Saat itu terdengar ketukan di pintu. Mr. Butterbur datang membawa lilin-lilin, dan di belakangnya ada Nob dengan kaleng-kaleng penuh air panas. Strider mundur ke pojok gelap.
"Aku datang untuk mengucapkan selamat malam," kata pemilik penginapan itu, sambil meletakkan lilin-lilin di meja. "Nob! Bawa airnya ke kamar-kamar!" ia masuk dan menutup pintu.
"Begini," Butterbur memulai, sambil ragu dan kelihatan khawatir. "Kalau aku melakukan sesuatu yang merugikan, aku menyesal sekali. Tapi satu hal mendorong yang lainnya, seperti kalian tahu; dan aku orang sibuk. Berbagai urusan dalam minggu ini telah membuatku jadi pelupa, seperti kata pepatah; tapi mudah-mudahan tidak terlambat. Begini, aku diminta menunggu hobbit-hobbit dari Shire, dan terutama satu yang bernama Baggins."
"Lalu apa hubungannya dengan aku?" tanya Frodo.
"Ah! Kau pasti: tahu," kata pemilik penginapan dengan penuh arti. "Aku tidak akan membuka rahasiamu, tapi aku diberitahu bahwa Baggins ini akan memakai nama Underhill, dan aku diberikan uraian yang cocok betul denganmu, kalau boleh kukatakan."
"Oh, ya? Kalau begitu, ayo katakan!" kata Frodo, menyela dengan kurang bijak.
"Seorang pria gagah kecil dengan pipi merah, " kata Mr. Butterbur dengan khidmat. Pippin tertawa kecil, tapi Sam kelihatan marah. "Itu tidak banyak membantu; kebanyakan hobbit tampangnya seperti itu, Barley, dia berkata padaku," lanjut Mr. Butterbur sambil melirik pippin. "Tapi yang ini lebih tinggi dari kebanyakan, dan lebih bagus dari kebanyakan, dan dia mempunyai belahan pada dagunya; laki-laki keren dengan mata tajam. Maaf, tapi dia yang mengatakan itu, bukan aku."
"Dia yang mengatakannya? Dan siapa dia itu?" tanya Frodo bersemangat.
"Ah! Gandalf, kalau kau tahu maksudku. Kata orang, dia tukang sihir, tapi bagaimanapun dia teman baikku. Sekarang aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya padaku, kalau aku bertemu lagi dengannya: entah dia akan membuat seluruh bir di sini menjadi masam, atau mengubahku menjadi sebatang kayu, aku tidak akan heran. Dia agak tergesa-gesa. Namun apa yang sudah terjadi tak bisa dibatalkan."
"Well, apa yang sudah kaulakukan?" kata Frodo, mulai tak sabar dengan penuturan Butterbur yang lamban dan bertele-tele.
"Sampai di mana aku?" tanya pemilik penginapan itu sambil menjentikkan jarinya. "Oh, ya! Gandalf. Tiga bulan yang lalu, dia masuk langsung ke kamarku tanpa mengetuk pintu. Barley, katanya, aku akan pergi besok pagi. Kau mau melakukan sesuatu untukku? Katakan saja, kataku. Aku terburu-buru, katanya, dan aku sendiri tidak punya waktu, tapi aku ingin pesanku dibawa ke Shire. Apa kau punya orang untuk mengirimkannya, dan yang bisa dipercaya untuk pergi? Aku bisa mencarikan seseorang, kataku, besok, mungkin, atau lusa. Besok saja, katanya, lalu dia memberikan sepucuk surat padaku.
"Ada alamatnya yang jelas," kata Mr. Butterbur, mengeluarkan sepucuk surat dari sakunya, lalu membacakan alamatnya dengan perlahan dan bangga (ia sangat menghargai reputasinya sebagai orang terpelajar),
Mr FRODO BAGGINS, BAG END, HOBBITON di SHIRE.
"Surat untukku dari Gandalf!" seru Frodo.
"Ah!" kata Mr. Butterbur. "Kalau begitu, namamu yang sebenarnya memang Baggins?"
"Memang," kata Frodo, "dan sebaiknya kau segera memberikan surat itu padaku, dan menjelaskan kenapa kau tidak pernah mengirimkannya. Kurasa itulah yang tadi hendak kauceritakan padaku, meski kau menghabiskan waktu lama sekali untuk sampai pada masalah sebenarnya."
Mr. Butterbur tampak gelisah. "Kau benar, Master," katanya, "dan aku minta maaf. Aku benar-benar takut akan apa yang dikatakan Gandalf, kalau kelalaianku ternyata mencelakakan. Tapi aku tidak menyimpannya dengan sengaja. Aku mengamankannya. Aku tak bisa menemukan orang yang mau pergi ke Shire keesokannya, atau hari berikutnya, dan anak buahku sendiri tak bisa kubiarkan pergi; lalu satu dan lain hal mengusir surat itu dari benakku. Aku orang sibuk Aku akan berusaha melakukan apa pun untuk membetulkannya, dan kalau aku bisa menolong, sebutkan saja.
"Terlepas dari surat itu, aku sudah berjanji pada Gandalf. Barley, katanya padaku, sahabatku ini dari Shire, dia mungkin akan datang ke sini tak lama lagi, dia dan yang lainnya. Dia akan menyebut dirinya Underhill. Ingat itu! Tapi kau tidak perlu menanyakan apa-apa. Kalau aku tidak bersamanya, mungkin dia bakal mendapat kesulitan, dan butuh pertolongan. Lakukan apa yang bisa kaulakukan untuknya, dan aku akan bersyukur, katanya. Sekarang di sinilah kau, dan kesulitan tampaknya tidak jauh darimu."
"Apa maksudmu?" tanya Frodo.
"Orang-orang hitam ini," kata si pemilik penginapan, merendahkan suaranya. "Mereka mencari Baggins, dan kalau mereka bermaksud baik, maka aku mungkin bukan manusia, tapi hobbit. Waktu itu hari Senin, semua anjing melolong dan angsa-angsa meleter. Ajaib, kataku. Nob, dia datang memberitahuku bahwa ada dua orang hitam di depan pintu, menanyakan seorang hobbit bernama Baggins. Rambut Nob semuanya berdiri. Aku menyuruh kedua orang hitam itu pergi, dan membanting pintu di depan mereka; tapi mereka sudah menanyakan hal yang sama sepanjang jalan sampai ke Archet, kudengar. Dan si Strider itu, dia juga bertanya-tanya. Berusaha masuk ke sini menemuimu, sebelum kau makan."
"Memang!" kata Strider tiba-tiba, maju ke dalam cahaya. "Dan banyak kesulitan bisa dihindari, seandainya kau membiarkannya masuk, Barliman."
Pemilik penginapan itu melompat kaget. "Kau!" teriaknya. "Kau selalu muncul. Apa yang kauinginkan sekarang?"
"Dia di sini dengan seizinku," kata Frodo. "Dia datang untuk menawarkan bantuannya."
"Well, mungkin kau tahu urusanmu sendiri," kata Mr. Butterbur, sambil memandang Strider dengan curiga. "Tapi kalau aku jadi kau, aku tidak akan menerima bantuan seorang Penjaga Hutan."
"Kalau begitu, siapa yang akan kauterima?" tanya Strider. "Seorang pemilik penginapan gendut yang hanya ingat namanya sendiri karena orang-orang meneriakkannya sepanjang hari? Mereka tak bisa selamanya tinggal di sini, dan mereka juga tak bisa pulang. Perjalanan mereka masih panjang. Apa kau mau pergi bersama mereka, mengusir orang-orang hitam itu?”
"Aku? Meninggalkan Bree? Aku tak mau melakukan itu, biarpun dibayar," kata Mr. Butterbur, kelihatan takut sekali. "Tapi kenapa kau tidak bisa tetap di sini dengan tenang_ untuk sementara, Mr. Underhill? Apa maksudnya semua kejadian aneh ini? Apa yang dikejar orang-orang hitam ini, dan dari mana mereka, aku ingin tahu."
"Maaf, aku tak bisa menjelaskan semuanya," jawab Frodo. "Aku lelah dan sangat cemas, dan ceritanya panjang. Tapi kalau kau bermaksud membantu, aku perlu memperingatkanmu bahwa kau dalam bahaya selama aku di rumahmu. Para Penunggang Hitam ini: aku tidak yakin, tapi kukira, aku khawatir mereka datang dari..."
"Mereka datang dari Mordor," kata Strider dengan suara rendah. "Dari Mordor, Barliman, kalau kau tahu apa artinya itu."
"Astaga!" teriak Mr. Butterbur dengan wajah pucat; nama itu tampaknya ia kenal. "Itu berita terburuk yang sampai ke Bree pada masa ini.”
"Memang," kata Frodo. "Kau masih mau membantuku?"
"Aku mau," kata Mr. Butterbur. "Lebih ingin dari semula. Meski aku tidak tahu, apa yang bisa dilakukan orang seperti aku untuk melawan, melawan...," ia berkata gugup.
"Melawan Bayangan di Timur," kata Strider tenang. "Tidak banyak, Barliman, tapi sedikit bantuan pun akan membantu. Kau bisa membiarkan Mr. Underhill tinggal di sini malam ini, sebagai Mr. Underhill, dan kau bisa melupakan nama Baggins, sampai dia sudah jauh dari sini."
"Akan kulakukan," kata Butterbur. "Tapi tanpa bantuanku pun mereka akan tahu bahwa dia ada di sini, itu yang kukhawatirkan. Sayang sekali Mr. Baggins menarik perhatian orang-orang pada dirinya sendiri tadi sore. Kisah Mr. Bilbo pergi sudah pernah didengar di Bree. Bahkan Nob yang lamban itu pun sudah bisa menduga-duga; dan ada orang-orang lain di Bree yang lebih cepat mengerti daripada dia."
"Yah, kita hanya bisa berharap para Penunggang Hitam belum kembali," kata Frodo.
"Kuharap tidak," kata Butterbur. "Tapi hantu atau bukan hantu, mereka tidak akan mudah masuk ke penginapan ini. Jangan khawatir sampai pagi. Nob tidak akan mengatakan apa pun. Tidak akan ada orang hitam masuk pintuku, sementara aku masih berdiri. Aku dan anak buahku akan berjaga malam ini; tapi sebaiknya kalian tidur sebisa mungkin."
"Bagaimanapun, kami harus dibangunkan saat fajar," kata Frodo. "Kami harus berangkat sepagi mungkin. Sarapan jam enam tiga puluh, kalau bisa."
"Baik! Aku akan mengurusnya," kata si pemilik penginapan. "Selamat malam, Mr. Baggins—Underhill, mestinya! Selamat malam—nah! Ke mana Mr. Brandybuck?"
"Aku tidak tahu," kata Frodo, tiba-tiba cemas sekali. Mereka lupa tentang Merry, dan malam sudah larut. "Aku khawatir dia sedang ke luar. Dia bilang ingin keluar untuk menghirup hawa segar."
"Well, kalian memang perlu dijaga dan jangan salah: anggap saja rombongan kalian ini sedang berlibur!" kata Butterbur. "Aku harus pergi dan secepatnya menutup pintu-pintu, tapi aku akan memastikan temanmu dibiarkan masuk bila dia datang. Sebaiknya kusuruh Nob mencarinya, Selamat malam semuanya!" Akhirnya Mr. Butterbur pergi, dengan lirikan ragu ke arah Strider dan gelengan kepala. Bunyi langkah kakinya . menghilang melewati selasar.
"Nah," kata Strider. "Kapan kau akan membuka surat itu?" Frodo mengamati segelnya dengan cermat, sebelum membukanya. Tampaknyal memang dari Gandalf. Di dalamnya ada pesan berikut, tertulis dalam tulisan tangan tukang sihir yang tegas tapi luwes:
KUDA MENARI, BREE. Hari Pertengahan Tahun, Tahun Shire, 1418.
Frodo yang baik,
Berita buruk sampai kepadaku. Aku harus segera pergi. Sebaiknya kau segera meninggalkan Bag End dan keluar dari Shire, paling lambat sebelum akhir Juli. Aku akan kembali sesegera mungkin, dan aku akan menyusulmu kalau ternyata kau sudah pergi. Tinggalkan pesan untukku di sini, kalau kau melewati Bree. Kau bisa mempercayai pemilik penginapan ini (Butterbur). Kau mungkin akan bertemu seorang sahabatku di Jalan Timur: seorang Manusia, kurus, gelap, jangkung, oleh beberapa orang dipanggil Strider Dia tahu urusan kita dan akan membantumu. Pergilah ke Rivendell. Di sana kuharap kita akan bertemu lagi. Kalau aku tidak datang, Elrond akan memberitahumu.
Sahabatmu yang terburu-buru,
GANDALF.
PS. JANGAN gunakan ITU lagi, walau dengan alasan apa pun! Jangan berjalan di malam hari!
PPS. Pastikan dia benar-benar Strider yang asli. Banyak orang asing di jalan. Nama aslinya Aragorn.
Emas belum tentu gemerlap,
Tak semua pengembara tersesat;
Yang tua tapi kokoh akan bertahan tetap,
Akar yang tertanam dalam akan bertahan kuat.
Dari abu akan menyala api,
Dari bayangan akan muncul cahaya;
Mata pisau yang patah akan diperbaharui,
Yang tidak bermahkota 'kan kembali menjadi raja.
PPPS. Kuharap Butterbur segera mengirimkan ini. Dia orang baik, tapi ingatannya seperti gudang sesak: barang yang dibutuhkan selalu terkubur. Kalau dia lupa, akan kupanggang dia.
Selamat jalan!
Frodo membaca surat itu, lalu menyerahkannya pada Pippin dan Sam. "Butterbur tua benar-benar mengacaukan keadaan!" katanya. "Dia pantas dipanggang. Kalau aku segera menerima surat ini, kita semua mungkin sudah aman di Rivendell sekarang. Tapi apa yang terjadi pada Gandalf? Dia menulis seolah dia dalam bahaya besar."
"Dia sudah melakukan itu bertahun-tahun," kata Strider.
Frodo menoleh dan memandang Strider sambil merenung, bertanya-tanya tentang catatan tambahan kedua dalam surat Gandalf. "Kenapa kau tidak segera mengatakan kau sahabat Gandalf?" tanyanya. "Itu akan menghemat waktu."
"O ya? Apakah di antara kalian ada yang percaya padaku sebelumnya?" kata Strider. "Aku tidak tahu apa pun tentang surat ini. Aku hanya tahu aku perlu membujukmu untuk mempercayaiku, tanpa bukti-bukti, kalau aku harus menolongmu. Bagaimanapun, aku memang tidak berniat langsung menceritakan semua tentang diriku. Aku harus mempelajarimu dulu, dan harus merasa yakin tentang kalian. Musuh sudah pernah memasang perangkap untukku. Kalau sudah yakin, aku siap menceritakan apa saja yang kautanyakan. Tapi perlu kuakui," tambahnya dengan tawa ganjil, "bahwa aku berharap kau akan menerimaku apa adanya. Orang yang dikejar-kejar kadang-kadang jemu dengan kecurigaan dan mendambakan persahabatan. Tapi... yah, penampilanku memang merugikan aku."
"Memang—setidaknya pada pandangan pertama," tawa Pippin yang sekarang merasa lega, setelah membaca surat Gandalf. "Penampilan memang bisa menipu, seperti kata orang-orang di Shire; dan aku yakin kami juga akan kelihatan sepertimu kalau berhari-hari berbaring di selokan dan parit."
"Makan waktu lebih dari beberapa hari, atau minggu, atau tahun, mengembara di wilayah Belantara untuk membuatmu tampak seperti Strider," jawabnya. "Dan kau akan mati duluan, kecuali kau lebih kuat daripada kelihatannya:"
Pippin mengalah; tapi Sam masih penasaran, dan masih memandang Strider dengan curiga. "Bagaimana kami tahu kau adalah Strider yang dibicarakan Gandalf?" tuntutnya. "Kau sama sekali tidak menyebut-nyebut Gandalf, sampai suratnya muncul. Kau bisa saja mata-mata yang menyamar, mencoba agar kami mau ikut denganmu. Sekarang, apa katamu?"
"Kataku, kau orang yang berani," jawab Strider, "tapi satu-satunya jawaban yang bisa kuberikan padamu, Sam Gamgee, hanya ini. Kalau aku sudah membunuh Strider yang asli, aku juga bisa membunuhmu. Dan aku pasti sudah akan membunuhmu tanpa banyak bicara. Kalau aku mengejar Cincin itu, aku bisa mendapatkannya—SEKARANG!"
Ia berdiri, dan mendadak sosoknya seolah semakin tinggi. Matanya menyorotkan cahaya tajam berwibawa. Ia menyingkap mantelnya ke belakang, dan meletakkan tangannya pada pangkal pedang yang tersembunyi menggantung di sisinya. Mereka tidak berani bergerak. Sam duduk melongo sambil memandangnya dengan dungu.
"Tapi aku memang Strider yang asli, untunglah," katanya sambil memandang mereka, wajahnya melembut oleh senyuman tiba-tiba. "Aku Aragorn, putra Arathorn; dan kalau dengan hidup atau mati aku bisa menyelamatkan kalian, aku akan melakukannya."
Hening... lama sekali. Akhirnya Frodo berbicara dengan ragu-ragu. "Aku sudah percaya kau seorang sahabat, bahkan sebelum surat itu datang," katanya, "atau setidaknya begitulah harapanku. Kau menakuti aku beberapa kali malam ini, tapi tak pernah seperti yang bakal dilakukan para anak buah Musuh, atau begitulah dalam bayanganku. Kukira mata-mata Musuh akan... yah, kelihatan lebih bagus dari luar, tapi terasa lebih busuk di dalamnya, kalau kau paham maksudku."
"Aku paham," tawa Strider. "Aku tampak buruk dari luar, tapi terasa bagus di dalamnya. Begitukah? Emas belum tentu gemerlap, tak semua pengembara tersesat."
“Jadi, sajak itu menggambarkan dirimu rupanya?” tanya Frodo
"Aku tadi tidak mengerti maksudnya. Tapi bagaimana kau tahu sajak itu ada di dalam surat Gandalf, kalau kau belum pernah melihatnya?"
"Aku tidak tahu," jawabnya. "Tetapi aku Aragorn, dan sajak itu mendampingi namaku." Ia menarik pedangnya, dan mereka melihat memang pedang itu pecah satu kaki di bawah pangkalnya. "Tidak banyak berguna, bukan, Sam?" kata Strider. "Tapi sebentar lagi pedang ini akan ditempa kembali."
Sam membisu.
"Nah," kata Strider, "dengan seizin Sam, kita anggap urusan ini selesai. Strider akan menjadi pemandu kalian. Kita akan menghadapi perjalanan berat besok. Meski kita berhasil meninggalkan Bree tanpa halangan, sekarang kita tak bisa berharap pergi tanpa diketahui. Tapi aku akan berusaha sesegera mungkin menghilangkan jejak. Aku tahu satu-dua jalan keluar dari Bree-land, selain jalan utama. Begitu kita bisa melepaskan diri dari pengejaran, aku akan pergi ke Weathertop."
"Weathertop?" kata Sam. "Apa itu?"
"Sebuah bukit di sebelah utara Jalan Timur, sekitar separuh perjalanan dari sini ke Rivendell. Dan sana pemandangannya luas ke sekitar; di sana kita bisa melihat sekeliling kita. Gandalf akan pergi ke tempat itu kalau dia menyusul kita. Setelah Weathertop, perjalanan akan semakin sulit, dan kita harus memilih antara beberapa macam bahaya."
"Kapan terakhir kau bertemu Gandalf?" tanya Frodo. "Apa kau tahu di mana dia, atau apa yang dilakukannya?"
Strider tampak muram. "Aku tidak tahu," katanya. "Aku pergi ke barat dengannya musim semi lalu. Aku sering menjaga perbatasan Shire beberapa tahun belakangan ini, saat Gandalf sibuk di tempat lain. Dia jarang membiarkannya tidak terjaga. Kami terakhir bertemu pada hari pertama bulan Mei: di Sam Ford, dekat Brandywine. Dia menceritakan padaku bahwa urusannya denganmu berjalan baik, dan bahwa kau akan berangkat ke Rivendell pada minggu terakhir September. Karena aku tahu dia mendampingimu, aku pergi untuk urusanku sendiri. Dan ternyata itu berakibat buruk; Gandalf rupanya mendapat suatu berita, dan aku tidak ada di sana untuk membantunya.
"Aku merasa cemas, untuk pertama kali sejak aku kenal dengannya. Seharusnya kita sudah menerima kabar, meski dia sendiri tak bisa datang. Ketika aku kembali, beberapa hari yang lalu, aku mendengar kabar buruk itu. Sudah tersiar luas bahwa Gandalf hilang, dan para Penunggang kuda sudah berkeliaran. Bangsa Peri dari Gildor yang menceritakan ini padaku; kemudian mereka menceritakan bahwa kau sudah meninggalkan rumahmu; tapi tak ada berita tentang kepergianmu dari Buckland. Aku sudah mengawasi Jalan Timur dengan cemas."
"Menurutmu, apakah para Penunggang Hitam itu ada hubungannya dengan ini—dengan hilangnya Gandalf, maksudku?" tanya Frodo.
"Menurutku tidak ada hal lain yang bisa menghambat dia, kecuali Musuh sendiri," kata Strider. "Tapi jangan putus harapan! Gandalf lebih hebat daripada yang kalian kira-biasanya kalian hanya melihat kelakar dan permainannya. Tapi urusan kita ini akan menjadi tugasnya yang paling besar."
Pippin menguap. "Maaf," katanya, "tapi aku lelah sekali. Meski banyak bahaya dan kekhawatiran, aku harus tidur, kalau tidak aku akan tertidur sambil duduk di sini. Ke mana kawan sinting kita, Merry? Benar-benar keterlaluan kalau kita masih harus keluar dalam gelap untuk mencarinya."
Saat itu mereka mendengar bunyi pintu dibanting, lalu langkah kaki berlari melewati selasar. Merry masuk secepat kilat, diikuti Nob. Ia menutup pintu tergesa-gesa, dan bersandar di sana. Napasnya terengah-engah. Sejenak mereka memandangnya dengan kaget, lalu ia berkata terengah-engah, "Aku melihat mereka, Frodo! Aku melihat mereka! Para Penunggang Hitam!"
"Para Penunggang Hitam!" seru Frodo. "Di mana?"
"Di sini. Di desa. Aku tidak ke mana-mana selama satu jam. Lalu, karena kalian tidak kembali, aku keluar untuk berjalan-jalan. Sepulangnya berjalan-jalan, aku berdiri di luar cahaya lampu, sambil memandang bintang-bintang. Mendadak aku menggigil, dan merasa sesuatu yang menyeramkan merangkak mendekatiku: ada semacam bayangan yang lebih gelap di antara bayang-bayang di seberang jalan persis di luar batas cahaya lampu. Penunggang itu segera menyelinap kembali ke dalam gelap, tanpa suara. Tidak ada kuda."
"Ke mana dia pergi?" tanya-Strider dengan tiba-tiba dan tajam.
Merry kaget, baru menyadari kehadiran orang asing itu. "Lanjutkan!" kata Frodo. "Ini teman Gandalf. Aku akan menjelaskan nanti."
"Tampaknya dia pergi ke Jalan Timur, ke arah timur," lanjut Merry. "Aku berusaha mengikutinya. Tapi dia langsung lenyap; aku membelok di tikungan, dan berjalan sampai sejauh rumah terakhir di Jalan Timur."
Strider menatap Merry keheranan. "Kau sangat berani," katanya, "tapi itu bodoh sekali."
"Aku tidak tahu," kata Merry. "Bukan berani maupun bodoh, kukira. Aku tak bisa menahan diri. Aku seolah ditarik. Pokoknya, aku pergi, dan tiba-tiba aku mendengar suara-suara dekat pagar. Satu menggerutu, satunya lagi berbisik atau mendesis. Aku tak bisa mendengar satu kata pun yang diucapkan. Aku tidak merangkak lebih dekat, karena seluruh tubuhku mulai gemetaran. Lalu aku merasa ngeri, dan berbalik, dan baru saja akan lari pulang, ketika sesuatu datang dari belakang dan aku... aku terjatuh."
"Aku menemukannya, Sir," tambah Nob. "Mr. Butterbur menyuruhku pergi sambil membawa lentera. Aku pergi ke Gerbang, Barat, lalu kembali ke arah Gerbang Selatan. Persis dekat rumah Bill Ferny, rasanya aku melihat sesuatu di Jalan Timur. Aku tak bisa memastikannya, tapi kelihatannya ada dua laki-laki sedang membungkuk di atas sesuatu, dan mengangkatnya. Aku berteriak, tapi ketika aku sampai di tempat itu, mereka sudah tak terlihat, dan hanya ada Mr. Brandybuck tengkurap di pinggir jalan. Dia seperti sedang tidur. 'Aku mengira aku jatuh ke dalam air dalam,' katanya padaku, ketika aku menggoyang-goyangkannya. Sikapnya aneh sekali, dan begitu aku membangunkannya, dia bangkit dan lari kembali ke sini seperti kelinci."
"Itu benar," kata Merry, "meski aku tidak tahu apa yang kukatakan tadi. Aku bermimpi jelek sekali, dan tak bisa kuingat lagi. Aku hancur berantakan. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku."
"Aku tahu," kata Strider. "Napas Hitam. Para Penunggang itu pasti meninggalkan kuda mereka di luar, dan masuk diam-diam melalui Gerbang Selatan. Mereka semua sekarang sudah tahu beritanya, karena mereka mengunjungi Bill Ferny; dan mungkin pendatang dari Selatan itu juga mata-mata. Mungkin akan terjadi sesuatu malam ini, sebelum kita meninggalkan Bree."
"Apa yang akan terjadi?" kata Merry. "Apa mereka akan menyerang penginapan ini?"
"Tidak, kurasa tidak," kata Strider. "Mereka belum semuanya terkumpul di sini. Dan bagaimanapun, itu bukan cara mereka. Dalam kegelapan dan kesepian, mereka paling kuat; mereka tidak akan secara terbuka menyerang rumah di mana ada lampu dan banyak orang—kecuali mereka sudah nekat, dan mereka juga tidak akan menyerang selama jarak bermil-mil ke Eriador masih terbentang di depan kita. Tapi mereka bisa menebar teror, dan beberapa orang di Bree sudah berada dalam cengkeraman mereka. Mereka akan mendorong orang-orang malang itu untuk melakukan kejahatan: Ferny, dan beberapa orang asing, dan mungkin penjaga gerbang juga. Mereka berbicara dengan Harry di Gerbang Barat kemarin. Aku memperhatikan mereka. Harry pucat pasi dan gemetaran setelah mereka pergi."
"Rupanya banyak musuh di sekitar kita," kata Frodo. "Apa yang harus kita lakukan?"
"Tetaplah di sini, dan jangan masuk ke kamar-kamar kalian' Mereka pasti sudah tahu yang mana kamar kalian. Kamar-kamar hobbit mempunyai jendela menghadap ke utara, dan dekat ke tanah. Kita semua akan berkumpul bersama, memalangi pintu dan jendela. Tapi Nob dan aku akan mengambil barang-barang kalian dulu."
Sementara Strider pergi, Frodo menceritakan dengan cepat pada Merry semua yang sudah terjadi setelah makan malam. Merry masih membaca dan merenungi surat Gandalf ketika Strider dan Nob kembali.
"Nah, Tuan-Tuan," kata Nob, "aku sudah memberantakkan seprai-seprai dan memasang guling di tengah setiap tempat tidur. Dan aku membuat tiruan bagus kepala Anda dengan keset wol cokelat, Mr. Bag... Underhill, Sir," tambahnya sambil nyengir.
Pippin tertawa. "Bagus sekali!" katanya. "Tapi apa yang akan terjadi kalau mereka sudah membuka kedok penyamaran itu?"
"Kita lihat saja nanti," kata Strider. "Moga-moga saja kita bisa mempertahankan kubu ini sampai besok pagi."
"Selamat malam semuanya," kata Nob, lalu pergi untuk turut berjaga mengawasi pintu-pintu.
Mereka menumpuk ransel-ransel dan perlengkapan di lantai ruang duduk. Sebuah kursi diletakkan di belakang pintu, dan jendela ditutup. Ketika Pippin mengintip keluar, ia melihat malam masih sangat terang. Rasi bintang Beruang Besar masih mengayun cerah di atas pundak bukit Bree. Lalu Pippin menutup dan memalang kerai-kerai jendela sebelah dalam yang berat, dan menutup tirai-tirainya. Strider membesarkan api dan meniup mati semua lilin.
Para hobbit berbaring di selimut mereka, dengan kaki menghadap perapian, tapi Strider duduk di kursi di belakang pintu. Mereka berbicara sebentar, karena Merry masih punya beberapa pertanyaan.
"Sapi loncat lewat Bulan!" Merry terkikik sambil menggulung diri ke dalam selimut. "Konyol sekali kau, Frodo! Sayang aku tadi tidak ada di sana. Orang-orang Bree pasti akan membahas kekonyolanmu sampai seratus tahun dari sekarang."
"Kuharap begitu," kata Strider. Lalu mereka semua terdiam, dan satu demi satu para hobbit tertidur.
Buku 1 Bab 11
PISAU DALAM GELAP
Saat mereka bersiap-siap tidur di penginapan di Bree, kegelapan menggantung di atas Buckland; kabut mengalir di lembah dan sepanjang tepi sungai. Rumah di Crickhollow sepi sekali. Fatty Bolger membuka pintu dengan hati-hati dan mengintip ke luar. Suatu perasaan takut muncul dalam dirinya dan tumbuh terus sepanjang hari, hingga ia tak bisa beristirahat atau tidur: ada ancaman yang menggantung dalam udara malam tak berangin itu. Ketika ia memandang ke luar, ke dalam kegelapan, sebuah bayangan hitam bergerak di bawah pepohonan; gerbang terbuka sendiri dan tertutup lagi tanpa suara. Rasa ngeri mencekam Fatty. Ia mundur, dan sejenak berdiri gemetaran di lorong. Lalu ia menutup pintu dan menguncinya.
Malam semakin larut. Terdengar pelan bunyi kuda digiring diam-diam sepanjang jalan. Di luar gerbang mereka berhenti, dan tiga sosok masuk, seperti bayangan malam merangkak di tanah. Satu pergi ke pintu, dua lainnya menyebar ke masing-masing sudut rumah; di sana mereka berdiri diam seperti bayangan batu, sementara malam semakin larut. Rumah dan pepohonan seakan-akan menunggu tanpa bernapas.
Ada gerakan samar-samar di antara dedaunan, dan seekor ayam jantan berkokok di kejauhan. Jam-jam dingin sebelum fajar sedang berlalu. Sosok dekat pintu bergerak. Dalam kegelapan tanpa bulan atau bintang, sebuah pedang terhunus berkilauan, seolah sebuah cahaya dingin telah dihunus. Ada gedoran lembut tapi berat, dan pintu bergetar.
"Buka, atas nama Mordor!" kata sebuah suara tajam dan menancam.
Pada pukulan kedua, pintu itu roboh dan ambruk ke dalam, papan-papannya hancur dan kuncinya patah. Sosok-sosok hitam masuk dengan cepat.
Pada saat itu, di antara pohon-pohon di dekat situ, sebuah terompet berbunyi nyaring, mengoyak malam bagai api di puncak bukit.
BANGUN! AWAS! API! MUSUH! BANGUN!
Fatty Bolger tidak berdiam diri. Begitu melihat sosok-sosok gelap merangkak di kebun, ia tahu ia harus lari pergi dari sana, kalau tidak ia akan mati. Dan ia berlari keluar dari pintu belakang, melintasi kebun dan melewati padang-padang. Ketika sampai di rumah terdekat, lebih dari satu mil jauhnya, ia roboh di ambang pintunya. "Tidak, tidak, tidak!" ia berteriak. "Jangan, jangan aku! Aku tidak menyimpannya,!" Setelah beberapa saat, baru orang-orang memahami apa yang dibicarakannya. Akhirnya mereka mengerti bahwa ada musuh di Buckland, serangan aneh dari Old Forest. Lalu mereka tidak membuang-buang waktu lagi.
AWAS! API! MUSUH!
Kaum Brandybuck meniup Terompet Isyarat dari Buckland, yang sudah seratus tahun tak pernah dibunyikan, tidak sejak serigala-serigala putih datang di Musim Dingin Naas, ketika Sungai Brandywine membeku.
BANGUN! BANGUN!
Dari jauh terdengar bunyi terompet balasan. Tanda peringatan itu menyebar cepat.
Sosok-sosok hitam tersebut lari dari rumah. Salah satu menjatuhkan jubah hobbit di atas tangga, saat ia berlari. Di jalan terdengar bunyi derap kaki kuda, semakin kencang, memukul-mukul lalu menghilang di kejauhan. Di seluruh Crickhollow terompet berbunyi, suara-suara berteriak dan kaki-kaki berlari. Tapi para Penunggang Hitam melaju bagai angin kencang ke Gerbang Utara. Biarkan orang-orang kecil itu meniup terompet! Sauron akan membereskan mereka nanti. Sementara itu, mereka punya tugas lain: sekarang mereka sudah tahu rumah it" kosong dan Cincin sudah pergi. Mereka melaju melewati penjaga-penjaga di gerbang dan menghilang dari Shire.
Di awal malam, Frodo mendadak terbangun dari tidur lelap, seolah terganggu oleh suatu bunyi atau kehadiran. Ia melihat Strider masih duduk waspada di kursinya: matanya mengilat dalam cahaya api yang sudah dibesarkan dan menyala terang; tapi ia tidak memberi isyarat ataupun bergerak.
Frodo segera tertidur lagi; tapi mimpinya kembali terganggu oleh bunyi angin dan derap kaki kuda. Angin seolah berpusar di sekitar rumah dan mengguncangnya; dan di kejauhan ia mendengar terompet ditiup dengan kalut. Ia membuka mata dan mendengar seekor ayam jantan berkokok nyaring di halaman penginapan. Strider sudah menyingkap tirai-tirai dan membuka kerai-kerai dengan bunyi berdentang. Cahaya pagi yang kelabu memasuki ruangan itu, dan udara dingin merayap melalui jendela yang terbuka.
Setelah membangunkan mereka semua, Strider memimpin mereka ke kamar tidur. Ketika melihatnya, mereka lega sudah mengikuti nasihat Strider: jendela-jendela tampak dibuka paksa dan bergelayut lepas, tirai-tirai berkibar-kibar; ranjang-ranjang berantakan, guling-guling tersayat dan dilempar ke lantai; keset cokelat sudah terkoyak-koyak hancur berantakan.
Strider langsung pergi menjemput pemilik penginapan. Mr. Butterbur yang malang kelihatan mengantuk dan takut. Ia hampir tidak memejamkan mata sepanjang malam (begitu katanya), tapi ia sama sekali tidak mendengar bunyi apa pun.
"Belum pernah hal seperti ini terjadi padaku!" teriaknya sambil mengangkat tangannya penuh kengerian. "Tamu-tamu tak bisa tidur di ranjang mereka sendiri, guling-guling bagus hancur, dan sebagainya! Apa yang sedang terjadi pada dunia kita ini?"
"Masa-masa gelap," kata Strider. "Tapi untuk sementara kau masih bisa hidup tenang, kalau kami sudah pergi. Kami akan segera berangkat. Jangan repot-repot menyiapkan sarapan: minum dan satu kunyahan sambil berdiri sudah cukup. Kami akan siap dalam beberapa menit."
Mr. Butterbur bergegas pergi untuk memastikan kuda-kuda mereka sudah disiapkan, dan untuk mengambilkan sekadar makanan. Tapi segera ia kembali dengan kaget. Kuda-kuda sudah hilang! Pintu kandang semuanya terbuka di malam hari, dan kuda-kuda lenyap; bukan hanya kuda-kuda Merry, tapi semua kuda dan hewan di tempat itu.
Semangat Frodo runtuh mendengar kabar tersebut. Bagaimana mereka bisa sampai ke Rivendell dengan berjalan kaki, dikejar musuh berkuda? Sama saja seperti hendak pergi ke Bulan. Strider duduk diam sejenak, memandang para hobbit, seolah menimbang kekuatan dan keberanian mereka.
"Kuda-kuda tidak akan membantu kita melarikan diri dari pengejar
berkuda," akhirnya ia berkata, sambil merenung, seakan-akan bisa menerka apa yang dipikirkan Frodo. "Tidak banyak bedanya kalaupun kita berjalan kaki, apalagi di jalan yang rencananya akan kuambil. Memang aku juga berniat jalan kaki. Yang mengganggu pikiranku adalah makanan dan persediaannya. Kita tak bisa berharap menemukan sesuatu untuk dimakan antara sini dan Rivendell, kecuali apa-apa yang kita bawa; dan kita barns membawa banyak persediaan; karena mungkin saja kita tertahan, atau terpaksa berjalan memutar, jauh dari jalan yang langsung. Berapa banyak yang siap kalian angkut di punggung kalian?"
"Sebanyak yang diperlukan," kata Pippin dengan semangat menurun, tapi berusaha menunjukkan bahwa ia lebih tegar daripada kelihatannya (atau daripada yang dirasakannya).
"Aku bisa mengangkut cukup untuk dua orang," kata Sam dengan gagah.
"Tak adakah yang bisa dilakukan, Mr. Butterbur?" tanya Frodo. "Bisakah kita mendapatkan beberapa kuda di desa, atau seekor saja untuk mengangkut barang-barang? Mungkin kita tak bisa menyewanya, tapi barangkali kita bisa membelinya," tambahnya, ragu, sambil bertanya-tanya dalam hati, apakah ia mampu mengeluarkan biaya itu.
"Aku ragu," kata pemilik penginapan itu dengan sedih. "Dua-tiga kuda yang ada di Bree juga berkandang di halamanku, dan mereka juga lenyap. Sedangkan hewan-hewan lain, kuda atau kuda kecil untuk muatan dan sebagainya, hanya sedikit di Bree, dan mereka tidak dijual. Tapi aku akan berusaha sebisaku. Aku akan menyuruh Bob berkeliling segera."
"Ya," kata Strider enggan, "sebaiknya begitu. Setidaknya satu kuda harus kita coba cari. Tapi harapan untuk berangkat pagi-pagi lenyap sudah, apalagi berangkat diam-diam! Sama saja kita meniup terompet mengumumkan keberangkatan kita. Pasti itu bagian dari rencana mereka."
"Ada satu segi positifnya; kata Merry, "dan ini cukup menguntungkan, kuharap: kita bisa sarapan sambil menunggu-dan duduk menikmatinya. Mari kita panggil Nob!"
Keberangkatan mereka tertunda lebih dari tiga jam. Bob kembali dengan laporan tidak ada kuda atau kuda kecil yang bisa didapat di lingkungan itu, biar dengan uang sekalipun—kecuali satu: Bill Ferny punya satu yang mungkin mau ia jual. "Makhluk malang yang sudah setengah mati kelaparan," kata Bob, "tapi dia tidak mau menjualnya kalau tidak tiga kali lipat harganya, karena dia tahu kau sangat membutuhkannya; kalau tidak begitu, bukan Bill Ferny namanya."
"Bill Ferny?" tanya Frodo. "Apakah ini bukan tipuan? Jangan-jangan hewan itu lari pulang kepadanya dengan semua barang kita, atau membantu melacak jejak kita, atau semacamnya?"
"Mungkin juga," kata Strider. "Tapi aku tak bisa membayangkan hewan mana pun lari pulangkepadanya, setelah lepas darinya. Kuduga ini hanya akal busuk Master Ferny: dia ingin memanfaatkan situasi kita. Bahaya utama adalah bahwa hewan itu mungkin sudah sekarat. Tapi tampaknya tak ada pilihan lain. Berapa dia minta?"
Harga yang dipasang Bill Ferny dua belas penny perak; dan memang itu sedikitnya tiga kali lipat harga kuda di wilayah itu. Ternyata kuda itu kurus kering, kurang makan, dan tidak bersemangat, tapi tampaknya belum sekarat. Mr. Butterbur sendiri yang membayarnya, dan menawarkan kepada Merry tambahan delapan belas penny untuk ganti rugi kuda-kuda yang hilang. Ia orang jujur, dan cukup berada menurut ukuran Bree; tapi tiga puluh penny merupakan pukulan berat untuknya, dan disiasati Bill Ferny membuatnya terasa semakin berat.
Tapi kelak ternyata ia beruntung juga. Belakangan ketahuan bahwa hanya satu kuda yang benar-benar dicuri. Yang lainnya diusir, atau lari ketakutan, dan ditemukan berkeliaran di berbagai bagian Bree yang berlainan. Kuda-kuda Merry sudah lari jauh, dan akhirnya (karena memakai akal sehat) mereka pergi ke Downs, mencari Fatty Lumpkin. Maka mereka dipelihara untuk sementara oleh Tom Bombadil, dan bisa hidup senang. Tapi ketika kabar tentang kejadian di Bree terdengar oleh Tom, ia mengirimkan mereka ke Mr. Butterbur, yang dengan demikian mendapat lima hewan bagus dengan harga sangat lumayan. Kuda-kuda itu memang harus bekerja lebih keras di Bree, tapi Bob memperlakukan. mereka dengan baik; jadi, secara keseluruhan mereka beruntung: mereka lepas dari perjalanan gelap dan berbahaya. Tapi mereka tidak pernah sampai ke Rivendell.
Namun, sementara itu, Mr. Butterbur hanya tahu ia kehilangan uang selamanya. Dan ada kesulitan lain. Keadaan langsung hiruk-pikuk begitu tamu-tamu lain bangun dan mendengar kabar penyerangan ke Penginapan tersebut. Pelancong-pelancong dari selatan kehilangan beberapa kuda dan dengan nyaring menyalahkan si pemilik penginapan, Sampai ketahuan bahwa salah satu di antara mereka juga hilang malam itu, tak lain tak bukan pendamping Bill Ferny yang juling. Kecurigaan langsung tertuju padanya.
"Kalau kalian bergaul dengan maling kuda, dan membawanya ke rumahku," kata Butterbur marah, "kalian harus bayar sendiri segala kerugian, bukannya datang meneriaki aku! Pergi sana, tanyakan pada Bill Ferny, ke mana kawan kalian yang ganteng itu!" Tapi ternyata orang itu bukan kawan siapa pun, dan tidak ada yang ingat kapan ia bergabung dengan rombongan mereka.
Setelah sarapan, para hobbit harus mengepak ulang barang-barang mereka, dan mengumpulkan persediaan tambahan untuk perjalanan yang sekarang akan lebih panjang. Sudah mendekati jam sepuluh ketika akhirnya mereka berangkat. Saat itu seluruh Bree sudah berdengung penuh gairah. Pertunjukan lenyapnya Frodo; kedatangan para Penunggang Hitam; perampokan kandang kuda; dan yang juga menarik adalah berita bahwa Strider sang Penjaga Hutan bergabung dengan hobbit-hobbit misterius itu-semua itu menjadi suatu kisah yang melegenda selama bertahun-tahun kemudian. Kebanyakan penduduk Bree dan Staddle, dan bahkan banyak dari Combe dan Archet, berkerumun di jalan untuk melihat keberangkatan para pengembara tersebut. Tamu-tamu lain di penginapan bergerombol di pintu atau bergelantungan dari jendela-jendela.
Strider berubah pikiran, dan memutuskan meninggalkan Bree melalui jalan utama. Setiap usaha berjalan langsung melintasi pedalaman justru akan memperparah keadaan: separuh penduduk akan mengikuti mereka, untuk melihat rencana mereka, dan mencegah mereka masuk ke tanah milik pribadi.
Mereka pamit pada Nob dan Bob, dan kepada Mr. Butterbur dengan banyak terima kasih. "Kuharap kita bertemu lagi suatu hari nanti, kalau keadaan sudah gembira lagi," kata Frodo. "Aku ingin sekali tinggal di rumahmu dengan tenteram untuk beberapa waktu."
Mereka melaju pergi, cemas dan patah hati, di bawah tatapan kerumunan orang. Tidak semua wajah tampak ramah, juga kata-kata yang diteriakkan.. Tapi Strider kelihatannya dihormati kebanyakan orang Bree, dan mereka yang ditatapnya menutup mulut dan mundur. Strider berjalan di depan dengan Frodo; berikutnya Merry dan Pippin; dan terakhir Sam menuntun kuda, yang mengangkut bawaan sebanyak yang tega mereka bebankan padanya; tapi kuda itu sudah tidak kelihatan terlalu sedih lagi, seolah ia setuju dengan perubahan nasibnya. Sam menggigit sebutir apel sambil merenung. Ia membawa apel satu saku penuh: hadiah perpisahan dari Nob dan Bob. "Apel untuk berjalan, dan pipa untuk duduk," katanya. "Tapi kuduga tak lama lagi aku akan kehilangan keduanva."
Hobbit-hobbit itu tidak menghiraukan kepala-kepala yang ingin tahu, yang mengintip dari balik pintu atau menjulur di atas tembok atau pagar ketika mereka lewat. Tapi, ketika mereka semakin dekat ke gerbang terjauh, Frodo melihat sebuah rumah gelap dan tidak terawat di balik sebuah pagar tebal: rumah terakhir di desa. Di dalam salah satu jendela ia menangkap sekilas wajah pucat dengan mata juling yang lick tapi wajah itu segera menghilang.
"Jadi, di situlah orang selatan bersembunyi!" pikirnya. "Dia mirip sekali dengan goblin."
Dari atas pagar, seorang pria menatap dengan berani. Ia mempunyai alis tebal dan mata mencemooh berwarna gelap; mulutnya yang lebar terkulum mengejek. Ia mengisap pipa hitam pendek. Ketika mereka mendekat, ia mengeluarkan pipa itu dari mulutnya dan meludah.
"Pagi, Longshanks!" katanya. "Berangkat pagi? Dapat teman akhirnya?" Strider mengangguk, tapi tidak menjawab.
"Pagi, kawan-kawan kecil!" ia berkata pada yang lain. "Kuduga kalian tahu siapa yang mendampingi kalian? Dia itu Stick-at-naught Strider! Meski aku pernah mendengar nama lain yang tidak begitu bagus. Waspadalah nanti malam! Dan kau, Sammie, jangan memperlakukan kudaku yang malang dengan kasar! Pah!" ia meludah lagi.
Sam menoleh cepat. "Dan kau, Ferny," katanya, "simpanlah wajah jelekmu itu, atau kau akan tahu rasa." Dengan jentikan mendadak, cepat bagai kilat, sebutir apel melayang dari tangan Sam dan tepat mengenai hidung Bill. Bill terlambat menunduk, dan terdengar makian dari balik pagar. "Sayang apel bagus disia-siakan," kata Sam menyesal, dan berjalan terus.
Akhirnya desa sudah tertinggal di belakang mereka. Anak-anak dan orang-orang lain yang mengikuti mereka akhirnya jemu, dan pulang kembali sesampainya di Gerbang Selatan. Rombongan hobbit melewati gerbang, dan menyusuri Jalan sepanjang beberapa mil. Jalan itu menikung ke kiri, melingkar kembali ke garisnya yang menuju timur, sambil memutari kaki Bree-hill, lalu menurun tajam ke dalam wilayah berhutan. Di sebelah kiri, mereka bisa melihat beberapa rumah dan lubang hobbit di Staddle, di lereng tenggara bukit yang landai; di dasar lembah yang dalam di sebelah utara Jalan ada untaian asap membubung yang menunjukkan letak Combe; Archet tersembunyi di dalam pepohonan di luar sana.
Setelah Jalan menurun untuk beberapa lama, dan Bree-hill sudah tertinggal di belakang, tinggi dan cokelat, mereka sampai ke suatu jalan sempit yang mengarah ke Utara. "Di sini kita meninggalkan jalan terbuka dan melalui jalan tersembunyi," kata Strider.
"Bukan 'jalan pintas', kuharap," kata Pippin. "Jalan pintas kan-ii yang terakhir, yang melintasi hutan, hampir saja berakhir dengan bencana."
"Ah, tapi waktu itu aku tidak bersama kalian," tawa Strider. "Jalan pintasku, pendek ataupun panjang, tidak akan keliru." ia menengok ke semua sisi sepanjang jalan. Tidak ada makhluk lain kelihatan, dan dengan cepat ia memimpin jalan menuju lembah berhutan.
Rencana Strider, sejauh yang mereka pahami, adalah pergi ke Archet dulu, tapi mengambil jalan ke arah kanan dan melewatinya dari sebelah timur, lalu mengarah selurus mungkin melewati belantara ke Bukit Weathertop. Dengan cara itu, kalau semua berjalan lancar, mereka akan memotong lengkungan besar Jalan, yang setelah itu menikung ke selatan untuk menghindari Rawa-Rawa Midgewater. Tapi, tentu saja, mereka harus melintasi rawa-rawa itu sendiri, dan uraian Strider tentang rawa-rawa tersebut tidak menggembirakan.
Sementara itu, berjalan kaki bukannya tidak nyaman. Bahkan, seandainya tidak ada peristiwa-peristiwa menggegerkan pada malam sebelumnya, mereka pasti akan menikmati bagian perjalanan ini, lebih daripada yang sebelum-sebelumnya. Matahari bersinar, cerah tapi tidak terlalu panas. Hutan di lembah masih penuh dedaunan dan berwarna-warni, kelihatan tenteram dan segar. Strider menuntun mereka dengan yakin melewati banyak persimpangan, yang pasti akan membuat mereka tersesat, seandainya mereka pergi sendiri. Strider mengambil jalan berkelok-kelok dengan banyak putaran, dan kembali ke arah semula, demi menyesatkan para pengejar.
"Pasti Bill Ferny memperhatikan di mana kita meninggalkan Jalan," katanya, "meski kuduga bukan dia sendiri yang menguntit kita. Dia cukup kenal pedalaman sekitar sini, tapi dia tahu dia bukan tandinganku di dalam hutan. Yang kukhawatirkan adalah apa yang akan diceritakannya pada yang lain. Kuduga mereka berada tidak begitu jauh dari sini. Lebih baik kalau mereka mengira kita pergi ke Archet."
Entah karena keahlian Strider, atau karena alasan lain, mereka tidak melihat tanda-tanda ataupun mendengar bunyi makhluk hidup lain se panjang hari itu: baik yang berkaki dua, kecuali burung, ataupun yang berkaki empat, kecuali seekor rubah dan beberapa ekor bajing. Hari berikutnya mereka mulai berjalan dengan arah tetap ke timur; semuanva masih tetap tenang dan damai. Pada hari ketiga keluar dan Bree, mereka meninggalkan Chetwood. Tanah semakin menurun selama itu, sejak mereka menyimpang dari Jalan, dan sekarang mereka masuk ke suatu dataran luas yang jauh lebih sulit dilewati. Mereka sudah jauh sekali di luar perbatasan Bree, di alam liar tanpa jalan jelas, dan sedang mendekati Rawa-Rawa Midgewater.
Sekarang tanah menjadi lembap, di beberapa tempat berair, dan di sana-sini mereka menjumpai genangan air, hamparan luas alang-alang, dan rumput yang dipenuhi celoteh burung-burung tersembunyi. Mereka harus memilih jalan dengan hati-hati, agar kaki tetap kering dan agar tetap pada arah yang mereka tuju. Mulanya kemajuan mereka cukup bagus, tapi semakin jauh jalan mereka semakin lambat dan berbahaya. Rawa-rawa itu membingungkan dan berbahaya, bahkan para Penjaga Hutan pun sulit menemukan jalan pasti di antara tanah lembut basah yang selalu berpindah-pindah. Lalat-lalat mulai menyiksa, dan udara penuh kawanan serangga kecil yang merangkak ke bawah lengan baju dan celana, serta ke dalam rambut mereka.
"Aku dimakan hidup-hidup!" teriak Pippin. "Midgewater! Lebih banyak serangganya daripada airnya!"
"Mereka hidup dari apa kalau tidak bisa mendapat hobbit?" tanya Sam sambil menggaruk lehernya.
Mereka menghabiskan hari yang sengsara di pedalaman sepi dan tidak nyaman itu. Tempat mereka berkemah lembap, dingin, dan tidak nyaman; serangga-serangga yang terus menggigiti membuat mereka tak bisa tidur. Juga banyak makhluk mengerikan berkeliaran di antara alang-alang dan rumput tebal; rupanya mereka saudara-saudara yang jahat dari jangkrik, kalau menilai bunyinya. Jumlah mereka ribuan, dan mereka berdecit terus, niik-briik, briik-niik, tanpa henti sepanjang malam, sampai hobbit-hobbit hampir kalut.
Hari berikutnya, hari keempat, agak lebih baik, tapi malamnya tetap tidak nyaman. Meski Neekerbreeker (sebutan Sam untuk mereka) sudah ditinggal di belakang, serangga-serangga kecil masih mengejar mereka.
Saat Frodo berbaring, letih tapi tak bisa memejamkan mata, tampak seberkas cahaya di langit timur di kejauhan: cahaya yang menyala dan menghilang berkali-kali. Bukan cahaya fajar, karena fajar baru datang beberapa jam lagi.
"Cahaya apa itu?" katanya pada Strider, yang bangkit dan sedang berdiri memandang ke dalam kegelapan malam.
"Aku tidak tahu," jawab Strider. "Terlalu jauh untuk dilihat. Seperti kilat yang meloncat dari puncak-puncak bukit."
Frodo berbaring lagi, tapi untuk waktu lama ia masih bisa melihat kilatan cahaya putih itu, dan di depan cahaya itu sosok Strider yang tinggi gelap, berdiri diam dan waspada. Akhirnya Frodo tertidur dengan gelisah.
Mereka belum berjalan jauh di hari kelima, saat mereka meninggalkan genangan air yang bertebaran di mana-mana dan rumpun-rumpun ilalang terakhir di rawa-rawa di belakang. Tanah di depan mulai menanjak lagi dengan teratur. Jauh di timur, mereka bisa melihat barisan bukit. Yang tertinggi di antaranya berada di sebelah kanan barisan, agak terpisah dari yang lain. Puncaknya berbentuk kerucut, agak datar pada ujungnya.
"Itu Weathertop," kata Strider. "Jalan Lama yang sudah kita tinggalkan jauh di sebelah kanan kita, membentang ke selatannya dan lewat tidak jauh dari kakinya. Mungkin kita bisa sampai di sana tengah hari besok, kalau kita berjalan lurus ke sana. Kusarankan kita melakukan itu."
"Apa maksudmu?" tanya Frodo.
"Maksudku, kalau kita sudah sampai di sana, kita tidak tahu apa yang akan kita temukan. Tempat itu dekat sekali ke Jalan."
"Tapi kan kita berharap bertemu Gandalf di sana?"
"Ya, tapi harapannya kecil sekali. Kalau toh dia pergi ke sini, mungkin dia tidak lewat Bree, sehingga dia tidak tahu apa yang kita, lakukan. Dan bagaimanapun, kecuali kalau kita beruntung datang hampir bersamaan waktu, bisa saja kita tidak saling bertemu; tidak aman bagi dia atau kita untuk menunggu lama di sana. Kalau para Penunggang gagal menemukan kita di belantara ini, kelihatannya sangat mungkin mereka juga akan pergi ke Weathertop. Dari atas sana, pemandangannya luas sekali ke semua arah. Bahkan banyak sekali burung dan hewan di pedalaman yang bisa melihat kita saat kita berdiri di sini, dari atas puncak bukit. Tidak semua burung bisa dipercaya, dan ada mata-mata lain yang jauh lebih jahat daripada mereka."
Para hobbit memandang cemas ke arah bukit-bukit di kejauhan. Sam memandang ke langit yang pucat, khawatir melihat elang atau rajawali melayang di atas mereka, dengan mata tajam dan tidak bersahabat. "Kau benar-benar membuatku merasa kesepian dan tidak nyaman, Strider!" kata Sam.
"Apa saranmu?" tanya Frodo.
"Kupikir," kata Strider perlahan, seolah tidak begitu yakin, "kurasa hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah sebisa mungkin berjalan lurus ke timur dari sini, ke arah perbukitan di sana, jangan ke Weathertop. Di sana kita bisa menemukan jalan yang kukenal, yang menyusuri kaki perbukitan; jalan itu akan membawa kita ke Weathertop dari arah utara, dan tidak begitu kelihatan. Lalu kita bisa melihat apa yang bisa kita lihat."
Sepanjang hari itu mereka berjalan lambat dan susah payah, sampai senja yang dingin turun. Tanah semakin kering dan lebih gersang; tapi kabut dan uap sudah mereka tinggalkan di rawa-rawa di belakang. Beberapa burung sedih berbunyi nyaring dan meratap, sampai matahari merah bulat tenggelam perlahan ke dalam bayang-bayang di sebelah barat; lalu keheningan kosong mengelilingi mereka. Para hobbit teringat cahaya lembut matahari terbenam yang melirik melalui jendela-jendela riang di Bag End nun jauh di sana.
Di penghujung hari itu, mereka sampai ke sebuah sungai yang mengembara turun dari perbukitan, dan hilang di tengah genangan rawa-rawa. Mereka mendaki tebingnya sementara hari masih terang. Sudah malam ketika mereka akhirnya berhenti dan bersiap-siap berkemah di bawah beberapa pohon alder kerdil di pinggir sungai. Di depan berdiri punggung perbukitan yang suram dan tidak berpohon, berlatar belakang langit senja. Malam itu mereka bergantian berjaga, dan Strider tampaknya sama sekali tidak tidur. Bulan bertambah besar, dan pada jam-jam awal malam cahaya kelabu dingin menggantung di atas tanah.
Keesokan paginya mereka berangkat begitu matahari terbit. Udara dipenuhi embun beku, dan langit berwarna biru- pucat jernih. Para hobbit merasa segar, seolah sudah tidur semalaman tanpa terputus. Mereka sudah mulai terbiasa berjalan jauh dengan makanan terbatas—setidaknya lebih terbatas daripada yang biasa mereka makan di Shire yang, menurut mereka, tidak akan. cukup untuk membuat mereka kuat berdiri. Pippin menyatakan Frodo tampak dua kali lebih besar daripada biasanya.
"Aneh sekali," kata Frodo sambil mengencangkan ikat pinggangnya, "mengingat justru sekarang badanku menyusut. Kuharap proses penyusutan ini tidak berlangsung terus-menerus, kalau tidak, bisa-bisa aku menjadi hantu!"
"Jangan membicarakan hal-hal semacam itu!" kata Strider cepat, dengan nada serius yang agak mengherankan.
Bukit-bukit semakin dekat, membentuk punggung berombak, sering menjulang sampai hampir seribu kaki, dan di sana-sini terjun lagi ke celah atau bukaan rendah yang mengantar ke negeri timur di sebelah sana. Sepanjang puncak punggung bukit, para hobbit bisa melihat pemandangan yang tampaknya seperti sisa-sisa tembok yang dipenuhi tanaman hijau dan tanggul-tanggul, di celah-celahnya masih berdiri puing-puing bangunan batu lama. Di malam hari, mereka sudah sampai di kaki lereng sebelah barat, dan di sanalah mereka bermalam. Malam itu malam kelima bulan Oktober, dan mereka sudah enam, hari keluar dari Bree.
Pagi harinya, untuk pertama kali sejak meninggalkan Chetwood, mereka menemukan jejak jalan yang jelas terlihat. Mereka membelok ke kanan dan menyusurinya ke arah selatan. Jalur itu menjalar dengan cerdik, mengambil garis yang tampaknya dipilih agar sedapat mungkin tersembunyi dari pandangan, baik dari atas bukit maupun dari dataran di barat. Jalur itu terjun ke dalam lembah-lembah kecil, memeluk tebing-tebing curam; di bagian yang melewati tanah yang lebih datar dan terbuka, pada kedua sisinya ada barisan batu besar dan batu pahat yang menutupi pelancong yang lewat, hampir seperti pagar.
"Aku ingin tahu, siapa yang membuat jalan ini, dan untuk apa," kata Merry, saat mereka menyusuri salah satu jalur tersebut, yang bebatuannya sangat besar dan rapat. "Aku tidak menyukainya: kelihatannya agak... yah, berbau barrow-wight. Apakah ada barrow di Weathertop?"
"Tidak. Tidak ada barrow di Weathertop, maupun di perbukitan ini;" jawab Strider. "Manusia dari Barat tidak hidup di sini, meski di hari-hari akhir, untuk beberapa saat mereka mempertahankan perbukitan terhadap kejahatan yang datang dari Angmar. Jalan ini dibuat untuk kepentingan benteng-benteng di sepanjang tembok. Tapi jauh sebelumnya, di masa-masa awal Kerajaan Utara, mereka membangun menara pengawasan besar di Weathertop, Amon Sul namanya. Menara itu sudah dibakar dan hancur, dan tidak ada yang tersisa sekarang, kecuali sebuah lingkaran yang terjungkir, seperti mahkota kasar pada kepala bukit tuanya. Namun dulu ia pernah menjulang tinggi dan indah. Konon Elendil berdiri di sana, memperhatikan kedatangan Gil-galad dari Barat, di masa Persekutuan Terakhir."
Para hobbit menatap Strider. Kelihatannya ia pakar dongeng-dongeng kuno, selain piawai hidup di tanah liar. "Siapa Gil-galad?" tanya Merry; tapi Strider tidak menjawab, tampaknya tenggelam dalam pikirannva sendiri. Tiba-tiba sebuah suara rendah bergumam,
Gil-galad Raja Peri
Tentangnya para pemetik harpa bernyanyi sedih:
kerajaannya yang terakhir, indah merdeka antara
Pegunungan dan Samudra.
Panjang pedangnya, tajam tombaknya,
kemilau dari kejauhan, topi bajanya;
hamparan bintang di langit luas
di perisai peraknya terpantul jelas.
Tapi lama sudah ia pergi,
entah di mana ia tinggal kini;
dalam kegelapan bintangnya menghilang
di tanah Mordor, negeri bayang-bayang.
Yang lain menoleh penuh keheranan, karena suara itu suara Sam.
"Jangan berhenti!" kata Merry.
"Hanya itu yang kutahu," kata Sam terbata-bata, wajahnya memerah. "Aku belajar itu dari Mr. Bilbo, ketika aku masih kecil. Dia biasa menceritakan dongeng-dongeng seperti itu, karena tahu aku suka sekali mendengarkan tentang bangsa Peri. Mr. Bilbo yang mengajariku menulis. Dia sangat terpelajar, Mr. Bilbo yang budiman. Dan dia suka menulis puisi. Dialah yang menulis syair itu tadi."
"Dia tidak mengarang-ngarang," kata Strider. "Syair itu bagian dari syair tentang Kejatuhan Gil-galad, yang tertulis dalam bahasa kuno. Pasti Bilbo menerjemahkannya. Aku tidak tahu itu."
"Masih banyak sekali lanjutannya," kata Sam, "semua tentang Mordor. Aku tidak belajar bagian itu, aku menggigil kalau mendengar bagian itu. Aku tak pernah mengira akan pergi ke sana sendiri!"
"Pergi ke Mordor!" teriak Pippin. "Kuharap tidak sampai terjadi!"
"Jangan sebut nama itu keras-keras!" kata Strider.
Sudah tengah hari ketika mereka hampir mencapai ujung selatan jalan itu. Di depan mereka, dalam cahaya pucat jernih matahari Oktober, tampak sebuah tebing hijau-kelabu, menjulur naik seperti jembatan ke lereng utara bukit. Mereka memutuskan langsung mendaki ke puncaknya, sementara hari masih terang benderang. Tak mungkin lagi menyembunyikan diri, dan mereka hanya bisa berharap tidak ada musuh atau mata-mata yang melihat. Tak kelihatan ada yang bergerak di perbukitan. Juga tidak tampak tanda-tanda kehadiran Gandalf di sekitar situ.
Di sisi barat Weathertop, mereka menemukan sebuah cekungan terlindung, dengan lembah berbentuk mangkuk di dasarnya, dan pinggiran berumput. Di sana mereka meninggalkan Sam dan Pippin dengan kuda dan muatannya, serta ransel-ransel. Tiga yang lainnya berjalan terus. Setelah setengah jam mendaki dengan susah payah, Strider mencapai mahkota bukit; Frodo dan Merry menyusul, lelah dan terengah-engah. Lereng terakhir curam sekali dan berbatu-batu.
Di puncaknya, seperti sudah dikatakan Strider, mereka menemukan sebuah lingkaran sisa bangunan batu kuno, sekarang remuk atau tertutup rumput panjang. Tapi di tengahnya tersusun setumpukan batu. Warnanya kehitaman, seolah kena api. Di sekitarnya tanah kering terbakar sampai ke akarnya, dan di dalam lingkaran itu rumputnya hangus dan mengerut, seolah nyala api telah menyapu puncak bukit itu; tapi tidak ada tanda-tanda makhluk hidup.
Berdiri di pinggir puing lingkaran itu, mereka melihat pemandangan luas di bawah, kebanyakan tanah kosong tanpa ciri-ciri khusus, kecuali beberapa bercak hutan jauh di selatan, dengan kilauan air di sana-sini di kejauhan. Di bawah mereka, pada sisi selatan ini, Jalan Lama tergelar bagai sebuah pita, muncul dari Barat dan melingkar-lingkar naik-turun, sampai menghilang di balik punggung tanah gelap di sebelah timur. Tidak ada yang bergerak di atasnya. Mengikuti garisnya ke arah timur, mereka melihat Pegunungan: kaki bukit yang lebih dekat tampak cokelat dan suram; di belakangnya berdiri bentuk-bentuk tinggi kelabu, dan di belakangnya lagi ada puncak-puncak tinggi putih berkilauan di antara awan-awan.
"Nah, di sinilah kita!" kata Merry. "Sangat muram dan tidak mengundang tampaknya! Tidak ada air dan tidak ada naungan. Dan tidak ada tanda-tanda dari Gandalf. Tapi aku tidak menyalahkannya kalau dia tidak menunggu-kalau dia memang sudah ke sini."
"Aku jadi bertanya-tanya," kata Strider, menatap sekelilingnya sambil merenung. "Meski dia sehari-dua hari di belakang kita di Bree, dia bisa datang ke sini lebih dulu. Dia bisa menunggang kuda sangat cepat kalau perlu." Mendadak ia berhenti dan memandang batu di atas tumpukan; lebih datar daripada yang lain, dan lebih putih, seolah tidak terkena api. Ia memungutnya dan mengamatinya, membalikkan batu itu di tangannya. "Batu ini belum lama dipegang,' katanya. "Bagaimana dengan tanda-tanda ini?"
Pada permukaan bawah yang datar, Frodo melihat beberapa goresan: I”•III. "Kelihatannya ada garis tegak, titik, lalu tiga garis tegak lagi," kata Frodo.
"Garis tegak di sebelah kiri mungkin lambang G dengan cabang tipis" kata Strider. "Mungkin itu tanda yang ditinggalkan Gandalf, meski kita tak bisa yakin. Goresannya halus, dan memang kelihatan masih baru. Tapi tanda-tanda itu bisa juga punya arti yang lain sama sekali, dan tidak berhubungan dengan kita. Para Penjaga Hutan juga menggunakan lambang, dan mereka sesekali juga datang ke sini."
"Apa artinya, kalau misalnya Gandalf yang membuatnya?" tanya Merry.
"Menurutku," jawab Strider, "maksudnya G 3, dan merupakan tanda bahwa Gandalf ada di sini tanggal 3 Oktober: tiga hari yang lain. Itu juga menunjukkan dia sedang terburu-buru dan bahaya mengancamnya, sehingga dia tak punya waktu atau tidak berani menulis sesuatu yang lebih panjang atau lebih jelas. Kalau memang begitu, maka kita harus hati-hati."
"Kalau saja kita bisa yakin bahwa memang Gandalf yang membuat goresan itu, apa pun artinya," kata Frodo. "Akan sangat menghibur kalau tahu dia sedang dalam perjalanan, di depan atau di belakang kita."
"Mungkin," kata Strider. "Aku sendiri yakin dia sudah ke sini, dan berada dalam bahaya. Pernah ada kobaran api di sini saat itu, dan aku jadi teringat cahaya yang kita lihat tiga hari yang lalu di langit timur. Kuduga dia diserang di puncak bukit ini, tetapi apa hasilnya aku tidak tahu. Ia sudah tidak di sini lagi, dan sekarang kita harus menjaga diri sendiri dan pergi sendiri ke Rivendell, sebaik mungkin."
"Berapa jauhkah Rivendell?" tanya Merry sambil melihat sekelilingnya dengan letih. Dunia terlihat liar dan luas dari atas Weathertop.
"Aku tidak tahu apakah Jalan ini pernah diukur dalam mil setelah melewati Penginapan Terlupakan, satu hari perjalanan dari Bree ke timur," jawab Strider. "Ada yang bilang itu jauh sekali, dan ada yang bilang sebaliknya. Jalan ini aneh, dan orang-orang senang kalau sudah sampai di akhir perjalanan mereka, baik waktunya panjang ataupun pendek. Tapi aku tahu berapa lama waktu untuk menempuhnya bila aku sendiri berjalan kaki, dengan cuaca bagus dan tidak ada musibah: dua belas hart dari sini sampai Ford Bruinen, di mana Jalan melintasi Loudwater yang mengalir keluar dari Rivendell. Setidaknya masih ada perjalanan dua minggu di depan kita, karena kupikir kita tidak akan bisa menggunakan Jalan."
"Dua minggu!" kata Frodo. "Banyak yang bisa terjadi dalam waktu itu."
"Memang," kata Strider.
Mereka berdiri diam sejenak di puncak bukit, dekat ujung selatan. Di tempat sepi itu, Frodo untuk pertama kali menyadari bahwa ia tak punya rumah dan berada dalam bahaya. Dengan getir ia menyesali, kenapa ia tidak bisa tetap berada di Shire yang tenang dan dicintainya ia menatap ke bawah, ke Jalan yang dibencinya, matanya tertuju ke barat—ke rumahnya. Mendadak ia menyadari ada dua bercak hitam bergerak perlahan menyusurinya, pergi ke barat; dan ketika ia memandang lagi, ia melihat tiga bercak lain merangkak ke timur untuk menghadang mereka. Frodo berteriak dan memegang tangan Strider.
"Lihat," katanya sambil menunjuk ke bawah.
Strider segera menjatuhkan diri ke tanah di belakang puing lingkaran, sambil menarik Frodo di sebelahnya. Merry juga menjatuhkan diri di sampingnya.
"Apa itu?" bisiknya.
"Aku tidak tahu, tapi aku mengkhawatirkan hal terburuk," jawab Strider.
Perlahan mereka merangkak ke pinggir lingkaran lagi, dan mengintip melalui celah antara dua batu runcing. Cahaya sudah tidak begitu terang, karena pagi yang cerah sudah memudar, dan awan-awan yang merangkak keluar dari Timur sudah menyusul matahari yang akan terbenam. Mereka semua bisa melihat bercak-bercak hitam itu, tapi baik Frodo maupun Merry tidak bisa melihat jelas bentuk mereka; namun perasaan mereka mengatakan bahwa di sana, jauh di bawah, para Penunggang Hitam berkumpul di Jalan di bawah kaki bukit.
"Ya," kata Strider, yang dengan penglihatannya yang tajam tidak ragu lagi. "Musuh ada di sini!"
Bergegas mereka merangkak pergi, menuruni sisi utara bukit, untuk mencari kawan-kawan mereka.
Sam dan Peregrin tidak tinggal diam. Mereka sudah menjelajahi lembah kecil dan lereng-lereng sekitamya. Tak jauh dari sana, mereka menemukan sumber mata air jernih di sisi bukit, dan di dekatnya jejak kaki yang belum berusia lebih dari dua hari. Di lembahnya sendiri mereka menemukan bekas api yang belum lama, dan tanda-tanda lain dari perkemahan yang terburu-buru. Ada beberapa batuan yang sudah jatuh di ujung lembah yang paling dekat ke bukit. Di belakangnya Sam menemukan kayu-kayu api yang ditumpuk rapi.
"Aku ingin tahu, apakah Gandalf sudah ke sini," katanya pada Pippin. "Siapa pun yang menyimpan barang-barang ini di sini, berniat kembali ke sini rupanya."
Strider sangat tertarik dengan penemuan-penemuan itu. "Coba tadi aku menunggu dan menjelajahi sendiri tanah di bawah sini," katanya, bergegas ke mata air untuk memeriksa jejak kaki.
"Seperti sudah kukhawatirkan," katanya ketika ia kembali. "Sam dan Pippin menginjak tanah lembek, dan jejaknya sudah rusak atau bercampur. Para Penjaga Hutan datang ke sini baru-baru ini. Merekalah yang meninggalkan kayu api di tempat ini. Tapi juga ada beberapa jejak yang lebih baru, yang bukan dibuat oleh para Penjaga Hutan. Setidaknya satu set baru, hanya sehari-dua hari yang lalu, dibuat oleh sepatu bot berat. Setidaknya satu. Aku belum yakin saat ini, tapi kurasa ada banyak kaki bersepatu bot." ia berhenti bicara dan tenggelam dalam pikiran cemas.
Masing-masing hobbit membayangkan para Penunggang berjubah dan bersepatu bot. Kalau para Penunggang sudah menemukan lembah itu, semakin cepat Strider menuntun mereka ke tempat lain semakin baik. Sam memandang cekungan itu dengan rasa sangat tak suka, setelah mendengar kabar musuh mereka ada di Jalan, hanya beberapa mil dari sana.
"Tidakkah kita sebaiknya cepat pergi dari sini, Mr. Strider?" tanya Sam tak sabar. "Sudah mulai sore, dan aku tidak suka tempat ini: entah mengapa membuat semangatku patah."
"Ya, kita memang harus memutuskan apa yang mesti dilakukan segera," jawab Strider sambil mendongak, mempertimbangkan waktu dan cuaca. "Yah, Sam," katanya akhirnya, "aku juga tidak suka tempat ini, tapi aku tidak tahu tempat lain yang lebih baik, yang bisa kita capai sebelum malam. Setidaknya kita berada di luar pandangan untuk sementara, dan kalau kita bergerak, kita akan jauh lebih mungkin terlihat oleh mata-mata. Yang bisa kita lakukan hanyalah menyimpang dari jalan kita, kembali ke utara, di sisi bukit sebelah sini, yang tanahnya sedikit-banyak sama seperti di sini. Jalan sudah diawasi, tapi kita harus melintasinya, kalau ingin mencoba bersembunyi di semak-semak sebelah selatan. Di sebelah utara Jalan, di seberang bukit, tanahnya kosong dan datar sepanjang bermil-mil."
"Apakah para Penunggang itu bisa melihat?" tanya Merry. "Maksudku, sepertinya mereka lebih banyak menggunakan hidung daripada mata, untuk mengendus-endus mencari kita, kalau mengendus adalah kata yang tepat untuk itu, setidaknya di waktu terang. Tapi kau menyuruh kami tiarap ketika kau melihat mereka di bawah; dan sekarang katamu kita bisa terlihat kalau bergerak."
"Aku terlalu ceroboh di atas- bukit," jawab Strider. "Aku begitu bersemangat ingin mencari tanda dari Gandalf; tapi kita salah, naik bertiga dan berdiri begitu lama di sana. Karena kuda-kuda hitam bisa melihat, dan para Penunggang itu bisa menggunakan manusia dan makhluk-makhluk lain sebagai mata-mata, seperti sudah terbukti di Bree. Mereka sendiri tidak melihat dunia sebagaimana kita melihatnya, tapi bentuk-bentuk kita melontarkan bayangan ke dalam benak mereka, yang hanya bisa dihancurkan oleh matahari tengah hari; dan dalam gelap mereka menerima banyak tanda dan bentuk yang tersembunyi bagi kita: saat itulah mereka perlu paling ditakuti. Dan sepanjang waktu mereka mencium darah makhluk hidup, menginginkannya dan membencinya. Ada indra-indra lain selain penglihatan dan penciuman, Kita bisa merasakan kehadiran mereka-meresahkan hati kita, begitu kita sampai di sini, dan sebelum kita melihat mereka: mereka bisa lebih tajam lagi merasakan kehadiran kita. Juga," tambahnya, dan suaranya menjadi bisikan, "Cincin itu menarik mereka."
"Apakah tidak ada cara untuk lari?" kata Frodo, melihat dengan kalut ke sekelilingnya. "Kalau aku bergerak, aku akan kelihatan dan diburu!"
Strider meletakkan tangannya di bahu Frodo. "Masih ada harapan," katanya. "Kau tidak sendirian. Mari kita ambil kayu yang sudah disiapkan di sini untuk api, sebagai suatu tanda. Hanya sedikit perlindungan atau pertahanan di sini, tapi api bisa dimanfaatkan. Sauron bisa memakai api, dan hal-hal lainnya, untuk maksud jahatnya, tapi para Penunggang ini tidak menyukai api, dan takut terhadap mereka yang menggunakannya. Api adalah sahabat kita di hutan belantara."
"Mungkin," gerutu Sam. "Tapi api itu juga bisa menunjukkan dengan jelas di mana kita berada, selain kalau kita berteriak."
Di pojok paling rendah dan paling terlindung di lembah itu, mereka menyalakan api dan menyiapkan makanan. Bayang-bayang senja mulai turun, dan hawa mulai dingin. Tiba-tiba mereka menyadari bahwa mereka sudah lapar sekali, karena mereka tidak makan apa pun sejak sarapan; tapi mereka hanya berani membuat makan malam sederhana saja. Negeri di depan mereka kosong dari semua makhluk hidup, kecuali burung dan hewan, tempat-tempat tidak ramah yang ditinggalkan semua bangsa di dunia. Kadang-kadang para Penjaga Hutan lewat di seberang perbukitan, tapi jumlahnya hanya sedikit dan mereka tidak bermalam. Pengembara lain sangat langka, dan dari jenis jahat: sesekali bangsa troll berkeliaran keluar dari lembah-lembah utara Pegunungan Berkabut. Hanya di Jalan bisa ditemukan pelancong, paling sering orang-orang kerdil, bergegas untuk urusan mereka sendiri, dan tidak suka memberikan pertolongan atau berbicara dengan orang asing
"Entah apakah persediaan makanan kita bisa mencukupi," kata Frodo. "Kita sudah cukup hati-hati dalam beberapa hari terakhir, dan makan malam ini bukan pesta; tapi kita sudah menghabiskan lebih banyak daripada seharusnya, kalau kita masih harus berjalan selama dua minggu, dan mungkin lebih."
"Ada makanan di belantara," kata Strider, "buah berry, akar-akaran, dan tanaman; dan aku punya keterampilan sebagai pemburu bila diperlukan. Kau tidak perlu takut mati kelaparan sebelum musim dingin tiba. Tapi mengumpulkan dan menangkap makanan adalah pekerjaan panjang dan melelahkan, dan kita perlu buru-buru. Jadi, kencangkan ikat pinggang kalian, dan pikirkan penuh harapan meja-meja makan di rumah Elrond!"
Hawa dingin semakin menusuk, sementara hari semakin gelap. Mengintip keluar dari lembah, mereka sekarang hanya bisa melihat tanah kelabu yang menghilang cepat ke dalam bayang-bayang. Langit di alas sudah jernih lagi, dan perlahan-lahan terisi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Frodo dan kawan-kawannya meringkuk mengelilingi api, terbungkus dengan segala macam busana dan selimut yang mereka miliki; tapi Strider sudah puas dengan satu mantel, dan duduk agak menjauh, sambil mengisap pipanya dengan termenung.
Saat malam tiba dan nyala api mulai terang Strider menceritakan dongeng-dongeng pada mereka, untuk mengalihkan benak mereka dari ketakutan. Ia tahu banyak riwayat dan legenda dari zaman dulu, tentang Peri dan Manusia, perbuatan baik dan jahat di Zaman Peri. Mereka bertanya dalam hati, berapa usia Strider, dan di mana ia belajar semua kisah itu.
"Ceritakan tentang Gil-galad," kata Merry tiba-tiba, ketika Strider berhenti sebentar di akhir cerita tentang Kerajaan-Kerajaan Peri. "Apakah kau tahu lebih banyak tentang syair kuno yang kaubicarakan tadi?"
"Memang," jawab Strider. "Begitu juga Frodo, karena itu berhubungan erat dengan kita." Merry dan Pippin memandang Frodo yang sedang menatap ke dalam api.
"Aku hanya tahu sedikit yang diceritakan Gandalf padaku," kata Frodo perlahan. "Gil-galad adalah yang terakhir dari raja-raja agung bangsa Peri di Dunia Tengah. Gil-galad berarti sinar bintang dalam bahasa Peri. Dengan Elendil, sahabat kaum Peri, dia pergi ke negeri..."
"Jangan!" Strider memotong, "menurutku dongeng itu jangan diceritakan sekarang, saat anak buah Musuh berada di dekat kita. Kalau kita berhasil mencapai rumah Elrond, kalian bisa mendengarnya di sana, diceritakan selengkapnya."
"Kalau begitu, ceritakan dongeng lain dari masa lalu," pinta Sam, 'dongeng tentang bangsa Peri sebelum masa hilangnya. Aku ingin sekali mendengar lebih banyak tentang kaum Peri; kegelapan terasa begitu mencekam."
"Akan kuceritakan kisah Tinuviel," kata Strider, "singkat saja, karena ini kisah panjang yang akhirnya tidak diketahui; dan sekarang tidak ada yang ingat dengan betul kisah ini, seperti diceritakan di masa lalu, kecuali Elrond. Suatu kisah indah, meski sedih, seperti semua dongeng Dunia Tengah, namun mungkin kisah ini bisa membangkitkan semangat kalian." ia diam sejenak, lalu mulai menyanyi perlahan, bukannya berbicara,
Dedaunan panjang, rumput hijau,
Tinggi indah pepohonan cemara,
Dan di padang tampak cahaya kemilau
Bintang-bintang berkelip di keremangan
Tinuviel menari di sana
Diiringi nada suling indah memukau,
Cahaya bintang gemerlap di rambutnya,
Pun di pakaiannya berkilauan.
Datang Beren dari pegunungan dingin nan sepi,
Di bawah dedaunan tersesat mengembara,
Menyusuri sepanjang tepi Sungai Peri
Melangkah sendiri, dicekam kepedihan.
Mengintip di antara ranting-ranting cemara
Terpesona oleh bunga-bunga emas indah tak terperi
Pada jubah dan lengan si gadis jelita,
Dan rambutnya yang terurai, sekelam bayangan.
Terpesona ia oleh pemandangan itu
Kakinya yang letih seketika pulih;
Kuat dan tangkas, ia bergegas maju,
Menggapai alur-alur sinar bulan kemilau.
Di rimba belantara hutan Peri
Tinuviel lari dengan kaki-kaki lincah berpacu,
Dan tinggallah Beren mengembara sendiri
Di belantara sepi, mendengarkan terpukau.
Sering ia dengar tapak-tapak lincah
Kaki-kaki ringan bagai tanpa suara,
Atau musik yang memancar di bawah tanah,
Tersembunyi bergetar di liang-liang.
Kini layu tergeletak berkas-berkas cemara,
Berguguran satu per satu sambil mendesah
Daun-daun beech ikut berjatuhan pula
Di hutan musim dingin melayang-layang.
Beren s’lalu mencari si gadis Peri
Di hamparan tebal daun-daun berguguran,
Di bawah cahaya bulan dan bintang yang berseri
Di angkasa dingin dan berembun beku.
Jubah Tinuviel gemerlap di bawah sinar rembulan,
Seperti di puncak bukit nan jauh dan tinggi
Ia menari, dan di kakinya bertaburan
Kabut perak yang gemetar malu-malu.
Musim dingin berlalu, Tinuviel datang lagi,
Nyanyiannya membangunkan musim semi,
Bagai hujan rintik dan burung penyanyi,
Mencairkan air yang dingin beku.
Di kakinya merekah bunga-bunga Peri
Berkembang indah dan berseri kembali
Ingin Beren menari dan bernyanyi
Di atas rumput bersamanya selalu.
Beren datang menghampiri, namun Tinuviel lari.
Tinuviel! Tinuviel!
Dipanggilnya nama si gadis Peri;
Si gadis pun berhenti, bagai tersihir
Sesaat tertegun si gadis Tinuviel
Terpikat suara Beren yang menggugah hati,
Beren mendatangi, dan luluhlah Tinicviel
Oleh pesona yang mengikatnya sampai akhir.
Kala menatap mata Tinuviel si Jelita
Yang tersembunyi bayangan rambutnya,
Tampak oleh Beren tercermin di dalamnya.
Kemilau bintang-bintang yang gemetar perlahan
Tinuviel nan cantik memesona,
Gadis Peri yang bijaksana,
Mengurai rambutnya menutupi dirinya
Dan lengan-lengannya yang gemerlap keperakan.
Nasib membawa mereka mengembara,
Lewat gunung berbatu dingin kelabu,
Lewat lorong besi dan pintu kegelapan nan menyiksa,
Dan hutan bayangan tanpa harapan.
Dipisahkan Samudra luas yang menderu,
Sebelum akhirnya kembali berjumpa,
Kini mereka t'lah lama berlalu
Bernyanyi tanpa duka, di dalam hutan.
Strider menarik napas panjang, dan berhenti sebelum berbicara lagi. "Itu sebuah lagu," katanya, "di antara kaum Peri disebut anntennath, tapi sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Umum, dan ini hanya gema kasar dari lagu itu. Lagu ini menceritakan perjumpaan Beren, putra Barahir, dengan Luthien Tinuviel. Beren manusia biasa, tapi Luthien adalah putri Thingol, raja Peri di Dunia Tengah, ketika dunia masih muda; dia gadis tercantik yang pernah ada di antara anak-anak dunia. Kecantikannya seperti bintang-bintang di atas kabut negeri-negeri Utara, dan wajahnya bercahaya. Di masa itu, Musuh Besar tinggal di Angband di Utara, dan Sauron hanyalah anak buahnya. Bangsa Peri dari Barat kembali ke Dunia Tengah untuk berperang dengannya, demi merebut kembali Silmaril yang telah dicurinya; nenek moyang Manusia mendukung para Peri. Tapi Musuh menang dan Barahir tewas dibunuh. Beren, yang melarikan diri melalui bahaya besar, pergi lewat Pegunungan Teror, masuk ke Kerajaan Thingol yang tersembunyi di hutan Neldoreth. Di sana dia melihat Luthien menyanyi dan menari di padang, di sisi Sungai Esgalduin yang tersihir; Beren menamainya Tinuviel, artinya burung bulbul dalam bahasa kuno. Banyak penderitaan menimpa mereka setelah itu, dan mereka terpisah untuk waktu lama. Tinuviel menyelamatkan Beren dari penjara bawah tanah Sauron, dan bersama-sama mereka melewati bahaya-bahaya besar, bahkan menjatuhkan Musuh Besar dan takhtanya, dan mengambil dan mahkota besinya satu dari tiga Silmaril, yang paling cemerlang di antara semua berlian, untuk maskawin Luthien kepada Thingol ayahnya. Namun pada akhirnya Beren dibunuh Serigala yang datang dari gerbang Angband, dan dia mail di pelukan Tinuviel. Tapi Tinuviel memilih menjadi manusia biasa, dan mati di dunia, agar bisa menyusul Beren; dalam lagunya dikatakan bahwa mereka berjumpa lagi di seberang Samudra Pemisah, hidup lagi bersama-sama selama suatu masa singkat di hutan hijau, mereka mati lama berselang, meninggalkan dunia fana ini. Begitulah, hanya Luthien Tinuviel dan bangsa Peri yang mati dan meninggalkan dunia, dan mereka kehilangan dia yang paling mereka cintai. Tapi dari keturunannya muncul garis silsilah bangsawan Peri masa lampau yang turun di antara Manusia. Sampai sekarang keturunannya masih hidup, dan konon silsilahnya tidak akan pernah berhenti. Elrond dan Rivendell termasuk sanaknya. Karena dan Beren dan Luthien lahirlah ahli waris Dior Thingol; dan dari dia turun Elwing the White yang dinikahi Earendil, dia yang berlayar dengan kapalnya, keluar dari kabut dunia, masuk ke lautan surga, dengan Silmaril di dahinya. Dan dari Earendil lahirlah Raja-raja dan Numenor, yaitu Westernesse."
Sementara Strider berbicara, mereka memperhatikan wajahnya yang bergairah aneh, disinari cahaya remang-remang nyala api merah. Matanya berbinar, suaranya dalam dan gagah. Di atasnya terbentang langit gelap berbintang. Mendadak cahaya pucat muncul dari atas mahkota Weathertop di belakang Strider. Bulan yang semakin besar mendaki perlahan ke atas bukit yang melindungi mereka, dan bintang-bintang di atas puncak bukit memudar.
Kisah itu berakhir. Para hobbit bergerak dan meregangkan tubuh. "Lihat!" kata Merry. "Bulan sudah tinggi: pasti sudah larut malam."
Yang lain juga menengadah. Ketika itulah mereka melihat di puncak bukit sesuatu yang kecil dan gelap, berlatar belakang kilauan bulan yang sedang naik. Mungkin juga sesuatu itu hanya sebuah baru besar atau karang menonjol yang kena cahaya pucat.
Sam dan Merry bangkit dan menjauh dari api. Frodo dan Pippin tetap duduk diam. Strider memperhatikan cahaya bulan di atas bukit dengan cermat. Semua diam dan tenang, tapi Frodo merasa ketakutan, setelah Strider tidak berbicara lagi. Ia meringkuk lebih dekat ke api. Pada saat itu Sam berlari kembali dari pinggir lembah.
"Aku tidak tahu apa itu," katanya, "tapi tiba-tiba aku merasa takut. Aku tidak berani keluar dan lembah ini; aku merasa sesuatu sedang merangkak naik di lerengnya."
"Apakah kau melihat sesuatu?" tanya Frodo sambil melompat bangkit.
"Tidak, Sir. Aku tidak melihat apa pun, tapi aku tidak berhenti untuk melihat."
"Aku melihat sesuatu," kata Merry, "atau kupikir begitu di sebelah barat sana, di mana sinar bulan jatuh ke atas dataran rendah di balik bayangan puncak bukit, aku menyangka ada dua atau tiga sosok hitam. Kelihatannya mereka bergerak ke arah sini."
"Tetaplah dekat ke api, dengan wajah menghadap ke luar!" teriak Strider. "Siapkan beberapa tongkat panjang di tangan kalian!"
Untuk waktu lama, hampir tanpa bernapas, mereka duduk di sana, diam dan waspada, membelakangi api, masing-masing menatap ke dalam kekelaman di sekitar. Tak ada yang terjadi. Tak ada bunyi atau gerakan di malam itu. Frodo bergerak, merasa perlu memecah kesunyian: ia ingin sekali berteriak keras.
"Sst!" bisik Strider. "Apa itu?" Pippin menarik napas kaget pada saat bersamaan.
Dari atas bibir lembah kecil itu, di sisi yang jauh dari bukit, mereka merasa sebuah bayangan muncul, satu bayangan atau lebih dari satu. Mereka mengamati lebih tajam, dan bayangan-bayangan itu seolah bertambah. Tak lama kemudian, tak bisa diragukan lagi: tiga atau empat sosok tinggi gelap berdiri di lereng, memandang mereka. Begitu hitam, hingga tampak bagaikan lubang hitam dalam keremangan di belakang. Frodo merasa mendengar desis samar-samar, seperti napas beracun, dan ada hawa dingin yang menusuk tajam. Lalu sosok-sosok itu perlahan-lahan mendekat.
Kengerian melanda Pippin dan Merry, dan mereka tiarap ke tanah. Sam mengerut ke sisi Frodo. Frodo sama ngerinya dengan kawan-kawannya; ia gemetar, seakan-akan sangat kedinginan, tapi ketakutannya tertelan dalam suatu godaan mendadak untuk memasang Cincin-nya. Hasrat ini mencengkeramnya, dan ia tak bisa memikirkan hal lain. Ia tidak lupa Barrow, juga tidak lupa pesan Gandalf; tapi seolah ada yang mendorongnya untuk tidak mengacuhkan semua peringatan, dan ia sangat ingin menyerah. Bukan karena berharap bisa melarikan diri, atau melakukan sesuatu, baik ataupun buruk: ia hanya merasa harus mengambil Cincin itu dan memasangnya di jarinya. Ia tak mampu berbicara. Ia merasa Sam memandangnya, seolah tahu bahwa majikannya sedang dalam kesulitan besar, tapi Frodo tak bisa menoleh kepadanya. Ia memejamkan mata dan berjuang untuk beberapa saat; tapi kemudian ia tak tahan lagi. Akhirnya perlahan-lahan ia mengeluarkan rantainya, dan menyelipkan Cincin itu di jari telunjuk tangan kirinya.
Dalam sekejap, meski semua yang lain tetap seperti sebelumnya, remang-remang dan gelap, sosok-sosok itu menjadi jelas sekali. Ia mampu melihat menembus selubung hitam mereka. Ada lima sosok tinggi: dua berdiri di bibir lembah, tiga maju mendekat. Pada wajah putih mereka menyala mata yang tajam dan tidak kenal kasihan; di bawah mantel mereka ada jubah kelabu panjang; di atas rambut mereka yang kelabu ada topi baja dari perak; di tangan mereka yang kurus kering ada pedang baja. Mata mereka menemukan dirinya dan menusuknya, saat mereka lari mendekati. Dengan nekat ia menghunus pedangnya. Pedang itu menyala merah, seperti sebatang puntung berapi. Dua dari sosok itu berhenti. Yang ketiga lebih tinggi daripada yang lain: rambutnya panjang mengilat, dan di atas topi bajanya ada mahkota. Di satu tangan ia memegang pedang panjang, dan di tangan lainnya sebilah pisau; pisau dan tangan yang memegangnya sama-sama bersinar dengan cahaya pucat. Ia melompat maju dan menghantam Frodo.
Tepat pada saat itu Frodo melemparkan diri ke depan, ke atas tanah, dan ia mendengar dirinya sendiri berteriak nyaring, Oh Elbereth! Gilthoniel! Pada saat yang sama ia memukul kaki musuhnya. Teriakan nyaring terdengar di malam kelam, dan Frodo merasa perih, seakan-akan sebatang anak panah dari es beracun menembus pundak kirinya. Ketika pingsan, ia menangkap sekilas-seolah melalui kabut yang berputar-putar-sosok Strider meloncat keluar dari kegelapan dengan tongkat kayu menyala di kedua tangannya. Dengan upaya terakhir, sambil menjatuhkan pedangnya, Frodo melepaskan Cincin di jarinya dan menggenggamnya erat-erat dalam kepalan tangannya.
Buku 1 Bab 12
PELARIAN KE FORD
Ketika Frodo sadar kembali, ia masih mencengkeram Cincin itu dengan erat. Ia berbaring dekat api, yang sekarang sudah ditumpuk tinggi dan menyala terang sekali. Ketiga kawannya membungkuk di atasnya.
"Apa yang terjadi? Di mana raja pucat itu?" tanya Frodo liar.
Sesaat mereka terlalu gembira mendengar ia berbicara, sehingga tidak langsung menjawabnya; lagi pula, mereka tidak memahami pertanyaannya. Akhirnya ia tahu dari Sam bahwa mereka tidak melihat apa pun, kecuali bentuk-bentuk samar-samar dan gelap yang datang ke arah mereka. Mendadak dengan ngeri Sam menyadari majikannya sudah hilang; pada scat itu sebuah bayangan hitam berlari melewatinya, dan ia jatuh. Ia mendengar suara Frodo, tapi seakan-akan datang dari jauh sekali, atau dari bawah tanah, meneriakkan kata-kata aneh. Mereka tidak melihat apa pun lagi, sampai mereka tersandung tubuh Frodo yang berbaring seperti mati, wajah tertelungkup di atas rumput, dengan pedangnya di bawahnya. Strider menyuruh mereka mengangkatnya dan membaringkannya di dekat api, lalu ia menghilang. Sekarang semua itu sudah cukup lama berlalu.
Sam jelas sudah mulai meragukan Strider lagi; tapi sementara mereka berbicara, Strider kembali, muncul tiba-tiba dari kegelapan. Mereka bergerak kaget, dan Sam menghunus pedangnya, sambil berdiri di atas Frodo; tapi Strider dengan cepat berjongkok di sisinya.
"Aku bukan Penunggang Hitam, Sam," katanya lembut, " juga tidak bersekongkol dengan mereka. Aku tadi berupaya mencari tahu tentang gerakan mereka; tapi aku tidak menemukan apa pun. Aku tidak mengerti, mengapa mereka pergi dan tidak menyerang lagi. Tapi sekarang tidak ada perasaan tentang kehadiran mereka di mana pun."
Setelah mendengar cerita Frodo, Strider menjadi sangat khawatir. Ia menggelengkan kepala dan mengeluh, lalu menyuruh Pippin dan Merry memanaskan sebanyak mungkin air yang bisa mereka tampung dalam ceret kecil mereka, dan membasuh luka Frodo dengan itu. “Jaga agar api tetap bagus, dan usahakan Frodo tetap hangat!" katanya. Lalu ia bangkit dan berjalan menjauh, memanggil Sam. "Rasanya sekarang aku lebih memahami hal ini," katanya dengan suara rendah. "Kelihatannya hanya ada lima orang di pihak musuh. Mengapa mereka tidak semua di sini, aku tidak tahu; tapi kurasa mereka tak menduga akan mendapat perlawanan. Mereka mundur untuk sementara. Tapi tidak jauh. Mereka akan kembali lain kali, kalau kita tak bisa lari. Mereka hanya menunggu, karena mengira tujuan mereka sudah hampir tercapai, dan bahwa Cincin itu tak bisa terbang lebih jauh lagi. Aku cemas mereka mengira majikanmu sudah mendapat luka mematikan, yang akan membuatnya menyerah menuruti kemauan mereka. Kita lihat saja!"
Sam tercekik menahan tangis. "Jangan putus asa!" kata Strider. "Kau harus mempercayai aku sekarang. Frodo-mu ternyata lebih tangguh daripada yang kuduga, meski Gandalf sudah memperkirakan hal itu. Dia tidak tewas, dan kurasa dia akan sanggup melawan kekuatan jahat dari lukanya, lebih lama daripada yang diharapkan musuh-musuhnya. Aku akan berusaha sebisaku untuk membantu dan menyembuhkannya. Jagalah dia baik-baik, sementara aku pergi!" Strider bergegas pergi dan lenyap kembali ditelan kegelapan.
Frodo tertidur sebentar, meski rasa pedih dari lukanya lambat lawn semakin berat, dan rasa dingin yang mematikan menyebar dari pundaknya ke tangan dan sisi tubuhnya. Kawan-kawannya menjaganya, menghangatkannya, dan membasuh lukanya. Malam berlalu perlahan dan melelahkan. Fajar mulai merebak di langit, dan lembah kecil itu mulai dipenuhi cahaya kelabu, ketika Strider akhirnya kembali.
"Lihat!" teriak Strider; sambil membungkuk ia memungut sebuah jubah hitam yang tergeletak di tanah, tersembunyi kegelapan. Satu kaki di atas kelimannya ada sayatan. "Ini bekas sapuan pedang Frodo," katanya. "Aku khawatir ini satu-satunya cedera yang diderita musuh; karena dia tak bisa terluka, dan semua mata pisau yang menusuk Raja mengerikan itu pasti hancur. Yang lebih mematikan untuknya adalah nama Elbereth."
"Dan lebih mematikan untuk Frodo adalah ini!" ia membungkuk lagi dan mengangkat sebuah pisau panjang tipis. Ada kilauan dingin di dalamnya. Saat Strider mengangkatnya di bawah cahaya yang semakin terang, mereka memandang keheranan, karena mata pisau itu tampaknya melebur dan lenyap seperti asap di udara, meninggalkan pangkalnya di tangan Strider. "Aduh!" teriaknya. "Inilah pisau terkutuk yang menimbulkan luka ini. Pada masa sekarang, hanya sedikit orang yang punya keahlian menyembuhkan, untuk menandingi senjata jahat seperti itu. Tapi aku akan berusaha semampuku."
Strider duduk di tanah, mengambil pangkal pisau itu dan meletakkannya di lututnya, sambil menyanyikan lagu lambat dalam bahasa asing. Lalu ia menyisihkan pisau itu dan berbicara dengan nada lembut kepada Frodo, dengan kata-kata yang tak bisa ditangkap oleh yang lain. Dari tas pinggangnya ia mengeluarkan beberapa helai daun panjang.
"Daun-daun ini," katanya, "sudah kucari jauh sekali; karena tanaman ini tidak tumbuh di bukit-bukit gersang, melainkan di semak-semak jauh di selatan Jalan. Aku menemukannya dalam kegelapan, dengan mencium bau daunnya." ia menghancurkan satu dengan jarinya, dan daun itu mengeluarkan ban manis dan pedas. "Untung aku bisa menemukannya, sebab inilah tanaman penyembuh yang dibawa Manusia dari Barat ke Dunia Tengah. Mereka menamakannya athelas, sekarang jarang tumbuh dan hanya ada di tempat-tempat mereka pernah tinggal atau berkemah di masa lalu; daun ini tidak dikenal di Utara, kecuali oleh beberapa pengembara di Belantara. Daun ini punya banyak manfaat bagus, tapi untuk luka semacam ini mungkin kekuatan penyembuhannya tidak seberapa."
Ia melemparkan daun-daun itu ke dalam air mendidih dan membasuh bahu Frodo. Wangi uapnya sangat menyegarkan, dan mereka yang tidak terluka merasa pikiran mereka menjadi tenang dan jernih. Tanaman itu juga berpengaruh terhadap luka Frodo, sebab Frodo merasa kepedihan dan rasa dingin membeku di sisi tubuhnya agak berkurang; tapi tangannya masih tetap mati rasa, dan ia tak bisa mengangkat atau menggunakannya. Dengan getir ia menyesali kebodohannya, dan mengomeli dirinya sendiri karena kelemahannya; sekarang ia sadar bahwa dengan memakai Cincin itu ia bukan mengikuti hasratnya sendiri, melainkan mengikuti kemauan Musuh yang menguasainya. Ia bertanya dalam hati, apakah ia akan selamanya cacat, dan bagaimana mereka akan berhasil meneruskan perjalanan. Ia merasa terlalu lemah untuk berdiri.
Yang lainnya juga sedang membahas pertanyaan tersebut. Mereka mengambil keputusan cepat untuk meninggalkan Weathertop sesegera mungkin. "Kurasa musuh sudah mengawasi tempat ini sejak lama,” kata Strider. "Kalau Gandalf pernah ke sini, maka dia terpaksa menyingkir dan tidak akan kembali. Bagaimanapun, kita akan berada dalam bahaya besar di sini setelah gelap, sejak penyerangan semalam. Kalaupun kita pergi, hampir tak mungkin kita bertemu bahaya yang lebih besar."
Begitu hari terang, mereka makan tergesa-gesa dan berkemas. Frodo tak mampu berjalan, maka mereka membagi bagian terbesar bawaan mereka di antara mereka berempat, dan menempatkan Frodo di alas kuda. Dalam beberapa hari terakhir, hewan malang itu sudah banyak mengalami kemajuan; ia bahkan sudah kelihatan lebih gemuk dan kuat, dan mulai menunjukkan rasa sayang kepada majikan-majikannya yang baru, terutama Sam. Pasti perlakuan Bill Ferny kepadanya buruk sekali, sampai-sampai perjalanan di hutan malah terasa jauh lebih baik daripada kehidupannya yang lama.
Mereka berangkat ke arah selatan. Ini berarti harus menyeberangi Jalan, tapi itulah rute tercepat untuk sampai ke wilayah yang lebih banyak hutannya. Dan mereka butuh makanan; karena Strider mengatakan Frodo harus tetap hangat, terutama di malam hari, sementara api bisa memberikan perlindungan bagi mereka semua. Strider juga berniat memperpendek perjalanan mereka dengan memotong satu lagi lengkungan besar Jalan; ke arah timur melewati Weathertop, jalan itu berubah haluan dan membelok lebar ke arah utara.
Mereka berjalan perlahan dan hati-hati mengitari lereng bukit sebelah barat daya, dan setelah beberapa saat mereka sampai ke pinggir jalan. Tak ada tanda-tanda adanya para Penunggang. Tapi sementara bergegas menyeberangi Jalan, mereka mendengar dua teriakan di kejauhan: sebuah suara dingin memanggil dan suara dingin lain menjawab. Dengan gemetar mereka melompat dan berlari ke belukar yang ada di depan. Tanah di depan mereka melandai ke selatan, tapi liar dan tak ada jejak jalan: semak-semak dan pohon-pohon kerdil tumbuh dalam kerumunan rapat, dengan banyak tempat kosong di antaranya. Rumput jarang sekali, kasar dan kelabu; dan dedaunan di semak-semak sudah pudar dan rontok. Suatu wilayah yang tidak menyenangkan. Mereka hanya berbicara sedikit, sambil berjalan susah payah. Frodo sangat sedih ketika melihat mereka berjalan dengan kepala tertunduk dan Punggung bungkuk dibebani bawaan. Bahkan Strider tampak letih dan tidak bersemangat.
Sebelum perjalanan hari pertama selesai, rasa sakit Frodo semakin bertambah, tapi ia tidak mengungkapkannya untuk waktu lama. Empat hari berlalu, tanpa banyak perubahan pada tanah ataupun pemandangan, kecuali bahwa di belakang mereka Weathertop tenggelam perlahan-lahan, dan di depan mereka pegunungan di kejauhan semakin dekat. Namun sejak bunyi teriakan tadi, mereka tidak melihat atau mendengar tanda bahwa musuh sudah mengetahui pelarian mereka atau mengejar mereka. Mereka merasa takut pada saat-saat gelap, dan bergantian berjaga berpasangan di malam hari, setiap saat mengira akan melihat sosok-sosok hitam mengikuti mereka di malam kelabu, disinari samar-samar oleh bulan yang terselubung awan; tapi mereka tidak melihat apa pun, tidak mendengar suara kecuali desiran daun dan rumput layu. Tak sekali pun mereka merasakan kehadiran kejahatan yang menyerang mereka sebelum penyerbuan di lembah. Rasanya terlalu berlebihan untuk berharap bahwa para Penunggang itu sudah kehilangan jejak mereka lagi. Mungkin mereka sedang menunggu untuk menghadang di suatu tempat sempit?
Pada akhir hari kelima, tanah sekali lagi mulai menanjak landai, keluar dari lembah lebar yang telah mereka turuni. Strider sekarang memutar arah mereka ke timur laut lagi, dan pada hari keenam mereka sampai di puncak sebuah lereng yang mendaki panjang, dan melihat di kejauhan sekelompok bukit berhutan. Jauh di bawah mereka terlihat Jalan menyapu melingkari kaki bukit-bukit itu; dan di sebelah kanan mereka, sebuah sungai kelabu berkilau pucat di bawah sinar matahari yang tipis. Di kejauhan mereka melihat sungai lain lagi, di lembah berbatu yang setengah terselubung kabut.
"Aku khawatir kita terpaksa kembali ke Jalan untuk beberapa waktu," kata Strider. "Sekarang kita sudah sampai di Sungai Hoarwell, yang oleh bangsa Peri disebut Mitheithel. Sungai ini mengalir keluar dari Ettenmoors, dataran tinggi berbatu tempat bangsa troll di sebelah utara Rivendell, dan bergabung dengan Loudwater di Selatan. Beberapa orang menyebutnya Greyflood setelah itu. Sungainya besar sekali sebelum bermuara di Laut. Tak ada jalan melintasi sumbernya di Ettenmoors, kecuali melewati Jembatan Terakhir yang dilintasi Jalan."
"Sungai apa itu yang jauh di sana?" tanya Merry.
"Itu Loudwater, Bruinen dari Rivendell," jawab Strider. "Jalan menyusuri pinggiran bukit, sepanjang beberapa mil dari Jembatan, sampai ke Ford di Bruinen. Tapi aku belum memikirkan bagaimana kita akan menyeberangi sungai itu. Satu per satu sajalah! Kita akan beruntung kalau tidak ada rintangan menghadang di Jembatan Terakhir."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, mereka turun lagi ke pinggir Jalan. Sam dan Strider berjalan di muka, tapi tidak menemukan tanda-tanda pelancong ataupun penunggang kuda. Di sini, di bawah bayangan pepohonan, hujan sudah turun beberapa waktu yang lalu. Strider memperkirakan hujan itu jatuh dua hari yang lalu, dan sudah menghilangkan semua jejak kaki. Tidak ada penunggang kuda yang lewat, sejauh ia bisa melihat.
Mereka bergegas secepat mungkin, dan setelah satu-dua mil mereka melihat Jembatan Terakhir di depan, pada dasar lereng pendek yang curam. Mereka takut akan melihat sosok-sosok hitam menunggu di sana, tapi ternyata tidak ada satu pun. Strider menyuruh mereka bersembunyi di dalam belukar di sisi Jalan, sementara ia main untuk menyelidiki.
Tak berapa lama kemudian, ia bergegas kembali. "Aku tidak melihat tanda-tanda ada musuh," katanya, "dan aku sangat ingin tahu apa artinya itu. Tapi aku menemukan sesuatu yang sangat aneh."
Ia mengulurkan tangannya, dan menunjukkan sebutir permata hijau pucat. "Aku menemukannya di dalam lumpur di tengah Jembatan," katanya. "Ini beryl, batu permata Peri. Apakah memang diletakkan di sana, atau jatuh tanpa sengaja, aku tidak tahu; tapi ini memberiku harapan. Aku akan menganggapnya tanda bahwa kita boleh melewati Jembatan; tapi di luar itu aku tidak berani tetap berjalan di Jalan, tanpa suatu tanda yang lebih jelas."
Segera mereka berjalan lagi. Mereka menyeberangi Jembatan dengan selamat, tidak mendengar bunyi apa pun kecuali bunyi air berputar-putar menabrak ketiga lengkungan jembatan itu. Satu mil dari sana mereka menjumpai sebuah jurang yang menjulur ke arah utara, melewati tanah terjal di sebelah kiri Jalan. Di sini Strider membelok, dan segera mereka hilang di tengah negeri suram dengan pohon-pohon gelap berbelok-belok melalui kaki perbukitan yang cemberut.
Para hobbit senang meninggalkan negeri yang muram dan Jalan yang berbahaya di belakang mereka; tapi negeri baru ini malah tampak mengancam dan tidak ramah. Saat mereka maju, bukit-bukit di sekitar mereka semakin tinggi. Di sana-sini, di atas dataran tinggi dan punggung bukit, mereka menangkap sekilas pemandangan tembok-tembok batu kuno dan puing-puing menara: mereka tampak mengancam. Frodo, yang tidak berjalan kaki, mempunyai waktu untuk memandang ke depan dan berpikir. Ia ingat cerita Bilbo tentang perjalanannya dan menara-menara mengancam di perbukitan sebelah utara Jalan, di negeri dekat hutan Troll, di mana ia mengalami petualangan seriusnya yang pertama. Frodo menduga sekarang mereka berada di wilayah yang sama, dan ia bertanya dalam hati, apakah mungkin mereka akan lewat di dekat tempat yang sama.
"Siapa yang tinggal di negeri ini?" tanya Frodo. "Dan siapa yang membangun menara-menara ini? Apakah ini negeri troll?"
"Bukan!" kata Strider. "Troll tidak membangun. Tidak ada yang hidup di negeri ini. Manusia pernah tinggal di sini, berabad-abad yang lalu; tapi sekarang tidak ada lagi. Mereka menjadi bangsa jahat, menurut dongeng-dongeng, karena mereka jatuh di bawah bayangan Angmar. Tapi semua musnah dalam perang yang membawa Kerajaan Utara ke kehancurannya. Tapi itu sudah begitu lama berlalu, hingga bukit-bukit pun sudah melupakan mereka, meski bayangan gelap masih menggantung di atas negeri ini."
"Di mana kau belajar kisah-kisah seperti itu, kalau semua negeri kosong dan pelupa?" tanya Peregrin. "Burung-burung dan hewan tidak menceritakan kisah-kisah semacam itu."
"Pewaris-pewaris Elendil tidak lupa semua kejadian di masa lalu," kata Strider, "dan banyak lagi hal yang bisa kuceritakan masih diingat di Rivendell."
"Seringkah kau ke Rivendell?" tanya Frodo.
"Sering," kata Strider. "Aku pernah tinggal di sana, dan aku masih kembali ke sana kalau bisa. Hatiku ada di sana; tapi bukan takdirku untuk duduk diam, meski di rumah indah milik Elrond."
Sekarang mereka mulai dikurung perbukitan. Jalan di belakang mereka masih tetap menuju Sungai Bruinen, tapi keduanya sekarang tertutup dari pandangan. Para pelancong itu masuk ke sebuah lembah panjang; sempit, dengan belahan dalam, gelap, dan sepi. Pohon-pohon dengan akar-akar tua dan terpelintir menggantung di atas batu karang, dan menumpuk di belakang menjadi lereng hutan cemara yang mendaki.
Para hobbit mulai kelelahan. Mereka maju sangat lambat, karena terpaksa memilih, jalan melalui' pedalaman, dibebani pohon-pohon tumbang dan batu-batu yang terguling. Selama mungkin mereka menghindari mendaki, demi Frodo, dan karena memang sulit untuk mencari jalan naik keluar dari lembah-lembah sempit itu. Mereka sudah dua hari berada di negeri itu ketika cuaca menjadi basah. Angin mulai berembus terus dari Barat, mencurahkan air dari lautan jauh ke atas kepala-kepala bukit yang gelap, dalam hujan rintik-rintik yang membuat basah kuyup. Di malam hari mereka semua basah kuyup, dan mereka bermalam dengan muram, karena tidak berhasil menyalakan api. Hari berikutnya perbukitan semakin tinggi dan lebih terjal di depan mereka, dan mereka terpaksa berbalik ke utara, keluar dari jalur arah semula. Strider rupanya mulai cemas: mereka sudah hampir sepuluh hari keluar dari Weathertop, dan persediaan makanan sudah sangat menipis. Hujan terus turun.
Malam itu mereka bermalam di suatu dataran berbatu, dengan tembok batu karang di belakang, di mana ada sebuah gua pendek, hanya semacam cekungan di dalam batu karang. Frodo resah. Hawa dingin dan basah membuat lukanya semakin pedih, rasa sakit dan dingin yang mematikan menghilangkan kantuk. Ia berbaring gelisah, can mendengarkan bunyi-bunyi malam dengan perasaan takut: angin di celah-celah pecahan batu karang, air menetes, keriutan, bunyi geletar jatuh batu yang tiba-tiba terlepas. Ia merasa ada sosok-sosok hitam mendekat untuk mencekiknya, tapi ketika ia bangkit duduk, ia tidak melihat apa pun kecuali punggung Strider yang duduk meringkuk, mengisap pipanya, dan berjaga. Ia berbaring lagi dan bermimpi buruk, di mana ia berjalan di halaman rumput kebunnya di Shire, tapi halaman itu kelihatan kabur dan samar-samar, kurang jelas dibanding dengan bayangan-bayangan tinggi hitam yang berdiri memandang dari atas pagar.
Di pagi hari ia terbangun, dan menyadari hujan sudah berhenti. Awan-awan masih tebal, tapi sudah pecah, dan serpihan-serpihan biru muncul di antaranya. Angin berubah arah lagi. Mereka tidak berangkat pagi-pagi. Segera sesudah sarapan yang dingin dan tidak enak, Strider pergi sendirian, menyuruh yang lain tetap di bawah perlindungan sebuah batu karang, sampai ia kembali. Ia akan mendaki, kalau bisa, dan mempelajari letak tanah.
Ketika kembali, ia tidak membawa berita gembira. "Kita sudah terlalu jauh ke utara," katanya, "dan kita harus menemukan cara untuk balik arah ke selatan lagi. Kalau tetap pada arah sekarang ini, kita akan sampai di Ettendales, jauh di utara Rivendell. Itu negeri troll, dan tidak begitu kukenal. Mungkin kita bisa mencari jalan untuk lewat dan sampai di Rivendell dari utara; tapi itu akan makan waktu terlalu lama, karena aku tidak tahu jalannya, dan makanan kita tidak akan cukup. Jadi, bagaimanapun kita harus menemukan Ford Bruinen."
Sisa hari itu mereka habiskan dengan merangkak di tanah berbatu. Mereka menemukan jalan di antara dua bukit yang membawa mereka kt sebuah lembah yang menjulur ke tenggara, arah yang mereka ingin ambil; tetapi, menjelang penghujung hari, jalan mereka dihadang punggung dataran tinggi; pinggirannya yang gelap, pada latar belakang langit, terpecah ke dalam banyak ujung, seperti gigi-gigi gergaji tumpul. Hanya ada dua pilihan: balik arah atau mendakinya.
Mereka memutuskan mencoba mendakinya, tapi ternyata sangat sulit. Tak lama kemudian, Frodo terpaksa turun dari kuda dan berjuang dengan berjalan kaki. Meski begitu, mereka putus asa menaikkan kuda mereka, atau bahkan mencari jalan untuk mereka sendiri, dengan dibebani begitu banyak barang. Cahaya hampir hilang, dan mereka semua kelelahan, ketika akhirnya mereka mencapai puncak. Mereka naik ke atas sebuah pelana sempit di antara dua puncak yang lebih tinggi, dan tanah turun lagi dengan curam, sedikit lebih jauh dari sana. Frodo melemparkan tubuhnya ke tanah, dan berbaring menggigil di sana. Tangan kirinya lumpuh, sisi tubuh serta pundaknya serasa dicengkeram cakar sedingin es. Pohon-pohon dan batu-batu di sekitarnya terlihat kabur dan kelam.
"Kita tak bisa pergi lebih jauh lagi," kata Merry pada Strider. "Aku khawatir ini sudah terlalu berat untuk Frodo. Aku sangat cemas tentang dia. Apa yang harus kita lakukan? Menurutmu, apakah mereka akan bisa menyembuhkannya di Rivendell, kalau kita bisa sampai ke sana?"
"Kita lihat saja nanti," kata Strider. "Tak ada lagi yang bisa kulakukan di belantara; dan justru karena lukanya, aku sangat ingin terus maju. Tapi aku setuju, kita tak bisa berjalan lebih jauh lagi malam ini."
"Apa masalahnya dengan majikanku?" tanya Sam dengan suara rendah, memandang memohon pada Strider. "Lukanya kecil, dan sudah tertutup. Tidak ada yang kelihatan, kecuali bekas putih di pundaknya."
"Frodo sudah disentuh senjata Musuh," kata Strider, "dan ada semacam racun atau kekuatan jahat yang berada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Tapi jangan putus harapan, Sam!"
Malam di atas punggung bukit dingin sekali. Mereka menyalakan api kecil di bawah akar-akar kasar sebatang cemara yang menggantung di atas sebuah sumur dangkal; tampaknya seperti bekas tambang penggalian batu. Mereka duduk bersama. Angin bertiup dingin melewati celah, dan mereka mendengar puncak-puncak pepohonan di bawah mengerang dan mengeluh. Frodo berbaring setengah bermimpi, membayangkan sayap-sayap gelap yang tak henti-henti terbang melayang di atasnya, dan di atas sayap terbanglah para pengejar yang mencarinya di semua celah bukit
Pagi merekah cerah dan indah; udara bersih, tampak cahaya pucat dan jernih di langit yang sudah dibasuh hujan. Semangat mereka bangkit, tapi mereka mendambakan matahari untuk menghangatkan anggota tubuh yang kedinginan. Setelah hari terang, Strider membawa Merry bersamanya dan pergi mempelajari tanah dari ketinggian, sampai sebelah timur celah. Matahari sudah terbit dan sudah bersinar terang ketika ia kembali dengan kabar yang lebih menggembirakan. Sekarang mereka sudah berjalan kurang-lebih ke arah yang benar. Kalau mereka meneruskan perjalanan, menuruni sisi sebelah sana punggung bukit, Pegunungan akan berada di sebelah kiri mereka. Tak jauh di depan, Strider sudah melihat sekilas Loudwater lagi, dan ia tahu bahwa, meski tersembunyi dari pandangan, Jalan ke arah Ford tidak jauh dari Sungai dan terletak pada sisi yang paling dekat dengan mereka.
"Kita harus pergi ke Jalan lagi," kata Strider. "Kita tak bisa mengharapkan menemukan jalan melewati bukit-bukit ini. Bahaya apa pun yang ada di sana, Jalan itu adalah satu-satunya cara kita untuk sampai di Ford."
Selesai makan, mereka langsung berangkat. Perlahan mereka menuruni sebelah selatan punggung bukit: tapi jalan itu jauh lebih mudah daripada yang mereka duga, karena lerengnya tidak begitu terjal pada sisi ini, dan tak lama kemudian Frodo bisa menunggang kuda lagi. Kuda Bill Ferny yang malang ternyata punya bakat tak terduga untuk mencari jalan, dan untuk sebisa mungkin menghindari penunggangnya terguncang-guncang. Semangat rombongan itu kembali meningkat. Bahkan Frodo merasa agak baikan dalam cahaya pagi, tapi sebentar-sebentar kabut seolah menghalangi pandangannya, dan ia menyeka matanya.
Pippin agak lebih di depan yang lainnya. Tiba-tiba ia menoleh dan memanggil mereka. "Ada jalan di sini!" teriaknya.
Ketika mereka berdiri sejajar dengannya, mereka melihat Pippin tidak salah: di sana dengan jelas ada awal sebuah jalan, yang mendaki berkelok-kelok keluar dari hutan di bawah, dan menghilang di atas puncak bukit di belakang. Di beberapa tempat ia agak kabur dan dipenuhi tanaman, atau sesak dengan batu-batu dan pohon-pohon tumbang, tapi tampaknya pernah ramai digunakan. Jalan itu sudah dibuat oleh tangan-tangan kuat dan kaki berat. Di sana-sini pohon-pohon lama sudah ditebang atau dipatahkan, dan batu-batu besar dibelah atau digulingkan ke pinggir untuk membuka jalan.
Mereka mengikuti jalan itu untuk beberapa saat, karena merupakan jalan termudah untuk turun, tapi mereka berjalan hati-hati, dan kecemasan mereka semakin bertambah ketika mereka masuk ke hutan yang gelap, dan jalan itu semakin jelas dan lebar. Mendadak jalan itu keluar dari segerombolan pohon cemara, menurun curam di sebuah lereng, dan membelok tajam ke kin', mengitari pojok sebuah punggung bukit berbatu. Ketika sampai ke pojok itu, mereka melayangkan pan_ dang ke sekeliling dan melihat bahwa jalan itu menjulur terus di tanah datar, di bawah sebuah karang rendah yang dipenuhi pohon. Di tembok bebatuan ada sebuah pintu yang menggantung miring terbuka pada satu engselnya.
Di luar pintu itu mereka semua berhenti. Ada sebuah gua atau liang batu karang di belakangnya, tapi dalam keremangan tak ada yang terlihat. Strider, Sam, dan Merry mendorong sekuat tenaga, dan berhasil membuka pintu lebih lebar, lalu Strider dan Merry masuk. Mereka tidak pergi jauh, karena di lantai bertebaran banyak tulang-belulang, dan tidak ada yang terlihat dekat pintu masuk, kecuali beberapa guci kosong dan pot-pot pecah.
"Pasti ini gua troll, kalau itu memang ada!" kata Pippin. "Keluar, kalian berdua, dan mari kita pergi. Sekarang kita tahu siapa yang membuat jalan ini, dan sebaiknya kita secepatnya keluar dari sini."
"Tak perlu, kukira," kata Strider, yang keluar dari gua. "Memang ini sebuah lubang troll, tapi kelihatannya sudah lama ditinggalkan. Kurasa kita tak perlu takut. Tapi kita harus turun terus dengan hati-hati, dan nanti kita lihat saja."
Jalan itu berlanjut lagi dan pintu, dan membelok ke kanan lagi, melintasi tanah datar, terjun menuruni lereng yang berhutan rapat. Pippin, yang tidak mau menunjukkan pada Strider bahwa ia masih takut, berjalan di depan dengan Merry. Sam dan Strider di belakang mereka, mengapit kuda Frodo, karena jalan itu tidak cukup lebar untuk empat atau lima hobbit berjalan satu baris. Mereka belum berjalan jauh ketika Pippin datang berlari, disusul Merry. Mereka berdua tampak ketakutan.
"Ada troll!" Pippin berkata terengah-engah. "Di bawah, di tempat terbuka di hutan, tidak jauh dari sini. Kami melihatnya dari antara batang-batang pohon. Mereka besar sekali!"
"Kita akan pergi melihat mereka," kata Strider sambil memungut sebuah tongkat. Frodo tidak mengatakan apa-apa, tapi Sam kelihatan takut.
Matahari sekarang sudah tinggi, dan bersinar melalui ranting-ranting pohon yang sudah setengah gundul, menyinari tempat terbuka itu dengan bercak-bercak cahaya terang. Mereka berhenti tiba-tiba di pinggiran, dan mengintip melalui batang-batang pohon, sambil menahan napas. Di sana berdiri troll-troll: tiga troll besar. Satu membungkuk, dan dua yang lain berdiri memandangnya.
Strider berjalan maju dengan tak acuh. "Bangun, batu kuno!" katanya, dan ia mematahkan tongkatnya ke alas troll yang membungkuk.
Tidak terjadi apa-apa. Para hobbit terenyak kaget, lalu Frodo tertawa. "Well!" katanya. "Rupanya kita lupa sejarah keluarga kita! Ini pasti ketiga troll yang ditangkap Gandalf ketika mereka sedang bertengkar tentang cara yang tepat untuk memasak tiga belas Kurcaci dan satu hobbit."
"Aku sama sekali tidak tahu kita sudah berada di dekat tempat itu!" kata Pippin. Ia kenal betul kisah itu. Bilbo dan Frodo sudah cukup sering menceritakannya; tapi sebenarnya ia hanya setengah percaya. Bahkan sekarang ia memandang troll-troll dan batu itu dengan penuh curiga, bertanya-tanya apakah karena sihir mereka jangan-jangan hidup lagi.
"Kalian bukan hanya lupa sejarah keluarga kalian, tapi semua yang pernah kalian ketahui tentang troll," kata Strider. "Saat ini tengah hari, dan matahari bersinar cerah, tapi kalian mencoba menakut-nakutiku dengan cerita ada troll hidup menunggu kita di tempat terbuka ini! Pasti kalian sudah melihat, pada salah satu dan mereka ada sarang burung lama di belakang telinganya. Itu perhiasan yang sangat tidak lazim untuk troll hidup!"
Mereka semua tertawa. Frodo merasa semangatnya bangkit lagi: ingatan akan petualangan sukses Bilbo yang pertama sangat membesarkan hati. Matahari juga terasa hangat menghibur, dan kabut di depan matanya tampak agak tersingkap. Mereka beristirahat sejenak di tempat terbuka itu, dan makan siang di bawah bayangan kaki troll yang besar.
"Adakah yang mau menyanyi untuk kita, sementara matahari masih tinggi?" kata Merry ketika mereka selesai. "Sudah berhari-hari kita tidak mendengar lagu atau cerita."
"Tidak sejak Weathertop," kata Frodo. Yang lain memandangnya. Jangan khawatir tentang aku!" tambahnya. "Aku merasa jauh lebih baik, tapi rasanya aku tak bisa menyanyi. Mungkin Sam bisa menggali sesuatu dari ingatannya."
"Ayo, Sam!" kata Merry. "Kau punya banyak materi di dalam kepalamu, melebihi yang kauperlihatkan."
"Entah ya," kata Sam. "Tapi bagaimana kalau yang ini? Ini bukan puisi betulan, kalau kau paham: hanya sedikit omong kosong. Tap, patung-patung kuno ini mengingatkanku pada ini." Sambil berdiri, dengan tangan di belakang punggung, seolah berada di sekolah, ia mulai menyanyikan lagu lama.
Troll duduk sendirian di kursi batu,
Menggigit dan mengunyah tulang kaku;
Bertahun-tahun sudah menggigit tanpa lelah,
Karena daging susah didapat.
Babat! Rapat!
Troll tinggal sendirian di gua bukit batu,
Dan daging susah didapat.
Datang Tom bersepatu bot besar.
Katanya kepada Troll: "Maaf, apa yang kaukunyah itu?
Kok seperti tulang kering pamanku Tim,
Yang mestinya berbaring di kuburan.
Pelataran! Halaman!
Sudah lama pamanku mati,
Dan kukira dia di dalam kuburan."
"Anakku, " kata Troll, "tulang ini aku curi.
Tapi tulang dalam lubang tentu tak berarti.
Pamanmu sudah kaku seperti bongkah batu,
Sebelum aku menemukan tulangnya.
Tulangnya! Belulangnya!
Dia bisa kasih satu pada troll tua malang ini,
Karena dia tidak butuh tulang keringnya."
Kata Tom, "Aku tidak paham, kenapa yang semacam kau ini
Mengambil seenaknya, tanpa permisi
Tulang kering sanak ayahku;
Tulang tua itu, kembalikan!
Pakan! Lakan!
Tulang itu miliknya, meski dia sudah mati;
Jadi tulang itu kembalikan!"
“Supaya lebih kenyang," kata Troll sambil tertawa,
"kumakan kau sekalian, berikut tulang keringmu juga.
Sedikit daging sebag bisa membuatku bugar!
Kucoba gigiku padamu sekarang.
Ha sekarang! Lihat sekarang!
Aku jemu mengunyah tulang dan kulit lama;
Aku ingin makan kau sekarang."
Mangsa sudah tertangkap, begitu dikiranya,
Ternyata hanya angin dalam, genggamannya.
Sebelum ia sadar, Tom sudah menghindar
Dengan sepatu bot menendangnya.
Tendang dia! Kemplang dia!
Pikir Tom, tendangkan sepatu bot di pantatnya,
Biar dia tahu rasa.
Tapi... aduh, kerasnya daging dan tulang troll itu,
Lebih keras daripada bukit batu.
Ditendang berkali-kali, tidak berarti sama sekali,
Pantat troll tidak merasa apa-apa.
K'rasa apa! B'rasa apa!
Mendengar Tom mengerang, Troll tua merasa sangat lucu
Kar'na ia tahu, kaki Toni sakit luar biasa.
Kaki Tom kalah, dia pun pulanglah,
Dan kakinya tanpa bot lumpuh sudah;
Tapi Troll tak peduli, dan masih duduk sendiri,
Dengan tulang yang dicuri dari pemiliknya.
Biliknya! Ciliknya!
Pantat Troll masih sama,
Dan tulang yang dicuri dari pemiliknya!
"Wah, itu peringatan untuk kita semua!" tawa Merry. "Untung kau menggunakan tongkat, dan bukan tanganmu, Strider!"
"Di mana kaudengar itu, Sam?" tanya Pippin. "Aku belum pernah dengar kata-kata itu."
Sam bergumam tidak jelas. "Itu keluar dari kepalanya sendiri, tentu," kata Frodo. "Aku belajar banyak tentang Sam Gamgee dalam perjalanan ini. Mula-mula dia bersekongkol, sekarang dia melawak. Nanti dia akan menjadi tukang sihir... atau pejuang!"
"Kuharap tidak," kata Sam. "Aku tidak ingin menjadi salah satu!"
Di siang hari, mereka berjalan terus ke hutan. Mungkin mereka menapak tilas jalan yang dipakai bertahun-tahun lalu oleh Gandalf, Bilbo, dan para Kurcaci. Setelah beberapa mil, mereka keluar di puncak tebing tinggi di atas Jalan. Pada titik ini, Jalan sudah meninggalkan Hoarwell jauh di belakang, di lembahnya yang sempit, dan sekarang menempel dekat ke kaki bukit, menjulur dan berbelok-belok ke arah timur di antara pohon-pohon dan lereng tertutup tanaman heather yang menurun ke arah Ford dan Pegunungan. Tak jauh dari tebing, Strider menunjuk sebuah batu di tengah rumput. Di atasnya bisa terlihat lambang-lambang rune para Kurcaci dan tanda-tanda rahasia, tergores kasar dan sudah termakan cuaca.
"Lihat!" kata Merry. "Itu pasti batu yang menandai tempat emas para troll disembunyikan. Berapa sisa bagian Bilbo, Frodo?"
Frodo memandang batu itu, dan berharap Bilbo dulu tidak membawa pulang harta yang lebih berbahaya dan sulit dilepaskan. "Tidak ada yang tersisa," kata Frodo. "Bilbo membagi-bagikan semuanya. Katanya dia merasa harta itu sebenamya bukan miliknya, karena datang dari para perampok."
Jalan itu sepi di bawah bayang-bayang panjang senja yang datang lebih awal. Tak ada tanda-tanda pelancong lain. Karena tidak ada arah -lain yang bisa diambil, mereka menuruni tebing dan membelok ke kiri, berjalan secepat mungkin. Dengan segera tampak sebuah punggung bukit, menghalangi cahaya matahari yang terbenam dengan cepat. Angin dingin mengalir ke bawah, menyambut mereka dari pegunungan di depan.
Mereka mulai mencari tempat bermalam di luar Jalan, namun mendadak terdengar bunyi yang membuat rasa takut kembali merayapi hati mereka: bunyi derap kaki kuda di belakang. Mereka menoleh, tapi tak bisa melihat jauh karena Jalan itu banyak membelok dan turun-naik. Secepat mungkin mereka merangkak keluar dari jalan dan masuk ke semak-semak heather dan belukar berry di lereng-lereng di atas, sampai tiba di sebuah kerumunan hazel yang tumbuh lebat. Saat mengintip ke luar dari semak-semak, mereka bisa melihat Jalan, samar-samar dan kelabu dalam cahaya yang sudah mulai suram, sekitar tiga puluh kaki di bawah sana. Bunyi derap kaki kuda semakin dekat. Derap langkahnya cepat, dengan bunyi klipeti-klipeti-klip ringan. Lalu samar-samar, seolah menjauh terembus angin, mereka mendengar dering redup, seperti bunyi bel-bel kecil berdenting.
"Kedengarannya bukan bunyi kuda Penunggang Hitam!" kata Frodo, mendengarkan dengan cermat. Hobbit-hobbit yang lain juga berharap demikian, tapi mereka masih curiga. Mereka sudah begitu lama hidup dalam ketakutan dikejar, sampai-sampai setiap bunyi dari belakang kedengaran mengancam dan tidak ramah. Tapi sekarang Strider mencondongkan badan ke depan, membungkuk ke tanah, dengan satu tangan di dekat telinga, dan pandangan gembira pada wajahnya.
Cahaya memudar, dan dedaunan di semak-semak bergemersik lembut. Bunyi bel-bel All jadi lebih jelas dan semakin dekat, dan klipeti-klip datanglah kaki-kaki yang cepat. Tiba'-tiba terlihat seekor kuda putih, mengilap dalam keremangan, berlari kencang. Dalam cahaya senja, tali kekangnya mengilat dan gemerlap, seolah bertaburan permata bintang-bintang yang hidup. Jubah penunggangnya berkibar-kibar di belakang, dan kerudungnya terbuka; rambutnya yang keemasan mengalun kemilau dalam angin kecepatannya. Frodo melihat seakan-akan ada cahaya putih yang bersinar dari dalam pakaian dan sosok penunggang itu, seolah menembus selubung tipis.
Strider melompat keluar dari persembunyian dan berlari kembali ke Jalan, melompat sambil berteriak melintasi semak-semak heather; tapi bahkan sebelum ia bergerak atau memanggil, penunggang itu sudah menghentikan kudanya dan berhenti, menengadah ke arah belukar tempat mereka berdiri. Ketika melihat Strider, ia turun dari kudanya dan berlari ke arahnya sambil berteriak, Ai na vedui Dunadan! Mae govannen! Bahasanya dan suaranya yang berdering jernih tidak menimbulkan keraguan lagi dalam hati mereka: penunggang itu dari bangsa Peri. Tak ada bangsa lain di dunia yang mempunyai suara yang begitu indah didengar. Tapi tampaknya ada nada ketergesaan atau ketakutan dalam teriakannya, dan sekarang mereka melihat ia berbicara cepat dan mendesak kepada Strider.
Segera Strider memanggil mereka, lalu para hobbit meninggalkan semak-semak dan bergegas turun ke Jalan. "Ini Glorfindel, yang tinggal di rumah Elrond," kata Strider.
"Salam, dan selamat bertemu akhirnya!" kata Pangeran Peri itu kepada Frodo. "Aku dikirim dari Rivendell untuk mencarimu. Kami khawatir kalian dalam bahaya di jalan."
"Kalau begitu, Gandalf sudah sampai di Rivendell?" seru Frodo gembira.
"Belum. Dia belum datang ketika aku berangkat, tapi itu sudah sembilan hari yang lalu," jawab Glorfindel. "Elrond menerima berita yang membuatnya cemas. Beberapa dari bangsaku, yang mengembara d" negerimu di luar Baranduin (Sungai Brandywine), mendengar bahwa ada masalah, dan segera mengirimkan pesan secepat mungkin. Kata mereka, Kaum Sembilan sudah di luar negeri mereka sendiri, dan bahwa kalian berkeliaran dengan membawa beban berat tanpa panduan, karena Gandalf belum kembali. Hanya sedikit di Rivendell yang bisa melawan Kaum Sembilan dengan terbuka; tapi yang ada, dikirim Elrond ke utara, barat, dan selatan. Sudah diperkirakan kalian akan mengambil jalan memutar jauh demi menghindari pengejaran, dan tersesat di belantara.
"Tugasku adalah mengambil Jalan ini, dan aku sampai di Jembatan Mitheithel, serta meninggalkan tanda di sana, kira-kira hampir tujuh hari yang lalu. Tiga anak buah Sauron ada di atas Jembatan itu, tapi mereka menarik diri dan aku mengejar mereka ke arah barat. Aku juga bertemu dua yang lain, tapi mereka berbalik arah ke selatan. Sejak itu aku mencari jejak kalian. Dua hari yang lalu aku menemukannya, dan mengikutinya melintasi Jembatan; hari ini aku mengamati di mana kalian turun lagi dari perbukitan. Tapi ayolah! Tidak ada waktu untuk berita lebih banyak. Karena kalian ada di sini, kita harus mengambil risiko bahaya di Jalan dan pergi. Ada lima di belakang kita, dan kalau mereka menemukan jejak kalian di Jalan, mereka akan menyusul kita bagai angin. Dan mereka belum semuanya. Di mana empat yang lain, aku tidak tahu. Aku khawatir Ford sudah diduduki untuk mencegat kita."
Sementara Glorfindel berbicara, kegelapan turun semakin dalam. Frodo merasa keletihan berat menyergapnya. Sejak matahari mulai terbenam, kabut di depan matanya semakin pekat, dan ia merasa ada bayang-bayang timbul di antara dirinya dan wajah kawan-kawannya. Sekarang rasa pedih menyerangnya, dan ia merasa dingin. Ia terhuyung, dan memegang tangan Sam.
"Majikanku sakit dan terluka," kata Sam marah. "ia tidak bisa meneruskan naik kuda setelah malam tiba. Dia butuh istirahat."
Glorfindel menangkap Frodo yang terkulai ke tanah, dan sambil mengangkatnya dengan lembut ke dalam pelukannya, ia memandang wajah Frodo dengan kecemasan mendalam.
Dengan singkat Strider menceritakan penyerangan terhadap kemah mereka di bawah Weathertop, dan tentang pisau mematikan itu. Ia mengeluarkan pangkalnya, yang disimpannya, dan memberikannya pada Peri itu. Glorfindel merinding saat mengambilnya, tapi ia memperhatikannya dengan saksama.
"Banyak hal jahat tertera di atas pangkal pisau ini," katanya "meski mungkin matamu tak bisa melihatnya. Simpanlah, Aragorn, sampai kita tiba di rumah Elrond! Tapi hati-hatilah, dan peganglah sesedikit mungkin! Aduh! Luka-luka akibat senjata ini ada di luar kemampuanku untuk menyembuhkan. Aku akan melakukan sebisaku, tapi kuminta kalian berjalan terus tanpa istirahat."
Ia menelusuri luka pada pundak Frodo dengan jemarinya, dan wajahnya semakin muram, seolah apa yang ditemukannya membuatnya resah. Tetapi rasa dingin di sisi tubuh dan lengan Frodo mulai berkurang; sedikit kehangatan merangkak turun dari pundak ke tangannya, dan rasa pedih itu jadi lebih ringan. Cahaya senja di sekitarnya seakan jadi agak terang, seolah sebuah awan sudah ditarik. Ia bisa melihat wajah kawan-kawannya lebih jelas, dan sedikit harapan baru serta kekuatan kembali kepadanya.
"Kau menunggang kudaku," kata Glorfindel. "Aku akan memendekkan sanggurdi sampai ke pinggir pelana, dan kau harus duduk sediam mungkin. Tapi kau tak perlu takut: kudaku tidak akan menjatuhkan penunggang yang kusuruh dibawanya. Langkahnya ringan dan lancar; dan kalau bahaya terlalu dekat, dia akan membawamu dengan kecepatan yang tak bisa ditandingi kuda-kuda hitam musuh."
"Tidak, tidak akan!" kata Frodo. "Aku tidak akan menunggangnya, kalau aku akan dibawa ke Rivendell atau ke tempat lain, meninggalkan teman-temanku dalam bahaya."
Glorfindel tersenyum. Katanya, "Menurutku teman-temanmu tidak akan berada dalam bahaya bila kau tidak bersama mereka! Kurasa para pengejar itu akan mengikutimu dan meninggalkan kami dengan tenteram. Kaulah sasaran mereka, Frodo. Kau dan apa yang kaubawa itu yang membawa kita semua ke dalam bahaya."
Frodo tak bisa menjawab, dan ia bisa dibujuk untuk menaiki kuda putih Glorfindel. Kuda mereka dibebani sebagian besar bawaan lain, agar mereka bisa berjalan lebih ringan. Untuk sementara mereka maju dengan kecepatan tinggi, tapi para hobbit mulai kesulitan menyamai kecepatan langkah kaki Peri yang tak pernah letih. Ia terus memacu mereka, masuk ke mulut kegelapan, dan masih terus dalam malam gelap berawan. Tak ada bintang maupun bulan. Baru saat fajar kelabu ia membolehkan mereka berhenti. Pippin, Merry, dan Sam saat itu sudah hampir tertidur sambil berdiri terhuyung-huyung; bahkan Strider tampak letih, terlihat dari pundaknya yang menggantung. Frodo duduk di atas kuda sambil bermimpi gelap.
Mereka membaringkan diri di dalam semak-semak heather beberapa Meter dari sisi jalan dan langsung tertidur Rasanya mereka baru saja memejamkan mata ketika Glorfindel, yang berjaga sendirian sementara mereka tidur, membangunkan mereka lagi. Matahari sudah tinggi di langit pagi itu, dan awan-awan serta kabut malam sebelumnya sudah sirna.
"Minumlah ini!" kata Glorfindel pada mereka, menuangkan untuk masing-masing sedikit minuman manis dari botol kulitnya yang bertatahkan perak. Cairannya jernih seperti air dari mata air, dan tidak ada rasanya, juga tidak terasa dingin ataupun panas di dalam mulut; tapi kekuatan dan semangat mengalir ke seluruh tubuh mereka saat meminumnya. Setelah itu, makan roti basi dan buah-buah kering (sekarang itu saja yang tersisa) bisa memuaskan rasa lapar mereka melebihi banyak sarapan enak yang pernah mereka nikmati di Shire.
Setelah beristirahat hampir lima jam, mereka masuk ke Jalan lagi. Glorfindel masih mendesak mereka berjalan terus, dan hanya mengizinkan dua perhentian singkat selama perjalanan hari itu. Dengan cara ini, mereka menempuh hampir dua puluh mil sebelum malam, dan sampai ke suatu titik di mana Jalan membelok ke kanan dan menurun menuju dasar lembah, yang sekarang langsung menuju Bruinen. Sejauh itu tidak ada tanda atau bunyi pengejaran yang bisa didengar para hobbit; tapi Glorfindel sering berhenti untuk mendengarkan sejenak, kalau mereka tertinggal di belakang; wajahnya mencerminkan kecemasan. Satu-dua kali ia berbicara dengan Strider dalam bahasa Peri.
Tapi, meski pemandu-pemandu mereka sangat cemas, jelas sekali bahwa para hobbit tak bisa meneruskan perjalanan lagi malam itu. Mereka berjalan terhuyung-huyung, pusing karena letih dan tak bisa memikirkan hal lain kecuali kaki dan tungkai mereka. Rasa sakit Frodo semakin menjadi-jadi, dan sepanjang hari itu benda-benda di sekitarnya terlihat kabur, sampai seperti bayangan kelabu. Ia hampir gembira menyambut malam hari, karena saat itu dunia jadi tidak terlalu pucat dan kosong.
Para hobbit masih letih ketika mereka berangkat lagi pagi-pagi keesokan harinya. Masih bermil-mil jarak antara mereka dan Ford, dan mereka berjalan terpincang-pincang dengan kecepatan terbaik yang bisa mereka upayakan.
"Bahaya paling besar yang mengancam kita adalah sebelum kita sampai di sungai," kata Glorfindel. "Hatiku memperingatkan bahwa pengejaran sudah sangat dekat di belakang kita, dan bahaya lain mungkin menunggu di Ford."
Jalan itu masih menurun terus dari bukit. dan sekarang di beberapa tempat ada banyak rumput di kedua sisinya; di situlah para hobbit berjalan bila mungkin, untuk meredakan kelelahan kaki mereka. Siang itu mereka tiba di bagian Jalan yang dinaungi bayang-bayang gelap pohon-pohon cemara tinggi, lalu terjun ke dalam sebuah terowongan dalam, dengan dinding-dinding curam dari batu merah yang basah. Langkah mereka menimbulkan gema yang terus terdengar sementara mereka bergegas maju; serasa ada banyak langkah kaki yang mengikuti. Tiba-tiba, seolah melewati gerbang cahaya, Jalan itu keluar lagi dari ujung terowongan ke udara terbuka. Di sana, di dasar sebuah lereng terjal, di depan mereka terhampar tanah datar sepanjang satu mil; dan di seberangnya Ford dari Rivendell. Di sisi seberang ada tebing terjal kecokelatan, dilintasi jalan berkelok-kelok; dan di belakangnya gunung-gunung tinggi menjulang, pundak demi pundak, dan puncak demi puncak, ke langit yang memudar.
Masih ada bunyi gema seperti langkah kaki yang mengejar di terowongan di belakang mereka; bunyi berdesir seolah angin yang muncul dan mengalir melalui ranting-ranting pohon cemara. Suatu saat Glorfindel menoleh dan mendengarkan, lalu ia melompat ke depan dengan teriakan keras.
"Cepat!" teriaknya. "Cepat! Musuh sudah dekat!"
Kuda putih melompat maju. Para hobbit berlari menuruni lereng. Glorfindel dan Strider menyusul sebagai penjaga garis belakang. Mereka baru separuh jalan melintasi tanah datar, ketika tiba-tiba ada bunyi kuda lari berderap. Keluar dari gerbang yang baru saja mereka tinggalkan, muncul seorang Penunggang Hitam. Ia menahan kudanya dan berhenti, bergoyang di pelananya. Satu lagi mengikutinya, lalu yang lain lagi, dan dua lagi.
"Jalan maju! Jalan?" teriak Glorfindel pada Frodo.
Frodo tidak langsung menuruti perintahnya, karena keengganan yang aneh timbul dalam dirinya. Menahan kudanya agar berjalan perlahan, ia menoleh ke belakang. Penunggang-Penunggang Hitam tampak duduk di atas kuda-kuda mereka yang besar, bagai patung-patung yang mengancam di atas bukit yang gelap dan kokoh, sementara semua hutan dan tanah di sekitar mereka seolah tertelan kabut. Tiba-tiba dalam hati Frodo tahu bahwa mereka diam-diam memerintahkannya menunggu. Dalam sekejap ketakutan dan kebencian bangkit dalam dirinya. Tangan kirinya melepaskan tali kekang dan memegang Pangkal pedangnya, dan dengan satu kilatan merah ia menghunusnya.
"Jalan terus! Jalan terus!" teriak Glorfindel, lalu dengan nyaring dan jelas ia memanggil kudanya dalam bahasa Peri: noro lim, noro lim, Asfaloth!
Serentak kuda putih itu melompat maju dan berpacu seperti angin sepanjang sisa terakhir Jalan. Pada saat bersamaan, kuda-kuda hitam berpacu menuruni bukit mengejarnya, dan dari para Penunggang terdengar teriakan mengerikan, seperti yang terdengar oleh Frodo memenuhi hutan di Wilayah Timur nun jauh di sana. Teriakan itu dijawab: dengan ngeri Frodo dan teman-temannya melihat empat penunggang lain keluar dari pohon-pohon dan batu-batu di sebelah kiri. Dua melaju ke arah Frodo, dua lainnya berpacu kencang sekali menuju Ford, untuk memotong pelariannya. Sepertinya mereka melaju pesat bagai angin, dengan cepat sosok mereka semakin besar dan gelap, ketika lintasan mereka bertemu dengan lintasannya.
Sejenak Frodo menoleh ke belakang. Ia sudah tak bisa melihat teman-temannya lagi. Penunggang-Penunggang Hitam mulai tertinggal: bahkan kuda-kuda besar mereka tak bisa menandingi kecepatan kuda Peri putih milik Glorfindel. Ia melihat ke depan lagi, dan harapannya memudar. Kelihatannya sebelum mencapai Ford jalannya akan dipotong oleh para Penunggang lain yang sudah bersembunyi untuk menyergapnya. Ia bisa melihat mereka dengan jelas sekarang: rupanya mereka sudah melepaskan kerudung dan mantel hitam mereka, sekarang mereka berjubah putih dan kelabu. Pedang terhunus di tangan mereka yang pucat; topi baja di kepala mereka. Mata mereka dingin berkilauan, dan mereka meneriakinya dengan suara-suara menyeramkan.
Ketakutan memenuhi seluruh benak Frodo. Ia tak ingat lagi pedangnya. Tak ada teriakan dari mulutnya. Ia memejamkan mata dan berpegangan erat pada rambut tengkuk kudanya. Angin bersiul di telinganya, dan bel-bel pada tali kekang berbunyi liar dan nyaring. Embusan angin dingin menusuknya bagai tombak ketika kuda Peri itu berpacu bagai kilatan api putih, seolah bersayap, lewat tepat di depan Penunggang terdepan.
Frodo mendengar bunyi cemplungan air.. Air berbuih di sekitar kakinya. Ia merasakan gerakan mengangkat dan menyentak cepat saat kudanya keluar dari sungai dan berjuang mendaki jalan berbatu. Ia sedang mendaki tebing terjal. Ia sudah di seberang Ford.
Tetapi para pengejar sudah dekat sekali. Di atas tebing, kuda Frodo berhenti dan membalikkan badan sambil meringkik galak. Ada Sembilan Penunggang di tepi air di bawah, dan semangat Frodo merosot di depan wajah-wajah mereka yang menengadah mengancam• Rasanya tak ada yang bisa mencegah mereka menyeberangi sungai semudah yang telah ia lakukan; dan ia merasa sia-sia mencoba melarikan diri melintasi jalan panjang dan tidak pasti dari Ford ke pinggir Rivendell, kalau para Penunggang itu sudah menyeberang. Bagaimanapun, ia merasa diperintah dengan mendesak untuk berhenti. Kebencian kembali bergejolak dalam dirinya, tapi ia sudah tak punya kekuatan untuk menolaknya.
Tiba-tiba Penunggang terdepan memacu kudanya maju. Kuda itu berhenti di batas air dan berdiri pada kaki belakangnya. Dengan upaya keras Frodo duduk tegak dan mengacungkan pedangnya.
"Kembali!" teriaknya. "Kembalilah ke Negeri Mordor, dan jangan kejar aku lagi!" Suaranya kedengaran tipis dan melengking di telinganya sendiri. Para Penunggang itu berhenti, tapi Frodo tidak mempunyai kekuatan seperti Bombadil. Musuh-musuhnya menertawakannya dengan bunyi tawa kasar dan mengerikan. "Ke sini! Ke sini!" teriak mereka. "Kami akan membawamu ke Mordor!"
"Pergilah!" bisik Frodo.
"Cincin! Cincin!" teriak mereka dengan suara menyeramkan, dan serentak pemimpin mereka menyuruh kudanya maju ke dalam air, diikuti dari dekat oleh dua pengikutnya.
"Demi Elbereth dan Luthien sang Putri Cantik," kata Frodo dengan upaya terakhir, sambil mengangkat pedangnya, "kau tidak akan mendapatkan Cincin ataupun diriku!"
Lalu pemimpin mereka, yang sudah separuh menyeberangi Ford, berdiri mengancam di sanggurdinya, dan mengangkat tangannya. Frodo merasa kelu. Lidahnya terpaku di mulutnya, dan jantungnya berdebar kencang. Pedangnya patah dan jatuh dari tangannya yang gemetar. Kuda Peri berdiri di kedua kaki belakangnya dan mendengus. Kuda hitam terdepan sudah hampir menginjak tepi sungai.
Pada saat itu terdengar geraman dan desiran: bunyi air deras menggulingkan banyak batu. Samar-samar Frodo melihat sungai di bawahnya naik, dan dari alirannya muncul barisan gelombang berbusa. Nyala putih tampak berkelip di puncak-puncaknya, dan ia serasa melihat penunggang-penunggang putih -di atas kuda-kuda putih dengan Surai berbuih di tengah air. Tiga Penunggang yang masih berada di tengah Ford tenggelam: mereka lenyap, terkubur tiba-tiba di bawah buih yang menggelegak. Mereka yang masih di belakang mundur dengan ngeri.
Dengan kesadarannya yang mulai hilang, Frodo mendengar teriakan-teriakan, dan rasanya di belakang Penunggang yang ragu-ragu di tepi sungai, ia melihat sebuah sosok bercahaya putih yang menyala-nyala, dan di belakangnya berlarian sosok-sosok kabur kecil melambaikan api, yang menyala merah di dalam kabut kelabu yang mulai menutupi dunia.
Kuda-kuda hitam menggila, dan sambil melompat maju dengan ketakutan mereka membawa penunggang mereka ke dalam air bah yang mengganas. Teriakan tajam mereka tenggelam dalam raungan sungai ketika mereka tersapu air. Lalu Frodo merasa dirinya jatuh, dan raungan serta kebingungan itu seolah naik dan membenamkannya bersama musuh-musuhnya. Setelah itu ia tak melihat dan mendengar apa-apa lagi.
Dari: http://mifza.blogspot.com/2012/05/lord-of-ring-fellowship-of-ring_27.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar